Sabtu, 20 Desember 2014

Formulasi Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Hasan Langgulung



(Agar Tercipta Sebagai Insan Kamil)
Dalam kaedah ushuliyah dinyatakan bahwa : ”al-umuru bimaqosidiha”, setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada maksud atau tujuan yang telah ditetapkan. kaedah ini menunjukan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Tatkala orang mendesain pendidikan, maka ia harus memulainya dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan pada dasarnya ditentukan oleh pandangan hidup (way of life) pendesain pendidikan tersebut.[1] Oleh karena itu, sebagai insan islami tujuan pendidikan Islam menjadi kompenen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan kompenen-kompenen pendidikan yang lain.
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Disamping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegitan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan.[2]
Dalam konsep Islam pendidikan itu berlangsung sepanjang kehidupan manusia, dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah dan sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana diungkapkan oleh hasan Langgulung bahwa “segala untuk menjadikan manusia ‘abid inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam”.[3]
Upaya dalam mencapai tujuan pendidikan harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin, walaupun pada kenyataannya manusia tidak mungkin kesempurnaan dalam berbagai hal. Tujuan pendidikan Islam mempunyai beberapa prinsip tertentu untuk menghantar tercapainya tujuan pendidikan Islam:[4]
1.        Prinsip universal (syumuliyah)
Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup.
2.        Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah).
Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3.        Prinsip kejelasan (tabayun).
Prinsip yang didalamnaya terdapat ajaran hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalbu, akal dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
4.        Prinsip tak bertentangan.
Prinsip yang didalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaanya, sehingga antara satu kompenen dengan kompenen yang lain saling mendukung.
5.        Prinsip realisme dan dapat dilaksankan.
Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan relistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosopolitik, dan sosiokultural yang ada.
6.        Prinsip perubahan yang diingini.
Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniyah dan nafsaniyah; serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nili-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan.
7.        Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.
Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta didik, baikciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.
8.        Prinsip dinamis
Dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.
Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Dalam konsep Islam manusia terbaik disebut dengan insan kamil, manusia sempurna yang didalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan sebagai pewaris Nabi.


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Cet V, PT Remaja Rosdakarya, Bandung; 2012, hal 72
[2] Ahamad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, Al-Ma’arif, Bandung; 1989, hal 45-46.
[3] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Pustaka Al-Husna, Jakarta; 1986, hal 57
[4] Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, (Terj Hasan Langgulung), Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta;1979, hal 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar