ARUS KESADARAN BERIMAN
A.
Pendahuluan
Kesadaran beriman dalam ilmu psikologi adalah
keyakinan, sikap perilaku manusia adalah hasil dari perjalanan proses yang
panjang yang diawali dari tumbuhnya sebuah pengertian akan dunia yang ada di
luar dirinya. Dan kesadaran beriman juga perlu dipupuk agar iman tetap kokoh
dan kuat. Memupuk iman untuk meningkatkan tingkah laku yang positif dalam
hubungan sosial. Sedankan iman merupakan membenarkan (at-Tashdiq), kepatuhan (at-tha’at),
menunaikan yang wajib dan menjauhi yang haram (al qiyam bi al wajibat wa al intiha’ ‘an al muharramat),saling
menolong dalam kebaikan dan taqwa (at
ta’awun ‘ala al birri wa at taqwa), dan jihad di jalan Allah SWT (al jihad fi sabilillah).
Jika menilik pada fenomena yang terjadi pada masa
kini di kalangan kita, yaitu tentang kasus yang meliputi tentang segala hal, di
antaranya kasus rumah tangga, penganiayaan, pembunhan, pemerkosaan, dan lain
sebagainya. Dan banyak orang yang menyebut bahwa orang yang memiliki iman yang
lemah (al imanu yanqush), juga ada
yang menyebut bahwa ketika melukukan ia dalam keadaan insyaf, ada juga yang
mengatakan orang tersebut tidak menjalankan nilai-nila agama dengan baik atau
yang seharusnya. Sebagai wujud dari bentuk suatu keberagamaan, yang sangat
berkaitan erat dengan kesadaran iman dan titikberatnya adalah suatu agama dan
yang paling utama adalah aqidah sebagai pembangunan suatu kepercayaan atau
keimanan.
B.
Permasalahan
1. Bagaimana iman menurut filosof islam?
2. Bagaimana proses kesadaran iman
seseorang?
3. Bagaimana pengembangan kualitas iman?
C.
Pembahasan Arus Kesadaran Beriman
Menurut
KBBI arus adalah peredaran atau persebaran, sedangkan kesadaran adalah
keinsyafan, keadaan mengerti dan hal yang dirasakan atau dialami oleh
seseorang. Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah gejala kewajiban yang
ditandai oleh tumbuhnya pengertian sebagai produk kemampuan interaksi manusia.
Kata
iman secara bahasa berasal dari bahasa arab, yang merupakan bentuk mashdar dari
amana, yu’minu, imanan yang memiliki
beberapa arti, di antaranya percaya, aman, melindungi, setia, atau menempatkan
sesuatu pada tempat yang aman. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “iman adalah engkau percaya kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kebangkitan, dan
qadha’ dan qadar-Nya.”(HR. Bukhari).[1]
Menurut salah seorang filosof islam
Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki
melalui kasyaf yang diperoleh berkat
pancaran sinar Illahi padanya.
Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang
kuat tidak ada pembuat (fa`il) selain Allah SWT. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, di
antaranya membatasi sebab pembuat (illah fa`iliyah) hanya kepada Allah,
manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal)
kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid,
sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selain Allah SWT. Dialah
pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekadar wasilah (perantara).
Keimanan
merupakan keyakinan hati yang diucapkan dengan lisan dan dikerjakan oleh
jasmani, dengan kata lain keimanan seseorang bukan hanya diucapakan oleh lisan dan
keyakinan hati saja tetapi juga implementasi untuk melaksanakan ibadah yang
hubungannya kepada Allah SWT dan yang hubungannya dengan manusia.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa arus kesadaran beriman adalah proses keimanan seseorang untuk meyakini
ke-Esaan Tuhan yang sejati baik jasmani maupun rohani yang diimplementasikan
pada kehidupan dengan ibadah yang hubungannya dengan Allah (hablumminallah)
maupun hubungannya dengan manusia (hablumminannas).
Iman kepada
Tuhan yang diajarkan di setiap agama dimaksudkan untuk menjadi proses
transendental aktivitas kehidupan manusia menuju satuTuhan. Pada tahap ini
agama adalah rahmatan lil ‘alamin yang melahirkan akhlak yang shalih
sebagai implementasi dari iman seseorang.[2]
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan hukum, maka dalam diri orang tersebut
telah berlangsung sekian banyak proses kejiwaan dalam dirinya. Sebelum berbuat,
sudah pasti telah tumbuh kesadaran bahwa manusia perlu memberi respon
terhadap petunjuk yang diturunkan oleh Allah. Kesadaran inilah yang kemudian
melakukan monitoring dan control, Sebagai proses membuat
interpretasi, proses kejiwaan seseorang yang beriman sebelum melakukan
perbuatan hukum didahului oleh suatu tahap penentuan keputusan untuk berbuat
yang dilatar belakangi oleh nilai iman yang terdapat di dalam dirinya.[3]
Dengan
adanya Allah yang hakiki, kesadaran beriman dimulai saat orang yang beriman
mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan menerima ajaran islam sebagai
suatu gejala kejiwaan. Mengucap syahadat berarti seseorang telah menyatakan
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan
Allah. Ketika orang tersebut melakukannya dengan sepenuh hati, maka di dalam
dirinya telah tumbuh kesadaran beriman dengan tingkat tertentu. Dalam versi lain
orang memeluk agama islam dimulai pada masa baligh, karena pada masa itu
manusia sudah dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk, dan bisa
dikatakan sudah memiliki kesadaran beriman.
Pada
hakikatnya manusia tidak akan benar-benar mampu meredam suara keimanan-keimanan
dalam dirinya. Oleh karena itu ketika manusia dalam keadaan kosong atau
lidahnya tergelincir, secara diam-diam
atau secara tidak sadar dia akan segera mengakui bahwa dia memiliki
pencipta yang telah menciptakan langit dan bumi. Seperti contoh yang pernah
seorang terjadi, pada sebuah peristiwa seorang atheis yang berprofesi
sebagai pilot, dan ketika dia mengendalikan pesawat terbang dan sedang berada
dalam bahaya, dan ketika itu pesawat yang dikemudikannya menemui badai, dan
secara refleks atau ta sadar dia bilang “Oh my God”, hal ini menunjukkan
jika dia, pada hakikatnya bertuhan. [4]
Dalam
mengembangkan keimanan maka seseorang akan melalui tahapan-tahapan yaitu :
1.
Kesadaran
beragama pada masa anak-anak
Pada waktu
lahir, anak belum beragama. Namun ia mempunyai potensi keimanan atau fitrah
untuk berkembang menjadi manusia yang beragama. Tetapi dalam potensi kejiwaan
dia telah mempunyai dasar-dasar kehidupan bertuhan di antaranya adalah
keimanan. Adapun ciri-ciri umum kesadaran beragama yakni beraneka ragam dari
masa ke masa, adapun pada masa anak-anak adalah:
a.
Peribadatan
yang dilakukan oleh anak-anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang
dihayati atau dipahami. Pengalaman keberagamaan yang dimiliki sang anak masih
bersifat afektif, emosional,danegosentris.
b.
Keimanannya
masih bersifat magis dan antropomorphis yang berkembang menuju
fase realistis.
2.
Kesadaran
beragama pada masa remaja
Pada masa
remaja yang berada dalam fase transisi dari masa anak-anak menuju
kedewasaan, maka dari sini dapat diketahui bahwa kesadaran beragama pada masa
remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju
kemantapan beragama. Pada masa remaja keadaan jiwanya masih cenderung labil dan
mengalami kegoncangan, gaya pemikiran abstrak logik, dan kritik mulai
berkembang dan emosinya semakin berkembang. Keadaan jiwa remaja yang seperti
itu juga terlihat dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan,
kerisauan, kegalauan, dan konflik batin. Adapun ciri-ciri kesadaran beragama yang
menonjol pada masa remaja adalah :
a.
Peribadatannya
mulai disertai penghayatan yang tulus.
b.
Pengalaman
ketuhanannya makin bersifat individual.
c.
Keimanannya
menuju relitas yang sebenarnya.[5]
Jadi
kesadaran beragama sangatlah penting, karena seseorang bisa selamat didunia dan
akhirat karena diri seseorang mau sadar dan rindu akan penciptanya.
3.
Perkembangan
kesadaran beragama.
Salah satu
kelebiahn manusia sebagai makhluk Allah SWT adalah manusia dianugrahi fitrah
untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-ajaran-Nya. Manusia dikaruniai
insting religius (naluri beragama). Karena fitrah ini manusia di juluki sebagai
homo devinans dan homo religious yaitu makhluk yang
bertuhan dan beragama, hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh nabi
Muhammad SAW bersabda :
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tualah, anak itu menjadi
yahudi, atau nasrani, atau majusi ....” (HR.
Bukhari)
Hadits ini
mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan
dalam mempengaruhi perkembangan fitrah dalam keberagamaan anak, jiwa beragama
atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke dalam peribadatan
kepada-Nya, baik yang bersifat hablum minallah (vertical), maupun hablum
minannas (horisontal). Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh
faktor pembawaan dan lingkungan.
a.
Faktor
pembawaan (internal)
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah manusia memiliki fitrah
(pembawaan) beragama (homo religius).
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif, berahaja,
maupun yang sudah modern baik yang lahir di negara komunis, maupun kapitalis,
sejak nabi Adam As sampai akhir zaman, menurut fitrah kejadiannya, hidup ada
kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
b.
Faktor
lingkungan (eksternal)
Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai
kecenderungan untuk berkembang, namun itu tidak akan terjadi jika tidak ada
faktor luar yang memberikan stimulus (rangsangan) yang memungkinkan fitrah itu berkembang
dengan sebaik-baiknya. Faktor tersebut adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.[6]
Jadi,
perkembangan kesadaran beragama seseorang itu bisa naik dan turun (al imanu
yazid wal yanqush). Di hadapan Allah SWT ada beberapa faktor pendukungnya
seperti : orang tua, bawaan, dan lingkungan.
D.
Analisa
Dari
pembahasan di atas, setiap orang memiliki kesadaran beriman yang berbeda, ada
yang memiliki keimanan yang kuat dan ada yang memiliki keimanan yang lemah,
tinggal pribadinya sendiri-sendiri, dan faktor lingkungan yang berada di
sekelilingnya. Iman seseorang bisa naik dan juga bisa berkurang tinggal orang
melakukan pemeliharaan terhadap keimanannya sendiri. Dan pada hakikatnya
manusia dilahirkan dengan fitrah beragam yang sudah memiliki keimanan dan
ketuhanan. Hanya yang membuat anak beragama selain islam adalah hanya karena
faktor orang tua yang membuat anak menjadi non-muslim. Kesadaran beriman
dimulai dari fase anak-anak dan berkembang pada masa anak dan pada masa remaja.
Namun dalam zaman modern saat ini, iman seseorang mudah sekali hilang, apalagi
jika itu telah mencakup materi yang banyak. Saat ini kebanyakan seseorang
menganggap materi atau harta lebih penting, padahal semua itu adalah pemberian
Allah, atau titipan Illahi. Mereka juga sadar akan hal tersebut, akan tetapi
karena iman yang begitu lemah mereka mudah sekali terhasut dan terjerumus.
banyak manusia yang sudah terjerumus ke dalam lembah kekufuran, banyak yang
ingin mencari materi yang banyak dengan jalan yang instan seperti dengan jalan
pesugihan, tuyul, dan lain sebagainya.
Muslim
masa kini bisa kita lihat dan bisa kita bandingkan antara umat islam yang
memeluk islam dari kecil atau islam (kultural) dengan orang yang memeluk islam
karena memang sadar dari hat atau bisa disebut dengan muallaf, ketika melihat
orang muallaf, ataupun orang islam di lingkungan perkotaan, arus kesadaran
berimannya tinggi meskipun ketika sholat mereka sangat kesulitan dalam gerakan
shalat seperti kesulitan pada duduk antara kedua sujud, akan tetapi kesadaran
beriman mereka sangat tinggi hal ini bisa dilihat dari kesadaran menunaikan
ibadah qurban yang dilakukan umat muslim muallaf (orang yang baru masuk islam),
dan juga orang yang hidup di perkotaan, atau masyarakat kota. Jika dibandingkan
dengan umat muslim yang memeluk agama islam mulai dari baligh atau biasa
disebut islam kultural, tidak sedikit mereka yang memeluk islam secara
kultural, biasanya memiliki kesadaran beragama yang rendah dalam hal qurban, meskipun
bisa terlihat kalau masyarakat islam kultural tampak masjidnya sangat ramai,
gerakan sholatnya bisa dikatakan sempurna, akan tetapi untuk menunaikan ibadah
qurban mereka kurang tertarik dan bisa dikatakan tidak mau menunaikan qurban
dengan berbagai alasan, meskipun mereka mampu. Walaupun dilaksanakan qurbannya
dengan kambing yang tidak super atau quban sapi, akan tetapi melalui
perhitungan yang sangat rinci.
E.
Kesimpulan
a.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa arti iman adalah pengakuan yang
kuat tidak ada pembuat (faa`il)selain Allah. Makna iman yang dikemukakan
ini menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah
fa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia
serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini
disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh
menghubungkan sebab tersebut kepada selain Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya
sekadar wasilah (perantara).
b.
Iman kepada
Tuhan yang diajarkan di setiap agama dimaksudkan untuk menjadi proses
transendental aktivitas kehidupan manusia menuju satu Tuhan. Pada tahap ini
agama adalah rahmatan lil ‘alamin yang melahirkan akhlak yang shalih
sebagai implementasi dari iman seseorang. Jika seseorang melakukan suatu
perbuatan hukum, maka dalam diri orang tersebut telah berlangsung sekian banyak
proses kejiwaan dalam dirinya. Sebelum berbuat, sudah pasti telah tumbuh
kesadaran bahwa manusia perlu member respons terhadap petunjuk yang diturunkan
oleh Tuhan.
Kesadaran beriman dimulai saat orang yang beriman mengucapkan kalimat syahadatain sebagai pernyataan menerima
ajaran islam sebagai suatu gejala kejiwaan. Ketika orang tersebut melakukannya
dengan sepenuh hati, maka di dalam dirinya telah tumbuh kesadaran beriman
dengan sungguh-sungguh.
c.
Kesadaran
beriman pada masa anak-anak
Saat lahir,
anak belum beragama. Namun ia mempunyai potensi keimanan atau fitrah untuk
berkembang menjadi manusia yang beragama. Tetapi dalam potensi kejiwaan dia
telah mempunyai dasar-dasar kehidupan bertuhan diantaranya adalah keimanan.
Adapun ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak adalah:
c.
Peribadatan
yang dilakukan oleh anak-anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang
dihayati atau dipahami. Pengalaman keberagamaan yang dimiliki sang anak masih
bersifat afektif, emosionaal, dan egosentris.
d.
Keimanannya
masih bersifat magis dan antropomorphis yang berkembang menuju fase realistis.
Kesadaran beragama pada masa remaja
Pada masa
remaja yang berada dalam fase transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan,
maka dari sini dapat diketahui bahwa kesadaran beragama pada masa remaja berada
dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan
beragama. Pada masa remaja keadaan jiwanya masih cenderung labil dan mengalami
kegoncangan, gaya pemikiran abstrak logik, dan kritik mulai berkembang dan
emosinya semakin berkembang. Keadaan jiwa remaja yang seperti itu juga terlihat
dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan,
kegalauan, dan konflik batin. Adapun ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol
pada masa remaja adalah :
a.
Peribadatannya
mulai disertai penghayatan yang tulus.
b.
Pengalaman
ketuhanannya makin bersifat individual.
c.
Keimanannya
menuju relitas yang sebenarnya.
·
Perkembangan
beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan.
a.
Faktor
pembawaan (internal)
Perbedaan
hakiki antara manusia dan hewan adalah manusia memiliki fitrah (pembawaan)
beragama (homo religius).
Setiap
manusiayang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif, berahaja, maupun yang
sudah modern baik yang lahir di negara komunis, maupun kapitalis, sejak nabi
Adam As sampai akhir zaman, 1menurut fitrah kejadiannya hidup ada kekuatan di
luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
b.
Faktor
lingkungan
Faktor
pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan
untuk berkembang, namun itu tidak akan terjadi jika tidak ada faktor luar yang
memberikan stimulus yang memungkinkan fitroh itu berkembang dengan
sebaik-baiknya. Faktor tersebut adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
M. Amin Syukur, Tasawuf
Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003
Musa Asy’ari, Islam
KeseimbanganRasional, moralitasdan Spiritual, LESFI, Yogyakarta; 2005
Muslim A. Kadir, Ilmu Islam
Terapan, PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003
Adnan Syarif, PsikologiQur’ani, PustakaHidayah,
Bandung; 2002
[1]M. Amin Syukur, TasawufKontekstual,
PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003, Hal 107-108
[2]Musa Asy’ari, Islam
KeseimbanganRasional, moralitasdan Spiritual, LESFI,Yogyakarta; 2005, Hal
272
[3]Muslim A. Kadir, Ilmu
Islam Terapan, PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003, Hal 122
[4]Adnan Syarif, PsikologiQur’ani,
PustakaHidayah, Bandung; 2002, Hal 28
[5] Ahyadi Abdul Azis. Psikologi agam kepribadian muslim pancasila.
Bandung : pustaka. 1987 : hal 37.
[6] Yusuf syamsu. Psikologi
perkembangan anak dan remaja. Bandung. Remaja rosda karya. 2009 : hal.
136-138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar