Sabtu, 20 Desember 2014

(Interrelasi filsafat pendidikan Islam dengan ilmu-ilmu Islam) Hubungan antara Filsafat dan Tasawuf



Filsafat dan Tasawuf saling berhubungan yaitu dengan adanya Tasawuf Falsafi. Perkembangan tasawuf sebagai  jalan dan latihan untuk membentuk kesucian batin dalam upaya menuju kedekatan dengan Tuhan menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari sinilah tampil sejumlah sufi yang sekaligus filosof. Karena itu ide-ide dan konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi, tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Dalam islam ada dua bentuk tasawuf yaitu, bercorak religius dan bercorak filosofis. Tasawuf yang bercorak religius adalah tasawuf yang berkaitan dengan semua agama, baik agama-agama langit atau agama purba, sedangkan tasawuf yang bercorak filosofis, sejak lama sudah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat Yunani, maupun di Eropa abad pertengahan.
Tasawuf religius adakalanya berpadu dengan Tasawuf filosofis, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa sufi muslim. Oleh sebab itu, pada diri seorang filosofis terjadi kecenderungan intelektual dan mistik secara terpadu. Perpaduan antara bentuk tasawuf bercorak religius dengan bentuk tasawuf bercorak filosofis inilah yang menjadi embrio lahirnya “tasawuf falsafi” dalam sufisme. Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya  memadukan antara visi mistis dengan visi rasional atau perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Tasawuf Falsafi ini banyak dipengaruhi oleh ajaran filsafat di luar islam seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, tetap menjaga kemandirian ajaran aliran mereka terutama bila dikaitkan dengan kedudukan sebagai umat Islam. Ajaran filsafat yang melandasi tasawuf falsafi sebagian besar adalah paham emanasi baik dari filsafat yunani (Neo-platonisme) maupun paham emanasi yang lain.
Keberadaan Tasawuf bercorak Falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.

Apabila diperhatikan cara kerja filsafat adalah mengukur segala sesuatu menurut akal pikiran. Namun dengan munculnya filsafat aliran neo-platonisme, filsafat lebih menjauhi wewenang akal dan mulai menyentuh hal yang lebih metafisik atau supranatural, terutama dalam persoalan pengenalan diri manusia di hadapan Tuhan. Ungkapan neo-platonisme misalnya, “kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H. Ciri umum tasawuf falsafi menurut at-Taftazani adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf Falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Tasawuf Falsafi menggunakan pendekatan rasio (akal pikiran). Pada Tasawuf Falsafi digunakan teori-teori filsafat seperti konsep tentang manusia (antropologi), konsep mengenali Tuhan dan hubungannya dengan manusia (teologi), serta konsep tentang alam semesta (kosmologi). Dalam hal ini sufi merasakan dapat berhubungan langsung dengan Tuhan bahkan bersatu secara rohani dengan-Nya. Dalam konteks inilah muncul doktrin-doktrin yang berkembang dalam tasawuf falsafi, diantaranya fana’, baqa’, ittihad, hulul, wahdatul wujud, dan insan kamil. Jadi Tasawuf Falsafi telah mengubah corak tasawuf yang pada awalnya hanya sekedar menekankan sikap zuhud dan wara’ menjadi kecenderungan panteistik.
Para sufi memandang manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan yang kemudian melahirkan konsep mistis semi filosofis “ittihad” yaitu suatu tingkatan tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Konsep Ittihad ini dibangun oleh Abu Yazid al-Bustami. Diantara syatahiyyat (ungkapan yag sulit dipahami) diungkapkan oleh al-Bustami adalah: “Tiada Tuhan selain dari Aku, maka sembahlah Aku”. “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, alangkah Maha Agungnya keadaan-Ku”. “Tiada ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”. Konsep “hulul” yaitu suatu paham yang mengatakan bahawa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan. Konsep hulul ini dialami oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsure, yaitu unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsur Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan Tuhan dan Manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul. Al-Hallaj juga mengungkapkan syatahiyyat sebagaimana diungkapkan oleh al-Bustami, seperti: “Aku adalah yang Haq”. Konsep hulul ini berkembang lebih mendalam pada Ibn ‘Arabi dengan konsep Wahdatul Wujud. Dalam konsep ini Ibn ‘Arabi merubah Nasut menjadi al-khalaq dan lahut menjadi al-Haq. Kedua unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk, sebagai aspek lahir dan aspek batin. Ibn ‘Arabi mengungkapkan: “Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah esensinya sendiri”. Konsep “isyraqiyah” yang dirumuskan oleh suhrawadi al-Maqtul, al-Hikmah al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulia shadra.
Tasawuf Falsafi mencapai puncak kesempurnaan dalam pengajaran Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibn ‘Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat membuatnya mampu menghasilkan karya yang  diantaranya, al-Futuhad al-Makkiyah dan fushush al-Hikam. Dan Tasawuf Falsafi ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat hubungan alam manusia dengan Tuhan secara mistis-filosofis baik dalam bentuk ittihad (penyatuan), hulul (inkarnasi), wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Berdasarkan pandangan filsafat emanasi para tokoh tasawuf falsafi berkesimpulan bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya (al-nafs, al-lahut) dari materi (al-jizm, al-nasut) dan nantinya akan memperoleh limpahan sinar ilahi secara langsung (ma’rifat) setelah melewati pengalaman fana’, dari terminal fana’ inilah akan diperoleh pengalaman ketuhanan berikutnya, seperti ittihad, hulul dan wahdat al-wujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar