Selasa, 09 Desember 2014

Gejala Psikologi Dalam Keberagamaan

GEJALA PSIKOLOGI DALAM KEBERAGAMAAN


I.          PENDAHULUAN
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang artinya jiwa dan logos berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Namun demikian kata jiwa bukanlah kata yang mudah dipahami begitu saja, sebab jiwa memiliki arti yang beragam dan masih sangat kabur. Pengertian ilmu jiwa itu sebenarnya berbeda dengan psikologi karena jiwa mencakup pengertian yang sangat luas termasuk khayalan dan spekulasi tentang jiwa, sedangkan psikologi yang sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang dibangun dengan menggunakan metode ilmiah
Psikologi juga dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian orang telah merasa bahwa dirinya telah mengerti psikologi yang dianggap semacam ilmu untuk mengenal sifat dan watak manusia. Setiap orang secara alamiah telah mengembangkan cara untuk mengenal orang lain melalui pengalaman pribadinya. Dengan cara yang demikian ia merasa mampu menyelesaikan masalah psikologis tanpa bantuan psikologi
Dalam makalah ini, dengan gejala-gejala psikologi dalam keberagamaan, akan diuraikan tentang macam dari gejala psikologi dalam keberagamaan dan peran agama dalam kehidupan seseorang menurut perspektif  psikologi islam.
Dalam ajaran agama terdapat banyak sikap batiniah yang dimiliki seseorang, misalnya beriman, bertaqwa, berbuat jujur dan lain sebagainya. Semua itu merupakan gejala kejiwaan yang ada pada manusia dalam keberagamaan.


II.       PERMASALAHAN
Berdasarkan wacana diatas, maka dapat diambil bebarapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Mengapa kita harus mengetahui Macam dari Gejala Psikologi Islam ?
2.      Bagaimana Gejala Psikologi dalam Keberagamaan ?
3.      Bagaimana Peran Agama dalam Kehidupan Seseorang Menurut Perspektif  Psikologi Islam ?



III.    PEMBAHASAN
Psikologi hadir sebagai wujud perubahan serta respon keprihatinan atas pemikiran peradaban modern yang gagal dalam upaya mensejahterakan moral spiritual, sehingga hanya bertitik tolak pada kisaran empiris inderawi (otak) atau fakta lapangan sebagai tendensinya saja tanpa memasukan unsure transendenendental (non-inderawi)
Psikologi pada umumnya mempelajari tentang gejala-gejala manusia yang sering berkaitan kognitif, afektif, konasi, dan campuran. Dan berdasarkan pandangan psikologi agama bahwasanya perilaku beragama dipengaruhi faktor intern dan ekstern (saling mendukung sehingga dapat memunculkan keberagaman yang sinergis). Kedudukan psikologi sendiri adalah sebagai titk kedudukan psikologi sendiri adalah sebagai titik singgung faktor intern yang dapat menghantarkan seseorang memahami agama secara keseluruhan dengan penyempurnaan/ pembuktian yang berwujud perilaku beragama.
Mengetahui macam gejala-gejala dari psikologi merupakan salah satu pengetahuan yang sangat penting dalam memahami dan mempelajari psikologi islam. Karena dengan kita mengetahuinya maka dapat di ketahui pula bagaimana seorang harus berinteraksi kepada sesama manusia maupun kepada sang pencipta. Dan ilmu psikologi di anggap hal yang sangat penting, dan merupakan kelanjutan studi tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa tingkah laku yang kelihatan maupun tidak kelihatan dalam artian secara dhohiriyah.
Adapun gejala pokok tersebut dapat di ambil melalui sikap dan perilaku seseorang, ahli psikologi berpendapat ada 4 gejala :
1.    Gejala pengenalan (kognisi), antara lain : pengindraan, pengamatan, tanggapan, reproduksi, asosiasi, ingatan, fantasi, berfikir, intelegensi, intuisi dan pengamatan melalui panca indera.
2.    Gejala perasaan (emosi), antara lain : perasaan, affek, stemming, simpati dan empati.
3.    Gejala kemauan (konasi), antara lain : kemauan meliputi dorongan, keinginan, hasrat, kecenderungan dan hawa nafsu.
4.    Gejala campuran (psikomotorik) adalah serangkaian minat dan perhatian.[1]
Bahwa perkembangan individu itu akan ditentukan baik oleh faktor pembawaan (dasar) atau faktor endogen, maupun oleh faktor keadaan atau lingkungan atau faktor eksogen.[2] Perkembangan gejala psikologi dalam keberagamaan di pengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tingkat kecerdasan dan rentan usia, kedua hal tersebut sangatlah tinggi perannya dalam respon ajaran-ajaran agama yang kemudian di aplikasikan dalam kehidupan manusia sebagai wujud untuk meningkatkan keimanan dengan jalan interaksi dengan tuhan.
A.  Gejala Psikologi Anak dalam Keberagamaan
Pada waktu lahir anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Perkembangan kesadaran beragama anak sangat di pengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku kedua orang tuanya. Oleh karena itu peran orang tua disini sangat penting terkait dengan mebimbing anaknya dalam merespon agama maupun tentang segala sesuatu dalam membentuk kepribadian si anak agar berperilaku baik.
Dalam bukunya the Development of Religious on Children, bahwa Ernest Harms mengatakan bahwa peekembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu :
1.    The fairy talle stage (tingkat dongeng).
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menhayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.    The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (mas usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul memalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segla bentuk tindak atau amal keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3.    The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
1.    Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2.    Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3.    Konsep keTuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.[3]
B.   Gejala Psikologi Remaja Dalam Keberagamaan
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagaman yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a.     Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b.    Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.
c.       Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d.      Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja juga mencakupi: Pertama, Self-dierctive yaitu taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. Kedua, Adaptive yaitu mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Ketiga, Submissive yaitu merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. Keempat, Unadjusted yaitu belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. Kelima, Deviant yaitu menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.     Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f.     Ibadah
Dari penelitian yang telah dilakukan ternyata 17% remaja menyatakan sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[4]
C.    Gejala Psikologi Orang Dewasa dalam Keberagamaan
Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap. Kemantapan jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pokonya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, jika seseorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama, itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap antiagama, bila menurut pertimbangan akal sehat, (common sense), terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap antiagama seperti itu diperlihatkannya dalam bentuk sikap menolak hingga ke tindakan memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Sehingga, tak jarang sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena itu, sikap keberagamaan seorang dewasa cenderung di dasarkan atas pemilihan terahap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki perseptif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengerrtian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Sejalan dengan tingkat perkembanagn usia, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan.
Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
2.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman kaagamaan.
3.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dan sikap hidup.
4.       Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
5.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain berdasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
6.      Sikap keberagamaan cendeung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
7.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
D.  Gejala Psikologi Orang Dewasa Lanjut dalam Keberagamaan
Adapun di usia selanjutnya, yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, akitivis menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Seiring dengan meningkatnya usia, orang pada masa dewasa lanjut tidak sulit mengikuti dogma-dogma agama dan melakukan kunjungan ke tempat ibadah (untuk beribadah, seperti ke masjid), mengunjungi para ulama, dan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan sikap yang lebih lunak. Ketertarikannya terhadap agama sering dipusatkan pada masalah kematian yang menjadi sesuatu yang bersifat pribadi. Dan menurunnya kehadiran dan partipasi dalam kegiatan di masjid pada usia lanjut tidak minat adalah lebih sedikit daripada faktor-faktor lain seperti kesehatan memburuk, tidak ada transportasi, malu karena tidak mempunyai pakaian yang sesuai atau tidak mampu menyumbang uang, dan perasaan tidak butuhkan oleh anggota organisasi masjid yang lebih muda.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil menurut hasil penelitian psikologi agama  meningkat. Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini.
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi menghubungakan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi di bidang seksual, sejalan dengan penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia lanjut, secara garis besarnya ciri-cirinya keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.    Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.    Meningkatnya kencenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.    Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh-sungguh.
4.    Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.    Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.[5]
E.   Peran Agama dalam Kehidupan Seseorang Menurut Perspektif  Psikologi Islam
Walaupun para psikolog belum sependapat dengan kemutlakan naluri beragama pada diri manusia, namun sebagian besar dari mereka membenarkan naluri beragama itu, mereka beranggapan bahwa semacam dorongan pada diri manusia yang menyebabkan mereka cenderung untuk mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supranatural).
Dalam ajaran agama Islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama. Dalam fitrah beragama, iman menjadi kekuatan inti. Fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan, karena iman bagi seorang mukmin merupakan daya penggerak utama dalam dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran yang hakiki dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Atas dasar ini, Muhammad Thahir bin Ashur dalam tafsirnya tentang surat ar-Rum ayat 30, Allah berfirman sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[6]
IV.    ANALISA
Dari pembahasan dapat dianalisis bahwa begitu pentingnya psikologi islam dalam mempelajari kehidupan manusia, baik itu yang berhubungan terhadap sesama manusia atau sosial maupun terhadap perilaku keberagamaan. Begitu banyak pembelajaran dan wawasan masalah ilmu psikologi islam salah satunya tentang gejala-gejala psikologi dalam keberagamaan.
Psikologi pada umumnya mempelajari tentang gejala-gejala manusia yang sering berkaitan dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan berdasarkan pandangan psikologi agama bahwasanya perilaku beragama dipengaruhi faktor endogen atau faktor pembawaan (dasar) maupun faktor eksogen atau faktor keadaan atau lingkungan. Hal ini dapat menghantarkan seseorang memahami agama secara keseluruhan dengan penyempurnaan atau pembuktian yang berwujud perilaku beragama.

V.       KESIMPULAN
Manusia seutuhnya adalah sebagai satu kesatuan tubuh, roh dan jiwa yang saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Perkembangan gejala psikologi dalam keberagamaan di pengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tingkat kecerdasan dan rentan usia, kedua hal tersebut sangatlah tinggi perannya dalam respon ajaran-ajaran agama yang kemudian di aplikasikan dalam kehidupan manusia sebagai wujud untuk meningkatkan keimanan dengan jalan interaksi dengan tuhan.
Gejala Psikologi keberagamaan meliputi empat macam yaitu Gejala pengenalan (Kognisi), Gejala Perasaan (Afeksi), Gejala kemauan (Konasi) dan Gejala campuran (Psikomotorik).
Dalam ajaran agama Islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama.
VI.    SARAN
Demikianlah makalah yang kami sajikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca. Apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekeliruan, kami mohon maaf yang sebenarnya.









DAFTAR PUSTAKA

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogjakarta, 1981
Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Zunaidi, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2012




[1]Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogjakarta, 1981, hal. 52
[2]Ibid, hal. 46
[3]Jalaludin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 66-67
[4]Ibid, hal. 74-77
[5]Ibid, hal. 105-113
[6]Zunaidi, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2012, hal. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar