Selasa, 09 Desember 2014

hubungan Iman, Ibadah dan Etika



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang           
Manusia diciptakan bukan sekedar hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung-jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surah al Bayyinah ayat 5 :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Dapat kita pahami dari ayat ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung-jawab. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, pada hakikatnya manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada penciptanya, Allah SWT.
Pada prinsipnya pengabdian manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran Islam yang mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT dan tentunya bila keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk amal keseharian akan menjadikan maslahah dalam kehidupan sosial.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan iman ?
2.      Apa yang dimaksud dengan ibadah ?
3.      Apa yang dimaksud dengan etika ?
4.      Bagaimana hubungan antara iman, ibadah dan etika ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Iman
Iman secara lughat atau secara bahasa berasal dari lafadz tashdiq yang artinya percaya (baik percaya kepada yang benar atau kepada yang bathil atau campuran keduanya).[1] Sedangkan menurut syara’ iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta mengamalkan dengan perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan hati yaitu mempercayai dan meyakini segala yang dibawa Rasulullah saw. Yang dimaksud dengan mengikrarkan dengan lisan adalah mengucap dua kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan perbuatan yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan badan mengamalkan dalam bentuk ibadah jika syarat – syarat diatas terpenuhi maka seorang dapat dikatakan “Mukmin”.[2]
Konsep iman adalah  pokok yang mendasari keseluruhan pemikiran tentang keyakinan dan kepercayaan dalam hal-hal keagamaan.
Konsep iman yang dikemukakan oleh aliran-aliran yang ada dalam teologi islam kesemuanya memiliki perbedaan, meskipun terdapat sedikit persamaan. Berikut akan di jelaskan konsep iman pada tiap aliran-aliran tersebut yaitu:
a.       Konsep iman menurut asy’ariah
Asy’ariah berpendapat bahwasanya akal manusia tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dan manusia mengetahuinya melalui wahyu. Menurut mereka iman ialah at-tasdiqu billah, yaitu membenarkan kabar tentang adanya Allah. Dalam batasan lengkapnya, iman ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran rasul serta segala apa yang yang mereka bawa. Menurut mereka iman bukan ma-rifat atau amal.
b.      Konsep iman menurut mu’tazilah
Mu’tazilah berpendapat bawa akal manusia bisa sampai mengetahui kepada kewajiban mengetahui tuhan. Menirut mereka iman bukanlah tads(membenarkan) tetapi amal yang timbul akibat dari mengetahui tuhan. Menurut mereka iman bukan hanya dengan pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga direalisasikan oleh perbuatan-perbuatan.
c.       Konsep iman menurut maturidiah Bukhara
Sama halnya dengan asy’ariah, maturidiah Bukhara berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa sampai  kewajiban mengetahui Tuhan. Menurut mereka iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi haruslah merupakan tads. Dan menurut mereka iman adalah kunci masuk surga dan amal akan menentukan tingkatan yang akan dimasuki seseorang dalam surga.
d.      Konsep menurut maturidiah Samarkand
Maturidiah samarkand sependapat dengan mu’tazilah, bahwa akal manusia akan sampai mengetahui Tuhan dan iman bukanlah hanya sekedar tads malainkan ma’rifah atau amal.[3]
B.     Pengertian Ibadah
Kata ibadah dalam bahasa Arab merupakan bentuk mahsdar dari kata-kata ‘abdun  yang arti generiknya menunjuk pada pengertian patuh dan tunduk, menghambakan dan  menghinakan diri.[4] Secara umum pengertian ibadah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ibadah dalam pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah dalam pengertian umum, ialah segala aktivitas jiwa dan raga manusia (makhluk, yang diciptakan) yang ditujukan kepada Allah (al-Khaliq, Sang Maha Pencipta), sebagai tanda ketundukkan dan kepatuhan hamba tersebut kepada-Nya. Sedangkan ibadah dalam pengertian khusus, ialah semua kegiatan ibadah yang ketentuannya telah digariskan oleh nash-nash al-Qur’an maupun hadis, yang ketentuan-ketentuan itu tidak boleh ditambah, dikurangi atau diubah.
          Di dalam kata ibadah terkandung makna ketundukan yang mendalam, berasal dari getaran jiwa yang merasakan kebesaran dari apa yang disembah (al-Ma’bud), dan dari keyakinan tentang adanya suatu kekuatan tak terbatas yang dimilki apa yang disembah itu. Getaran jiwa karena merasakan kemahaagungan yang disembah itu sendiri merupakan roh atau jiwa dari suatu ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam ibn Katsir dalam tafsir menjelaskan bahwa “ Ibadah itu, ialah suatu pengertian yang mengumpulkan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut”.  Akan tetapi, tidak cukup sekadar demikian saja, suatu ibadah dalam Islam harus pula dibarengi dengan perasaan kepasrahan mutlak kepada Allah, karena suatu ibadah yang tidak disertai dengan penyerahan diri secara mutlak, sama dengan menentang tindakan ibadah itu sendiri. Penyerahan diri itu mengandung arti yang seluas-luasnya, bahwa seseorang yang melakukan ibadah menyatakan pengakuan diri sebagai makhluk (yang diciptakan) dan sebagai hamba, yang disembah adalah al-Khaliq (Yang Mencipta) dan Tuhan. Kesadaran seperti inilah yang melahirkan getaran jiwa, setiap kali seorang hamba mendengar nama Tuhan disebut dan ayat-ayat Tuhan dibacakan. Sebagaimana firman Allah :
$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# #sŒÎ) tÏ.èŒ ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sŒÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍköŽn=tã ¼çmçG»tƒ#uä öNåkøEyŠ#y $YZ»yJƒÎ) 4n?tãur óOÎgÎn/u tbqè=©.uqtGtƒ ÇËÈ  
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan  apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal, 8:2)[5]
          Ibadah itu mensyukuri nikmat Allah SWT. Atas dasar inilah tidak diharuskan kita, baik oleh syara’ maupun oleh akal, beribadah kepada selain Allah SWT. Karena Allah sendiri yang berhak menerimanya, lantaran Allah sendiri yang memberikan nikmat yang paling besar kepada kita yaitu hidup, wujud dan segala yang berhubungan dengannya. Kita meyakini benar bahwa Allah-lah yang memberikan nikmat kepada kita. Maka mensyukuri “orang” yang memberikan nikmat itu wajib. Dan kita yakin pula bahwa Tuhan menimbulkan bencana atas hamba-Nya yang enggan mengibadati-Nya didalam dunia ini dan akan memberi balasan yang setimpal di akherat kelak kepada mereka yang taat dan yang maksiat masing-masing menurut yang layak mereka peroleh.
Untuk mewujudkan ibadah hamba itu, Tuhan memerintahkan hamba beribadat kepada-Nya. Tuhan mengeluarkan perintah-Nya ini, sebenarnya adalah suatu keutamaan-Nya yang besar kepada kita. Jika kita renungi hakikat ibadah, kita pun yakin bahwa perintah beribadah itu pada hakikatnya berupa peringatan, memperingatkan kita menunaikan kewajiban terhadap “orang” yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Diterima tidaknya ibadah-ibadah itu terkait kepada dua faktor yang penting:
·         Ibadah dilaksanakan atas dasar ikhlas.
Firman Allah SWT:
ö@è% þÎoTÎ) ßNöÏBé& ÷br& yç7ôãr& ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 tûïÏe$!$# ÇÊÊÈ   ßNöÏBé&ur ÷bL{ tbqä.r& tA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊËÈ
Artinya: “Katakan olehmu, bahwasanya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan taat kepada-Nya, dan diperintahkan supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya”. (QS. Az-Zumar/39:11-12)
·         Ibadah dilakukan  secara yang sah (sesuai petunjuk syara’).
Firman Allah SWT:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ  

Atrinya: “Barang siapa mengharap suoaya menjumpai Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. Dan janganlah ia mensyarikatkan seseorang dengan Tuhannya dalam ibadahnya itu”. (QS. Al Kahfi/18:110)[6]

C.    Pengertian Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti kebiasaan. Yang dimaksud adalah kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam kepustakaan umumnya kata etika diartikan sebagai ilmu. Makna etika dalam KBBI misalnya adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Didalam ensiklopedi pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentng baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Akal lah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Secara etimologi, akhlak atau etika berasal dari bahasa arab, jama’ dari khuluqun artinya perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mempunyai persamaan dengan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang artinya pencipta, makhluk yang artinya yang diciptakan.
Sedangkan secara terminologi, akhlak didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
a.       Menurut prof. Dr. Muhammad Amin, akhlak adalah segla sesuatu kehendak yang terbiasa dilakukan.
b.      Menurut ibnu maskawih, akhlak adalah perilaku jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui pertimbangan.
c.       Menurut al-Gazali, akhlak adalah segala sifat yang tertanam dalam hati yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian akhlak adalah suatu perbuatan sebagai sebuah kebiasaan yang berpangkal dari dalam hati, jiwa dan kehendak yang timbul secara spontan.[7]
D.    Hubungan antara Iman, Ibadah dan Etika
1.      Hubungan Iman dengan Ibadah
Hubungan iman dan ibadah adalah sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan etika atau moral dan sebaliknya. Keimanan atau akidah adalah fondasi dari semua ajaran islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Seseorang yang telah beriman atau berakidah harus mengimplentasikan keimanannya dengan syariah yaitu beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama manusia dan alam sekitar.
Akidah diwujudkan dalam pengucapan dua kalimat syahadat, diimani, diyakini, dan dibenarkan dalam hatinya. Sebagai wujud keimanannya kepada Allah, dia harus melaksanakan syariah berupa ibadah mahdah dan ibadah muamalah ghairu mahdah. Yang mana ibadah madhah artinya penghambaan yang murni merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung seperti : menjalankan ibadah sholat. Sedangkan ibadah muamalah ghairu madhah artinya segala amalan yang diizinkan oleh Allah, misalnya ibadah ghairu madhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.
Orang yang beriman disebut mukmin. Sedangkan seorang mukmin yang telah melakukan ibadah dan melakukan muamalah disebut muslim. Seorang mukmin belum dikatakan muslim apabila dia belum melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Keimanan dan keislaman seseorang harus dilengkapi dengan ibadah dalam rukun islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (bagi yang mampu). 
Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin kuat iman seseorang semakin kuat dan tinggi frekuensi ibadahnya. Demikian pula sebaliknya apabila semakin baik dan sempurna ibadah yang dilakukan seseorang, maka semakin mantap keimanan didalam dirinya. Pelaksanaan ibadah yang yang di landasi iman yang kuat memberikan dampak yang postif terhadap sikap dan perilaku seorang muslim.[8]
2.      Hubungan Iman dengan Etika
Keterkaitan iman dan etika dapat dilihat melalui beberapa analsis sebagai berikut:
a.    Dilihat dari segi objek bahasannya
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, iman membahas masalah tuhan, baik dari Zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia, sehingga perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia’
Allah Swt berfirman:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ  
Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas mentaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan  yang itulah agama yang lurus”(QS.Al-Bayyinah:5)
b.   Dilihat dari segi fungsinya
        Iman menghendaki seseorang tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman dan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh tehadap subjek yang ada dalam rukun iman itu. jika kita memiliki sifat-sifat mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat tuhan itu. Misalnya meniru sifat Ar-Rahman, Ar-Rahim.
3.      Hubungan Iman Ibadah dan Etika
Iman ibadah dan etika juga memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin tinggi kualitas ibadah seseoarang (misal shalat makin khusu’, mengurangi atau menghilangkan syirik kepada Allah). Dan kuantitasnya ( misal menambah shalat wajib dengan shalat sunnah, banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal iman seseorang, makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat menghilangkan kualitas iman seseorang kepada Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah yang dilandasi iman yang kuat memberikan dampak positif terhadap sikap dan perilaku  atau akhlak seorang muslim.
Allah berfirman :
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut 45)
Shalat itu mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat menghindarinya. sehingga seeorang akan tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah. Dengan demikianlah sangat erat hubungan dan saling mempengaruhi antara iman dengan ibadah kepada Allah SWT dalam mempengaruhi akhlak seseorang.[9]


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta mengamalkan dengan perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan hati yaitu mempercayai dan menyakini segala yang dibawa oleh Rasulullah. Yang dimaksud dengan mengikrarkan dengan lisan adalah mengucap dengan dua kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan perbuatan yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan badan mengamalkan dalam bentuk ibadah. Jika syarat-syarat diatas terpenuhi maka seseorang akan dikatakan mukmin.
Iman dengan ibadah juga memiliki hubungan kasualitas (sebab-akibat). Kualitas iman seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin tinggi kualitas ibadah seseorang(misal : shalat makin khusu’, mengurangi atau menghilangkan syirik kepada Allah ). Dan kuantitasnya (misal : menambah shalat wajib dengan dan shalt sunnah, banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal iman seseorang, makin mengurangi dan mempertipis, bahkan dapat menghilangkan kualitas seseorang kepada Allah SWT.
Hubungan iman dengan ihsan dan etika pergaulan seakan tidak pernah lepas, karena sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan etika pergaulan. Misalnya :Seseorang apabila imannya kuat dan tkun beribadahnya maka moral atau tingkah lakunya akan menjadi baik karena merasa karena merasa tingkah lakunya akan slalu diawasi oleh Allah SWT.
B.     Saran
Semoga makalah Ilmu Tauhid yang berisi tentang “Hubungan Iman, Ibadah dan Etika (Akhlak)” ini dapat bermanfaat bagi kita. Khususnya bagi mahasiswa STAIN KUDUS, pembaca dan pendengar.



[1] Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, Stain Kudus, Kudus; 2009, hal 82
[4]Azyumardi Azra, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih dan Ibadah, Angkasa, Bandung; 2008, hal 34
[5] Ibid., hal 41-43
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, KULIAH IBADAH “Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah”, Pustaka Rizki Putra, Semarang;2000, hal 10-13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar