BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan bukan
sekedar hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya
pertanggung-jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh
Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an
surah al Bayyinah ayat 5 :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.
Dapat kita pahami dari ayat
ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar sebagai unsur pelengkap isi alam
saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung-jawab. Sebagai makhluk yang
diciptakan paling sempurna, pada hakikatnya manusia diperintahkan untuk
mengabdi kepada penciptanya, Allah SWT.
Pada prinsipnya pengabdian
manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran Islam yang mempunyai arti
penyerahan diri secara total pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini
akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila ini
dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir
suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT dan tentunya bila
keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk amal keseharian akan menjadikan
maslahah dalam kehidupan sosial.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan iman ?
2.
Apa yang
dimaksud dengan ibadah ?
3.
Apa yang
dimaksud dengan etika ?
4.
Bagaimana hubungan
antara iman, ibadah dan etika ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
Iman secara lughat atau secara bahasa berasal dari
lafadz tashdiq yang artinya percaya
(baik percaya kepada yang benar atau kepada yang bathil atau campuran keduanya).[1]
Sedangkan menurut syara’ iman
adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta mengamalkan
dengan perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan hati yaitu mempercayai dan
meyakini segala yang dibawa Rasulullah saw. Yang dimaksud dengan mengikrarkan
dengan lisan adalah mengucap dua kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari
mengamalkan dengan perbuatan yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan
badan mengamalkan dalam bentuk ibadah jika syarat – syarat diatas terpenuhi
maka seorang dapat dikatakan “Mukmin”.[2]
Konsep iman
adalah pokok yang mendasari keseluruhan
pemikiran tentang keyakinan dan kepercayaan dalam hal-hal keagamaan.
Konsep
iman yang dikemukakan oleh aliran-aliran yang ada dalam teologi islam
kesemuanya memiliki perbedaan, meskipun terdapat sedikit persamaan. Berikut
akan di jelaskan konsep iman pada tiap aliran-aliran tersebut yaitu:
a.
Konsep iman menurut asy’ariah
Asy’ariah berpendapat bahwasanya
akal manusia tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan manusia
mengetahuinya melalui wahyu. Menurut mereka iman ialah at-tasdiqu billah, yaitu membenarkan kabar tentang adanya Allah.
Dalam batasan lengkapnya, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan
Allah dan tentang kebenaran rasul serta segala apa yang yang mereka bawa.
Menurut mereka iman bukan ma-rifat atau amal.
b.
Konsep iman menurut mu’tazilah
Mu’tazilah berpendapat bawa akal
manusia bisa sampai mengetahui kepada kewajiban mengetahui tuhan. Menirut
mereka iman bukanlah tads(membenarkan)
tetapi amal yang timbul akibat dari mengetahui tuhan. Menurut mereka iman bukan
hanya dengan pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga direalisasikan oleh
perbuatan-perbuatan.
c.
Konsep iman menurut maturidiah Bukhara
Sama halnya dengan asy’ariah,
maturidiah Bukhara berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa sampai kewajiban mengetahui Tuhan. Menurut mereka
iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi haruslah merupakan tads. Dan menurut mereka iman adalah
kunci masuk surga dan amal akan menentukan tingkatan yang akan dimasuki
seseorang dalam surga.
d.
Konsep menurut maturidiah Samarkand
Maturidiah samarkand sependapat
dengan mu’tazilah, bahwa akal manusia akan sampai mengetahui Tuhan dan iman
bukanlah hanya sekedar tads malainkan
ma’rifah atau amal.[3]
B. Pengertian Ibadah
Kata
ibadah dalam bahasa Arab merupakan
bentuk mahsdar dari kata-kata ‘abdun yang arti generiknya menunjuk pada pengertian
patuh dan tunduk, menghambakan dan
menghinakan diri.[4] Secara
umum pengertian ibadah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ibadah dalam
pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah dalam pengertian
umum, ialah segala aktivitas jiwa dan raga manusia (makhluk, yang
diciptakan) yang ditujukan kepada Allah (al-Khaliq, Sang Maha
Pencipta), sebagai tanda ketundukkan dan kepatuhan hamba tersebut
kepada-Nya. Sedangkan ibadah dalam pengertian khusus, ialah semua kegiatan
ibadah yang ketentuannya telah digariskan oleh nash-nash al-Qur’an maupun
hadis, yang ketentuan-ketentuan itu tidak boleh ditambah, dikurangi atau
diubah.
Di dalam kata ibadah terkandung makna
ketundukan yang mendalam, berasal dari getaran jiwa yang merasakan kebesaran
dari apa yang disembah (al-Ma’bud), dan dari keyakinan tentang adanya suatu
kekuatan tak terbatas yang dimilki apa yang disembah itu. Getaran jiwa karena
merasakan kemahaagungan yang disembah itu sendiri merupakan roh atau jiwa dari
suatu ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam ibn Katsir dalam tafsir
menjelaskan bahwa “ Ibadah itu, ialah suatu pengertian yang mengumpulkan
kesempurnaan cinta, tunduk dan takut”.
Akan tetapi, tidak cukup sekadar demikian saja, suatu ibadah dalam Islam
harus pula dibarengi dengan perasaan kepasrahan mutlak kepada Allah, karena
suatu ibadah yang tidak disertai dengan penyerahan diri secara mutlak, sama
dengan menentang tindakan ibadah itu sendiri. Penyerahan diri itu mengandung
arti yang seluas-luasnya, bahwa seseorang yang melakukan ibadah menyatakan
pengakuan diri sebagai makhluk (yang diciptakan) dan sebagai hamba, yang
disembah adalah al-Khaliq (Yang Mencipta) dan Tuhan. Kesadaran seperti
inilah yang melahirkan getaran jiwa, setiap kali seorang hamba mendengar nama
Tuhan disebut dan ayat-ayat Tuhan dibacakan. Sebagaimana firman Allah :
$yJ¯RÎ) cqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $YZ»yJÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGt ÇËÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan
kepada Tuhanlah mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal, 8:2)[5]
Ibadah
itu mensyukuri nikmat Allah SWT. Atas dasar inilah tidak diharuskan kita, baik
oleh syara’ maupun oleh akal, beribadah kepada selain Allah SWT. Karena Allah sendiri yang berhak menerimanya, lantaran Allah
sendiri yang memberikan nikmat yang paling besar kepada kita yaitu hidup, wujud
dan segala yang berhubungan dengannya. Kita meyakini benar bahwa Allah-lah yang
memberikan nikmat kepada kita. Maka mensyukuri “orang” yang memberikan nikmat
itu wajib. Dan kita yakin pula bahwa Tuhan menimbulkan bencana atas hamba-Nya
yang enggan mengibadati-Nya didalam dunia ini dan akan memberi balasan yang
setimpal di akherat kelak kepada mereka yang taat dan yang maksiat
masing-masing menurut yang layak mereka peroleh.
Untuk mewujudkan ibadah hamba itu, Tuhan
memerintahkan hamba beribadat kepada-Nya. Tuhan mengeluarkan perintah-Nya ini,
sebenarnya adalah suatu keutamaan-Nya yang besar kepada kita. Jika kita renungi
hakikat ibadah, kita pun yakin bahwa perintah beribadah itu pada hakikatnya
berupa peringatan, memperingatkan kita menunaikan kewajiban terhadap “orang”
yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Diterima tidaknya ibadah-ibadah itu terkait kepada
dua faktor yang penting:
·
Ibadah dilaksanakan atas dasar ikhlas.
Firman Allah SWT:
ö@è% þÎoTÎ) ßNöÏBé& ÷br& yç7ôãr& ©!$# $TÁÎ=øèC çm©9 tûïÏe$!$# ÇÊÊÈ ßNöÏBé&ur ÷bL{ tbqä.r& tA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊËÈ
Artinya: “Katakan olehmu, bahwasanya aku diperintahkan menyembah
Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan taat kepada-Nya, dan
diperintahkan supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri
kepada-Nya”. (QS. Az-Zumar/39:11-12)
·
Ibadah dilakukan secara yang sah
(sesuai petunjuk syara’).
Firman Allah SWT:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur (
`yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Atrinya: “Barang siapa mengharap suoaya menjumpai Tuhannya,
hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. Dan janganlah ia mensyarikatkan
seseorang dengan Tuhannya dalam ibadahnya itu”. (QS. Al Kahfi/18:110)[6]
C. Pengertian Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti kebiasaan. Yang dimaksud adalah kebiasaan baik
atau kebiasaan buruk. Dalam kepustakaan umumnya kata etika diartikan sebagai
ilmu. Makna etika dalam KBBI misalnya adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Didalam ensiklopedi
pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan
tentng baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika merupakan
pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai cabang filsafat yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau
buruk ukuran yang dipergunakannya adalah akal
pikiran. Akal lah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau
buruk. Secara etimologi, akhlak atau etika berasal dari bahasa arab, jama’ dari
khuluqun artinya perangai, tingkah
laku atau tabiat. Kalimat tersebut mempunyai persamaan dengan khalqun yang berarti kejadian, serta
erat hubungannya dengan khaliq yang
artinya pencipta, makhluk yang
artinya yang diciptakan.
Sedangkan secara terminologi, akhlak
didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
a.
Menurut prof. Dr. Muhammad Amin, akhlak adalah segla sesuatu
kehendak yang terbiasa dilakukan.
b.
Menurut ibnu maskawih, akhlak adalah perilaku jiwa seseorang
yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui pertimbangan.
c.
Menurut al-Gazali, akhlak adalah segala sifat yang tertanam
dalam hati yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan tanpa
memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pengertian akhlak adalah suatu perbuatan sebagai sebuah kebiasaan yang
berpangkal dari dalam hati, jiwa dan kehendak yang timbul secara spontan.[7]
D. Hubungan antara Iman, Ibadah dan Etika
1. Hubungan Iman dengan Ibadah
Hubungan
iman dan ibadah adalah sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan etika
atau moral dan sebaliknya. Keimanan atau akidah adalah fondasi dari semua
ajaran islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Seseorang yang telah beriman atau
berakidah harus mengimplentasikan keimanannya dengan syariah yaitu beribadah
kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Akidah
diwujudkan dalam pengucapan dua kalimat syahadat, diimani, diyakini, dan
dibenarkan dalam hatinya. Sebagai wujud keimanannya kepada Allah, dia harus
melaksanakan syariah berupa ibadah mahdah dan ibadah muamalah ghairu mahdah.
Yang mana ibadah madhah artinya penghambaan yang murni merupakan hubungan
antara hamba dengan Allah secara langsung seperti : menjalankan ibadah sholat.
Sedangkan ibadah muamalah ghairu madhah artinya segala amalan yang diizinkan
oleh Allah, misalnya ibadah ghairu madhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong
menolong dan lain sebagainya.
Orang yang
beriman disebut mukmin. Sedangkan seorang
mukmin yang telah melakukan ibadah dan melakukan muamalah disebut muslim. Seorang mukmin belum dikatakan
muslim apabila dia belum melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah
ghairu mahdah. Keimanan dan keislaman seseorang harus dilengkapi dengan ibadah
dalam rukun islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (bagi yang
mampu).
Kualitas
iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut.
Makin kuat iman seseorang semakin kuat dan tinggi frekuensi ibadahnya. Demikian
pula sebaliknya apabila semakin baik dan sempurna ibadah yang dilakukan
seseorang, maka semakin mantap keimanan didalam dirinya. Pelaksanaan ibadah
yang yang di landasi iman yang kuat memberikan dampak yang postif terhadap
sikap dan perilaku seorang muslim.[8]
2. Hubungan Iman dengan Etika
Keterkaitan
iman dan etika dapat dilihat melalui beberapa analsis sebagai berikut:
a. Dilihat dari segi objek bahasannya
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya, iman membahas masalah tuhan, baik dari Zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan
untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia, sehingga
perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak
yang mulia’
Allah Swt berfirman:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨9$# 4
y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
Artinya: “Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas mentaati-Nya semata-mata
karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan
zakat dan yang itulah agama yang lurus”(QS.Al-Bayyinah:5)
b. Dilihat dari segi fungsinya
Iman
menghendaki seseorang tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman dan
dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid
itu meniru dan menyontoh tehadap subjek yang ada dalam rukun iman itu. jika
kita memiliki sifat-sifat mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat
tuhan itu. Misalnya meniru sifat Ar-Rahman,
Ar-Rahim.
3. Hubungan Iman Ibadah dan Etika
Iman
ibadah dan etika juga memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Kualitas
iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin
tinggi kualitas ibadah seseoarang (misal shalat makin khusu’, mengurangi atau
menghilangkan syirik kepada Allah). Dan kuantitasnya ( misal menambah shalat
wajib dengan shalat sunnah, banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal
iman seseorang, makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat menghilangkan
kualitas iman seseorang kepada Allah SWT.
Pelaksanaan
ibadah yang dilandasi iman yang kuat memberikan dampak positif terhadap sikap
dan perilaku atau akhlak seorang muslim.
Allah
berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (
cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3
ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3
ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut 45)
Shalat itu
mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji
dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan
melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat
menghindarinya. sehingga seeorang akan tunduk dan patuh kepada aturan-aturan
Allah. Dengan demikianlah sangat erat hubungan dan saling mempengaruhi antara
iman dengan ibadah kepada Allah SWT dalam mempengaruhi akhlak seseorang.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman adalah membenarkan dengan hati,
mengikrarkan dengan lisan serta mengamalkan dengan perbuatan. Yang dimaksud
membenarkan dengan hati yaitu mempercayai dan menyakini segala yang dibawa oleh
Rasulullah. Yang dimaksud dengan mengikrarkan dengan lisan adalah mengucap
dengan dua kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan perbuatan
yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan badan mengamalkan dalam
bentuk ibadah. Jika syarat-syarat diatas terpenuhi maka seseorang akan
dikatakan mukmin.
Iman dengan ibadah juga memiliki
hubungan kasualitas (sebab-akibat). Kualitas iman seseorang ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin tinggi kualitas ibadah
seseorang(misal : shalat makin khusu’, mengurangi atau menghilangkan syirik
kepada Allah ). Dan kuantitasnya (misal : menambah shalat wajib dengan dan
shalt sunnah, banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal iman seseorang,
makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat menghilangkan kualitas seseorang
kepada Allah SWT.
Hubungan iman dengan ihsan dan etika
pergaulan seakan tidak pernah lepas, karena sejauh mana keimanan dapat
mempengaruhi ibadah dan etika pergaulan. Misalnya :Seseorang apabila imannya
kuat dan tkun beribadahnya maka moral atau tingkah lakunya akan menjadi baik
karena merasa karena merasa tingkah lakunya akan slalu diawasi oleh Allah SWT.
B. Saran
Semoga
makalah Ilmu Tauhid yang berisi tentang “Hubungan Iman, Ibadah dan Etika
(Akhlak)” ini dapat bermanfaat bagi kita. Khususnya bagi mahasiswa
STAIN KUDUS, pembaca dan pendengar.
[1] Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, Stain Kudus, Kudus;
2009, hal 82
[4]Azyumardi Azra,
Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih
dan Ibadah, Angkasa, Bandung; 2008, hal 34
[5] Ibid., hal 41-43
[6] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, KULIAH IBADAH “Ibadah
Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah”, Pustaka Rizki Putra, Semarang;2000,
hal 10-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar