Kata ta’dib berasal dari kata addaba,
yuaddibu, ta’dib yang artinya pendidikan (udecation) disiplin, patuh
dan tunduk pada aturan (discipline) peringatan atau hukum (punishment)
hukuman-penyucian (chastisement). Ada juga yang memberikan arti ta’dib yang berarti
beradab, bersopan santun, tata karma, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan
etika.
Al-Jurjani, mendefinisikan ta’dib
adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari
untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan. Akan tetapi al-Attas mempunyai
definisi tersendiri dan lebih rinci dengan diatas tentang ta’dib yaitu
pengakuan realitas bahwa ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari urutan yang sesuai dengan kategori-kategori
dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwasanya sesorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik,
intelektual, dan spritualnya. Definisi al-Attas diperkuat oleh syeikh Wan Ahmad al Fathani dari
Pattani, dari Thailand
Selatan, (1856-1908), berpesan agar
seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syeikh Wan
Ahmad menyatakan “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu
(majlis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya engkau mengambil
daripada segala adab dan hikmah.”
Dalam pendidikan islam ta’dib merupakan hal yang sangat
penting yang harus diajarkan, hal ini karena pembelajaran ta’dib akan merubah
perilaku seseorang menjadi pribadi yang lebih baik dan yang berakhlaqul karimah
sehingga manusia akan menjadi manusia yang sempurna (insanul kamil).
Al-Attas mengungkapkan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang
dimaksudkannya di
sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh dan meliputi kehidupan
spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas
kebaikan yang diterimanya.
Dari pendapat al-Attas diatas dapat
kita ambil kesimpulan bahwa seseorang yang benar-benar terpelajar adalah orang
yang beradap. Disini terlihat bagaimana pentingnya pendidikan keadaban yang
harus dipelajari seseorang. Seseorang dapat dikatakan baik apabila pembelajaran
adab yang dilakukannya diamalkan dalam kehidupan, bukan hanya sekedar ucapan
tetapi adab meliputi perilaku dan juga kebiasaan seseorang. Ta’dib memiliki
beberapa hubungan diantaranya :
1. Hubungan ta’dib
dengan Ilmu
Adab dalam
konteks ilmu berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya urutan ilmu berdasarkan kriteria
tingkat-tingkatannya, dan keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal
dan mengakui bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu Tuhan jauh
lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan
berbagai bidang sains yang berbeda. Seperti rasa hormat terhadap para sarjana
dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari
adab terhadap ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penekanan ta’dib di sini adalah
mencakup ilmu dan amal dalam pendidikan dan adanya amal (praktik) ialah untuk
menjamin ilmu agar dapat dipergunakan secara baik dalam kehidupan masyarakat.
Karena alasan inilah, maka al-Attas mengkombinasikan secara harmonis antara
ilmu, amal (praktik) dan adab yang kemudian menamakannya dengan pendidikan. Setelah ilmu dipelajari dengan baik dan
benar yang dilandasi dengan iman serta dipraktikan langsung dalam bentuk amal itu semua adalah betuk wujud dari konsep ta’dib.
2. Hubungan ta’dib
dengan alam semesta
Adab dalam kaitannya dengan alam berarti
pendisiplinan akal praktis dalam berhubungan dengan hierarki yang menjadi
karakter alam semesta sehingga seseorang dapat membuat keputusan yang tepat
mengenai nilai-nilai dari segala sesuatu, baik dalam konteksnya sebagai
tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu pengetahuan maupun sebagai sesuatu yang berguna
bagi pengembangan ruhani dan jasmani manusia. Di samping itu, adab terhadap
alam dan lingkungan juga berarti bahwa seseorang harus meletakkan
tumbuh-tumbuhan, gunung, sungai, batu-batuan, danau, lembah, binatang dan
habitat-habitatnya pada tempat-tempat yang semestinya.
- Aspek ta’dib dalam tarbiyah
Dalam konteks tarbiyah yang diartikan sebagai
pendidikan belum cukup untuk menghantar peserta didik untuk menjadi orang
beradab. Sebab bentuk penekatanan dalam tarbiyah
hanya sekedar pemeliharan dan pengasuhan jasmani semata. Sebagaimana yang yang
dikatakan al-Juranai dalam kitabnya at-ta’rifaat bahwa makna dasar tarbiyah adalah pengasuhan (al-Hadhonah),
dalam pengasuhan itu al-Jurjani tidak menjelaskan lebih detail tentang makna tarbiyah tersebut. Dalam hal ini, ada
perbedaan sedikit dengan Sayyid Quhtub ketika memakanai istilah at-Tarbiyah
sebagai upaya pemeliharaan jasmani dan membantunya dalam rangka menumbuhkan
kematangan sikap mental sebagai pancaran akhlaqul karimah pada diri
peserta didik. Bila dianalis dari dua pendapat dua tokoh diatas aspek ta’dib
dalam tarbiyah hanya sedekar pengenalan ilmu dasar yang tidak sampai
pematangan mental sebagaimana yang telah disinggung dalam definisi diatas.
Dari pandangan
tersebut, tarbiyah mencakup semua aspek pendidikan, yaitu: kognitif,
afektif dan psikomotorik, dan lebih memprioritaskan kepada jasmani dari pada
rohaniahnya. Kemudian tarbiyah lebih menonjolkan pada penumbuhan
kembangkan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta untuk hal-hal yang
konret. Oleh karena itu, proses pendididkan dengan ciri-ciri ini sangatlah
cocok dan tepat bila diterapkan pada pendidikan tingkat dasar / kanak-kanak atau
lebih konkretnya sesuai untuk istilah yang dipakai proses pendidikan tingkat
Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Sedangkan ta’dib,
titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar
menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik yang berlandaskan
keimanan. Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil
suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan
antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya,
terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal
memelihara dan mendidik anak.
- Aspek ta’dib dalam ta’lim
Ta’lim secara umum
hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini
memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan
ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim)
dan yang diajar (muta’alim). Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengetahuan yang
dimaksud, diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada surat al-Maidah ayat
4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Ta’lim juga mewakili
ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Hanya sekedar pengisian kognitif
saja. Namun, dari istilah ta’lim pada beberapa ayat diatas
menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk
diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran
bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus
mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini
menurut Al Qur’an dan As Sunnah. (QS. Al-Baqarah ( 2):31).
Pengertian pendidikan dalam ta’lim
mengandung
makna yang terlalu sempit. ta’lim hanya sebatas proses pentransferan
seperangkat nilai antar manusia. Ia dituntut untuk menguasai nilai yang
ditransfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada afektif. Jadi ta’lim,
sekedar penyampain ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung
jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini
mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang di butuhkan seseorang
dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik.
Sementara ta’dib dapat diartikan kepada proses
mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlaq atau
budi pekerti peserta didik. Berarti orientasi ta’dib lebih terfokus pada upaya
pembentukan pribadi yang berakhlaq mulia. Pengertian ini didasarkan pada sabda
Nabi saw:
أدبنى ربى فأحسن تأدبى
“Tuhanku
telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar