Selasa, 09 Desember 2014

MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM TENTANG ARUS KESADARAN BERIMAN



 ARUS KESADARAN BERIMAN

A.    Pendahuluan
Kesadaran beriman dalam ilmu psikologi adalah keyakinan, sikap perilaku manusia adalah hasil dari perjalanan proses yang panjang yang diawali dari tumbuhnya sebuah pengertian akan dunia yang ada di luar dirinya. Dan kesadaran beriman juga perlu dipupuk agar iman tetap kokoh dan kuat. Memupuk iman untuk meningkatkan tingkah laku yang positif dalam hubungan sosial. Sedankan iman merupakan membenarkan (at-Tashdiq), kepatuhan (at-tha’at), menunaikan yang wajib dan menjauhi yang haram (al qiyam bi al wajibat wa al intiha’ ‘an al muharramat),saling menolong dalam kebaikan dan taqwa (at ta’awun ‘ala al birri wa at taqwa), dan jihad di jalan Allah SWT (al jihad fi sabilillah).
Jika menilik pada fenomena yang terjadi pada masa kini di kalangan kita, yaitu tentang kasus yang meliputi tentang segala hal, di antaranya kasus rumah tangga, penganiayaan, pembunhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Dan banyak orang yang menyebut bahwa orang yang memiliki iman yang lemah (al imanu yanqush), juga ada yang menyebut bahwa ketika melukukan ia dalam keadaan insyaf, ada juga yang mengatakan orang tersebut tidak menjalankan nilai-nila agama dengan baik atau yang seharusnya. Sebagai wujud dari bentuk suatu keberagamaan, yang sangat berkaitan erat dengan kesadaran iman dan titikberatnya adalah suatu agama dan yang paling utama adalah aqidah sebagai pembangunan suatu kepercayaan atau keimanan.



B.     Permasalahan
1.      Bagaimana iman menurut filosof islam?
2.      Bagaimana proses kesadaran iman seseorang?
3.      Bagaimana pengembangan kualitas iman?










C.    Pembahasan Arus Kesadaran Beriman
Menurut KBBI arus adalah peredaran atau persebaran, sedangkan kesadaran adalah keinsyafan, keadaan mengerti dan hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah gejala kewajiban yang ditandai oleh tumbuhnya pengertian sebagai produk kemampuan interaksi manusia.
Kata iman secara bahasa berasal dari bahasa arab, yang merupakan bentuk mashdar dari amana, yu’minu, imanan yang memiliki beberapa arti, di antaranya percaya, aman, melindungi, setia, atau menempatkan sesuatu pada tempat yang aman. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kebangkitan, dan qadha’ dan qadar-Nya.”(HR. Bukhari).[1]
Menurut salah seorang filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan  hal-hal yang bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Illahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (fa`il) selain Allah SWT. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, di antaranya membatasi sebab pembuat (illah fa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selain Allah SWT. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekadar wasilah (perantara).
Keimanan merupakan keyakinan hati yang diucapkan dengan lisan dan dikerjakan oleh jasmani, dengan kata lain keimanan seseorang bukan hanya diucapakan oleh lisan dan keyakinan hati saja tetapi juga implementasi untuk melaksanakan ibadah yang hubungannya kepada Allah SWT dan yang hubungannya dengan manusia.
Dari penjelasan  di atas dapat disimpulkan bahwa arus kesadaran beriman adalah proses keimanan seseorang untuk meyakini ke-Esaan Tuhan yang sejati baik jasmani maupun rohani yang diimplementasikan pada kehidupan dengan ibadah yang hubungannya dengan Allah (hablumminallah) maupun hubungannya dengan manusia (hablumminannas).
Iman kepada Tuhan yang diajarkan di setiap agama dimaksudkan untuk menjadi proses transendental aktivitas kehidupan manusia menuju satuTuhan. Pada tahap ini agama adalah rahmatan lil ‘alamin yang melahirkan akhlak yang shalih sebagai implementasi dari iman seseorang.[2] Jika seseorang melakukan suatu perbuatan hukum, maka dalam diri orang tersebut telah berlangsung sekian banyak proses kejiwaan dalam dirinya. Sebelum berbuat, sudah pasti telah tumbuh kesadaran bahwa manusia perlu memberi respon terhadap petunjuk yang diturunkan oleh Allah. Kesadaran inilah yang kemudian melakukan monitoring dan control, Sebagai proses membuat interpretasi, proses kejiwaan seseorang yang beriman sebelum melakukan perbuatan hukum didahului oleh suatu tahap penentuan keputusan untuk berbuat yang dilatar belakangi oleh nilai iman yang terdapat di dalam dirinya.[3]
Dengan adanya Allah yang hakiki, kesadaran beriman dimulai saat orang yang beriman mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan menerima ajaran islam sebagai suatu gejala kejiwaan. Mengucap syahadat berarti seseorang telah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Ketika orang tersebut melakukannya dengan sepenuh hati, maka di dalam dirinya telah tumbuh kesadaran beriman dengan tingkat tertentu. Dalam versi lain orang memeluk agama islam dimulai pada masa baligh, karena pada masa itu manusia sudah dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk, dan bisa dikatakan sudah memiliki kesadaran beriman.
Pada hakikatnya manusia tidak akan benar-benar mampu meredam suara keimanan-keimanan dalam dirinya. Oleh karena itu ketika manusia dalam keadaan kosong atau lidahnya tergelincir, secara diam-diam  atau secara tidak sadar dia akan segera mengakui bahwa dia memiliki pencipta yang telah menciptakan langit dan bumi. Seperti contoh yang pernah seorang terjadi, pada sebuah peristiwa seorang atheis yang berprofesi sebagai pilot, dan ketika dia mengendalikan pesawat terbang dan sedang berada dalam bahaya, dan ketika itu pesawat yang dikemudikannya menemui badai, dan secara refleks atau ta sadar dia bilang “Oh my God”, hal ini menunjukkan jika dia, pada hakikatnya bertuhan. [4]
Dalam mengembangkan keimanan maka seseorang akan melalui tahapan-tahapan yaitu :
1.      Kesadaran beragama pada masa anak-anak
Pada waktu lahir, anak belum beragama. Namun ia mempunyai potensi keimanan atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang beragama. Tetapi dalam potensi kejiwaan dia telah mempunyai dasar-dasar kehidupan bertuhan di antaranya adalah keimanan. Adapun ciri-ciri umum kesadaran beragama yakni beraneka ragam dari masa ke masa, adapun pada masa anak-anak adalah:
a.    Peribadatan yang dilakukan oleh anak-anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati atau dipahami. Pengalaman keberagamaan yang dimiliki sang anak masih bersifat afektif, emosional,danegosentris.
b.    Keimanannya masih bersifat magis dan antropomorphis yang berkembang menuju fase realistis.
2.      Kesadaran beragama pada masa remaja
Pada masa remaja yang berada dalam fase transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka dari sini dapat diketahui bahwa kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Pada masa remaja keadaan jiwanya masih cenderung labil dan mengalami kegoncangan, gaya pemikiran abstrak logik, dan kritik mulai berkembang dan emosinya semakin berkembang. Keadaan jiwa remaja yang seperti itu juga terlihat dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan, kegalauan, dan konflik batin. Adapun ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja adalah :
a.    Peribadatannya mulai disertai penghayatan yang tulus.
b.    Pengalaman ketuhanannya makin bersifat individual.
c.    Keimanannya menuju relitas yang sebenarnya.[5]
Jadi kesadaran beragama sangatlah penting, karena seseorang bisa selamat didunia dan akhirat karena diri seseorang mau sadar dan rindu akan penciptanya.
3.      Perkembangan kesadaran beragama.
Salah satu kelebiahn manusia sebagai makhluk Allah SWT adalah manusia dianugrahi fitrah untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-ajaran-Nya. Manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama). Karena fitrah ini manusia di juluki sebagai homo devinans dan homo religious yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama, hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh nabi Muhammad SAW bersabda :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tualah, anak itu menjadi yahudi, atau nasrani, atau majusi ....” (HR. Bukhari)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah dalam keberagamaan anak, jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablum minallah (vertical), maupun hablum minannas (horisontal). Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan.



a.       Faktor pembawaan (internal)
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah manusia memiliki fitrah (pembawaan) beragama (homo religius).
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif, berahaja, maupun yang sudah modern baik yang lahir di negara komunis, maupun kapitalis, sejak nabi Adam As sampai akhir zaman, menurut fitrah kejadiannya, hidup ada kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
b.      Faktor lingkungan (eksternal)
Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang, namun itu tidak akan terjadi jika tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus (rangsangan)  yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor tersebut adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.[6]
Jadi, perkembangan kesadaran beragama seseorang itu bisa naik dan turun (al imanu yazid wal yanqush). Di hadapan Allah SWT ada beberapa faktor pendukungnya seperti : orang tua, bawaan, dan lingkungan.

D.    Analisa
Dari pembahasan di atas, setiap orang memiliki kesadaran beriman yang berbeda, ada yang memiliki keimanan yang kuat dan ada yang memiliki keimanan yang lemah, tinggal pribadinya sendiri-sendiri, dan faktor lingkungan yang berada di sekelilingnya. Iman seseorang bisa naik dan juga bisa berkurang tinggal orang melakukan pemeliharaan terhadap keimanannya sendiri. Dan pada hakikatnya manusia dilahirkan dengan fitrah beragam yang sudah memiliki keimanan dan ketuhanan. Hanya yang membuat anak beragama selain islam adalah hanya karena faktor orang tua yang membuat anak menjadi non-muslim. Kesadaran beriman dimulai dari fase anak-anak dan berkembang pada masa anak dan pada masa remaja. Namun dalam zaman modern saat ini, iman seseorang mudah sekali hilang, apalagi jika itu telah mencakup materi yang banyak. Saat ini kebanyakan seseorang menganggap materi atau harta lebih penting, padahal semua itu adalah pemberian Allah, atau titipan Illahi. Mereka juga sadar akan hal tersebut, akan tetapi karena iman yang begitu lemah mereka mudah sekali terhasut dan terjerumus. banyak manusia yang sudah terjerumus ke dalam lembah kekufuran, banyak yang ingin mencari materi yang banyak dengan jalan yang instan seperti dengan jalan pesugihan, tuyul, dan lain sebagainya.
Muslim masa kini bisa kita lihat dan bisa kita bandingkan antara umat islam yang memeluk islam dari kecil atau islam (kultural) dengan orang yang memeluk islam karena memang sadar dari hat atau bisa disebut dengan muallaf, ketika melihat orang muallaf, ataupun orang islam di lingkungan perkotaan, arus kesadaran berimannya tinggi meskipun ketika sholat mereka sangat kesulitan dalam gerakan shalat seperti kesulitan pada duduk antara kedua sujud, akan tetapi kesadaran beriman mereka sangat tinggi hal ini bisa dilihat dari kesadaran menunaikan ibadah qurban yang dilakukan umat muslim muallaf (orang yang baru masuk islam), dan juga orang yang hidup di perkotaan, atau masyarakat kota. Jika dibandingkan dengan umat muslim yang memeluk agama islam mulai dari baligh atau biasa disebut islam kultural, tidak sedikit mereka yang memeluk islam secara kultural, biasanya memiliki kesadaran beragama yang rendah dalam hal qurban, meskipun bisa terlihat kalau masyarakat islam kultural tampak masjidnya sangat ramai, gerakan sholatnya bisa dikatakan sempurna, akan tetapi untuk menunaikan ibadah qurban mereka kurang tertarik dan bisa dikatakan tidak mau menunaikan qurban dengan berbagai alasan, meskipun mereka mampu. Walaupun dilaksanakan qurbannya dengan kambing yang tidak super atau quban sapi, akan tetapi melalui perhitungan yang sangat rinci. 

E.     Kesimpulan
a.       Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il)selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah fa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selain Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekadar wasilah (perantara).
b.      Iman kepada Tuhan yang diajarkan di setiap agama dimaksudkan untuk menjadi proses transendental aktivitas kehidupan manusia menuju satu Tuhan. Pada tahap ini agama adalah rahmatan lil ‘alamin yang melahirkan akhlak yang shalih sebagai implementasi dari iman seseorang. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan hukum, maka dalam diri orang tersebut telah berlangsung sekian banyak proses kejiwaan dalam dirinya. Sebelum berbuat, sudah pasti telah tumbuh kesadaran bahwa manusia perlu member respons terhadap petunjuk yang diturunkan oleh Tuhan.

Kesadaran beriman dimulai saat orang yang beriman mengucapkan kalimat syahadatain sebagai pernyataan menerima ajaran islam sebagai suatu gejala kejiwaan. Ketika orang tersebut melakukannya dengan sepenuh hati, maka di dalam dirinya telah tumbuh kesadaran beriman dengan sungguh-sungguh.
c.       Kesadaran beriman pada masa anak-anak
Saat lahir, anak belum beragama. Namun ia mempunyai potensi keimanan atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang beragama. Tetapi dalam potensi kejiwaan dia telah mempunyai dasar-dasar kehidupan bertuhan diantaranya adalah keimanan. Adapun ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak adalah:
c.       Peribadatan yang dilakukan oleh anak-anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati atau dipahami. Pengalaman keberagamaan yang dimiliki sang anak masih bersifat afektif, emosionaal, dan egosentris.
d.      Keimanannya masih bersifat magis dan antropomorphis yang berkembang menuju fase realistis.
Kesadaran beragama pada masa remaja
Pada masa remaja yang berada dalam fase transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka dari sini dapat diketahui bahwa kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Pada masa remaja keadaan jiwanya masih cenderung labil dan mengalami kegoncangan, gaya pemikiran abstrak logik, dan kritik mulai berkembang dan emosinya semakin berkembang. Keadaan jiwa remaja yang seperti itu juga terlihat dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan, kegalauan, dan konflik batin. Adapun ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja adalah :
a.       Peribadatannya mulai disertai penghayatan yang tulus.
b.      Pengalaman ketuhanannya makin bersifat individual.
c.       Keimanannya menuju relitas yang sebenarnya.
·         Perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan.

a.       Faktor pembawaan (internal)
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah manusia memiliki fitrah (pembawaan) beragama (homo religius).
Setiap manusiayang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif, berahaja, maupun yang sudah modern baik yang lahir di negara komunis, maupun kapitalis, sejak nabi Adam As sampai akhir zaman, 1menurut fitrah kejadiannya hidup ada kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
b.      Faktor lingkungan
Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang, namun itu tidak akan terjadi jika tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus yang memungkinkan fitroh itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor tersebut adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.























DAFTAR PUSTAKA

M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003
Musa Asy’ari, Islam KeseimbanganRasional, moralitasdan Spiritual, LESFI, Yogyakarta; 2005

Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003

Adnan Syarif, PsikologiQur’ani, PustakaHidayah, Bandung; 2002









[1]M. Amin Syukur, TasawufKontekstual, PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003, Hal 107-108
[2]Musa Asy’ari, Islam KeseimbanganRasional, moralitasdan Spiritual, LESFI,Yogyakarta; 2005, Hal 272
[3]Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, PustakaPelajar, Yogyakarta; 2003, Hal 122
[4]Adnan Syarif, PsikologiQur’ani, PustakaHidayah, Bandung; 2002, Hal 28
[5] Ahyadi Abdul Azis. Psikologi agam kepribadian muslim pancasila. Bandung : pustaka. 1987 : hal 37.
[6] Yusuf syamsu. Psikologi  perkembangan anak dan remaja. Bandung. Remaja rosda karya. 2009 : hal. 136-138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar