Sabtu, 09 Januari 2016

GENEOLOGI, KELAHIRAN, MASA KECIL HINGGA REMAJA DAN PERNIKAHAN RASULULLAH SAW DAN SEJARAH KERASULANNYA



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Rasulullah SAW sebagai suri tauladan, perlu untuk diketahui secara lebih mendalam sejarah kehidupannya. Karena dengan mengetahui sejarah, kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) yang terkandung didalamnya.  Imam Ali Karamallahu Wajhah pernah bernasehat tentang arti penting sebuah kisah sejarah, “meski rentang hidupku tak sepanjang masa hidup manusia lain, terutama generasi sebelumku, tapi aku berusaha keras untuk selalu mengkaji hidup mereka. Dengan tekun aku mengikuti kegiatan mereka, merenungkan segala usaha dan perjuangan mereka, mengkaji penginggalan dan reruntuhan hasil karya mereka. Lantas aku merenungkan kehidupan mereka sedemikian mendalam, sehingga seolah-olah aku hidup dan bekerja dengan mereka sejak zaman dini sejarah hingga ke masa kini. Dan akhirnya aku tahu apa yang membuat mereka menjadi baik dan apa yang membuat mereka merugi”.  Itulah hebatnya manfaat sejarah yang dapat menuntun manusia untuk memahami kehidupan lengkap dengan tantangannya.  
Kehidupan Rasulullah SAW memberikan kepada kita contoh-contoh mulia, baik sebagai pemuda islam yang lurus perilakunya dan terpercaya diantara kaum dan juga kerabatnya, ataupun sebagai da’i kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengarahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalahnya.
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana geneologi Rasulullah SAW ?
2.      Bagaimana sejarah kelahiran Rasulullah SAW ?
3.      Bagaimana masa kecil hingga remaja Rasulullah SAW ?
4.      Bagaimana pernikahan Rasulullah SAW hingga sejarah kerasulannya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Geneologi Rasulullah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), geneologi adalah garis keturunan manusia hubungan keluarga sedarah. Garis keturunan Rasulullah adalah berasal dari orang-orang termulia.
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam an-Nahwi berkata: “Silsilah Rasulullah SAW yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib, nama dari Abdul Mutholib adalah Syaibah bin Hasyim dan nama dari Hasyim adalah Amr’ bin Abdi Manaf, sedangkan nama dari Abdi Manaf adalah Al-Mughiroh bin Qushoyi bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin Lu’ayi bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin An-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah, nama dari Mudrikah adalah Ilyas bin Mudlor bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin Adda atau Adad bin Muqowim bin Nahur bin Tairoh bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Isma’il bin Ibrahim “Kholilur rahman” bin Tarih yaitu Azar bin Nahur bin Sarugh bin Ra’u bin Falikh bin ‘Aibar bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamik Matawusyalakh bin Akhnuh yaitu nabi Idris AS. bin Yard bin Mahlil bin Qoinan bin Yanisy bin Syits  bin ‘Adam.”
Silsilah Rasulullah SAW. sampai Adnan tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama’. Sedangkan silsilah setelah Adnan sampai Nabi Adam AS. terdapat perbedaan pendapat mengenai namanya. Ibnu Hisyam berkata: “menceritakan kepadaku Kholad bin Qurroh bin Kholid As-Sadusi dari Syaiban bin Zuhair bin Syaqiq bin Tsaur dari Qotadah bin Di’amah. Dia berkata: Ismail bin Ibrohim - Kholilurrahman – bin Tarih yaitu Azar bin Nahur bin Asrogh bin Ar’au bin Falikh bin ‘Abir Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamik bin Mattuwassalakh bin Akhnukh bin Yard bin Mahla’il bin Qoyin bin Anusy bin Syits bin Adam.”[1]
       
B.     Kelahiran Rasulullah
Dikatakan bahwa Aminah ibunda Nabi tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam kehamilannya. Segala sesuatunya baik-baik saja baginya. Dia banyak mendengar tentang wanitawanita lain yang mengalami beragai kesulitan ktika mereka hamil. Namun dia menjalani kehamilan dengan sangat mudah, terkait dengan harapannya bahwa anak yang akan lahir kelak menyinari keduhipunnya setelah kematian suaminya yang benar-benar tidak diharapkan.
Tidak ada sesuatu yang tidak biasa dalam kelahiran Muhammad. Satu-satunya hal yang baik untuk disebutkan bahwa ibunya dikemudian hari menceritakan bahwa dirinya melahirkan dengan mudah. Muhammad lahir pada Senin, 12 Rabi’ul Awal 571 M, tahun 53 sebelum hijrah. Ketika Aminah melahirkan bayinya, ia mengundang sang kakek Abdulmuttalib, untuk datang melihatnya. Dia sangat bahagia saat melihatnya. Dia sangat sedih kehilangan putranya, Abdullah namun kelahiran Muhammad mengurngi kesedihannya ketika dia menatap ke masa depan yang gemilang karena kelahiran anak baru.dia mengambil bayi itu dan membawanya ke Ka’bah.
Lalu dia memberinya nama Muhammad. Muhammad berarti “yang terpuji” atau “yang layak mendapatkan pujian”. Ia merupakan nama yang benar-benar asing di arab, sekalipun tanpa ragu-ragu Abdulmuttalib tetap memberinya nama tersebut. Muhammad di serahkan kepada Tsuwaibah, hamba sahaya pamannya, Abu Lahab, untuk menyusuinya selama beberapa hari hingga pengaturan jangka panjang untuk perawatannya ditentukan. Merupakan tradisi di kalangan bangsawan Makkah mengirim anak-anak mereka untuk disusui oleh wanita-wanita Badui yang subur. Setelah itu Muhammad disusui leh Halimah binti Abu Dzu’aib. Muhammad tinggal bersama Halimah di suatu gurun selama hampir empat tahun.[2]
C.    Masa Kecil Rasulullah Hingga Remaja
Ketika Muhammad sedang bermain dengan anak-anak lainnya, Malaikat Jibril datang dan mengambilnya dengan tangannya. Dia membaringkan Muhammad kemudian membelah dada dan perutnya, mengeluarkan hatinya serta menyingkirkan sebuah gumpalan hitam darinya. Kemudian dicuci hatiMuhammad dalam sbuah bejana emas yang penuh dengan air es sebeum meletakkannya kembali pada tempatnya.
Muhammad tinggal di Yatsrib selama sebulan dengan ibunya. Mereka tidak melakukan perjalanan panjang sebelum ibunya sakit. Sehingga Muhammad yang baru berusia enam tahun tidak lagi mempunyai ayah dan ibu. Aminah dimakamkan di al-Abwa’, Muhammad meneruskan perjalannanya ke Makkah bersama pengasuhnya, Ummu Ayman. Setelah kewafatan sang ibu, Muhammad dirawat oleh sang kakeknya Abdulmuttalib. Kakeknya memanjakannya melebihi kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Abdulmuttalib menyadari bahwa ajalnya tidak lama lagi salah satu perhatian utamanya adalah masa depan bocah yatim ini dan meminta Abu Thalib untuk merawat Muhammad manakala dia wafat. Dua tahun kemudian kakeknya wafat, saat itu Muhammad berusia 8 tahun. Muhammad benar-benar sedih kehilangan kakeknya.
Kehidupan masyarakat sangat bergantung pada perdagangan, yang berkembang pesat nmelalui jalur rutin ke Syria dan Yaman. Dalam hal ini tida ada yang bisa dilakukan oleh Muhammad kecuali bekerja sebagai seoarang penggembala. Kehidupan seorang penggembala lekat dengan perenungan dan kesabaran. Pengasuhnya Ummu Ayman dan pamannya Abu Thalib merupakan kaum yang biasa memberi penghormatan kepada berhala yang diberi nama Buwabah. Abu Thalib dan bibinya marah kepada Muhammad tentang sikapnya yang kurang menghormati berhala tetapi Muhammad tidak mau mengikuti.
Sekalipun demikian, muhammad menjalani kehidupan yang normal di tengah-tengah kaumnya. Dia ramah, penyayang dan benar-bear sangat santun kenyataan bahwa dia tidak ikut terbawa dalam berbagai kemaksiatan menjadikannya sangat terhormat. Lebih dari itu dia tidak pernah ketinggalan ikut serta dalam berbagai persoalan penting yang menjadi kepentingan suku atau masyarakatnya. Satu contoh, dia ikut serta dalam perang al-Fijar yang mengisyaratkan pelanggaran kesucian. Perang ini begitu terkenal karena diawali dengan sebuah pembunuhan yang curang, yang dilakukan oleh seorang pria Quraisy dalam salah satu dari empat bulan yang disakralkan karena disaat bulan itu dilarang adanya perang oleh orang-orang arab. Dalam hal ini tidak mengherankan jika perang terjadi antara Quraisy dan Hawazin.
Muhammad baru berusia lima belas tahun ketika perang ini tejadi. Perang ini terjadi selama empat tahun. Tidak lama berselang setelah perang ini berakhir, ketika Muhammad mendekati usia dua puluh tahun, dia ikut serta dalam pembentukan persekutuan antara klan-klan Quraisy yang berbeda. Persekutuan ini disebut al-Fudhal, karena ia memiliki tujuan yang begitu mulia sebagai tanda penghormatan.
Sesusai perang Fijar dan setelah terbentuk persekutuan Fudhul, kehidupan Muhammad menjelang tahap ketiga dari usianya. Tahap ini dan tahap sebelumnya adalah masa muda yang hangat, masa kematangan naluri dan masa yang penuh ambisi. Dalam hal ini dia melaksanakan tugas pencarian akan sebuah kedudukan baru dengan keseriusan dan kegigihan. Dia pun segera memutuskan bahwa dia harus mendapatkan pekerjaan daam perdagangan dan bisnis. Sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa dia berdagang di berbagai pasar dan bazar yang berbeda. Dia menjalin kemitraan dengan serang agen bernama as-Sa’ib ibn Abu as-Sa’i, yang kemudian memujinya karena integritas dan kejujurannya.[3]
Dalam Tarikh-nya Ibnul Atsir mengatakan: Siti Khadijah niagawati yang kaya dan terhormat. Ia mempekerjkan kaum pria dalam menjalankan usahanya dan memberi mereka sebagian keuntungan yang ia peroleh. Ketika ia mendengar kabar tentang sifat Muhammad yang jujur, bisa dipercaya, dan mulia, ia meminta beliau untuk mejualkan dagangannya ke Syam. Dia memberi beliau upah yang lebih banyak dibanding yang biasa ia berikan kepada pekerja lain. Keberangkatan beliau ke Syam itu disertai oleh pembantu Siti Khadijah, bernama Maisarah.
Muhammad menerima tawaran itu dan beliau pun berangkat ke Syam sebagai pedagang yang telah ditunjuk oleh niagawati tersebut. Dalam perjalanan dagang itu beliau memperoleh euntungan lebih banyak daripada yang diperoleh pamannya dahulu, Abu Thalib. Siti Khadijah sangat gembira menerima keuntungan yang besar itu, tetapi kekagumannya kepada orang yang telah diujinya itu jauh lebih mendalam.[4]
D.    Pernikahan Rasulullah Hingga Sejarah Kerasulan
1.      Pernikahan Rasulullah SAW.
Istri pertama Rasulullah SAW adalah Khadijah. Khadijah, seorang janda kaya, menerima banyak pinangan. Namun, dia sadar bahwa mereka meminang bukan karena uang. Karenanya dia menolak semua pinangan. Tapi, kerja sama bisnisnya dengan Muhammad menjadikannya sadar bahwa ada seorang pria yang baginya uang bukan yang utama. Dia mulai memikirkannya dari sudut yang berbeda. Dia memilki karakter yang kuat dan hanya akan bertindak dalam segala persoalan setelah melihatnya secara seksama dari berbagai segi. Rupanya dia telah meminta pendapat satu atau dua orang kerabatnya yang terpercaya, yang sangat memuji Muhammad. Salah seorang dari mereka adalah Waraqah Ibn Naufal pamannya, yang menyatakan bahwa Muhammad ditakdirkan memiliki masa depan yang sangat penting. Khadijah membutuhkan waktu lama untuk memutuskan memilih suaminya, setelah dia yakin betul akan karakternya. Melihat hubungannya dengan Muhammad, dia merasa kini saatnya bagi dia untuk mengambil langkah selanjutnya.
Khadijah mengutus sahabat dekatnya, Nufaissah binti Munyah, untuk melakukan pendekatan secara tidak langsung dengan Muhammad. ketika Khadijah yakin akan tanggapan Muhammad, Ia mengirim pesan dan memintanya untuk datang dan melihatnya. Kemudian, Khadijah mengajukan lamarannya, mereka akan menikah. Muhammad sangat senang dan memberitahukan hal ini kepada paman-pamannya, yang juga sangat senang dengan pernikahan ini. Amr ibn Asad tidak ragu-ragu menerima lamarannya. Pernikahan pun dilaksanakan dengan mahar 20 ekor Onta.[5]
2.      Sejarah Kerasulan
Mendekati usia 40, Muhammad merasa resah, gundah, galau, tentu bukan karena puber ke dua, tapi akaibat melihat kultur kehidupan masyarakat yang penuh tradisi kemungkaran bahkan kekejian, seperti mengubur bayi perempuan yang dilahirkan. Sebenarnya perasaan ini telah muncul jauh-jauh hari, namun kian mengganggu di kemudian hari. dalam kondisi hati gundah dan gelisah, Muhammad akhirnya menyendiri berkhalwat dengan sepi, memikirkan situasi dan kondisi yang penuh kejahiliahan ini. Semula, sehari saja ia menyingkirkan diri dalam sepi, namun lama-lama mencapai angka belasan hari. pada umur 40 tahun, ketika ia sedang menyendiri bertahannus dalam Gua Hira’ di puncak jabal Nur (gunung cahaya), Muhammad mendapatkan wahyu untuk yang pertama “Iqra’: bacalah”.
Muhammad yang tak mampu baca tulis alias ummi dengan cemas berkata, “Ma ana biqari’: aku tak mampu membaca”. Perintah diulangi dengan merengkuh badan Muhammad secara lebih erat, malah dengan menggoyangkan kuat-kuat. Muhammad kembali menjawab dengan ucapan serupa, “aku tak mampu baca”. Hal itu diulangi sampai tiga kali, lantas malaikat Jibril melanjutkan ucapan : “Iqra’ bismirabbikal ‘lazi khalaq, Khalaqal insana min ‘alaq, Iqra’ warabbukal akramul lazi ‘allama bil kalam, ‘Allamal insana malam ya’lam : Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan muliakanlah Tuhanmu yang mengajari dengan perantara pena, yang mengajari manusia tentang apa yang tidak di ketahui”. (Lihat Q.S. Al ‘Alaq; 1-5)
Dengan perasaan takut dan gelisah, Muhammad lantas pulang ke rumah. Dia menemui istri, dengan badan menggigil minta diselimuti, “selimuti aku, selimuti aku, wahai istriku”. Kala itulah akhirnya muncul perintah susulan: “Ya ayyuhal mudassir, Qum faanzir, wasiyabaka fatahhir: Hai orang berselimut, bangun dan berilah peringatan, dan pakaianmu hendaknya kamu sucikan....” (Lihat Q.S. Al-Mudasir: 1-4)
Muhammad kembali merasa ketakutan, Khadijah sang istri ikut menghibur menenangkan, lantas telah agak tenang Muhammad menceritakan pengalaman yang menakutkan. Istri tercinta akhirnya mengajak suami tercinta, menemui saudaranya, Waraqah yang ahli agama, untuk bertanya. Muhammad segera menjelaskan semua pengalaman, dan waraqah menjelaskan makna dari pengalaman.
Waraqah yang beragama Nasrani dan telah mendalami kitab suci Injil, memberi penjelasan, ringkas, tapi runtas, “itulah yang namanya wahyu Allah yang diturunkan kepadamu, sebagaimana telah diturunkan kepada beberapa orang pilihan terdahulu sebelumkamu, semisal Musa dan Isa. Sungguh, seandainya aku masih muda atau masih ada tersisa usia, aku akan menyertaimu menyebarkan risalah Tuhanmu, agar jangan sampai kaummu mengusir dirimu”. Muhammad yang telah menjadi Nabi sekaligus Rasul bersegera menyebarkan risalah Ilahi.[6]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Muhammad SAW adalah putra pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Siti Aminah binti Wahab, yang semuanya berasal dari keluarga terhormat alias ningrat. Ayahnya meninggal di Madinah ketika Muhammad masih dalam kandungan.  Muhammad SAW dilahirkan pada senin 12 Rabi’ul Awwal, 571 M. Setelah lahir Muhammad SAW diasuh oleh wanita lain secara terseleksi dari sisi keahlian dan pekerti yaitu kepada Tsuwaibah lantas kepada Halimah binti Abd As-Sa’diah. Pada usia 6 tahun dia kembali kehilangan ibunya. Muhammad yang yatim piatu lantas diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Namun, dau tahun kemudian sang kakek meninggal dunia, lalu digantikan diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Pada sang paman inilah Nabi Muhammad ikut sampai beliau menikah. Nabi Muhammad menikah pada usia 25 tahun dan Khadijah binti Khuwailid seorang janda berusia 40 tahun.
Mendekati usia empat puluh, Muhammad merasa resah gundah, galau, akibat melihat kultur kehidupan masyarakat yang penuh tradisi kemunkaran dan kekejian. Dalam kondisi hati gundah gelisah, Muhammad akhirnya sering menyendiri memikirkan situasi dan kondisi yang penuh kejailiahan ini. Pada umur empat puluh tahun, ketika beliau sedang menyendiri dalam gua Hira’ di puncak Jabal Nur untuk yang pertama kalinya beliau mendapat waahyu yang pertama, “Iqra’: Bacalah”.
Muhammad yang tak mampu baca tulis alias ummi dengan cemas berkata, “Ma ana biqari’: aku tak mampu membaca”. Perintah diulangi dengan merengkuh badan Muhammad secara lebih erat, malah dengan menggoyangkan kuat-kuat. Muhammad kembali menjawab dengan ucapan serupa, “aku tak mampu baca”. Hal itu diulangi sampai tiga kali, lantas malaikat Jibril melanjutkan ucapan : “Iqra’ bismirabbikal ‘lazi khalaq, Khalaqal insana min ‘alaq, Iqra’ warabbukal akramul lazi ‘allama bil kalam, ‘Allamal insana malam ya’lam : Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan muliakanlah Tuhanmu yang mengajari dengan perantara pena, yang mengajari manusia tentang apa yang tidak di ketahui”. (Lihat Q.S. Al ‘Alaq; 1-5)
Dengan perasaan takut dan gelisah, Muhammad lantas pulang ke rumah. Dia menemui istri, dengan badan menggigil minta diselimuti, “selimuti aku, selimuti aku, wahai istriku”. Kala itulah akhirnya muncul perintah susulan: “Ya ayyuhal mudassir, Qum faanzir, wasiyabaka fatahhir: Hai orang berselimut, bangun dan berilah peringatan, dan pakaianmu hendaknya kamu sucikan....” (Lihat Q.S. Al-Mudasir: 1-4)
Muhammad kembali merasa ketakutan, Khadijah sang istri ikut menghibur menenangkan, lantas telah agak tenang Muhammad menceritakan pengalaman yang menakutkan. Istri tercinta akhirnya mengajak suami tercinta, menemui saudaranya, Waraqah yang ahli agama, untuk bertanya. Muhammad segera menjelaskan semua pengalaman, dan waraqah menjelaskan makna dari pengalaman.
Waraqah yang beragama Nasrani dan telah mendalami kitab suci Injil, memberi penjelasan, ringkas, tapi runtas, “itulah yang namanya wahyu Allah yang diturunkan kepadamu, sebagaimana telah diturunkan kepada beberapa orang pilihan terdahulu sebelumkamu, semisal Musa dan Isa. Sungguh, seandainya aku masih muda atau masih ada tersisa usia, aku akan menyertaimu menyebarkan risalah Tuhanmu, agar jangan sampai kaummu mengusir dirimu”. Muhammad yang telah menjadi Nabi sekaligus Rasul bersegera menyebarkan risalah Ilahi.
B.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia kami pun tak luput dari kesalahan dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi semoga apa yang telah kami paparkan ini dapat bermanfaat bagi kani maupun bagi para pembaca dengan harapan dapat memperluas pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Dhurorudin Mashad, Mutiara Hikmah Kisah 25 Rasul, Erlangga, Jakarta; 2002
Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, Daar at-Tauqifiyah Lilturots, Al Qohiroh; 2013
M. A. Salahi, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, Mitra Pustaka, Yogjakarta; 2006
Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Yogjakarta; 2004



[1] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, Daar at-Tauqifiyah Lilturots, Al Qohiroh; 2013, hlm 7
[2] M. A. Salahi, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, Mitra Pustaka, Yogjakarta; 2006, hlm 26-40
[3]Ibid., hlm 41-50
[4]Muhammad al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Mitra Pustaka, Yogjakarta; 2004, hlm 78-80
[5]M. A. Salahi, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, hlm 47-48
[6] Dhurorudin Mashad, Mutiara Hikmah Kisah 25 Rasul, Erlangga, Jakarta; 2002, hlm 245-246

Tidak ada komentar:

Posting Komentar