Telah
kita ketahui bahwa Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk memuliakan dan
memperbaiki pendidikan anak. Hal ini dilakukan agar anak-anak tetap mulia,
terhormat, dan berkarakter baik.
Dalam
rangka mendidik anak, anak acap kali melanggar nasihat yang diberikan oleh
pendidik. Hal ini bisa disebabkan oleh lingkungan dan pergaulan anak. Di sisi
lain, rasa keinginan tahuan anak untuk
mencoba hal yang baru juga dapat mendorong anak untuk melanggar norma yang ada
dan melakukan kesalahan yang disengaja maupun tidak. Melihat anak melanggar
norma terkadang seorang pendidik memberikan hukuman pada anak tersebut.
Asumsi
yang berkembang dalam masyarakat era ini adalah setiap kesalahan harus
memperoleh hukuman. Begitu pun Tuhan akan menghukum setiap orang yang salah.
Secara logika teori tersebut adalah benar adanya. Namun dalam konteks ini
hukuman tidak harus berkonotasi negatif. Karena pada hakikatnya hukuman
merupakan cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan
harapan.
Menurut
Al-Ghazali hukuman adalah suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja
menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan memperbaiki atau melindungi
dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari
segala macam pelanggaran.
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa hukuman hanya ditujukan untuk mendidik serta
memperbaiki kesalahan yang dilakukan anak didik. Hukuman merupakan tuntunan
atau perbaikan akhlak anak didik, bukan hardikan atau balas dendam.
Seorang
pendidik yang menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan seyogyanya mengetahui
bukan sekadar teknis saja, melainkan juga menyangkut batin atau pribadi anak.
Pendidik haruslah mempelajari dulu tabiat serta sifat anak didiknya sebelum
memberikan hukuman.
Jadi daapat kita
simpulkan bahwa hukuman dapat dikenakan pada peserta didik jika dia telah
melakukan kesalahan atau melanggar norma. Hukuman tersebut juga harus didasari
oleh kasih sayang, meskipun hukuman itu berupa pukulan pada anak didik.
Menurut pendapat Prof. Dr. Muh. Athiyah
Al-abrosyi, pukulan (hukuman badan) akan bermanfaat apabila dengan adanya
persyaratan sebagai berikut:
a. Anak
tidak boleh dipukul sebelum ia berumur 10tahun
b. Pukulan
tidak boleh lebih dari 3 pukulan dan menggunakan tongkat kecil bukan dengan
tongkat besar
c.
Anak diberi
kesempatan untuk berrtaubatdari yang pernah ia lakukan dan memperbaiki
kesalahannya tanpa menggunakanpukulan .
Imam Al-Ghazali dapat
menerima terhadap hukuman badan terhadap peserta didik. Namun beliau tidak
sependapat jika memberi hukuman badan itu dengan tergesa-gesa. Dalam memberikan
hukuman badan Al-Ghazali menyatakan bahwa, “seyogyanya apabila pendidik/guru itu
melakukan pukulan kepada peserta didik jangan sampai anak didik menjerit dan
menimbulkan keributan, dan jangan sampai anak didik meminta tolong kepada orang
lain. Sebaliknya ia harus bertabah menerimanya, dan ia diperingatkan bahwa
bertabah menerima hukuman itu adalah sifat jantan, dan banyak jeritan itu
adalah sifat hamba sahaya dan wanita.”
Tidak
menimbulkan jeritan dan keributan oleh anak didik yang dihukum, berarti hukuman
itu dilakukan dengan tidak terlalu keras. Sebab jika terlalu keras akan menimbulkan
luka-luka di badan anak didik. Jika terjadi sampai demikian, dapat diartikan
bahwa pukulan itu tidak menunjukkan sebuah kasih sayang melainkan dilakukan
atas dasar balas dendam. Jadi, yang dimaksud hukuman badan di sini adalah
hukuman yang dilandasi kasih sayang, bukan balas dendam. Hukuman badan itu
seharusnya juga dapat memperbaiki kesalahan anak didik sehingga tidak mengulang
kesalahan yang sama.
Hal
ini berbeda dengan pendapat oleh Ibnu Sina.
Beliau menyatakan bahwa, “Pada pukulan yang pertama kali hendaknya yang
dapat menyakitkan, sehingga dapat menimbulkan efek yang mengesan, dan
menjadikan anak didik dapat mengetahui benar akibat hukumannya itu. Apabila
pukulan yang pertama tidak menyakitkan, maka ia akan menganggap enteng semua
pukulan-pukulan selanjutnya, dan ia menganggap pula hukuman itu dengan anggapan
yang remeh.”
Prof.
Dr. Muh. Athiyah Al-Abrosyi sependapat akan perlunya hukuman ini dan sebagian
yang dikatakan oleh Ibnnu Sina. Akan tetapi beliau tidak setuju dengan pendapat Ibnu Sina mengenai hukuman
badan dengan pukulan-pukulan yang menyakitkan karena menyakiti anak didik
mungkin saja menimbulkan kesan buruk dalam jiwanya, bahkan mungkin merusak
tubuhnya. Dikatakan oleh beliau bahwa yang lebih baik adalah mencari cara yang
sekiranya mendorong anak untuk tidak berbuat kesalahan dan upaya ini diteliti
sehingga dapat menghindari pukulan-pukulan yang menyakitkan.
Sedangkan
Ibnu Khaldun tidak setuju dengan kekerasan dalam mendidik anak. Hal ini
tercermin dari kata-kata beliau:
“Barang siapa yang
dididik dengan kekerasan dan paksaan antara siswa-siswa, para hamba sahaya, dan
pelayan maka mereka akan terpengaruhi oleh kekerasan dan paksaan itudan merasa
sempit jiwanya dalam perkembangannya, hilang kegesitannya, dan menjadikannya
malas serta mendorongnya ke arah dusta dan jahat karena takut terhadap
jangkauan tangan-tangan yang kejam. Dan selanjutnya mengajarkan
kepadanyaberontak dan menipu. Oleh karena itu, akhirnya sifat-sifat ini akan
menjadi kebiasaan dan perangai serta merusak nilai-nilai kemanusiaan yang ada
padanya.”
Dapat kita simpulkan bahwa hukuman, khususnya hukuman
badan sebagai alat pendidikan boleh saja dilakukan untuk memperbaiki kesalahan
anak didik serta hukuman harus didasari dengan kasih sayang. Memberikan hukuman
bukan berarti sebuah hardikan atau balas dendam. Pendidik seyogyanya tidak
hanya mengetahui teknik saja melain juga tabiat anak karena tujuan hukuman
hanya untuk mendidik. Jika seorang pendidik
salah dalam memberi hukuman bisa saja hal itu dapat menimbulkan efek negatif
pada anak didik. Hukuman justru menyakiti anak didik serta menimbulkan
kebencian serta dendam dalam hatinya. Hal ini tidaklah baik untuk perkembangan
emosional anak didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar