Sabtu, 09 Januari 2016

PERAN PROFETIK PADA MASYARAKAT KONTEMPORER



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Profetik merupakan suatu usaha seseorang untuk mengajak manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan memiliki integritas yang kuat serta memiki kekuatan dan pengetahuan spiritual agar mampu menghadapi segala kenyataan yang terjadi dalam era globalisasi saat ini. Melihat beberapa fenomena alam yang terjadi pada era globalisasi dunia tidak lagi menjadi fenomena keramat, kehidupan tidak lagi merupakan misterei yang tidak dapat diduga. Nasib manusia tidak lagi ditangan manusia super. Agama yang disuatu waktu bersekongkol dengan kemajuan manusia tidak diperlukan lagi. Protestantisme mempermudah perkembangan kapitalisme, tapi kini kapitalisme jaya berdasarkan pada landasan bersifat mekanik dan tidak lagi memerlukan dukungan agama.
Peradaban, paling tidak pada implikasinya, dapat dimaknai sebagai kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini demikian, karena sebuah peradaban mengharuskan adanya aspek kemajuan dan perbaikan taraf hidup kemanusiaan, baik segi materi maupun pengetahuan. Dakwah menyeru umat manusia agar hidup dalam sebuah masyarakat yang berkeadaban. Dalam Surat Ali Imran ayat 164 adalah kabar yang menegaskan, bahwa kepemimpinan profetik adalah karunia bagi orang-orang yang beriman. Menjadi karunia disebabkan para pemimpin profetik menjadi marga lantaran untuk mengetahui arah kehidupan, dan menjadi media migrasi dari gelap menuju cahaya, dari keterbelakangan menuju ilmu dan hikmah. Dengan demikian, secara teoritis kepemimpinan profetik adalah kemampuan yang mencerminkan konsistensi. Konsistensi antara keyakinan semangat beragama yang memanusiakan manusia, membebaskan, dan menghadirkan dimensi ilahiah yang padu. Padu antara tutur dengan laku, sejalan antara kata-kata dengan perbuatan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian profetik?
2.      Bagaimana peran profetik pada masyarakat kontemporer?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Profetik
Profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang Nabi (Kuntowijoyo). Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dengan sangat jujur, Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal. Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah nabi Muhammad saw. mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi saw. tidak hanya menikmati kebahagiannya berjumpa dengan Allah Swt., dan melupakan masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian kepemimpinan profetik di sini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan, dengan pola yang dilaksanakan nabi (prophet). Kekuatan kepemimpinan profetik ini menurut Sanerya Hendrawan, terletak pada kondisi spiritualitas pemimpin. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya. Sehingga, upaya mempengaruhi orang lain, merupakan proses leading by example atau memimpin dengan keteladanan.[1]

B.     Peran Profetik Pada Masyarakat Kontemporer
Hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religious serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan merupakan kekhawatiran manusia paling puncak dalam kancah pergulatan global ini. Semua tataran kehidupan sudah mengalami perubahan yang sangat mendasar, dalam setiap ruas kehidupan manusia sudah dihinggapi apa yang disebut globalisasi. Dalam transformasi nilai yang sangat cepat dan pelik ini, pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformative itu. Pasalnya sekarang, pendidikan tidak hanya mengalami perubahan, akan tetapi berganti wujud dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas sama sekali dari missi profetik, yaitu memanusiakan manusia. Nilai profetik yang dapat dijadikan tolok ukur perubahan social tercakup pada ayat 110 surat Ali-Imran yang berbunyi:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
 Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

Kuntowijoyo menginterpretasikan bahwa ayat diatas memuat tiga nilai dasar, yaitu humanisasi, liberasi, dan transedensi. Humanisasi sebagai deriviasi dari amar ma’ruf  mengandung pengertian kemanusiaan manusia. Liberasi yang diambil dari nahi mungkar mengandung pengertian pembebasan. Sedangkan transedensi merupakan dimensi keimanan manusia. Ketiga muatan nilai itu mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membingkai kelangsungan hidup manusia yang lebih humanistic. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan dalam hal ini menampilkan pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Namun demikian pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karean paham seperti itu akan menjadi mala petaka di abad modern ini.[2]
Upaya untuk mencerdaskan spiritual murid-murid tidak akan cukup hanya dengan melalui pendekatan dan metode keteladanan tetapi bisa melalui pengalaman-pengalaman dan aktivitas spiritualitas yang nyata dan kongkrit. Akan tetapi tetap dibutuhkan pembimbing (guru) yang memiliki kredibilitas dan reputasi yang baik dimata murid-murid. Paling tidak, pembimbing (guru) tersebut sanggup menjaga nama baiknya dihadapan murid-muridnya sendiri.
Pendidikan yang berlangsung pada masa Rasulullah yang menjadikan Rasulullah sebagai guru utama, memang memiliki keunikan tersendiri dibanding pendidikan yang berjalan pada masa sekarang ini. Meskipun pendidikan masa Rasulullah mempunyai keunikan tersendiri, tetapi pada dasarnya Rasulullah memiliki visi dan misi serta target dan tujuan yang jelas. Beliau mampu menerjemahkan pesan-pesan Al-Qur’an secara kongkrit ke dalam perilaku dan seluruh kehidupan beliau sehingga keluhuran akhlak, kebaikan, toleransi, rasa kemanusiaan serta sikap dan poal dasr kehidupan lain yang mencerminkan keluhuran adalah merupakan karakteristik utama pola hidup beliau.Pelajaran yang bisa dipetik dari kesuksesan Rasulullah dalam mendidik para muridnya adalah:
1.      Kurikulum pendidikan Rasulullah menyentuh dimensi-dimensi terdalam dari kemanusiaan manusia.
2.      Dalam proses belajar mengajar, beliau betul-betul menjadi seorang pendidik, bukan sekedar pengajar. Penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak hanya dibutuhkan guru yang bisa mengajar, tetapi lebih jauh adalah guru yang bisa mendidik murid-muridnya kearah pembentukan kepribadian yang luhur, terutama dalam materi yang terkait etika profetik.
3.      Rasulullah melaksanakan pendidikannya dengan penuh kesabaran, kehati-hatian, keihklasan, dedikasi dan semangat yang tinggi dengan tanpa mengharapkan keuntungan material dari siapapun dan yang penting adalah secara pelan-pelan.
4.      Pendekatan dan metodologi yang dipakai oleh Rasulullah dalam mendidik dan mengajar lebih merupakan dasar-dasar metodologi pendidikan.[3]
Menurut Thomas W. Arnold agama dakwah ialah agama yang memiliki kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan menyadarkan orang kafir sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama itu dan diteruskan oleh penggantinya. Agama Islam, Kristen, dan Buddha merupakan agama dakwah. Doktrin dakwah dalam Islam diungkap Al-Qur’an sendiri dan dibuktikan melalui jejak rekam sejarah Rasulullah Saw, sahabat, dan para Ulama. Dalam literature-literatur dakwah, argument tekstual yang merujuk hal tersebut biasanya dimuat dalam bahasan mengenai kewajiban dakwah. Al-qur’an misalnya menyuruh umat Islam untuk menyiapkan komite khusus yang berprofesi sebagai dai atau mensyaratkan dakwah sebagai jalan untuk mewujudkan sebuah masyarakat ideal. Disisi lain, hidup Rasul sendiri secara praktis dibaktikan untuk mengajak orang untuk masuk Islam (beriman, mengimani kenabian Muhammad), atau minimal agar mereka bersikap Islam (ber-Islam, hidup secara damai). Seperti Nabi Muhammad, hidup para sahabat, dan ulama sesudahnya juga dibaktikan untuk mendiseminasikan gagasan-gagasan Islam, baik melalui kebijakan politik, budaya, maupun intelektual.[4]
Dari segi metode dan pendekatan, dakwah dan pengembangan masyarakat memiliki hubungan yang saling melengkapi. Membangun masyarakat, tidak cukup hanya pada satu aspek, dengan melupakan aspek yang lain. Lebih dari itu, membangun masyarakat harus dilakukan secara komprehensif, baik fisik-materiil maupun moral-spiritual. Terkait dengan perspektif ini, dakwah sebagai wahana sosialisasi islam berkepentingan untuk menjaga sisi moralitas dan spiritualitas masyarakat, di samping ikut mendorong aksi pembangunan masyarakat dari sisi material. Demikian itu, karena islam sebagai tema sentral dakwah memahami manusia sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsure materiil dan spiritual. Konsekuensi logis pendekatan ini menilai bahwa pembangunan masyarakat dari aspek materiil saja dengan melupakan spiritualitas masyarakat sebagai usaha yang muspra belaka.
Dakwah paradigma pengembangan masyarakat lebih mengutamakan aksi ketimbang wacana atau retorika (tablig). Karena itu, bentuk pemikiran dakwah ini tidak terkonsolidasi dalam sebuah mazhab formal tertentu yang sistemik dan dapat ditelaah sebagai rujukan. Namun demikian, sebagai bentuk gerakan dakwah, paradigma pengembangan masyarakat mengejawantah dalam lembaga-lembaga swadaya masyarakat muslim yang independen dari gerakan politik massif. Kegiatan dakwah paradigma pengembangan masyarakat biasanya beraksi dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan pendidikan seperti penyuluhan-penyuluhan, pengembangan ekonomi mikro dan menengah, pengembangan SDM dan pendidikan madrasah atau pesantren. Gejala-gejala keagamaan yang terdapat dalam aksi-aksi tersebut sebagai bentuk sosialisasi islam itulah yang mungkin ditelaah lebih jauh sebagai suatu paradigma khusus dalam dakwah.
Dari segi metode dakwahnya, paradigma dakwah pengembangan masyarakat berusaha mewujudkan islam dengan cara atau jalan menjadikan islam sebagai pijakan pengembangan dan perubahan sosial yang bersifat transformative-emansipatoris. Demikian itu, karena menurut cara pandang dakwah pengembangan masyarakat, islam adalah agama kemanusiaan dan profetik. Dikatakan demikian, karena islam dihadirkan demi kepentingan kelangsungan hidup manusia dan untuk memberdayakan manusia dengan segenap potensinya sebagai wakil Allah di bumi. Dalam doktrin kitab suci, artikulasi ini dapat dipadankan dengan ayat yang menyatakan bahwa tujuan di utusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah sebagai rahmat bagi semesta alam, atau risalah islam ini diwahyukan untuk mengangkat manusia dari kegelapan kepaa cahaya. Kedua penegasan dari kitab suci itu menurut paradigm dakwah ini, harus terus menerus menjadi basis kekuatan yang mampu memotivasi umatnya untuk melakukan transformasi masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan konkret yang berorientasi pada masalah-masalah sosial, dan bukannya pada masalah-masalah teologi atau politik ansich. Melalui paradigm ini, dakwah sejatinya dimaksudnya sebagai bentuk perjuangan untk menghahadirkan kembali semangat profetik islam dan mewujudkan peranan para ilmuwan dalam proses perubahan masyarakat secara lebih mendasar, dengan pendekatan historis, cultural dan structural, berorientasi kerakyatan melalui pendekatan yang praktis.
Gerakan dakwah paradigma pengemabngan masyarakat bekerja secara independen di luar institusi kenegaraan dan berusaha memperkuat civil society yang menjadi motor penggerak trasformasi sosial. Dalam terminology, ilmu dakwah, menurut Abdullah Ibn Muhsin al-Mutawwa’, misi profetik-transformatif ini dapat disejajarkan dengan istilah islah al-Ijtima’I (reformasi sosial). Para dai, kata al-Mutawwa’, sejatinya adalah agen-agen reformasi sosial yang pada mereka nasib dan masa depan masyarakat dipertaruhkan. Dakwah yang mereka perjuangkan, lanjut al-Mutawwa’ adalah kelanjutan dari perjuangan Rasulullah untuk memberdayakan masyarakat Arab Jahiliah agar bertransformasi menjadi masyarakat yang beradab. Selanjutnya untuk melakukan pembedayaan itu, mesti dilakukan secara serius dengan mengutamakan sisi praktis (‘amaliyyan) dan bukan wacana (nazariyyan).
Menurut al-Mutawwa’, seluruh Nabi-Nabi adalah dai yang diutus dengan membawa misi profetik, yakni membangun dan mengembangkan masyarakatnya. Dalam melakukan misi profetik itu, hal yang pertama kali dilakukan oleh para nabi adalah membangun komunitas yang berlandaskan tauhid dan memberantas polematisme. Dakwah untuk mengembangkan masyarakat, haruslah dimulai dari pembangunan yang paling mendasar, yakni membangun keyakinan tauhid, karena ia adalah pondasi pertama (lubnat al-ula) dalam upaya membangun masyarakat mana pun sebelum pembangunan aspek material masyarakat. Bagi al-Mutawwa’ pembangunan aspek materiil masyarakat sejatinya adalah konsekuensi logis dari pembangunan aspek spiritual. Masyarakat yang telah dibangun di atas akidah tauhid, kata al-Mutawwa’, memiliki komitmen yang kuat untuk mengaplikasikan syariat agama dalam setiap tindak tanduknya. Komitmen terhadap syariat inilah, yang kemudian menjadi roh dalam pembangunan aspek material masyarakat, dan menjadi ketahanan masyarakat dalam menghadapi setiap ujian dan tantangan zaman.
Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, paradigm pengembangan masyarakat ini dapat dinisbatkan kepada sejumlah pemikir seperti A.Mukti Ali, Dawan Raharjo, Adi Susono dan Muslim Abdurrahman. Sebagai mantan Menteri Agama yang berbasis ilmu perbandingan agama, pemikiran Mukti Ali, memiliki corak pengembangan masyarakat. Hal ini, dapat dilihat dari ide dan gagasannya tentang agama sebagai landasan pembangunan dan usulannya tentang modernisasi lembaga pendidikan pesantren, hingga gagasannya tentang badan zakat infak sedekah yang sekarang telah banyak berkembang. Adapun Dawan Raharjo adalah seorang penggiat LSM yang berlatar belakang pendidikan ekonomi. Pemikirannya yang bercorak pengembangan masyarakat dapat ditelaah melalui gagasannya tentang ekonomi pancasila dan pengembangan masyarakat melalui pesantren. Sementara itu, gagasan Islam transformatif yang terkait dengan sejumlah isu, seperti soal hubungan agama dan pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat, ekonomi kerakyatan , hingga emansipasi sosial, dimunculkan oleh tokoh-tokoh aktivis LSM seperti Adi Sasono dan Muslim Abdurrahman. Kedua tokoh Islam ini, berlatar belakang pendidikan masing-masing teknoekonomi dan sosiologi. Selain itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam independen (nonpolitik), seperti Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang diprakarsai oleh Hj.Tutty Alawiyah, atau gerakan Indonesia emas (ESQ) yang diprakarsai oleh Ari Ginanjar dan sejumlah lembaga serupa yang memiliki kontribusi besar dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, dapat pula disebut sebagai representif gerakan dakwah paradigma pengembangan masyarakat ini.
Sebagai suatu pemikiran dan gerakan, mazhab dakwah pengembangan masyarakat ini memiliki kekuatan dan keunggulan. Setidaknya, mazhab ini telah berperan dalam memperbaiki paham masyarakat bahwa dakwah, sejatinya, tak Cuma pidato (tablig), tetapi transformasi sosial dan cultural menuju kualitas khaira ummah. Sasaran utama dakwah paradigma ini, seperti telah diutarakan, adalah perbaikan kehidupan masyarakat dalam segala lini kehidupan, dengan memanfaatkan dan pengembangan potensi-potensi yang ada pada masyarakat itu sendiri. Sebagai gerakan sosial, gerakan dakwah paradigma ini, menjaga jarak dan memelihara independensinya, dengan pemerintah dan semua kekuatan politik yang ada.
Karena sifatnya yang seolah-olah menjauhi ranah politik, sebagian kelompok yang berpaham formalistis dan legalistic, menilai gerakan dakwah ini lamban dan kurang akseleratif, karena tidak mau memanfaatkan kekuatan politik sebagai alat dan senjatanya. Menurut mereka, proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan lebih cepat dan kuat manakala basis gerakannya dimulai dari politik. Melalui politik, menurut mereka, pengembangan masyarakat yang mendukung terwujudnya syariat Islam dalam ruang public dapat dirancangkan melalui kebijakan-kebijakan kekuasaan pemerintah atau Negara, sehingga memiliki daya dukung yang lebih kuat. Demikian ini, dinilai lebih hemat dibandingkan seandainya dakwah itu disosialisasikan melalui proses pembangunan yang panjang dan bertele-tele. Pemikiran yang terakhir ini, disuarakan dan diusulkan oleh gerakan dakwah harakah yang akan segera dibahas dibawah ini.[5]
Kompetensi yang harus dimiliki seorang da’i meliputi kekuatan intelektual, keterampilan, sikap dan moral, dan kekuatan spiritual. Nabi Muhammad SAW menurut Sayyid Qutub menegaskan bahwa salah satu misi utama kerasulannya ialah membangun moralitas manusia. Akhlak da’i adalah akhlak secara keseluruhan yang perlu diwujudkan secara sempurna dalam realitas kehidupan. Namun, menurut Sayyid Qutub ada tiga akhlak yang sungguh penting bagi da’I agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sebgai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, yaitu kasih sayang, integritas alias adanya kesatuan antara kata dan perbuatan, dan kerjja keras. penjelasan mengenai kasih sayang Nabi Muhammad dalam hubungannya dengan dakwah termaktub dalam surat Ali Imran ayat 159.
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  
Artinya:” Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Ayat di atas menurut Sayyid Qutub berkaitan dengan peristiwa perang Uhud di mana kaum Muslimin mengalami kekalahan setelah sebelumnya memperoleh kemenangan dalam perang Badar. Kekalahan ini ada kaitannya dengan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sahabat-sahabata Nabi sendiri. Meskipun demikian berkat kasih sayang Allah yang ditanamkan ke dalam jiwa Nabi, beliau tetap santun dan ramah kepada mereka. Bahkan seperti terbaca dalam ayat di atas beliau memaafkan dan memohonkan ampun kepada mereka. Kenyataan ini menurut Sayyid Qutub memperlihatkan dengan jelas kasih sayang Allah dalam akhlak dan watak Nabi yang serba baik, mengasih, dan lemah lembut yang memungkinkan banyak orang terpikat dan bersimpati kepadanya. Inilah kasih sayang yang menyebabkan Rasul menjadi orang yang amat santun dan bersifat lemah lembut kepada para sahabatnya. Seandainya Nabi bersikap kasar dan berkeras hati tentu orang-orang akan lari dan menjauh dari sisi-sisi Nabi.[6]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang Nabi (Kuntowijoyo). Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet.
2.       Peran profetik pada masyarakat kontemporer saat ini adalah menjadikan manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang memiliki integritas dan memiliki akhlak yang baik serta dapat memperbaiki hidupnya berdasarkan pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Seorang da’i dalam  menjalankan peran profetiknya haruslah memiliki integritas penuh agar apa yang disampaikan sesuai dengan yang dilakukan, serta dalam penyampaiannya itu haruslah disertai dengan penuh kasih sayang seerti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah manakala Rasulullah menyampaikan dakwah kepada sahabat dan umatnya. Seperti yang dilakukan Rasulullah ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud Rasulullah tidak  memarahi para sahabtnya walaupun kekalahan dalam perang Uhud tersebut disebabkan karena kelalaian para sahabatnya sendiri. hal ini berarti menunjukkan bahwa dalam melakukan misi profetik hendaklah disertai dengan rasa kasih sayang. begitu juga harus dilakukan dengan seorang profetik pada masa sekarang ini.
B.     Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun. kami tahu dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembacanya. Amin.


[1] http://irhamnirofiun.blogspot.co.id/2014/04/membumikan-kepemimpinan-profetik.html, diunduh pada hari Sabtu, tgl 28 November 2015 , Pukul 12.28 WIB.
[2] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm 301.
[3] Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi Aplikasi Strategi dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah di Masa Kini, IrciSod, Yogyakarta, 2006, hlm 218
[4] A. Ilyas Ismail dan Prio Houtman,  Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm 11-13.
[5] Ibid.,A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, hml 226-232.
[6] Ibid., Ilyas Isma’il dan Rio Hotman, hlm 77-85.