1. Biografi
Nama
lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash-Shabbah bin Imran bin
Ismail bin Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Sebutan Al-Kindi merupakan nisbat dari
suku yang menjadi asal cikal bakalnya yaitu Banu Kindah. Beliau lahir di Kuffah
tahun 185 H (801 M). Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim, karena ayahnya
telah meninggal beberapa tahun setelah beliau lahir.
Sejak
kecil beliau memperoleh pendidikan dasar di Basrah. Selama beliau di Basrah,
beliau belajar Al-Qur’an, membaca, dan menulis. Kemudian setelah bisa, beliau
melanjutkan pendidikannya itu di Bagdad sampai tamat. Disana beliau dianggap
mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada masa itu, seperti
ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, mantiq (logika), geometri,
astronomi, dan lain-lain. Sehingga pada masa pemerintahan Al-Mukmin (198-228 H)
beliau sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemah
kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa arab, bahkan ia memberi komentar terhadap
pemikiran para filosof Yunani.
Al-Kindi
merupakan tokoh filosof muslim pertama yang hadir sebagai….
2. Pemikirannya
1) Pemikirannya terhadap Filsafat
Salah satu pendapat mengenai pengertian
filsafat menurut Al-Kindi adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi
dan bersifat menyeluruh (umum) baik esensinya maupun kausanya. Dari definisi
tersebut Al-Kindi menitik beratkan pada sudut pandang materinya.
Dalam filsafatnya, Al-Kindi menegaskan
juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang
berupaya mengetahui kebenaran yang pertama. Kausa dari pada semua kebenaran
yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki
pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat)
lebih utama dari pengertian tentang akibat (ma’lul, effact). Orang akan
mengetahui tentang realitas secara sempurna jika mengetahui pola yang menjadi
kausanya.
2)
Pemikirannya Terhadap Agama
Dalam
pemikirannya, Al-Kindi mencoba menggali hubungan antara agama dan filsafat.
Yang pada zaman sebelumnya muncul pendapat bahwa filsafat itu tidak ada
hubungannya dengan agama, bahkan banyak dari filosof terdahulu yang terperosot
kedalam aliran Atheis, yaitu tidak mempercayai adanya tuhan. Hal ini dianggap sangat menyimpang dari ajaran Islam
yang mempercayai adanya Tuhan yang maha Esa yaitu Allah SWT. Dari sinilah
Al-Kindi mulai berfilsafat untuk mencari kebenaran apakah memang antara
keduanya ini tidak memiliki hubungan sama sekali ataukah sebaliknya. Untuk
mencari tahu tentang kebenaran tersebut, Al-Kindi menggunakan dua subjek, yaitu
nalar dan wahyu dengan dua tingkatan, yang pertama didasarkan pada kesamaan
tujuan dan yang kedua didasarkan epistimologi.
Tingkat
pertama, yaitu berdasarkan tujuan yang sama. Tujuan utama filsafat adalah
mencari kebenaran berdasarkan akal, nalar dan rasio, sedangkan tujuan utama
agama adalah mencari kebenaran berdasarkan wahyu (Al-Qur’an dan Hadits). Namun
kedua tujuan tersebut dapat di jadikan satu jika dihadapkan pada masalah
ke-Esaan tuhan, yang tujuan tersebut adalah menjadikan manusia menjadi manusia
yang bermoral tinggi. Jadi keduanya ini sebenarnya saling berkaitan dan saling
membutuhkan. Kedudukan filsafat adalah sebagai pengokoh agama, maka filsafat
hendaknya menjadi pembantu teologi bukan malah sebaliknya menjadi penentang
agama. Agama Islam mencari kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, kemudian
filsafat mencoba menggali kebenaran tersebut berdasarkan akal atau rasio
manusia, sehingga yang awalnya itu bersifat tekstual dapat dipahami secara
kontekstual.
Tingkat
yang kedua, yaitu berdasarkan pada epistemologi. Pada tingkat kali ini antara
agama dan filsafat dihadapkan pada persoalan antara rasional ataukah kenabian.
Berdasarkan pertanyaan ini muncul berbagai pendapat yang dilontarkan oleh
Al-Kindi, yang pada suatu tulisanya itu dijelaskan bahwa beliau mempertahankan
kepastian yang sama antara pengetahuan rasio dan pengetahuan kenabian.
Sedangkan pada pembahasan Psikologi, beliau memasukkan pengertuan kenabian di
dalam pengetahuan rasional. Beliau juga berpendapat bahwa pebgetahuan rasional
manusia lebih rendah dari pada pengetahuan kenabian. Karena yang didasarkan
pada setiap manusia adalah keyakinan (iman) terhadap adanya pewahyuan terhadap
para Nabi.
Dapat
disimpulkan bahwa fisafat adalah alternatif dari permasalahan-permasalahan di
dalam agma, yang di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak disebutkan. Kemudian
manusia mencoba menggali kebenaran dengan mengerahkan tenaga dan fikiran yang
di dalam Islam disebut dengan Ijtihad.
3)
Pemikirannya terhadap pendidikan
Al-Kindi
berpendapat bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan-hubungan
moralitas.sedangakan tujuan menurut filosof adalah mencari kebenaran, kemudian
dari kebenaran tersebut direalisasikan kedalam kehidupan nyata. Pemikiran
Al-Kindi mengenai pendidikan ini didasarkan pada pengetahuan etika, yaitu untuk
memperoleh kebajikan dan menolak keburukan dengan mengkonsepakan Al-Qur’an dan
Hadits. Jika dikaitkan dengan penndidikan yang terjadi disaat ini, pengetahuan
etika ini harus dimiliki oleh seorang pendidik, karena tugas uatama seorang
pendidik menanamkan pengetahuan etika kepada peserta didiknya. Jadi sebagai
calon pendidik harus mengetahui, memahami, serta menerapkan pengetahuan etika. Maka
dari itu buah dari pemikiran Al-Kindi ini digunakan dalam dunia pendidikan
perguruan tinggi Islam fakultas pendidikan (tarbiyah). Tujuannya adalah calon
guru diberi bekal, agar ketika menjadi guru atau pendidik nanti dapat
mempengaruhi peserta didiknya menjadi manusia yang beretika.
3.
Analisa
Perlu kita ketahui bahwa Al-Kindi adalah tokoh filosof
muslim pertama yang mampu menerjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani
khususnya filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan menggunakan bahasa
Arab. Beliau juga disebut dengan bapak filsafat Islam. Dampak dari pemikiran
beliau dapat kita rasakan hingga sekarang ini, jikalau dulu Al-Kindi tidak
menerjemahkan dan mengaitkannya dengan ajaran Islam, mungkin kita sebagai calon
pemikir muslim tidak akan tahu tentang hubungan antara tuhan dengan akal.
Karena pemikirannya dianggap pemikiran yang luar biasa, maka pemikirannya ini
digunakan oleh pemikir muslim dalam menunjang pendidikan di perguruan tinggi.
Maka selanjutnya oleh pemikir muslim selanjutnya yang mengaitkan filsafat
dengan pendidikan, sehingga muncul filsafat pendidikan Islam yang pada masa
sekarang ini di pelajari oleh calon pemikir muslim diseluruh dunuia.
Tidak heran lagi, jika di era baru-baru ini muncul
pandangan yang mengaitkan agama dengan akal walaupun banyak juga kalangan yang
membantah hal tersebut karena menurut mereka keduanya tidak memiliki hubungan
sama sekali. Berikut kedudukan akal dengan wahyu
(agama):
1) Akal sebagai alat yang strategis untuk
mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2) Akal merupakan potensi dan modal yang melekat
pada diri manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian
al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3) Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat
menangkap pesan dan semangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4) Akal juga berfungsi untuk menjabarkan
pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai
khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Dapat kita contohkan tentang permasalahan yang muncul dikalangan
masyarakat baru-baru ini. Hukum mendengarkan lagu atau nyanyian. Dengan
permasalahan ini muncul berbagai pendapat, mulai dari pendapat yang ekstrim
yang menyatakan haram, dan juga pendapat yang membolehkannya. Dari munculnya
pemikiran-pemikiran inilah kita butuh akal dan wahyu. Wahyu dikaji oleh akal,
kemudian muncul hukum syara’ yang disepakati (ijma’). Jadi sesungguhnya
permasalahan yang terjadi dimasa-masa sekarang ini sudah pernah terjadi dimasa
lapau, namun bedanya pada kasus permasalah yang dipengaruhi oleh kecanggihan
teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar