Kamis, 29 Mei 2014

Makalah Filsafat Pragmatisme


  BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada zaman sekarang banyak orang yang belum mengetahui filsafat khususnya filsafat pragmatisme yaitu yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh karena itu, filsafat sangat penting untuk dipelajari agar mahasiswa dapat menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa definisi filsafat pragmatisme?
b.      Bagaimana perkembangan filsafat pragmatisme?
c.       Siapa tokoh-tokoh filsafat pragmatisme?
d.      Apa kelebihan dan kekurangan filsafat pragmatisme?
1.3  Tujuan
a.       Untuk mengetahui definisi filsafat pragmatisme.
b.      Untuk mengetahui perkembangan filsafat pragmatism.
c.       Untuk mengetahui tokoh-tokoh filsafat pragmatisme.
d.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan filsafat pragmatisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,     perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak (tetap). Suatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat.
            Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
2.2 Perkembangan Filsafat Pragmatisme
Awal mula filsafat pragmatisme
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman.William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang. Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.
Perkembangan pragmatisme
Pragmatisme berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya, Richard Rorty. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan. Karena bahasa hadir dalam bentuk jamak, demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, atau dengan kata lain, tidak ada pola yang rasional terhadap pengetahuan. Budaya atau nilai-nilai yang ada dilihat secara fungsinya terhadap manusia.
2.3  Tokoh-tokoh Filsafat Pargmatisme
      1. William James (1842-1910 M)
            James lahir di New York City pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal , berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Keluarga William James menerapkan Humanisme dalam kehidupan serta pengembangannya. Kehidupan  James rajin mempelajari manusia dan agama.
            Pendidikan formalnya yang mula-mula tidak teratur, ia mendapat tutor berkebangsaan Inggris, Perancis, Swiss, Jerman dan Amerika. Akhirnya ia memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869. Akan tetapi, ia kurang tertarik pada praktek pengobatan, ia lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Tahun 1875 perhatiannya lebih tertarik kepada psikologi dan fungsi manusia. Pada waktu inilah ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr., dan tokoh dalam Metaphysical Club untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metoda ilmiah agama dan evolusi. Disinilah ia mula-mula mendapat pengaruh Peirce dalam metoda pragmatisme.
Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Dunia terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepadanya suatu hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.
            Di dalam bukunya The Meaning of Truth, arti kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.
            Di dalam bukunya, Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan.
      2. John Dewey (1859 M)
            Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalama dan mengolahnya secara kritis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalamn dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda induktif. Metoda ini tidak hanya berlaku ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah insrtumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dalam penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Pragmatisme
      1. Kelebihan Teori Kebenaran Pragmatis
a. Obyek yang dikaji nyata (faktual)
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Sehingga memiliki landasan yang kokoh dan semakin berkembang.
b. Dapat menyelesaikan masalah secara cepat
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Kaum pragmatis menolak terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi pergunjingan berbagai filosofi, kaum pragmatis menemukan suatu metode yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekwensi praktis (akibat yang berguna) dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Menurut pragmatis, pelaksanaan atau praktek hiduplah yang penting bukan pendapat atau teori.
  

 2.  Kelemahan Teori Kebenaran Pragmatis
          a. Kebenaran bersifat dinamis (tidak tetap atau berubah-ubah)
Menurut teori kebenaran pragmatis tidak ada kebenaran mutlak dan bersifat statis (tetap). Pengalaman dan pengetahuan kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berkembang atau berubah, karena dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman atau pengetahuan berikutnya. Dan apa yang benar atau berguna kemarin, mungkin tidak benar atau tidak berguna untuk hari esok, tidak ada jaminan untuk menetapkan bahwa pengetahuan yang sukses kemarin akan tetap sukses, berguna, dan benar bagi hari esok.
          b. Dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Sedang akibat yang memuaskan itu sendiri adalah apabila sesuatu itu sesuai dengan keinginan dan tujuan, sesuai atau teruji benar dengan suatu eksperimen,dan ikut membantu dan mendorong perjuangan biologis manusia untuk tetap eksis (ada). Hal ini dikarenakan, menurut pragmatis tujuan semua kegiatan berpikir adalah kemajuan hidup, sehingga orang akan senantiasa survive (bertahan hidup), memajukan dan memperkaya kehidupannya, baik secara rohani maupun jasmani. Dan hal ini tentunyaakan mendorong manusia untuk berbuat apapun untuk mencapai tujuan tersebut, meskipun cara tersebut salah menurut teori kebenaran yang lain khususnya teori kebenaran religius. Yang terpenting menurut pragmatis adalah hasil akhir dari apa mereka kerjakan, bukan proses yang sedang mereka kerjakan.
         c. Kebenarannya bersifat subjektif
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan individu-individu. Kebenarannya relatif bergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu dalam memahami maupun memecahkan suatu masalah.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Secara umum Pragmatisme berarti hanya idea (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktekkanlah yang benar dan berguna,yang ada ialah apa yang ada (real), adanya ide karena,
F Ide itu dibuat melalui proses abstrak
F Ide itu beroperasi dalam kehidupan

3.2 Saran
             Agar mahasiswa mampu mengetahui dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dapat bermanfaat bagi kita dan para pembaca dan pendengar.



DAFTAR PUSTAKA

        1.  H. Ahmad Syadali, filsafat umum, Bandung; CV Pustaka Setia,    
                1997.
         2.   http;/atthamimy.blogspot.com/2012/  filsafat pragmatisme.
            3.   Prof., Dr.,   Juhaya S. Praja Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta.               2003
4. Mudzakir, Drs., dkk., Filsafat Umum, CV. Pustaka Setia: Bandung. 1997.

5.    Munir, Misnal, Drs., M.Hum., dkk, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2006.
           
                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar