Sabtu, 09 Januari 2016

DIPLOMASI QURAISY DAN PENCARIAN SUAKA POLITIK KE HABSYI



DIPLOMASI QURAISY DAN PENCARIAN SUAKA POLITIK KE HABSYI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Siroh Nabawiyah
Dosen : Ulfa Rahmawati. M.Pd
A description...
Disusun Oleh:
 Kelompok 5
1.      Siti Fauzul Muna                      (1310110042)
2.       Shofiyatul Himami                  (1310110044)
3.      M. Khasby Muzakki                 (1310110047)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada awal mula Nabi Muhammad  mendapatkan wahyu dari Allah SWT yang isinya menyurush manusia untuk beribadah kepada-Nya, mendapat tantangan yang besar dari berbagai kalangan kaum Quraisy. Hal ini terjadi karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang memluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, membuat kemampuan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi terancam. Karena hal inilah mereka berusaha dengan semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. dengan cara diplomasi dan kekerasan mereka lakukan. Merasa terancam, Allah pun memerintahkan Nabi Muhammad untuk berhijrah ke kota Madinah. Disinilah babak baru  kemajuan islam dimulai.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian Diplomasi dan Suaka Politik?
2.    Bagaiamana diplomasi yang dilakukan Quraisy?
3.    Bagaimana proses pencarian suaka politik ke Habsyi?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Diplomasi dan Suaka Politik
Kata diplomasi mengandung dua pengertian Yang berbeda. Pertama, kata diplomasi dipahami sebagai kata lain dari politik luar negeri. Kedua, kata diplomasi dipahami sebagai prundingan (negosiasi).
Harold Nicholson, seorang pengkaji dan praktisi yang pandai dalam hal diplomasi, mengatakan bahwa kata diplomasi menunjukkan lima hal yang berbeda, yaitu :
1.      Politik Luar Negeri
2.      Negosiasi
3.      Mekanisme pelaksanaan negosiasi tersebut
4.      Suatu cabang Dinas Luar Negeri
5.      Dalam arti baik mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional, dan dalam arti buruk mencakup tindakan taktik yang lebih licik
Dari berbagai penjelasan mengenai pengertian diplomasi, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memahami diplomasi:
1.      Unsur pokok diplomasi adalah perundingan (negosiasi).
2.      Perundingan dilakukan untuk mengedepankan kepentingan Negara.
3.      Tindakan-tidakan diplomatic diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakam dengan damai. Bila gagal dengan cara damai, cara kekerasan (dengan menggunakan kekuatan) sangat mungkin untuk digunakan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa diplomasi adalah seni mengeedapankan kepentingan suatu negara melalui cara negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam berubungan dengan negara lain.  Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, cara kekerasan (dengan menggunakan kekuatan) sangat mungkin untuk digunakan.
Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya.
Suaka politik merupakan gagasan yuridiksi di mana seseorang yang dianiaya untuk opini politik di negerinya sendiri dapat dilindungi oleh pemerintah berdaulat lain, negara asing.
Secara terminologi suaka politik adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi.[1]
B.     Diplomasi Quraisy
Penyebaran Islam di kota Mekkah awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Nabi Muhammad melaksanakan dakwah islam di lingkungan keluarganya, mula-mula istri dari beliau sendiri, yaitu khadijah yang menerima dakwah beliau, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib, lalu sahabat beliau Abu Bakar, bekas budak beliau yaitu Zaid dan di samping itu banyak pula orang yang masuk Islam dalam perantara Abu Bakar yang terkenal dengan julukan Assabiqunal Awwalun.
Kemudian telah turunnya ayat 94 surat Al-Hijr, Nabi Muhammad mulai berdakwah secara terang-terangan. Namun dakwah yang di lakukan Nabi Muhammad tidak mudah karena mendapatkan tantangan dari kaum kafir Quraisy, hal itu timbul karena beberapa faktor diantaranya mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Nabi Muhammad menyetarakan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Taklid membuta pada nenek moyangnya dalam kepercayaan, upacara dan peribadatan serta tata pergaulan yang merupakan suatu kebiasaan yang sudah berakar di kalangan bangsa Arab. Karena itu, mereka merasa berat untuk meninggalkannya.
Banyak cara dan upaya yang di tempuh orang Quraisy untuk mengalahkan dan menghentikan dakwah Nabi Muhammad, namun selalu gagal. Upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy adalah diplomasi dan bujuk rayuan maupun tindakan kekerasan secara fisik. Diawali pertama mereka mengira bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “kami meminta anda memilih satu diantara dua, memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkan kepada kami. Dengan demikian anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan.” Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan; “Hai Pamanku, demi Allah sekalipun mereka (para pemuka musyrikin) meletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriagar aku meninggalkan urusan ini tidaklah aku akan meninggalkannya, sehingga Allah menampakkannya (memberi kemenangan) atau aku dibinasakan dalam mengerjakan urusan agama ini.”
Merasa gagal dengan cara tersebut, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid bin Mughiroh dengan membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan, untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad, Walid bin Mughiroh berkata kepada Abu Thalib: “Hai Abu Thalib! Inilah pemuda Quraisy yang lebih gagah perkasa daripada Muhammad! Inilah pemuda Quraisy yang lebih bagus wajahnya daripada Muhammad. Inilah Umarah! Dia kami bawa kemari ini untuk kami serahkan kepadamu dan jadikanlah dia sebagai anak laki-laki mu sendiri. Tetapi anak laki-laki dari saudaramu (Muhammad), serahkanlah kepada kami, dia akan kami bunuh saja! Umarah inilah sebagi gantinya. Abu Thalib segera menjawab, “oh, sangat keji permintaanmu itu! Kamu sekalian hendak menyerahkan anak laki-laki mu Umarah, lalu aku disuruh memeliharanya, dan aku harus menyerahkan kemenakanku Muhammad kepadamu untuk kamu bunuh, apakah sudah sepatutnya demikian? Demi Allah, tidak akan kuserahkan Muhammad kepadamu! Sungguh permintaanmu itu sangat jahat!”. Setelah mereka mendengar jawaban Abu Thalib seperti itu, mereka mengancam Abu Thalib dan Nabi SAW, tetapi ancaman itu dijawab oleh Abu Thalib, “Baik, sekehendak kamulah, terserah menurut kemauan kamu!”. Akhirnya mereka pulang dengan perasaan yang mendongkol terhadap Abu Thalib.[2]
Untuk kali berikutnya, mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika untuk membujuk Nabi. Utbah duduk di samping Rasulullah, seraya berkata, “Wahai anak pamanku, kamu adalah salah seorang turunan suku terhormat diantara kami. Dan kamu datang kepada mereka dengan satu hal yang sangat penting. Karena apa yang kamu bawa telah memecah belah masyarakat, dan mengolok-olok tradisi mereka. Kamu juga telah melecehkan Tuhan-tuhan dan agama mereka serta menyatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang kafir. Maka dengarkanlah apa yang aku katakan, karena aku akan menawarkan kepadamu beberapa tawaran yang mungkin salah satu diantaranya dapat kau terima.” Rasulullah setuju untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan Utbah. Kemudian Utbah melanjutkan ucapannya, “Jika yang kamu inginkan adalah uang, kami akan kumpulkan kekayaan kami sehingga kamu akan menjadi orang terkaya diantara kami, jika yang kamu inginkan adalah kehormatan, kami akan menjadikan kamu pimpinan kami, sehingga tak ada satu keputusan pun yang lepas dari pengawasannmu , dan jika yang kamu inginkan adalah kedudukan, kami akan mengangkatmu sebagai raja diantara kami. Dan jika jin yang ada di dalam dirimu begitu menguasaimu dan kamu tidak mampu mengusirnya, kami akan mengumpulkan para dokter spesialis yang akan mampu mengusir jin yang merasuk ke dalam jiwamu. Rasulullah mendengarkan dengan seksama dan penuh kesabaran, kemudian beliau membacakan salah satu surat Al- Qur’an.
“Dan mereka berkata: “Hati kami tertutup terhadap apa yang engkau serukan kepada kami.”
Saat Utbah kembali kepada para sahabatnya dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tidak pernah mendengar satu perkataan yang indah seindah yang dibacakan Muhammad. Dia nyatakan lebih lanjut bahwa apa yang dibacakan bukanlah syair, bukan jampi dan bukan sihir. Dia berkata, “Ikutilah Nasihatku dan kerjakan seperti yang aku kerjakan. Biarkanlah orang ini (Muhammad SAW) bekerja sesuai dengan apa yang dia inginkan. Karena demi Tuhan, kata-kata yang aku dengar akan memancar keluar kota Mekkah. Jika orang luar Arab membunuhnya, berarti orang lain telah berhasil melepaskanmu darinya, sedangkan jika dia mendapat tanggapan positif dari orang Arab, maka kedaulatan dan kekuasaanya akan menjadi bagianmu juga, dan kamu akan memperoleh kemuliaan lewat tangannya.”[3]
Didorongnya oleh kepentingan dan posisinya, mereka melakukan negosiasi dan mengajukan berbagai argumen untuk membendung laju misi yang beliau bawa. Argument yang mereka ajukan sungguh sangat mudah diterima menurut ukuran kala itu. Jika beliau menginginkan uang maka mereka akan menjadikannya sebagai orang terkaya, jika yang diinginkan adalah kekuasaan, maka mereka akan menobatkan Rasulullah sebagai pimpinan. Namun apa yang Rasulullah inginkan bukanlah uang, bukan kehormatan, dan bukan pula kedudukan. Perdebatan pun terus berlangsung, hingga orang-orang Quraisy kehilangan kesabaran dan naik pitam. Maka setiap kabilah dan suku menyerang kaumnya yang mengaku sebagai Muslim, memenjarakan dan menyiksa mereka, menolak makanan dan minuman mereka dan menggiring mereka ke tengah-tengah panasnya sahara kota Mekkah. Perlakuan ini bukan hanya berlangsung selama seminggu, sebulan, ataupun setahun, akan tetapi berlangsung selama tiga belas tahun. Rasulullah saat itu bukanlah pemuda yang masih penuh dengan vitalitas muda untuk menghadapi siksaan yang demikian beragam. Beliau disaat menderita banyak siksaan telah berusia lima puluh tiga tahun. [4]
Selain berbentuk bujukan atau siksaan fisik, usaha kaum Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW juga dilakukan dengan pemboikotan  selama tiga tahun. Pemboikotan itu berhenti setelah papan pengumuman pemboikotan yang dipasang di Ka’bah hancur dimakan rayap. Selain itu, beberapa orang dari kalangan kaum Quraisy tidak tega melihat akibat pemboikotan tersebut.
C.    Pencarian Suaka Politik ke Habsyi
Pencarian Suaka Politik ke Habsyi yang dilakukan oleh kaum Muslimin dipelopori oleh gangguan yang dilakukan oleh kaum Quraisy yang semakin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan agar mereka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat agar pergi ke Habsyi yang rakyatnya menganut agama Kristen.
Sebagian kaum muslim pada waktu itu lalu berangkat ke Habsyi guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Makkah untuk mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi. Lalu hijrah yang kedua dilakukan delapan puluh orang pria tanpa kaum istri dan anak-anak. Mereka tinggal di Habsyi sampai hijrah Nabi ke Yastrib. [5]
Setelah mengetahui bahwa kaum Muslimin hijrah ke Habsyi, kaum Quraisy mengirimkan dua orang utusan untuk menemui raja Najasyi, utusan tersebut adalah ‘Amr bin ‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Kepada raja Najasyi dan para pembesar istana mereka memberikan hadiah-hadiah  yang dimaksudkan agar mereka mau mengembalikan kaum Muslimin yang hijrah ke Habsyi kepada kaum Quraisy.
Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah dari pendduduk Mekkah mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum muslimin itu kepada pihak kaum Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui oleh raja. Tetapi baginda raja menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak kaum Muslimin. Lalu dimintanya mereka menghadap.
Pada saat itu Ja’far bin Abi Thalib adalah perwakilan dari kaum Muslimin yang menghadap kepada raja. Raja bertanya kepadanya. “Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku atau agama lain?”.
Lalu Ja’far bin Abi Thalib menjawab “ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kemi menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan kerrabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang kuat akan menindas yang lemah. Demikian keadaan yang kami, sampai Tuhan mengutus seorang Rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek moyang kami sembah. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta, untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetanggga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Selanjutnya disuruhnya kami sholat, zakat dan puasa. (lalu disebutkannya beberapa ketentuan Islam). Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Maha Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan sispa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami, menghasut kami agar meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, supaya kami memebnarkan keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka menyiksa kami, menekan kami, mereka menghalang-halangi kamidari agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan disinilah kami terhidar dari penganiayaan.”
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?” tanya Raja itu lagi.
“Ya”, jawab Ja’far. Lalu ia membacakan Surah Maryam dari pertama sampai pada firman Allah:
Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata: “Aku adalah hamba Allah, diberi-Nya aku Kitab dan dijadikan-Nya aku seorang Nabi. Dijadikan-Nya aku pembawa berkah dimana saja aku berada, dan dipesankan-Nya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikan-Nya aku orang yang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkali aku hidup kembali!” [6]
Setelah mendengar keterangan tersebut membenarkan apa yang ada di Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut, mereka mengatakan bahwa kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus. Kemudian Raja Najasyi meminta dua orang utusan dari Quraisy untuk pergi, dan mengatakan bahwa beliau tidak akan menyerahkan para kaum Muslimin kepada mereka.
Keesokan harinya ‘Amr bin ‘Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Maryam. Panggillah dan tanyakan apa yang mereka katakan itu. Setelah mereka datang Ja’far berkata: “tentang dia pendapat kami adalah seperti yang dikatakan Nabi kami: Dia adalah hamba Allah dan Utusan-Nya, Ruh-Nya dan firman-Nya yang disamapaikan pada perawan Maryam”. Lalu Raja Najasyi mengambil tongkat dan menggoreskannya ke tanah. Dengan gembira sekali baginda berkata : ”antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”
Selama di Habsyi itu kaum Muslimin merasa aman dan tentram. Setelah dikabarkan pada para kaum muslimin bahawa gangguan kaum Quraisy mulai reda, lalu mereka kembali ke Mekkah untuk pertama kalinya, dan pada saat itu Muhammad masih berada di Mekkah. Akan tetapi ternyata para kaum Quraisy masih mengganggu kaum Muslimin, dan akhirnya mereka pun kembali lagi ke Habsyi dan hijrah yang kedua ini terdiri dari delapan puluh orang laki-laki tanpa wanita dan anak-anak.



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.   Diplomasi adalah seni mengeedapankan kepentingan suatu negara melalui cara negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam berubungan dengan negara lain.  Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, cara kekerasan (dengan menggunakan kekuatan) sangat mungkin untuk digunakan. Sedangkan suaka politik adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/kejahatan politik di negara lain atau negara asal pemohon suaka.

2.   Awal mula terjadinya kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy atas kaum Muslim adalah ketika Nabi Muhammad mendapatkan wahyu untuk melakukan dakwah secara terang-terangan. Dari perihal tersebut kaum Quraisy sangat tidak menyukai hal tersebut karena mereka tidak mengetahui perbadaan antara kerasulan dan kekuasaan sehingga mereka menganggap bahwa jika mereka tunduk kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad berarti sama saja mereka tunduk kepada keluarga Abu Muthalib. Banyak sekali cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menghancurkan dakwah Nabi Muhammad diantaranya dengan mengadakan diplomsi, serta bujuk rayu dan kekerasan, selain itu mereka juga melakukan usaha pemboikotan, akan tetapi semua itu gagal menghancurkan keteguhan hati Nabi Muhammad.


3.   Gangguan serta kekerasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy semakin menjadi-jadi sehingga membuat resah para kaum Muslimin. Oleh karena itu Nabi Muhammad mengutus para kaum Muslimin untuk pergi ke Habsyi dan meminta perlindungan kepada raja Najasyi yang terkenal adil dan bijaksana. Hijrahnya kaum Muslimin ke Habsyi dilakukan dua kali, yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dan hdelapan puluh orang laki-laki tanpa wanita dan hijrah mereka yang kedua terdiri dari delapan puluh orang laki-laki tanpa wanita dan anak-anak.
B.  Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan demi kesempurnaanya makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


 

DAFTAR PUSTAKA


Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2000
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 1, Jakarta, Gema Insani Press, 2001
Muhammad ahusain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, PT Pusaka Litera AntarNusa, 2001























[2] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 1, Jakarta, Gema Insani Press,  2001, hlm 205
[3] Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2000, hlm 8
[4] Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, hlm 9
[5] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta, PT Pusaka Litera AntarNusa, 2001, hlm 105
[6] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm 107-108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar