Rabu, 24 Desember 2014

PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA UNTUK MENJADIKAN MANUSIA BERAGAMA



            Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Pendidikan bukan hanya sebuah kewajiban, lebih dari itu pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. 
            Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. 
            Agama merupakan sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan hal tersebut agama mencakup tiga dimensi yaitu keyakinan (aqidah), hukum (syariat), dan norma (akhlak). Ketiga dimensi itu dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan menjalankan agama, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan beragama dengan baik, jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional sehingga dia pasti berbahagia.
            Dalam dimensi aqidah atau keyakinan, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah. Adapun syari’at adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal budi yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan.
            Pendidikan agama merupakan bagian penting dalam pendidikan untuk membentuk insan kamil. Agama islam sebagai bagian dari sejumlah agama didunia, merupakan agama yang mempunyai pandangan hidup bahwa dunia adalah sesuatu yang fana dan permainan belaka. Manusia beragama akan lebih mementingkan kehidupan akhirat sehingga ia akan menjadikan dunia ini sebagai lapangan kebijakan untuk memperoleh kehidupan yang sempurna diakhirat kelak.
            Salah satu jalan untuk mencapai kehidupan kamil ini adalah dengan adanya pendidikan agama, lebih khusus yakni  pendidikan agama islam sebagai agama yang dipeluk oleh sebagaian besar penduduk  Indonesia. Namun demikian realitanya menunjukkan adanya kegagalan pendidikan agama islam dilingkungan kita.
Pada era globalisasi ini, kehidupan diseluruh dunia sedang dilanda keprihatinan yang luar biasa akibat proses modernisme yang bersifat mengglobal. Proses modernisasi adalah dampak dari kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi yang akibatnya tidak ada tidak ada masyarakat yang bisa melepaskan diri dari peradaban global, terutama masyarakat pendidikan.
Amin syukur, dalam pengantar buku tasawuf dan krisis, menyebut masa ini sebagai masa pasca modernisasi, yang ditandai dengan krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Menurutnya, orang-orang terutama di wilayah urban dan sub urban, merasakan bahwa kehidupan disekitar mereka semakin keras dan sulit serta penuh kriminalitas. Syukur menilai, semula banyak orang yang terpukau pada modernisme, meraka mrnyangka bahwa dengan adanya modernism itu akan serta merta membawa kesejahteraan. Meraka lupa dibalik medarnisme yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony modernization yaitu seperti meningkatnya gejala-gejala kriminalitas yang disertai tindak kekerasan.
Merambatnya paham modernisme pada segi kehidupan juga membawa persoalan tersendiri bagi orang yang berpendidikan. Pengaruh dari modernisme ini akan mengakibatkan agamanya rusak dan pendidikan agamanya juga akan rusak. Dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan di media yang menyebutkan kenakalan remaja terutama anak sekolah, semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi yang tidak terbedung lagi.
Menurut era reformasi di Indonesia, pembinaan anak mempunyai nilai yang sangat strategis dalam mewujudkan reformasi. Reformasi yang dilandasi  akhlak mulia hanya akan menjadi slogan semata, nilai-nilai akhlak mulia sebagaimana diajarkan agama islam harus menjadi landasan gerakan reformasi. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan sama dengan sekumpulan hewan yang tidak memahami makna penting kehidupan.
Masyarakat Indonesia dituntut untuk mengokohkan tekad dalam pembinaan akhlak dan dapat dilakukan dengan memberi pengertian bahwa akhlak itu dapat menjadi pengontrol sekaligus alat penilaian terhadap kesempurnaan seseorang dapat dilihat dari perilaku seseorang dalam pergaulan bermasyarakat, yang bermoral dan berakhlak. Ketinggian iman seseorang dapat dilihat dari ketinggian moral dan akhlaknya ditengah-tengah masyarakat.
Penerapan pendidikan agama islam dalam membentuk akhlakul karimah dalam pendidikan ini sangat penting, karena untuk mengembalikan moral dan akhlak yang mulia, agar manusia menjadi manusia yang kamil dan beragama. Agama tidak hanya sebagai status saja tetapi agama juga mempunyai aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap manusia. 

            Pendidikan agama islam sebagai bagian dari pendidikan agama islam merupakan salah satu bagian dalam mencapai tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia yang kamil atau manusia yang beragama. Transfer of Knowledge merupakan mata tombak utama dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama ajaran agama islam. Dimana dengan adanya pendidikan ini maka ajaran-ajaran agama dapat diwariskan kepada generasi berikutnya dan benar-benar terinternalisasi dalam generasi mendatang.

KONSEP TENTANG PENDIDIKAN ANAK USIA DINI



Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, non formal, dan informal.
Bentuk-bentuk Paud terdiri dari :
1.             PAUD Formal: TK, Raudhatul Atfal (RA).
2.             PAUD Non Formal: Kelompok Bermain (KB), Taman Pendidikan Anak (TPA), Pos Paud dan lain-lain.
3.             PAUD Informal: Keluarga
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2005, PAUD termasuk dalam jenis pendidikan non formal. Pendidikan non formal selain PAUD yaitu Tempat Penitipan Anak (TPA), Play Group dan PAUD Sejenis. PAUD sejenis artinya PAUD yang diselenggarakan bersama dengan program Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu untuk kesehatan ibu dan anak). Sedangkan pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), PAUD dimasukkan kedalam program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini ini disebut juga sebagai  masa emas (golden age).
Sebagai orang tua kita ingin memberikan pendidikan yang terbaik pada anak-anak kita. Dan hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, memilihkan sekolah yang baik buat anak-anak kita. Saat memasukan anak-anak kita ke playgroup berbeda dengan TK, karena yang diutamakan adalah beradaptasi / sosialisasi dengan teman sebayanya disamping ada tujuan lain diantaranya : bermain & bersenang-senang, sharing, merasakan "menang dan kalah", melatih kreatifitas anak. 
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan 5 perkembangan, yaitu : perkembangan moral dan agama, perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan / kognitif (daya pikir, daya cipta), sosio emosional (sikap dan emosi) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan sesuai kelompok usia yang dilalui oleh anak usia dini seperti yang tercantum dalam Permendiknas no 58 tahun 2009.
Berdasarkan tinjauan secara psikologi dan ilmu pendidikan, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau fondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Apa yang diterima anak pada masa usia dini, apakah itu makanan atau minuman, serta stimulasi dan lingkungannya memberikan kontribusi yang sangat besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa itu dan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. 
Pada hakikatnya anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan. Ia memiliki karakteristik  yang  khas dan  tidak sama dengan orang dewasa serta akan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya. Dalam hal ini anak merupakan seorang manusia atau individu yang memiliki pola perkembangan dan kebutuhan tertentu yang berbeda dengan orang dewasa. Anak memiliki berbagai macam potensi yang harus dikembangkan. Meskipun pada umumnya anak memiliki pola perkembangan yang sama, tetapi ritme perkembangannya akan berbeda satu sama lainnya karena pada dasarnya anak bersifat individual.
Setiap tahapan usia yang dilalui anak akan menunjukkan karakteristik yang berbeda. Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak  haruslah memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan perkembangan. Apabila perlakuan yang diberikan tersebut tidak didasarkan pada karakteristik perkembangan anak, maka hanya akan menempatkan anak pada kondisi yang menderita.    
Berkaitan dengan anak usia dini, terdapat beberapa masa yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bagaimana seharusnya seorang pendidik menghadapi anak usia dini, sebagai berikut:
1.       Masa Peka
2.       Masa Egosentris
3.       Masa Meniru
4.       Masa Berkelompok
5.       Masa Bereksplorasi
6.       Masa Pembangkangan
Secara umum tujuan Pendidikan Anak Usia Dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, sehingga dapat mengurangi usia putus sekolah dan mampu bersaing secara sehat di jenjang pendidikan berikutnya.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
·               Infant yaitu masa bayi dari lahir sampai usia 12 bulan / 1 tahun.   
·               Toddler yaitu masa kanak-kanak / balita (2-3 tahun).
·               Preschool/ Kindergarten children yaitu masa prasekolah (3-6 tahun).
·               Early Primary School, yaitu masa sekolah dasar (6-8 tahun).    
Berdasarkan tujuan pendidikan anak usia dini dapat ditelaah beberapa fungsi pendidikan anak usia dini, yaitu:
a.              Fungsi Adaptasi 
Berperan dalam membantu anak melakukan penyesuaian diri dengan berbagai kondisi lingkungan serta menyesuaikan diri dengan keadaan dalam dirinya sendiri. Dengan anak berada di lembaga pendidikan anak usia dini, pendidik membantu mereka beradaptasi dari lingkungan rumah ke lingkungan sekolah.anak juga belajar mengenali dirinya sendiri.
b.             Fungsi Sosialisasi
Berperan dalam membantu anak agar memiliki keterampilan-keterampilan sosial yang berguna dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari dimana ia berada. Di lembaga pendidikan anak usia dini anak akan bertemu dengan teman sebaya lainnya. Mereka dapat bersosialisasi, memiliki banyak teman dan mengenali. 
c.              Fungsi Pengembangan  
Di lembaga pendidikan anak usia dini ini diharapkan  dapat pengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Setiap unsur potensi yang dimiliki anak membutuhkan suatu situasi atau lingkungan yang dapat menumbuhkembangkan potensi tersebut kearah perkembangan yang optimal sehingga menjadi potensi yang bermanfaat bagi anak itu sendiri maupun lingkungannya.
 d.     Fungsi Bermain
Berkaitan dengan pemberian kesempatan pada anak untuk bermain, karena pada hakikatnya bermain itu sendiri merupakan hak anak sepanjang rentang kehidupannya. Melalui kegiatan bermain anak akan mengeksplorasi dunianya serta membangun pengetahuannya sendiri. 
Untuk memenuhi aspek-aspek dalam perkembangan anak baik aspek fisik, kognitif, sosial emosional dan bahasa serta aspek lainnya seperti agama dan moral, kemandirian dan seni), maka perlu dilakukan berbagai prinsip yang meliputi:
1.             Berorientasi pada kebutuhan anak
2.             Belajar melalui bermain
3.             Pendekatan berpusat pada anak
4.             Pendekatan kontruktivisme
5.             Pendekatan kreatif dan inovatif
6.             Lingkungan yang kondusif
7.             Menggunakan pembelajaran terpadu
8.             Pengembangan tematik
9.             Menggunakan berbagai media dan sumber belajar
10.         Mengembangkan berbagai kecakapan hidup.

KONSEP PENDIDIKAN WALISANGA DI PULAU JAWA



Proses masuknya agama islam di pulau Jawa tidak terlepas dari pengaruh para wali yang dikenal dengan sebutan “WALISANGA”. Konsep WALISANGA hingga kini masih memiliki pengaruh besar di kalangan santri tradisional sebagai bentuk kepercayaan kepada orang-orang yang disucikan dan dijadikan sebagai panutan atau wasilah (tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan ). Konsep Walisongo yang dipegang kalangan santri tradisional ini pada hakikatnya merupakan wujud kompromis dan “permisif “ atas tradisi-tradisi lokal Jawa. Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak semurni yang diajarkan Nabi  Muhammad Saw. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i. Ulama sufi yang tergolong awal datang ke Nusantara adalah Maulana Burhanuddln dari India, ia adalah seorang penganut Tarekat Qadiriyyah dan mazhab Syafi’i yang berpengaruh di Sumatera dan Malaka. Kemudian disusul oleh Maulana Malik Ibrahim, yang mempunyai pengaruh besar di Jawa. Berdasarkan pengaruh kedua tokoh ini, dapat dilihat bahwa proses Islamisasi di Indonesia pada awalnya hanya dipengaruhi dua hal pokok, yakni tasawuf atau tarekat dan Mazhab fiqih. Dampak yang dibawa tasawuf sampai sekarang tetap menjadi bagian dari kultur kaum santri sebagai kelompok “permisif” dan kompromis terhadap tradisi dan budaya lokal Jawa. Tradisi dan budaya lokal masyarakat Jawa yang Hinduistis-Budhistis diperlakukan sebagai salah satu faktor yang banyak memberikan andil dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi oleh WALISANGA. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional. Budaya Walisongo yang sampai sekarang masih melekat di kalangan santri adalah kepercayaan kepada orang-orang suci yang dikeramatkan dan dijadikan panutan sebagai wasilah atau tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan bagi segala kesulitan. Tokoh- tokoh tarekat dianggap sebagai sosok manusia kharismatik yang mengetahui alam gaib dan segala ihwal dunia suprarasional. Penghormatan kepada figur-figur tarekat melebihi penghormatan kepada ulama yang oleh Allah sendiri nyata-nyata dimuliakan karena keilmuan dan kepeduliannya pada kehidupan sosial masyarakatnya. Doktrin-doktrin jabariy ini ternyata memperoleh sambutan dari raja-raja Jawa, sebagai pihak penguasa yapg berkehendak keras mempertahankan status quo, termasuk penjajah Belanda di kemudian hari. Penghormatan dan kultus kepada para raja sebagai wakil Tuhan di muka bumi sebagaimana doktrin raja-raja Hindu, tampak semakin memperlicin Islam menembus dinding-dinding istana sebagai salah satu jalur suprastruktur yang mesti diislamkan. Perkawinan dengan puteri-puteri raja adalah salah satu strategi para pendakwah yang sangat efektif. Melalui perkawinan-perkawinan macam itu, lahir kerajaan-kerajaan Islam yang besar seperti kerajaan Islam Demak.
Media wayang yang dijadikan sarana dakwah Islam Walisongo sebenarnya tidak semata-mata mengefektif-efisienkan penyebaran Islam. Di pihak lain, seni wayang makin memperjelas justifikasi dan dukungan kepada posisi raja dan memperkuat penghormatan atas- nya dalam status quo. Dalam cerita wayang ini, seorang punakawan -betapapun cerdik, pandai, dan keturunan dewa -akan tetap menempatkan para raja dan keturunannya sebagai manusia paling mulia dan harus selalu diagungkan, dihormati, dan dipatuhi segala sabdanya. Secara politis, seni pewayangan di Jawa ingin memproklamasikan “raja” simbol penguasa -sebagai manusia nomor wahid. Sekalipun seorang raja yang sah itu zalim dan tiran, ia tetap diperlakukan sebagai wali ad-dahr. “Mendukung raja zalim lebih baik ketimbang berbuat makar.” Demikianlah imbas politik pemerintahan para wali di Jawa, yang sampai sekarang masih melekat di hati kaum santri yang memahami persoalan kepemimpinan (imamah) Sunni Umpamanya saja, pola-pola monarki sebagai salah satu budaya bangsa Persia sudah akrab dengan tradisi masyarakat Muslim Jawa. Pendekatan budaya semacam ini memiliki kelebihan tersendiri dalam pro- ses Islamisasi di Indonesia. Proses pembentukan tatanan masyarakat Islami dilakukan sebagai proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus-menerus. Proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai itu akhimya mampu menciptakan individu-individu dan masyarakat yang bersendikan Islam sebagai pelaku perubahan sosial itu sendiri Perubahan yang dilakukan dapat menciptakan pembebasan dari budaya kebergantungan. Yang disebut terakhir ini belum dirasakan hasilnya oleh sebagian besar umat Islam.
Dimensi keilmuan dan kesalihan memang disepakati sebagai tolok ukur keulamaan seseorang. Akan tetapi, di kalangan santri, ada tolok ukur lain yang bisa meningkatkan martabat dan kedudukan seseorang melebihi ulama lain, yakni ma’rifah. Al-Ghazali menjadikan ma’rifah sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf. Penghayatan ma’rifah dan alam gaib yang disodorkan ajaran tasawuf dirasakan mampu memberikan penyaluran bagi kepuasan ruhani, terutama ketika Islam berada dalam masa kemunduran fisik, intelektual, dan politik. Dalam masa itu, barangkali kompensasi atas kebahagiaan dengan penghayatan yang serba mistik dan serba gaib mungkin wajar. Namun, dalam masa sekarang yang sudah cenderung materialistis ini, kepuasan ruhani yang bersifat individualistik sudah saatnya ditinggalkan, karena sejarah membuktikan bahwa organisasi tarekat sebagai lembaga dakwah memberikan pengajaran dan pendidikan yang bersifat individual semata. beberapa tradisi Walisongo untuk masa dan zaman semodern ini tidak seluruhnya ditelan mentah-mentah, dibuang jauh-jauh, dan tidak perlu disikapi secara a priori sebelum mengenali secara benar dan baik. Sikap a priori terhadap tradisi dan budaya Walisongo hanya akan melahirkan kebutaan yang berkepanjangan. Sebaliknya, sikap arif dan bijaksana untuk mempertahankan nilai baik dan menerima nilai baru yang lebih bermanfaat setidaknya me rupakan sikap yang tidak frontal dan tak defensif dalam menghadapi ketimpangan dan kebobrokan sosial yang ada selama ini. Bukankah budaya Walisongo yang dianut kaum santri selama ini adalah sikap kompromis dan “permisif “ atas tradisi lokal Semuanya bergantung pada improvisasi kita dalam memodifikasi kekayaan warisan budaya itu agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.