Sabtu, 09 Januari 2016

Peristiwa Thaif dan Isra’ Mi’raj



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam ajaran agama islam. Utamanya di negara kita negara Indonesia dengan mayoritas pemeluk agama islam terbanyak di dunia. Negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama islam, telah menjadikan hari peristiwa yang penting itu sebagai hari libur nasional, dan peringatannya sendiri diadakan secara resmi di masjid Istiqlal (kemerdekaan) yang dihadiri oleh presiden, wakil presiden, para anggota kabinet, para wakil negara islam, dan para undangan terhormat lainnya.
Jalannya peristiwa itu sendiri sudah menjadi rahasia umum, dan menjadi tema-tema pokok berbagai ceramah dan tabligh untuk memperingatinya. Juga sudah dibeberkan dalam berbagai karya tulis, baik yang klasik maupun yang modern. Hikmahnya pun sudah menjadi rahasia umum, yang kiranya tidak perlu banyak disinggung di sini. Sebaliknya, dalam pembahasan kali ini akan dikemukakan sedi-segi kesejarahan yang berkenaan dengan dua tempat suci yang terkait dengan peristiwa isra’ dan mi’raj, yaitu masjidil haram di makkah dan masjidil aqsha di baitul maqdis. Tujuannya adalah memberi kesadaran historis kepada kita semua selaku pemeluk agama islam dan yang mepercayai sepenuhnya kejadian luar biasa isra’ dan mi’raj.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perjalanan Rasulullah SAW ke Thaif?
2.      Bagaimana peristiwa berlangsungnya isra’ dan mi’raj?
3.      Apa dalil yang menjelaskan tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj? 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hijrah Rasulullah ke Thaif
1.      Keberangkatan Nabi SAW ke Thaif
Sebagai seorang manusia, Nabi SAW pernah merasakan sedih kala ditinggal wafat oleh kedua orang yang seakan-akan menjadi tulang punggung beliau selama ini. Tidak ada kepedihan dan kedukaan yang lebih besar yang beliau rasakan selama sepuluh tahun setelah menjadi Rasulullah SAW, kecuali pada saat itu.
Ketika para pembesar musyrikin Quraisy menyadari bahwa Nabi tidak lagi mempunyai tulang punggung yang dapat melindungi beliau apabila disakiti dan dianiaya, mereka makin menghalangi dan memusuhi beliau. Beliau tidak henti-henti menerima celaan, penghinaan, dan perbuatan yang menyakitkan dari para musyrikin Quraisy. Oleh sebab itu, beliau teringat bahwa di kota thaif ada seseorang yang masih keluarga dekat beliau dari keturunan Tsaqif. Di kota Thaif, merekalah yang memegang kekuasaan.
Nabi SAW berharap apabila beliau datang ke Thaif dan bertemu dengan mereka, mereka bisa mengikuti seruannya dan ikut serta menggerakkan dakwah beliau di kota itu. Dengan demikian, penduduk kota itu akan segera mengikuti seruan beliau dan selanjutnya mereka dapat memberi bantuan untuk kepentingan penyiaran Islam di kota Mekah. Dengan tidak berpikir panjang, Nabi SAW pergi ke Thaif secara diam-diam bersama Zaid dan Harits dengan berjalan kaki.
Setibanya di Thaif, beliau mencari tempat kediaman orang yang di tujunya, yakni para pemimpin Bani Tsaqif yang sedang berkuasa di sana. Setelah beliau mengetahuinya, beliau segera mendatangi mereka. Beliau lalu menyatakan maksud menyambung tali kasih sayang dengan mereka dan mengenalkan  kepada mereka supaya mengikut apa yang diserukannya.
Setelah mereka mendengar seruan beliau, seketika mereka marah, mencaci maki beliau, dan mendustakan beliau dengan perkataan yang sangat kasar. Mereka mengusir beliau dari kota Thaif. Setelahnya, beliau mohon diri, seraya berkata, “Jikalau kamu tidak sudi menerima kedatanganku ke sini, tidak mengapa. Tapi janganlah kedatanganku kemari disiarkan kepada penduduk kota”.[1]
2.      Penganiayaaan penduduk Thaif terhadap Nabi Muhammad SAW
Ketika Nabi SAW keluar dari rumah mereka, mereka menyeru penduduk supaya mencaci serta menghina beliau. Kemudian orang-orang di sekitar rumah itu keluar dan berbondong-bondong hendak mengeroyok Nabi SAW. Akan tetapi, Nabi SAW telah keluar dan pergi dari tempat tersebut.
Disuruhlah mereka berbaris di kanan kiri jalan untuk melempar batu dan pasir ke arah beliau dan sahabatnya. Oleh karena orang yang memerintahkan berbuat demikian adalah orang yang berkuasa, sudah barang tentu perintah itu dilaksanakan. Lemparan batu di arahkan ke kaki Nabi. Kedua kaki beliau luka dan mengeluarkan darah dan terpaksa beliau berjalan dengan merangkak karena menahan sakit. Melihat beliau berjalan terseok-seok dan merangkak, mereka lalu mengejek, menertawakan, dan mencaci maki dengan perkataan yang kasar dan keji. Adapun kepala Zaid bin Haritsah ketika itu terluka parah dan mengucurkan darah karena terkena lemparan batu.[2]
3.      Pertemuan Addas dan Nabi Muhammad
Nabi SAW dan Zaid yang terluka sedemikian parah berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah, keduanya adalah anak lelaki Rabi’ah. Beliau duduk di bawah pohon anggur untuk beristirahat sekaligus bersembunyi. Beliau duduk merenungi keadaan yang menyedihkan dan menengadah ke atas mengadukan kepedihan dan kesengsaraan yang dideritanya itu kepada Allah SWT sambil berdo’a dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Utbah dan Syaibah yang berada di kebun mengamati gerak-gerik Nabi dan Zaid. Keduanya pun mengetahui bahwa kedua orang itu terluka parah. Oleh sebab itu, timbullah iba mereka terhadap Nabi dan Zaid. Mereka memanggil pelayannya, seorang Nasrani bernama Addas, kemudian diperintahkan: “Ambilkan buah anggur dan berikan kepada dua orang itu” (yakni Rasulullah SAW dan Zaid).
            Sambil menerima buah anggur Rasulullah berucap, “Bismillah”. Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau, Addas berkata:
“Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini!”
Rasulullah SAW bertanya, “Engkau dari daerah mana?”
“Saya seorang Nasrani dan Ninuwi,” jawab Addas.
“Apakah engkau dari negerinya seorang saleh bernama Yunus anak Matiua?” tanya Rasulullah
“Bagaimana tuan bisa mengenal Yunus?” Addas bertanya.
Rasulullah SAW menerangkan, “Yunus adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.”
Seketika itu Addas berlutut di hadapan Rasulullah lalu mencium kaki beliau.
Salah satu dari anak Rabi’ah itu berkata kepada yang satunya, “Rupanya dia menghasut pelayan kita!”
Setelah Addas kembali, mereka menanyakan tindakannya. Addas mengatakan, “Tidak ada orang yang sebaik dia.” Dua orang itu berusaha menjelek-jelekkan Nabi SAW agar pelayan mereka tetap pada agamanya semula. Seolah-olah dua orang bersaudara itu tidak rela Nabi Muhammad SAW keluar dari Thaif dengan membawa hasil.


4.      Perlindungan Muth’am Kepada Nabi SAW Untuk Kembali Ke Mekkah
Sudah barang tentu kejadian di Thaif telah didengar oleh kaum Quraisy. Karenanya Rasulullah memutuskan untuk tidak memasuki Mekkah sebelum yakin benar akan keselamatan jiwa dan keerhasilan dakwahnya. Beliau mengirim pesan kepada Muth’am  bin Adiy untuk meminta perlindungan agar beliau bisa melaksanakan dakwahnya. Permintaan beliau disambut baik oleh Muth’am. Ia memerintahkan para putranya agar mempersenjatai diri dan berjaga di sudut-sudut Ka’bah. Sedang Muth’am sendiri duduk di atas unta sambil berseru, “Hai orang-orang Quraisy, aku telah memberi jaminan keselamatan kepada Muhammad SAW. Jadi, jangan ada di antara kalian yang mengusiknya!”
Setibanya di Ka’bah, Rasulullah menunaikan shalat dua rakaat, kemudian pulang ke rumah dengan dikawal oleh Muth’am dan anak-anaknya yang bersenjata lengkap.[3]

B.     Isra’ dan Mi’raj
Setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Thaif dan kembali ke Mekkah, beliau melanjutkan langkah-langkah yang telah ditempuhnya dalam melaksanakan dakwah dan menyampaikan risalah illahi. Di saat beliau sedang giat meneruskan perjuangannya, terjadilah  peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
1.      Pengertian Isra’ dan Mi’raj
Kata isra’ berasal dari bahasa arab yang artinya berjalan di waktu malam atau membawa berjalan di waktu malam hari. Ari kata isra’ dalam al-qur’an disebutkan dalam QS. Ad-Dukhan : 23 :
ÎŽó r'sù ÏŠ$t7ÏèÎ/ ¸xøs9 Nà6¯RÎ) tbqãèt7­FB ÇËÌÈ
Artinya :"Maka berjalanlah kamu dengan membawa hamba-hamba-Ku pada malam hari, Sesungguhnya kamu akan dikejar,” (QS. Ad-Dukhan: 23)
Yang dimaksud dengan kata isra’ dalam kebanyakan kitab islam yang lazim dipakai adalah perjalanan Nabi SAW dari masjidil haram (mekkah) ke masjidil Aqso (palestina) di waktu malam hari.
Kata mi’raj berasal dari bahasa arab yang artinya tangga atau alat untuk naik dari bawah ke atas, kata mi’raj dalam al-qur’an terdapat dalam QS. Al-Maarij : 3
šÆÏiB «!$# ÏŒ ÆlÍ$yèyJø9$# ÇÌÈ
Artinya : “ (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.” (QS. Al-Maarij : 23)
Adapun arti kata mi’raj ialah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari alam bawah (bumi) ke alam atas (langit) sampai tujuh petala langit dan terakhir menuju sidratil muntaha yakni dari masjidil haram menuju masjidil aqsa di palestina kemudian naik ke alam atas melalui beberapa planet yang bertingkat-tingkat lalu naik ke baital makmur, ke sidrotil muntaha dan terakhir ke ‘arsy dan kaursy dimana beliau menerima wahyu dari Allah SWT yang mengandung perintah shalat 5 waktu. [4]          
2.      Masa dan Keadaan Terjadinya Isra’ Mi’raj
Para ulama’ ahli tarikh banyak berselisih tentang kapan terjadinya isra’ dan mi’raj. Sebagian ulama’ mengatakan terjadinya pada hari sabtu malam, sebagian ulama’ mengatakan pada hari jumat malam, sebagian lagi mengatakan pada hari senin malam dan ada yang mengatakan pada hari selain hari-hari tersebut.
Mengenai kapan terjadinya isra’ mi’raj dapat perselisihan apakah sesudah atau sebelum beliau menjadi Rasul, atau menjelang hijrah. Padahal jarak dua masa itu lebih dari 10 tahun. Tapi karena surat al-isra’ disepakati dalam kronologi sebagai surat ke-50 dari 86 surat yang turun di mekkah maka dapat diduga isra’ itu terjadi beberapa waktu sebelum hijrah. Mengenai tanggal juga ada berbagai pendapat misalnya, tanggal 17 Rajab, 27 Rabiul Awal, 29 Ramadhan, serta 27 Rabiul Akhir. Semua itu memperkirakan tahunnya berkisar antara saat menjadi Rasul dan beberapa tahun setelah hijrah.[5]
 Tentang bagaimana terjadinya isra’ mi’raj yang dijalani oleh nabi SAW, yakni apakah dengan tubuh kasar (jasmani) serta tubuh halus (ruhani) atau hanya dengan tubuh halus (ruhani) saja, para ulama’ sejak dahulu hingga sekarang masih berselisih pendapat tentang terjadinya isra’ dan mi’raj. Sebagian ulama’ berpendapat tentang isra’ dan mi’raj dilakukan dengan jasmani dan ruhani, sebagian ulama’ berpendapat dengan ruhani saja, sebagian ulama’ berpendapat dengan badan halus, yaitu tidak jasmani juga tidak dengan ruhani. Sebagian ulama’ berpendapat dengan jalan wahdatul wujud, sebagian ulama’ berpendapat dengan jasmani dan ruhani sedangkan mi’raj dilakukan dengan ruhani saja. Pendapat terbanyak adalah isra’ mi’raj dilakukan dengan jasmani dan ruhani.[6]
3.      Dalil Yang Menunjukkan Tentang Peristiwa Isra’ Dan Mi’raj
Di dalam al-qur’an terdapat beberapa dalil tentang peristiwa isra’ mi’raj, berikut adalah beberapa dalil al-qur’an yang menunjukkan peristiwa isra’ mi’raj :
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÈ  
Artinya : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-isra’ : 1) [7]

Makna yang terkandung di dalam ayat tersebut adalah menceritakan tentang perjalanan Nabi SAW dari masjidil haram ke masjidil aqsa di waktu malam hari dengan durasi yang sangat pendek, di tengah-tengah perjalanan, beliau sempat dipertemukan oleh Allah SWT berkumpul dengan para Nabi, naik ke langit, melihat keajaiban alam para malaikat, dan bermunajat langsung dengan Allah SWT dengan izin-Nya. Sehubungan dengan itu, Nabi SAW menceritakan kejadian tersebut melalui sabda Rasulullah SAW yang berbunyi : “Bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Didatangkan kepadaku Buraq, yaitu binatang yang berbulu putih lebih besar dari keledai yang lebih kecil dari baghal. Apabila ia terbang kaki depannya dapat mencapai sejauh pandangan mata. Lalu aku menaikinya dan ia membawaku hingga sampai di Baitulmakdis. Kemudian aku tambatkan ia pada tempat penambatan yang biasa dipakai oleh para nabi. Selanjutnya aku memasuki Masjidilaksa dan melakukan salat dua rakaat di dalamnya. Setelah itu aku keluar dari Masjidilaksa datanglah kepadaku malaikat Jibril seraya membawa dua buah cawan; yang satu berisikan khamar sedangkan yang lain berisikan susu. Aku memilih cawan yang berisikan susu, lalu malaikat Jibril berkata, 'Engkau telah memilih fitrah (yakni agama Islam).” (H.R. Ahmad) 
Setelahnya Rasulullah ditemani oleh malaikat Jibril dari berlapis-lapis langit, sebelumnya hati Nabi SAW telah diisi oleh Allah SWT dengan hikmah dan iman. Sebagian besar mufassirin berpendapat bahwa Isra’ itu dilakukan dengan ruh dan jasad beliau dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka itu mengajukan beberapa alasan untuk menguatkan pendapatnya di antaranya ialah:

a.       Kata (سُبْحَانَ) menunjukkan adanya peristiwa yang hebat, seumpama Nabi itu di-Isra’kan dalam keadaan tidur, tidaklah sepatutnya diungkapkan dengan menggunakan ayat yang didahului dengan tasbih.
b.      Andai kata Isra’ itu dilakukan dalam keadaan tidur, tentulah orang Quraisy tidak dengan serta merta mendustakannya. Juga banyaknya orang muslim yang murtad kembali, lantaran adanya berita itu, menunjukkan peristiwa Isra’ bukanlah peristiwa yang biasa. Lagi pula kata-kata Umu Hani’ yang melarang Nabi menceritakannya kepada siapapun agar mereka tidak mendustakannya. Juga menguatkan bahwa Isra’ itu dilakukan Nabi dengan ruh dan jasadnya. Dan peristiwa yang menyebabkan Abu Bakar diberi gelaran “As-Siddiq” karena dia membenarkan Nabi Isra’ dengan ruh dan jasadnya, sedangkan orang-orang lain berat menerimanya.
c.       Bahwa firman Allah SWT (بِعَبْدِهِ) menunjukkan kesatuan satu kesatuan bulat antara ruh dan jasad. Dan tidak terpisah antara satu sama lain.
d.      Perkataan Ibnu Abbas bahwa : Orang-orang Arab kerap kali pula menggunakan kata “ru’ya” dalam arti penglihatan mata, maka kata “ru’ya” yang tersebut dalam firman Allah:
. . . $tBur $uZù=yèy_ $tƒöä9$# ûÓÉL©9$# y7»oY÷ƒur& žwÎ) ZpuZ÷FÏù Ĩ$¨Z=Ïj9 n . . .      ÇÏÉÈ                   

Artinya : “Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan Kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (Q.S. Al-Isra’:60)
e.        Yang diperlihatkan kepada Nabi pada waktu Isra’ dan Mikrajnya adalah berarti penglihatan mata yang mungkin terjadi karena kecepatan yang serupa telah dibuktikan oleh manusia dengan teknologi modern.[8]


4.      Hikmah Isra’
Kita telah mengetahui bahwa dengan Isra’ dan Mi’raj, Allah SWT memperlihatkan kebesaran-Nya kepada Muhammad SAW tanda-tanda kekuasaannya, Yang Maha Besar. Mukjizat yang dimiliki para Nabi dan Rasul terdahulu dimaksudkan untuk mengajak kaumnya untuk beriman. Dengan demikian, mukjizat sebgai sarana pendukung bagi para Nabi dan Rasul untuk meyakinkan musuh-musuh mereka. Namun begitu, kehidupan Rasulullah lebih tinggi daripada kemukjizatan-kemukjizatan itu.
Kaum musyrikin pernah menuntut pembuktian supaya Rasulullah SAW naik ke langit. Kemudian datanglah jawaban dari Allah SWT berupa wahyu kepada beliau:
Katakanlah (Hai Muhammad): “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya manusia utusan (Rasulullah)?” (QS. Al-Isra’ : 93)
Akan tetapi  beberapa waktu kemudian, setelah Rasulullah benar-benar naik ke langit (Mi’raj), beliau sama sekali tidak pernah menerangkan bahwa peristiwa itu untuk menjawab tantangan kaum musyrikin. Dapat dikatakan, bahwa Isra’ dan mi’raj itu semata-mata merupakan penghormatan dan penambahan pengetahuan yang diberikan Allah SWT pada Rasul-nya.
Dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ciri pertama agama Islam adalah agama yang fitrah. Fitrah adalah inti sari agama Islam. Tidak mungkin pintu tujuh petala langit dibukakan bagi seseorang yang berperangai buruk dan berhati cacat. Fitrah yang tidak sehat adalah ibrat mata diserang trakhum yang selalu mengeluarkan kotoran.
Ibdah dapat dijadikan selimut untuk menutupi fitrah yang buruk. Ibdah seperti itu nilainya lebih rendah daripada perbuatan maksiat. Tiap peradaban bertambah maju, pada umumnya manusia makin suka melakukan sesuatu secara dibuat-buat dan membelenggu dirinya dengan pemujaan serta tradisi yang buruk. Ulah tingkah yang dibuat-buat itu sering menjadi tutup yang memadamkan cahaya kemurnian fitrah dan mengeruhkan kejernihan dan kebersihannya.
Pada saat Mi’raj Rasulullah menerima perintah shalat lima kali sehari semalam. Ketentuan itu ditetapkan di langit, agar shalat menjadi “mi’raj’ yang mengangkat martabaat manusia lebih tinggi, sanggup menundukkan hawa nafsu dan ujuk rayu keduniaan  lainnya. Shalat lima waktu yang diwajibkan Allah tidak seperti yang dilakukan oleh kenyakan orang pada zaman sekarang. Ada pun tanda-tanda orang yang menunaikan shalat engan benar adalah ia mampu menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan malu untuk mengulangi perbuatan tersebut. Bilamana shalat dilakukan berulang-ulang itu tidak mengangkat orang yang bersangkutan kepada martabat seperti di atas, maka jelaslah bahwa shalat yang dilakukannya itu kbohongan belaka.
Banyak hadits yang meriwayatkan, bahwa dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulluah SAW menyaksikan berbagai gambaran mengenai balasan yang akan diterima orang yang shalih dan yang durhaka.  Semua buku riwayat kehidupan Nabi SAW menerangkat bahwa berbagai gambaran yang disaksikan oleh beliau itu terjadi dalam Isra’ dan Mi’raj.
Yang benar ialah gambaran tentang balasan (pahala atau siksa) itu dilihat oleh Nabi SAW dalam mimpi malam lainnya, bukan malam Isra’ dan Mi’raj. Hal ini diberitakan oleh hadits-hadits yang shohih.[9]



[1] Moenawar Chalil, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad jilid 2, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001, hlm 63-64.
[2] Ibid, hlm 65.
[3] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004, hlm 153-156.
[4] Moenawar Chalil, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad jilid 2, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001, hlm 80-81
[5] Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penaffsiran Baru,Mizan, Bandung, 1995, hlm. 229.
[6] Moenawar Chalil, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad jilid 2, Gema Insani Pres, Jakarta, 2001, hlm. 82.
[7] Lihat QS. Al-isra’ : 1, 60, QS. An-Najm : 1-18, ad-dukhan : 23, huud : 81, al-maarij : 3
[8] Jalaluddin Al-Mahalli Dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Hlm QS Al-Isra’ : 1
[9] Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004, hlm. 163-168.


1 komentar:

  1. Terima kasih,terima kasih,terima kasih atas informasi yang menakjubkan dan membacanya

    BalasHapus