Kamis, 29 Mei 2014

Makalah Qurban Dan Akikah


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam syariat Islam kita diperintahkan untuk melaksanakan aqiqah dan kurban. Aqiqah sendiri merupakan penyembelihan binatang (kambing) sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan pada hari yang ketujuh sejak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah. Sedangkan berkurban berarti penyembelihan binatang tertentu (seperti kambing, kerbau, unta dll) pada hari Raya Haji dan hari-hari tasyriq (yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan syarak.
Allah menyariat untuk berkurban dengan firman-Nya:
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ   Ÿw y7ƒÎŽŸ° ¼çms9 ( y7Ï9ºxÎ/ur ßNöÏBé& O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# ÇÊÏÌÈ 
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS Al-An’am: 162-163)

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulisan merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimankah cara pelaksanaan aqiqah dan qurban menurut syari’at?
2.    Apakah hikmah dari aqiqah dan qurban?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  AQIQAH
Aqiqah ialah suatu sembelihan yang disembelih berhubung dengan lahirnya seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’. Jika telah lahir seorang bayi laki-laki maupun perempuan maka si orangtua bayi tersebut, disunnahkan mengaqiqahi anaknya itu, baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesempitan.[1]
Ubaid Ashmu’i dan Zamakhsyari mengungkapkan, bahwa menurut bahasa, aqiqah artinya rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak lahir. Imam Ahmad berpendapat, aqiqah berasal dari kata aqqa yang artinya memotong atau membelah. Adapula yang berpendapat, bahwa aqiqah ialah nama tempat penyembelihan kambing untuk kepentingan bayi (anak). Selain itu, setiap bulu atau rambut yang tumbuh di atas kepala anak hewan juga dinamakan aqiqah.[2]
Berikut dalil-dalil disyariatkannya aqiqah:
1.      Aqiqah pada Hari Ketujuh Kelahiran
 عَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه ان رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ: "كُلُ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَى" رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari samrah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih atas namanya pada hari ketujuh keahirannya, lalu dia dicukur dan memberi nama.” (HR Al-Khamsah dan Tirmidzi menilai hadis ini shahih)[3]
·         Keterangan Hadis
Menurut Imam Ahmad maksut dari kata-kata: “Anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya.” Dalam hadis di atas ialah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak melaksanakan akikah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan didukung oleh Ibnul Al-Qayyim. Bahkan Ibnu Al-Qayyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan bayi yang bersangkutan dari godaan syaitan.[4]
·         Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2838), Nasa’i (7/3165), dan Ahmad (5/7-8). Pada sanad Hasan dari Samurah ada perdebatan, tapi al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dari jalur sanad Hasan dalam al-talkhish al habir (4/161) menyebutkan bahwa hadis ini dapat diakui.
·         Kesimpulan Hadis
1)      Aqiqah dilaksanakan sebagai penebus gadaian dan implementasi dari rasa syukur kepada Allah SWT., dan hukumnya sunnah muakkadah.
2)      Aqiqah dilaksanakan pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi (boleh dilaksanakan lebih dari hari ketujuh disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dari orang tuanya), setelah itu dicukur dan diberi nama.
2.      Aqiqah Hasan dan Husein Masing-masing Satu Kibasy
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا: أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ اَلحَسَنِ و اَلْحَسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا. رواه أبو داود, و صححه اِبن خُزَيْمَةَ, و اِبْنُ اَلْجَارُودِ, و عَبْدُ  اَلْحَقِّ
Dari ibnu abbas r.a., “bahwa Nabi saw. meng-aqiqahkan Hasan dan Husein, masing-masing satu kibasy (domba)” (HR Abu Daud dan hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, dan Abdul Haq)
·         Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2841), Nasa’i (7/165-166), Ibn Sl-Jarud dalam al-muntaqa (911) dengan para perawi terpercaya. Abu Hatim menilainya mursal dalam al-ilal (1631), sedangkan Abu Haq al-Isybili menilainya maushul dalam al-ahkamal-wustha (4/141), juga Ibn Hajar dalam al-talkhish (4/161)
·         Kesimpulan Hadis
Aqiqah bagi laki-laki boleh satu kibasy, walaupun dalam hadis lain dianjurkan untuk laki-laki dua  kibasy.
3.      Aqiqah  untuk Anak Laki-laki 2 Ekor Kambing dan untuk Anak Perempuan 1 Ekor Hadis
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا: أنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عَلَيْهِ وسلم أَمْرَهُمْ, أَن يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَ عَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ. رواه الترمذي و صححه
Dari Aisyah r.a., “bahwa Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk meng-aqiqahkan anak laki-laki dua kambing yang sepadan (umur dan besarnya), dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (HR Tirmidzi dan dia menilainya hadis ini shahih)
·         Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi (1513), Ibn Majah (3163), dan Ahmad (6/31, 158) dengan perawi terpercaya. Hadis ini juga shahih menurut Tirmidzi dan al-Albani dalam al-‘irwa (4/290).
·         Kesimpulan Hadis
Aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing.[5]
Hikmah Aqiqah
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, inti dari aqiqah adalah iman. Dengan kata lain, aqiqah merupakan instituisi atau perwujudan dari iman. Sebab, sebagaiman yang diungkapkan DR. Nurchulis Madjid dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, iman berada dengan sistem ilmu dan filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas. Iman memiliki dimensi suprarasional atau spiritual yang mewujud  ke dalam tindakan kebaktian melalui sistem ibadah. Jika tidak, maka iman hanya akan menjadi rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberikan dorongan batin kepada manusia untuk berbuat baik.
Di satu sisi, aqiqah mengandung hikmah yang bersifat intrinsik sebagai pendekatan (taqarrub) kepada Allah. Sementara di sisi lain, aqiqah mengandung makna instrumental sebagai usaha pandidikan pribadi dan masyarakat ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada amal sholeh.
Aqiqah sama sekali bukan sekadar pesta makan. Praktiknya mungkin mengesankan begitu, tetapi esensinya jauh lebih luas daripada pengertian pesta makan. Sebagaimana dituturkan oleh DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku tarbiyatul Aukad fi Al-Islam, hikmah aqiqah itu antara lain:
1.      aqiqah merupakan suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak pada Allah di masa awal ia menghirup udara.
2.      Aqiqah merupakan tebusan bagi anak dari berbagai musibah, sebagaimana Allah telah menebus Ismail as dengan hewan sembelihan yang besar
3.      Sebagai pembayaran hutang anak agar kelak di hari kiamat ia bisa membari syafaat kepada kedua orang tuanya.
4.      Merupakan media menunujukan rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya generasi muslim.
5.      Mempererat tali persaudaraan di antara sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini akikah dapat menjadi semacam wahana bagi berlangsungnya komunikasi dan interaksi sosial yang sehat.[6]

B.  Qurban
Udh-hiyah atau qurban yaitu suatu tindak beribadah kepada Allah dengan cara menyembelih binatang tertentu (seperti kambing, kerbau, unta dll) pada hari Raya haji (Qurban) dan hari-hari tasyriq (yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan syarak.[7]


Berikut dalil-dalil disyariatkannya berqurban:
1.      Waktu Menyembelih Hewan Qurban
عَنِ الأَسْوَدِ سَمِعَ جُنْدَبًا الْبَجَلِيَ قَالَ شَهِدْ تُ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلَّى يَوْمَ أضْحًى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ "مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ أنْ يُصَلِّىَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكنْ ذَبَحَ فَلْيَذْ بَحْ بِا سْمِ الله" متفق عليه

Dari Al-Aswad dia mendengar Jundab al-Bajali, dia berkata, “Aku menyaksikan Rasullah saw shalat idul adha, kemudian berkhutbah lalu bersabda : Barang siapa yang menyembelih (qurban) sebelum shalat, maka hendaknya dia menyembelih hewan lain sebagai pengganti dan barang siapa belum menyembelih, maka sembelihlah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari Muslim)

·         Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab: al-‘idain, bab: kalamul  imam wa an-nas fi khubati al-‘id (ucapan imam dan orang-orang pada khutbah ‘id) (2/28). Dan Muslim alam kitab; al-adhahi, bab  waqtuha  (waktu penyembelihan) (5/626) dengan lafaz saling berdekatan.
·         Asbabul Wurud
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jundub al-Bajali bahwa beliau pernah shalat bersama Rasulullah saw pada hari idul adha. Setelah itu Rasulullah lalu beranjak (meninggalkan tempat tersebut). Tiba-tiba beliau menemukan daging hewan-hewan sembelihan kurban yang sangat banyak disitu. Beliau akhirnya tahu bahwahewan-hewan tersebut disembelih sebelum dilaksanakan shalat idul adh’ha, maka Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat (Idul Adha), maka hendaknya dia menyembelih hewan lain sebagai ganti hewan tersebut. Dan barang siapa belum menyembelih hewan kurban setelah kami selesai shalat Idul Adh’ha, maka hendaknya menyembelih dengan membaca menyebut asma Allah (bismillah).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jundub, beliau berkata: “Pada waktu kami keluar bersama Rasulullah SAW di hari Idul Adh’ha, sebagian orang telah menyembelih hewan kurbannya, sedangkan sebagian yang lain belum, maka Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang telah menyembelih atau berkurban sebelum kami shalat, maka hendaklah ia mengulanginya dan barang siapa yang belum menyembelih atau berkurban, maka hendaklah ia menyembelih atau berkurban dengan menyebut nama Allah.”[8]
·         Kesimpulan Hadis
1.      Waktu penyembelihan qurban setelah pelaksanaan shalat idul adha selesai.
2.      Menyembelih hewan qurban dimulai dengan membaca bismilah.
2.      Hewan yang Dilarang Digunakan Untuk Qurban
وَعَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضي الله عنه قَالَ: قَامَ فِيْنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَال: اَرْبَعٌ لاَ تَجُوْزُ فِى الضَّحَايَا: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَ رُهَا, وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ضَلَعُهَا وَ الْكَبِيْرَةُ الَّتِى لاَ تُنْقِى. رواه احمد و الاربعة, وصححه الترمذى وابن حبان
“Dari Bara’ bin Azib ra dia berkata: Rasulullah saw pernah berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: empat macam binatang tidak boleh dibuat qurban: binatang yang jelas buta sebelah, binatang sakit yang sakitnya kelihatan jelas, binatang pincang yang kelihatan jelas, dan binatang tua yang tidak memiliki sum-sum. (HR. Ahmad dan Imam Empat. Hadis shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

·         Kesimpulan Hadis
Terdapat empat macam binatang yang tidak boleh dipergunakan untuk berqurban, yaitu binatang yang buta sebelah, binatang sakit yang sakitnya kelihatan jelas, binatang pincang yang kelihatan jelas, dan binatang tua yang tidak memiliki sum-sum.
وَعَنْ عَلِىٍّ رضى الله عنه قَال: اَمَرَنَا رَسُول الله صلى الله عليه وسلم اَنْ نَسْتَشْرِ فَ الْعَيْنَ وَ الاُذُنَ وَ لاَ نُضَحِّىِ بِعِورَاءَ, وَلاَ مُقَا بَلَةٍ وَلاَ مُدَا بَرَةٍ, وَلاَ خَرْقَاءَو وَلاَ ثَرْ مَاء. اخرجه احمد و الاربعة, و صححه الترمذى وابن حبّان و الحاكم
“Dari Ali dia berkata, Rasulullah saw memerintahkan kami agar memeriksa mata, telinga, dan kami tidak diperbolehkan berqurban dengan binatang yang buta sebelah, binatang yang telinganya bagian depan digunting, binatang yang telinga bagian belakangnya digunting, binatang yang kedua telinganya berlubang atau robek, binatang yang gigi depannya ompong.” (HR. Ahmad dan Imam Empat. Hadis shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim)[9]

·         Kesimpulan Hadis
1)      Diperintahkan untuk memeriksa mata, telinga, dan gigi binatang yang digunakan dalam berqurban
2)      Binatang yang telinga bagian belakangnya digunting, binatang yang kedua telinganya berlubang atau robek, binatang yang gigi depannya ompong dilarang digunakan untuk berqurban.
3.      Perintah Membagikan Daging Qurban
وَعَن عَلِىِّ بِنِ اَبِى طَا لِبٍ رضي االله عنه قَال: اَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَنْ اَقُومَ عَلَى بُد نِهِ , وَ اَنْ اُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَ جُلُوْدَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ, وَلاَ اُعْطِىَ فِى جِزَارتِهَا شَيْئًا مِنْهَا. متفق عليه
Dari Ali bin Abu Thalib ra., dia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kepadaku untuk mengurusi qurbannya, membagi daging-dagingnya, kulit-kulitnya, dan pakaian-pakaiannya kepada orang-orang miskin. Dan aku tiak diperbolehkan memberikan sesuatu dari qurban kepada penyembelih. Muttafaqun alaih.[10]


·         Kesimpulan Hadis
1)      Daging, kulit, dan pakaian qurban haris dibagikan kepada orang-orang miskin.
2)      Tidak diperbolehkan memberikan sesuau dari qurban kepada penyembelih
Hikmah Berqurban
Ibadat qurban termasuk syari’at Nabi Ibrahim as. dan beliaulah yang mula-mula melakukannya. Menurut riwayat bahwa Nabi Ibrahim telah bermimpi menyembelih anaknya Nabi Ismail as. beliau meyakini bahwa mimpi beliau itu adalah mimpi yang benar dan merupakan perintah Allah swt kepada beliau. Karena itu disampaikanlah mimpi itu kepada Nabi Ismail as. dan Ismail pun sependapat dengan ayahnya, bahwa mimpi itu merupakan perintah Allah, maka Ismail pun mengharap agar ayahnya segera melaksanakan perintah Allah itu dengan menyembelih dirinya. Pada saat kedua orang bapak dan anak itu akan melaksanakan perintah itu dengan penuh ketundukan dan ketaatan kepadaNya, maka turunlah perintah Allah agar Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing sebagai ganti menyembelih anaknya itu.
Setelah datang Nabi Muhammad SAW maka menyembelih binatang atau berqurban itu disyari’atkan pula kepada umatnya yang dilakukan pada hari raya haji dan hari tasyrik. Dengan berqurban itu diharapkan kaum muslimin ingat akan ketaatan dan kepatuhan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kepada perintah Allah, sekalipun perintah itu berupa menyembelih anak yang dicintai atau mengorbankan jiwa sendiri, dan dengan mengingat itu diharapkan pula sikap dan tindakan kedua orang yaitu bapak dan anak itu dijadikan suri dan tauladan dalam menghambakan diri kepada Allah swt.
Disamping itu agar dengan berqurban itu seluruh manusia baik yang kaya maupun yang miskin bergembira ria dengan memakan daging kurban itu dan mengingat Allah pada hari Raya Haji dan hari Tasyriq, sebagaimana diterangkan oleh hadits: “Bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya hari raya (Idul Adha) itu tidak lain adalah hari makan, minum, dan mengingat Allah azza wa jalla.” [11]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a)      Aqiqah dilaksanakan sebagai penebus gadaian dan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang dilaksanakan pada hari ke tuhuh kelahiran bati serta dicukur dan diberi nama
b)      Aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan anak perempuan adaalah satu ekor kambing
c)      Waktu penyembelihan qurban setelah pelaksanaan shalat idul adha selesai dan dalam penyembelihan hewan qurban dimulai dengan membaca bismilah.
d)     Terdapat empat macam binatang yang tidak boleh dipergunakan untuk berqurban, yaitu binatang yang buta sebelah, binatang sakit yang sakitnya kelihatan jelas, binatang pincang yang kelihatan jelas, dan binatang tua yang tidak memiliki sum-sum.
e)      Daging qurban harus dibagikan pada orang-orang miskin dan tidak diperbolahkan memberi sesuatu dari qurban kepada penyembelih.
B.     Saran
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca serta pembaca lebih mudah memahami secara mendalam tentang persoalan-persoalan dan hikmah aqiqah dan qurban.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun untuk menjadi pelajaran bagi kami dan kesempurnaan makalah selanjutnya.


[1] Fat-hul Qarib, terj. Imron Abu Amar, Kudus: Menara Kudus, , hal.212
[2] Achmad Ma’ruf Asrori, Khitan dan Aqiqah,Surabaya: Al-Miftah,1998,hal.49
[3] Mardani,Hadis Ahkam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012, hal.331
[4] Achmad Ma’ruf Asrori, Op.cit, hal. 51
[5] Mardani, op.cit, hal.329-331
[6] Achmad Ma’ruf Asrori, Op.cit, hal 99-100
[7] op.cit, hal.205
[8] Mardani, loc.cit, hal. 218
[9] Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, bulughul Maram, terj. M. Ali, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2012, hal.627
[10]Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, ibid, hal.628
[11] Zakiah Darajat, Ilmu fiqih jilid I, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hal.429