HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Ulumul Hadits
Dosen : Hj.Istianah, MA
Oleh
Siti Fitriana (1310110041)
Randy Julianto (1310110058)
Tri Rahayuning Roufah (1310110061)
Anas Zakaria (1310110070)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hadits merupakan sumber dan dasar hukum islam
yang menempati kedudukan yang sangat penting setelah alqur’an. Kewajiban kaum
muslim mengikuti hadits sama wajibnya dengan mengikuti alqur’an. Hal ini
disebabkan hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap alqur’an.
Tanpa memahami dan menguasai hadits, seseorang
tidak akan dapat memahami alqur’an dengan baik. Sebaliknya, seseorang tidak
akan dapat memahami hadits tanpa memahami alqur’an, karena alqur’an merupakan
dasar hukum pertama yag didalamnya berisi syari’at. Sedangkan hadits merupakan
dasar hukum kedua, yang didalamnya berisi penjelasan dan penjabaran alqur’an.
Alqur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum
islam yang memiliki kaitan yang sangat erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Sementara itu kedudukan hadits dalam islam juga tidak dapat
diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik dalam alqur’an maupun
dalam hadits.
1.2.Rumusan Masalah
a) Pengertian Hadits dan Al-Qur’an
b) Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
c) Perbandingan Hadits dengan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Hadits dan Al-Qur’an
Secara Etimologi Al Qur'an merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja
Qoro’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا)
keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).
Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا).
Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda)
yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan
berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il,
artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi
berita-berita dan hukum-hukum.
Sedangkan secara terminologi Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal
dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat
jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia. Alquran adalah
kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang
diturunkan melalui para rasul. Hal ini juga senada dengan pendapat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an kalam atau
wahyu Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril sebagai
pengantar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada
tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia 41 tahun yaitu surat al alaq
ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9
zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3. Allah ta’ala menyebut
al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan,
keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah
pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.[1]
Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-jadid,
yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al-Qadim (lama) yang berarti menunjukkan
kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga sering disebut al-khabar, yang artinya berita, yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut ahli hadits, pengertian
hadits adalah “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.” Ada juga
yang memberikan pengertian lain yaitu:
مَا أُضِفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مِنْ قَوْلٍـــ أَوْ فِعْلٍ
أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ َ
“sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.” Adapun menurut
muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits
mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang
disandarkan kepada tabi’in).[2]
Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadits adalah “segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya
yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
Hadits dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad SAW pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam
arti teks hadits tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang
diucapkan oleh Nabi SAW. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang
harus diterapkan oleh para perawi hadits, sebelum mereka diperkenankan
meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah
hadits masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna
sebuah hadits harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks
tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra
bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian
persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadits.
Al-Qarafiy,
misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam
hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai rasul, di kali
lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau
pemimpin suatu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan
keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya.
Setiap hadits dan sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi,
dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada
masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara’. Menurutnya,
perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut
perintah nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan
ada pula yang secara kontekstual.
Suatu
ketika, Ubay ibn Ka’ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar
nabi saw. Bersabda, “Ijlisu (duduklah kalian),” dan seketika itu juga ubay
duduk dijalan. Melihat hal itu, nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda
kepadanya, “Zadaka Allah tha’atan.”
Di sini, Ubay memahami hadits tersebut secara tekstual.[3]
Dalam
peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, “jangan ada yang shalat asar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah.” Sebagian memahami teks hadits tersebut secara
tekstual, sehingga tidak shalat asar walaupun waktunya telah berlalu kecuali ditempat itu. Sebagian lainnya
memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat
asar,sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir
ini,tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan
berbeda dalam memahami teks hadits.
Imam
Syafi’i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadits tidak terkecuali dalam
bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi’i berpendapat bahwa pada dasarnya
ayat-ayat alqur’an dan hadits-hadits nabi harus dipertahankan bunyi teksnya,
walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teksnya adalah
ta’abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syari’at sebagai maslahat harus
dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang
mengalihkan arti lahiriah teks.[4]
2.2.Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Al-hadits didefinisikan oleh ulama pada
umumnya seperti definisi Al-sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun
sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.”
Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada “ucapan-ucapan Nabi
Muhammad SAW. Yang berkaitan dengan hukum” sedangkan bila mencangkup perbuatan
dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah.
Sementara itu ulama’ tafsir mengamati bahwa
perintah taat kepada Allah dan rasulNya yang ditemukan dalam Al-Quran
dikemukakan dengan dua redaksi yang berbeda. Pertama adalah Athi’u
Allah wa Al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u
ar-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepad beliau dalam
hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT karena itu, redaksi tersebut
mencukupkan penggunaan sekali saja kata
Ahti’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam
hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran,
bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih
dahulu dalam kondisi tertentu walaupun ketika sedang melaksanakan perintah
Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka’ab yang ketika
sedang shalat dipanggil oleh Rasul SAW itu sebabnya dalam redaksi kedua di
atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah
ta’at kepada Ulu Al-‘Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena
ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
(Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul SAW dengan
penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikitpun rasa enggan dan pembangkangan,
baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat
keabsahan iman seseorang, demikian Allah SWT bersumpah dalam Al-Qur’an Surah
An-Nisa’ ayat 65.[5]
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa
terdapat perbedaan yang menonjol antara hadits dan alqur’an dari segi redaksi
dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa
wahyu alqur’an disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat jibril hanya sekedar
menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi
wahyu-wahyu alqur’an itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena
sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat
dan kemudian disampaikan secara tawattur oleh sejumlah orang yang menurut adat
mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu alqur’an menjadi qath’iy al-wurud. Ini, berbeda dengan
hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi
saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadits bahwa walaupun pada masa
sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadits, namun pada umumnya penyampaian
atau penerimaan kebanyakan hadits-hadits yang ada sekarang hanya berdasarkan
hafalan para sahabat dan tabi’in. Ini menjadikan kedudukan hadits dari segi
otensitasnya adalah zanniy al-wurud.[6]
Tentang hubungan Alqur’an dengan sunnah, Ibn Hazmin
berkomentar, bahwa ketika kita menjelaskan Alqur’an sebagai sumber hukum
syara’, maka di dalam Alqur’an itu sendiri terdapat keterangan Allah SWT yang
mewajibkan kita untuk mentaati Rasulullah SAW, dan penjelasan bahwa perkataan
Rasulullah SAW yang berhubungan dengan hukum syara’ pada dasarnya adalah wahyu
yang datang dari Allah SWT juga. Hal tersebut termuat didalam
firman Allah SWT, dalam surat Al-Najm ayat 3-4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ
إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“Dan tiadalah yang diucapkan beliau
(Rasulullah SAW) itu (bersumber) dari hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain
adalah wahyu yang diwahyukan (Allah SWT) kepadanya.”
Dari periwayatan diatas dapat dipahami, bahwa
wahyu yang datang dari Allah SWT serta disampaikan-Nya kepada Rasulullah SAW
terbagi dua, yaitu:
Pertama : Wahyu yang matluw, yang bersifat mukjizat yaitu, Al-qur’an al-Karim.
Kedua : Wahyu yang marwi dan ghayr matluw, yang tidak bersifat mukjizat, yaitu khabar yang datang dari Rasulullah SAW
yang berfungsi menjelaskan apa yang datang dari Allah SWT, sebagaimana
dinyatakan Allah SWT didalam firman-Nya dalam surat Al-Nahl ayat 44:[7]
لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.....
“.....Agar
engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka....”
Allah SWT telah mewajibkan umat islam untuk menaati wahyu
dalam bentuknya yang kedua ini (yaitu hadits atau sunnah), sebagaimana menaati
whyu dalam bentuknya yang pertama (Al-qur’an) tanpa membedakannyadalam hal
menaatinya.
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-qur’an dan sunnah adalah dua
sumber hukum syara’ yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Tidak mungkin seseorang untuk memahami hukum syara’ secara baik
kecuali dengan merujuk kepada keduanya.
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah ketika mengomentari ayat Allah SWT dalam surat An-Nisa’
ayat 59 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah SWT dan taatilah Rasulullah SAW, dan Ulil amri diantar kamu.
Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah permasalahan
tersebut kepada Allah SWT (Al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunnah), jika kamu
benar-benar beriman pada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dia (Ibn Qayyim) berkata, bahwa perintah Allah SWT untuk
menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya tampak jelas dari pengulangan kata-kata tha’at yang mendahului kata Allah SWT
dan Rasulullah SAW. Hal tersebut adalah sebagai pemberitahuan bahwa menaati
Rasulullah SAW adalah wajib secara mutlak, baik yang diperintahkan Rasulullah
SAW itu sesuatu yang terdapat didalam Al-Qur’an maupun karena kepada Rasulullah
SAW telah Allah berikan sebuah kitab, yaitu Al-Quran al-Karim, dan yang sama
dengannya, yaitu sunnah.[8]
2.3.Perbandingan Hadits dengan Al-Qur’an
1. Persamaannya
Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka bahwa Hadits dan
Al-Qur’an adalah sama-sama sumber ajaran islam, dan bahkan pada hakikatnya
keduanya adalah sama-sama wahyu dari Allah SWT.
2. Perbedaannya
Meskipun
Hadits dan Al-Qur’an adalah sama-sama sumber ajaran islam dan dipandang sebagai
wahyu yang berasal dari Allah SWT, keduanya tidaklah persis sama, melainkan
terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Untuk mengetahui perbedannya
perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian dan karakteristik dari Al-Qur’an,
sebagaimana halnya dengan Hadits, seperti yang telah dijelaskan.
Kata Al-Qur’an dalam bahasa Arab adalah
bentuk masdar dari kata qara’a, yang
berarti “bacaan” (al qira’ah). Di
dalam QS Al-Qiyamah [75]: 17 disebutkan:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَه
“sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.”
Selanjutnya, kata Qur’an secara umum lebih dikenal
sebagai nama dari sekumpulan tertentu dari kalam Allah SWT yang selalu dibaca hamba-Nya.
Dengan demikian, secara terminologis Al-Qur’an
berarti:
“Dia
(Al-Qur’an itu) adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW
dengan bahasa Arab, mengandung mukjizat meskipun dengan suratnya yang
terpendek, terdapat didalam mushaf yang diiwayatkan secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat An-Nas.”[9]
Shubhi Al-Shalih memilih definisi yang lebih ringkas,
yang menurutnya telah disepakati oleh para ahli ushul fiqih, para fuqaha’, dan
ulama Bahasa Arab:
“Kalam
Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, terdapat
di dalam mushaf, yang diriwayatkan dari Nabi SAW secara mutawatir, serta
membacanya merupakan ibadah.”
Dari definisi di atas
jelas terlihat kekhususan dan perbandingan antara Al-Qur’an dengan Hadits,
yaitu:
1. Bahwa
Al-Qur’an adalah Kalam Allah dan bersifat mukjizat. Kemukjizatan Al-Qur’an
tersebut diantaranya terletak pada ketinggian balaghah (kandungan sastra)-nya yang mencapai tingkatan di luar
batas kemampuan manusia, sehingga masyarakat Arab khususnya dan manusia pada
umumnya tidak mampu menandinginya. Dari segi ini terlihat perbedaan yang nyata
antara Al-Qur’an dengan Hadits, yatu bahwa Hadits maknanya bersumber dari Allah
SWT (Hadits Qudsi) atau dari Rasul
SAW sndiri berdasarkan dari hidayah dan bimbingan dari Allah SWT (Hadits Nabawi), dan lafaznya berasal
dari Rasul SAW serta tidak bersifat mukjizat, sedangkan Al-Qur’an makna dan
lafaznya sekaligus berasal dari Allah SWT, dan bersifat mukjizat.
2. Membaca
Al-Qur’an itu bernilai ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam shalat,
sementara tidak demikian halnya dengan Hadits.
3. Keseluruhan
ayat Al-Qur’an diriwayatkan oleh Rasul SAW secara mutawatir, yaitu periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan
yakin keautentikannya pada setiap generasi dan waktu. Ditinjau dari segi
periwayatannya tersebut, maka nash-nash
Al-Qur’an adalah bersifat pasti wujudnya atau qath’i al-tsubut. Akan halnya Hadits, sebagian besar adalah
bersifat ahad dan zhanni al-wurud, yaitu tidak
diriwayatkan secara mutawatir. Kalaupun
ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir
lafaz dan makna sekaligus.[10]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta
petunjuk seluruh umat manusia. Hadits adalah segala perkataan Nabi SAW,
perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya.
Adapun hubungan antara Al-Hadits dengan Al-Qur'an ialah :
·
Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur'an.
·
Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan
Al-Qur'an yang bersifat global
·
Hadits membatasi kemutlakan yang dinyatakan oleh
Al-Qur'an
·
Hadits memberikan pengecualian terhadap penguasaan
Al-Qur'an yang berisifat umum.
·
Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapan oleh
Al-Qur'an.
3.2. Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai
Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an, tentunya masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami dari kelompok 03 berharap agar para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesmpurnaannya makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
http://irvansyahfa.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-fungsi-al-quran-dan.html
Drs. Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Dr. M. Quraish Shihab, M. A., Membumikan alqur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat,
Penerbit Mizan, Bandung, 1992.
DR. Nawir Yuslem, M.A., Ulumul Hadis, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2001.
[1] http://irvansyahfa.blogspot.com/2013/03/pengertian-dan-fungsi-al-quran-dan.html
[2] Drs. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 1-3
[3]Dr. M. Quraish Shihab, M. A., Membumikan alqur’an: fungsi dan peran wahyu
dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992, hal 124.
[4] Ibid, hal 125-126
[5] Ibid, hal 121
[6] Ibid, hal 122
[7] DR. Nawir Yuslem, M.A., Ulumul Hadis, PT. Mutiara Sumber Widya,
2001, hal 66.
[8] Ibid, hal 67-68
[9] Ibid, hal 78-79
[10] Ibid, hal 80-81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar