PERILAKU
KEBERAGAMAAN
PERILAKU KEBERAGAMAAN
A. Pendahuluan
Dalam era globalisasi dan era serba
canggih ini, banyak sekali budaya asing yang telah masuk ke dalam budaya kita,
baik itu sesuai dengan budaya ataupun yang melenceng dari budaya kita .
Berbagai budaya tersebut sangatlah berpengaruh terhadap perilaku kita. Apalagi
budaya yang tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman. Disamping itu telah
banyak para manusia dalam mengejar kesuksesan juga tak jarang manusia
meninggalkan kewajibannya sebagai makhluk beragama.
Dikalangan para intelektual lebih
banyak memahami Islam sebagai ilmu pengetahuan bukanlah sebagai agama. Artinya
Islam hanya sebatas dipelajari dan dikaji sebagai bentuk pengetahuan tidak
sampai masuk dalam tataran pengalaman.
Dari deretan fenomena diatas muncullah
bingkai perilaku keberagamaan akibat adanya kegersangan rohani, dan kekosongan
spiritual karena tidak diposisikannya agama sebagaimana semestinya yang
seharusnya masuk kedalam sendi – sendi kehidupan manusia.
B. Permasalahan
1.
Bagaimana pengaruh keberagamaan dalam perilaku ?
2.
Bagaimana posisi psikologi dalam perspektif Islam ?
3.
Bagaimana
tingkah laku keagamaan yang menyimpang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perilaku
Keberagamaan
Perilaku keberagamaan berasal dari dua kata yaitu perilaku dan
keberagamaan. Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan
atau reaksi individu yang terwujud dari gerak (sikap) tidak hanya dari badan
ataupun ucapan.[1]
Sehingga perilaku itu merupakan cerminan dari kepribadian, yaitu gerak motorik
yang terapresiasi dalam bentuk perilaku ataupun aktivitas.
Sedangkan keberagamaan berasal dari kata agama yang diartikan sekumpulan
peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang
yang mempunyai akal untuk
mengikuti peraturan tersebut sesuai kehendak dan pilihannya sendiri
untuk mencapai kebahagiaan didunia ataupun akhirat. Dari perspektif psikologi
keimanan agama dirumuskan sebagaimana terdapat dalam kitab suci, perilaku agama
personal diukur dengan kegiatan, seperti sembahyang, membaca kitab suci dan
perilaku lainnya yang mendatangkan manfaat spiritual.[2]
Jadi perilaku keberagamaan adalah aktifitas atau perilaku yang didasarkan
oleh nilai – nilai agama. Perilaku keberagamaan harus dibahas karena dari
perilaku tersebut menimbulkan kesadaran agama dan pengalaman agama. Kesadaran
agama dapat hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan intropeksi. Sedangkan
pengalaman agama perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah hasil dari
keagamaan.[3]
B. Manusia dan Agama
Psikologi modern tampaknya
memebri porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekata psikologis
yang digunakan terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrim
pun tentang hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian
dari kehidupan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama yang digunakan
merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi
Menurut Skinner, kegiatan
keagaman menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan
mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan
yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti
aturan-aturan yang telah baku. (Djamaluddin Ancok, 1994: 73)
Sejalan dengan prinsip
teorinya, bahwa behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya
stimulant (rangsangan dari luar dirinya). Manusia berperilaku agama karena
didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah
robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah.
(Djamaluddin Ancok, 1994: 74)
Maslow menyatakan bahwa
kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar
hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis,
yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan, minum, istirahat, dan
sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang untuk
bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan antara lain
dalam bentuk tempat tinggal yang permanen. Ketiga, kebutuhan akan rasa
kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antar manusia. Keempat, kebutuhan
akan harga diri. (Djamaluddin Ancok, 1994: 49)
Agama tampaknya memang tak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agama sangat penting bagi manusia
terutama bagi orang yang berilmu, apapun
disiplin ilmunya, karena dengan agama ilmunya akan lebih bermakana. Bagi kita
umat islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu agama islam.
Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu
baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun,
untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan
tampaknya sulit dilakukan, manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung
mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghoib. Ketundukan ini merupakan
bagian dari factor intern manusia yang dalam psiokologi kepribadian dinamakan
pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Agama sebagai fitrah manusia
telah dinashkan dalam al-Qur’an:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}
Artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
(QS; Ruum:30)
Dalam al-Qur’an dan
terjemahannya dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia
diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama
tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[4]
C. Pengaruh Keberagamaan Dalam
Prilaku
Agama di Negara kita menempati
urutan tertinggi dalam tatanan nilai-nilai (sila pertama dalam pancasila)
“ketuhanan yang Maha Esa” karena agama hampir selalu merupakan acuan utama
dalam hampir setiap perilaku, baik individual maupun kelompok dalam setiap
satuan etnik, budaya, kelompok, keluarga, dan sebagainya.
Tentang perlunya agama menjaga
moral dalam penerapan ilmu, pandangan semacam ini telah diikuti oleh banyak
ilmuan. Moral agama hendaknya selalu hadir dalam setiap moment penerapan ilmu.[5]
Begitu tingginya penempatan
agama dalam tatanan nilai masyarakat kita, sehingga seakan-akan segala sesuatu
akan terselesaikan dengan agama (Indonesia tidak akan ketularan AIDS karena
kita adalah masyarakat pancasila yang menjunjung tinggi agama), demikian ucapan
seseorang tokoh nasional ketika AIDS mulai menjadi isu di Indonesia pada tahun
1980-an. Dan jika ada suatu hal yang tidak dikehendaki (Kriminalitas,
pelacuran, perkelahian pelajar, kenakalan remaja), cepat sekali orang menuding
kurangnya iman keagamaan sebagai biang keladinya.
Disisi lain, dalam kenyataannya
banyak sekali contoh pengaruh prilaku keberagamaan yang dibawah ini tentang
ketidak konsistenan agama dan perilaku, misalnya sebagai berikut :
1.
Sebagian besar wanita tuna susila yang beroperasi di berbagai lokalisasi
pelacuran melakukan ibadah keagamaan secara rutin dengan taat.
2.
Kaum pria pengunjung lokalisasi itu pun sehari-harinya dirumah diketahui
sebagai ayah dan suami yang taat beribadah bahkan mungkin menjadi panutan dikantornya.
3.
Penghapusan berbagai lokalisasi (karena tidak sesuai dengan agama),
ternyata tidak menghilangkan pelacuran itu sendiri (bahkan menyuburkan
pelacuran) terselubung yang sulit diawasi dan dikendalikan.
4.
Remaja yang nakal, ternyata tidak lebih menjadi baik setelah dipanggilkan
guru agama atau diberi les mengaji.
5.
Kegiatan keagamaan meningkat di kota-kota besar (semakin banyak tempat
ibadah dan semakin banyak pengunjungnya), namun angka kejahatan meningkat
terus.
6.
Hampir semua pelaku penipuan dalam penyelenggaraan ibadah Haji adalah
orang-orang yang sudah bergelar haji.
7.
Pendidikan agama adalah mata pelajaran wajib dalam kurikulum sekolah di
Indonesia, tetapi korupsi, kolusi, kriminalitas, perselingkuhan, dan sebagainya
berjalan terus.
8.
Dukun Datuk, pembunuh sadis di Sumatra Utara yang telah meminta korban
26 wanita tewas dibunuhnya adalah
seorang tokoh agama dikampungnya.
Kenyataan lain, selalu
mengajarkan kasih, damai di dunia, berbuat baik sesama manusia, semua manusia
diseluruh dunia bersaudara, dan sebagainya, tetapi sampai hari ini tetap saja
terjadi berbagai konflik, perang, terorisme, pembunuhan, dan sebagainya yang
dilakukan atas nama agama sejak mulai perang Sabil di Eropa pada abad
pertengahan sampai perang dan terorisme di Irlandia Utara, Timur Tengah,
Hosmia-Serbia, Hindia, Srilangka, dan tentu saja di Indonesia sendiri.
Kenyataan-kenyataan tersebut
menunjukan bahwa agama tidak lagi dapat menjadi tali kasih dan perdamaian kalau
sudah bercampur dengan faktor-faktor lain seperti ekonomi, politik, identitas
kelompok, kebudayaan. Padahal, tidak ada agama di dunia sini yang seteril, yang
dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Jadi, timbullah konflik peran
dari agama dalam kehidupan masyarakat. Disatu pihak agama diharapkan menjadi
peredam masalah-masalah yang dapat mengancam kehidupan masyarakat dipihak lain
agama itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang akan
diredamnya itu.[6]
D. Kedudukan agama dalam psikologi
Bebeda dari anggapan awal dan
juga sebagian pemuka agama (termasuk di Indonesia), agama bukan merupakan inti
perilaku manusia, melainkan salah satu cara manusia dalam menyesuaikan diri dan
bisa juga disebut sebagai pedoman pada lingkungannya atau dalam istilah
psikologi dinamakan coping behavior (van der Lans, 1994). Oleh karena
itu, agama tidak dengan sendirinya menentukan perilaku manusia, tetapi antara
agama dan perilaku terdapat hubungan timbal balik yang kuat. Sedemikian kuatnya
hubungan agama dan perilaku sehingga dianggap sangat penting oleh psikologi, terbukti
dengan dibentuknya divisi psikologi agama dalam American psychological
Association (APA) (Sexton, 1991).
Sebagai sarana penyesuaian diri
(coping) agama dapat memberi hasil, baik yang positif maupun negatif pada
individu. Hasil yang positif antara lain sebagai berikut:
1.
Secara psikologik memberi makna hidup, memperjelas tujuan hidup, dan
memberikan perasaan bahagia karena hidup ini lebih berarti.
2.
Secara sosiologik menjadikan lebih
intim, dekat, dan akrab dengan keluarga, kelompok, dan masyarakat dan karenanya
timbul perasaan terlindungi dan saling memiliki.
3.
Menemukan identitas diri, menemukan kelemahan-kelemahan dan
kelebihan-kelebihan diri dalam usahanya untuk mencapai Tuhan.
Sebaliknya, hasil yang negative
adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, agresif atau mengembangkan
halusinasi atau delusi mengenai agama, seperti yang dinyatakan dalam buku Diagnostik
and Statistical Manual of Mental Disoreders (1987)dari American
Psychological Association (dalam Peergament & Park, 199lima)
Jadi, dalam psikologi agama
bukanlah tujuan akhir karena tujuan akhir dari perilaku manusia (dalam kacamata
psikologi) adalah penyesuaian diri yang optimal terhadap lingkungannya (baik
lingkungan nyata, maupun lingkungan norma-norma dan nilai-nilai) yang
diwujudkan dalam bentuk kesehatan mental yang optimal pula (yang ciri-cirinya,
antara lain adanya perasaan puas, bahagia, tenang, tidak terlalu banyak stress
atau konflik-konflik batin yang tidak teratasi, dan tidak berperilaku
destruktif atau agresif, baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Dengan perkataan lain, kalau
ada alternative sarana penyesuaian diri lain yang oleh individu atau
individu-individu dianggap lebih baik dari agama, bukannya tidak mungkin
manusia memilih sarana lain tersebut daripada agama. Contohnya, pemerataan
kesejahteraan masyarakat dalam agama islam diupayakan melalui system zakat,
fitrah, dan sedekah. Di Negara-negara dengan system kesejahteraan sosial
(social welfare) yang sudah maju (misalnya, Swedia), tujuan itu dicapai dengan
sangat berhasil melalui system pajak (kadang-kadang sangat tinggi bagi individu
yang berpenghasilan sangat besar) dan pemberian santunan sosial bagi yang
memerlukannya, (misalnya pengangguran).
Contoh lain, yaitu di Barat,
agama dalam arti lembaga keagamaan (gereja,
lambang-lambang Kristen dan ritualnya) semakin ditinggalkan oleh generasi muda.
Akan tetapi, kebutuhan beragama, dalam arti menjadi sesuatu yang bermakna dalam
system Universe, masih tetap ada. Salah buktinya adalah bahwa jika seseorang di
Barat mengalami musibah, pertanyaannya adalah “Why me? Mengapa saya? Mengapa
bukan orang lain yang mengalami musibah ini? Mengapa harus saya?” Ini adalah
pertanyaan yang timbul dari perasaan bahwa orang itu tersisihkan dan system
Universe (Tuhan tidak adil).
Beberapa penelitian
dan terapan psikologi dalam islam
1.
Penelitian (tahun 1987) terhadap 409 psikolog anggota APA (American
Psychological Association), yang terdiri atas 107 wanita (26%), 299 pria
(73%), dan 3 tanpa keterangan jenis kelamin (1%) memberikan pernyataan berikut:
a.
74% setuju bahwa agama tercakup dalam ruang lingkup psikologi:
b.
91% menanyakan agama kliennya:
c.
57% menggunakan istilah-istilah dan jargon-jargon agama;
d.
36% menyarankan klien agar terlibat dalam kegiatan keagamaan;
e.
32% menganjurkan klien untuk membaca buku agama;
f.
7% berdo’a bersama klien.
Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa agama merupakan bagian dari psikoterapi di AS.
2.
Agama (mistik) di Jawa Tengah (Solo) digunakan untuk penyembuhan penyakit
dan pencapaian keseimbangan jiwa (aliran-aliran Sapta Darma, Pangestu
(relaksasi), Sumarah, PKMG, Perjalanan, Subud, Wiweke).
3.
Di Amerika Serikat, yurisprudensi (ketetapan pengadilan ) menggunakan
agama, sedangkan organisasi-organisasi keagamaan dilibatkan dalam penetapan
kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan untuk masyarakat. Dengan demikin,
agama mewarnai semua proses hukum di Amerika Serikat. Dengan perkataan lain,
walaupun agama tidak dipraktikkan dalam ritual yang tradisional sehari-hari,
agama merupakan salah satu bagian dari kepribadian orang di AS, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok dan bangsa.
4.
Pengukuran agama selalu terbentur pada kendala metodologi. Korelasi antar
pertanyaan-pertanyaan lisan selalu tinggi.
5.
Penelitian menunjukkan bahwa penyalahgunaan zat dikalangan orang yang
non-religius. Orang yang religious telah terbiasa untuk menerima norma-norma
yang anti-penyalahgunaan obat, bergaul dengan teman-teman sebaya yang anti
penyalahgunaan obat, dan mempunyai mekanisme untuk memuaskan kebutuhan dan
kontak sosialnya, dan mempunyai makna dalam hidup. Akan tetapi, hubungan yang
positif ini hanya ada pada praktik keagamaan yang penuh kasih sayang dan
membangkitkan semangat, bukan yang serba melarang, negative dan ritual belaka.
6.
Walaupun agama-agama besar di dunia rata-rata menganjurkan toleransi dan
kasih sayang kepada orang lain, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa umumnya
pada tingkat yang masih sederhana agama justru berkolerasi positif dengan
prasangka. Hubungan ini tidak kurvilinear (tinggi pada yang keyakinannya
sedang-sedang saja, tetapi rendah baik pada yang keyakinan agamanya rendah
maupun tinggi) dan juga tidak disebabkan oleh ajaran-ajaran intrinsik dan ekstrinsik
dari agama itu. Disimpulkan bahwa bukan agama itu sendiri yang menyebabkan
prasangka, melainkan bagaimana orang memperlakukan kepercayaan terhadap agama.
Itulah yang menyebabkan timbulnya prasangka.
7.
Penelitian terhadap 200 mahasiswa Hindu dan 200 mahasiswa Muslim
(masing-masing terdiri atas 100 mahasiswa dan 100 mahasiswi) di Universitas
Bhagalpur, India. Hasilnya Mahasiswa Hindu mempunyai n-Ach (need for
achievement) dan otonomi yang lebih tinggi dari pada mahasiswa muslim. Dan
sebaliknya, mahasiswa muslim menunjukkan sektor lebih tinggi pada deferevce dan
orderliness. Penyebabnya, bahwa mahasiwa muslim mempunyai Tuhan yang
tunggal, tata perilaku dan cara beribadah yang tetap dan pasti. Sementara
mahasiswa Hindu dituntut oleh agamanya untuk lebih individual (boleh mempunyai
Tuhan masing-masing dan cara beribadah sendiri).[7]
E. Hubungan kepribadian dan sikap
keagamaan
(Sigmund Frued) Merumuskan
system kepribadian menjadi tiga system. Ketiga system ini dinamakan id, ego,
super ego. Dalam diri orang yang memilki jiwa yang sehat ketiga system itu
bekerja dalam suatu susunan yang harmonis. Segala bentuk tujuan dan segala
gerak-geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok.
Sebaliknya, kalau ketiga system
itu bekerja secara bertentangan satu sama lainnya, maka orang tersebut dinamai
sebagai orang yang tak dapat menyesuaikan diri. Ia menjadi tidak puas dengan
diri dan lingkungannya. Dengan kata lain, efisiensinya menjadi berkurang.
a.
Id (Das Es)
Sebagai suatu system id
mempunyai fungsi menunaikan prinsip asli manusia berupa penaluran dorongan
naluriah, yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan
naluri dasar: makan, minum, dll.
b.
Ego (Das Es)
Ego merupakan system yang
berfungsi menyalurkan dorongan Id ke keadaan yang nyata. Dalam fungsinya, ego
berpegang pada prinsip kenyataan (reality
principle). Tujuan prinsip kenyataan ini ialah mencari objek yang tepat
(serasi) untuk mereduksikan ketegangan yang timbul dalam organisme. Ego
memiliki kesadaran untuk menyelaraskan dorongan yang baik dan buruk hingga
tidak terjadi kegelisahan atau ketegangan batin.
Segala bentuk dorongan naluri
dasar yang berasal dari Id hanya dapat direalisasi dalam bentuk nyata melalui
bantuan Ego. Ego juga mengandung prinsip kesadaran.
c.
Super Ego (das Uber Ich)
Sebagai suatu system yang memiliki unsur moral
dan keadilan, maka sebagian besar super ego memiliki alam ideal. Tujuan super
ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan
keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula
sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Jika tindakan itu sesuai
dengan pertimbangan moral dan keadilan, maka ego mendapat ganjaran berupa rasa
puas atau senang. Sebaliknya jika bertentangan, maka ego menerima hukuman
berupa rasa gelisah dan cemas. Super ego mempunyai dua anak system, yaitu ego
ideal dan hati nurani.[8]
Super Ego, yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik
berupa penghargaan (rasa puas, senang, berhasil) naupun berupa hukuman (rasa
bersalah, berdosa, dan menyesal). Penghargaan batin diperankan oleh ego-ideal,
sedangkan hukuman batin dilakukan oleh hati nurani.[9]
F. Tingkah Laku Keagamaan yang
Menyimpang
Dalam kehidupan sosial dikenal
bentuk tata aturan yang disebut norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan
nilai-nilai luhur yang menjadi tolok ukur tingkah laku sosial. Tingkah laku
yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang
menyimpang.
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A.
membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari penduduknya, menjadi
beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup (kelompok), norma
masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian, norma keagamaan
merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan
seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada
ajaran agama. Tetapi menurut kasmiran, norma menurut sifat dan sumbernya itu
dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu, norma tradisional dan norma formal.
Mengacu kepada pernyataan
tersebut, terlihat bahwa baik norma traditional maupun norma formal bersumber
dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur tingkah
laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti,
namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari
nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang
bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan
dibedakan dari norma-norma yang berlaku.
Contoh lain yaitu Aliran
Klenik. yaitu diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung
rahasia dan tidak masuk akal. Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini
erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik.
Dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau
kekuatan gaib lainnya.
Salah satu aspek dari ajaran
agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Sisi-sisi yang menyangkut
kepercayaan terhadap hal-hal gaib tentunya tidak memiliki batas dan indikator
yang jelas, karena semuanya bersifat emosional dan cenderung berada diluar
jangkauan nalar. Karena itu tak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang
dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama
lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
Penyimpangan tingkah laku
keagamaan yang dilakukan aliran klenik seperti ini menurut Robert H. Thouless
dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sugesti. Istilah ini
digunakan oleh para ahli psikologi untuk proses yang diamati dalam berbagai
eksperimen dengan hipnotisme. Dalam analisisnya, Robert H. Thouless
mencontohkan bagaimana tukang hipnotis meyakinkan seseorang melalui persepsi
yang diciptakannya.
Psikologi agama yang
mempelajari hubungan sikap dan tingkah laku manusia dalam kaitan dengan agama,
agaknya dapat melihat penyimpangan tingkah laku keagamaan sebagai bagian dari
gejala kejiwaan. Lalu dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat
klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1.
Pelakunya menokohkan diri selalu orang suci dan umumnya tidak memiliki
latar belakang yang jelas (asing).
2.
Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang
berhubungan dengan hal-hal gaib.
3.
Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4.
Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5.
Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
Suburnya praktik ini antara
lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama, namun
memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi. Kondisi ini menjadikan
masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (higly sugestibel), sehingga lebih reseptif (mudah menerima) gagasan
baru yang dikaitkan dengan ajaran agama.
Faktor-faktor lain yang juga
mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah kekosongan
spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki kesadaran beragama yang rendah
atau tidak sama sekali, umumnya, jika mengalami penderitaan, cenderung akan
kehilangan pegangan hidup. Oleh karena itu, pada umumnya dalam kondisi yang
putus asa seperti itu, praktik kebatinan seperti aliran klenik dianggap dapat
menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi kemelut batin mereka.
Perilaku keagamaan yang
menyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri dari pergaulan dengan
dunia luar. Dalam kondisi seperti itu mereka sulit untuk didekati.
Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran-aliran
kepercayaan dan aliran kebatinan. Menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul
oleh kekacauan pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial, dan politik, hingga
mendorong masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu
masuk kedalam khayalan tasawuf.
Memang, terlihat agama sebagai
bentuk kepercayaan kerapkali dijadikan tempat bernaung bagi aliran-aliran
seperti itu. Karena itu, para ahli psikologi agama melihat tingkah laku
menyimpang dalam kehidupan beragama erat kaitannya dengan pengaruh psikologis.
BAB III
ANALISA
Tentang
perlunya agama menjaga moral dalam penerapan ilmu, pandangan semacam ini telah
diikuti oleh banyak ilmuan. Moral agama hendaknya selalu hadir dalam setiap
moment penerapan ilmu.
Seperti
pembahasan yang telah dipaparkan diatas, Agama di Negara kita menempati urutan
tertinggi dalam tatanan nilai-nilai (sila pertama dalam pancasila) “ketuhanan
yang Maha Esa” karena agama hampir selalu merupakan acuan utama dalam hampir
setiap perilaku, baik individual maupun kelompok dalam setiap satuan etnik,
budaya, kelompok, keluarga, dan sebagainya.
pada
dasarnya, Agama selalu mengajarkan kasih sayang, damai di dunia, berbuat baik
sesama manusia, semua manusia diseluruh dunia bersaudara, dan sebagainya,
tetapi sampai hari ini tetap saja terjadi berbagai konflik, perang, terorisme,
pembunuhan, dan sebagainya yang dilakukan atas nama agama sejak mulai perang
Sabil di Eropa pada abad pertengahan sampai perang dan terorisme di Irlandia
Utara, Timur Tengah, Hosmia-Serbia, Hindia, Srilangka, dan tentu saja di
Indonesia sendiri.
Pendek
kata, kenyataan-kenyataan tersebut menunjukan bahwa agama tidak lagi dapat
menjadi tali kasih dan perdamaian kalau sudah bercampur dengan faktor-faktor
lain seperti ekonomi, politik, identitas kelompok, kebudayaan. Padahal, tidak
ada agama di dunia sini yang seteril, yang dapat dilepaskan dari faktor-faktor
tersebut. Jadi, timbullah konflik peran dari agama dalam kehidupan masyarakat.
Disatu pihak agama diharapkan menjadi peredam masalah-masalah yang dapat
mengancam kehidupan masyarakat dipihak lain agama itu sendiri tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang akan diredamnya itu.
Disisi
lain, ada juga penelitian-penelitian yang menunjukan bahwa bagaimanapun juga
agama dapat berperan positif terhadap perilaku. Di Swedia, misalnya, keyakinan
dan praktek beragama (kristen) berkorelasi terbalik dengan koralitas dengan
kekerasan, pelanggaran keamanan dari ketertiban masyarakat, dan alkoholisme
(walaupun tidak berkorelasi dengan kejahatan property, pelanggaran nilai moral,
dan narkotika) (petterson, 1991). Sebaliknya, di Australia, pemeluk agama timur
(yang mereka namakan paranormal) yang percaya dengan kehidupan di akhir
ternyata lebih konserfatif, lebih puritan, anti hedonism, dan lebih
militant-punitif (cenderung tegas dalam memberi sanksi kepada yang melanggar)
(thalbourne 1994). Disinilah diperlukan psikologi yaitu ilmu mempelajari
perilaku. Jadi, hal hubungan antara agama dan perilaku ini psikologi bertugas
untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam hubungan antara kedua hal
itu dan bagaimana mengupayakan agar agama dapat berfungsi optimal bagi
kehidupan manusia, yaitu dapat menimbulkan perilaku yang positif (seperti
pelestarian lingkungan, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan pengurangan
kemiskinan) dan mencegah perilaku yang negatif (kejahatan, kekerasan,
penyelewengan, dan terorisme).
Timbulnya Perilaku Keberagamaan
Perilaku keberagamaan merupakan respon dari realitas mutlak
sesuai dengan konsep Joachim Wach atau imam Abu al-Hasan al-Asy’ary. Untuk
mewujudkan satuan perilaku beragama diperlukan suatu proses panjang ynag
menyangkut dimensi kemanusiaan baik pada aspek kejiwaan, perorangan maupun
kehidupan kelompok. Unsur ini disimpulkan dari sifat ajaran agama yang
menjangkau keseluruhan hidup manusia, karena manusia memiliki dimensi kejiwaan
perorangan atua kelompok.
Menurut
William James, sikap dan perilaku keberagamaan muncul dari dua hal, yaitu;
1.
Sakit Jiwa
Sikap
keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemukan pada mereka yang pernah
mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu atau adanya
penderitaan batin, seprti konflik batin, musibah dan lain-lain. Latang belakang
itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan sikap yang mendadak terhadap
keyakinan beragama. William Starbuch, seperti yang dikemukakan oleh William
James berrpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor,
yaitu :
1)
Faktor intern, yang menjadi penyebab
dari timbulnya perilaku keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
a)
Temperamen
b)
Gangguan jiwa
c)
Konflik dan Keraguan
d)
Jauh dari Tuhan
Sedangkan ciri dari orang yang mengalami
kelainan kejiwaan seperti ini umumnya cenderung menampilkansikap pesimis,
memahami faham yang ortodok, menyakini proses keagamaan yang secara non
graduasi.
2)
Faktor ekstern, yang turut
mempengaruhidalam faktor ini adalah :
a)
Musibah
b)
Kejahatan
2. Orang
yang sehat jiwa
Ciri
dan sifat dari orang yang sehat jiwa adalah sebagai berikut :
a.
Optimis
dan gembira
Orang
yang sehat jiwa memahami dan menghayati segala bentuk ajaran agama dengan
perasaan optimis.
b. Ektrofet dan tak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yanmg sehat jiwa ini menyebabkan mereka
mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati sebagai akses agamis
tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya
lepas dari lingkungan ajaran keagamaan
terlalu menjelimet.
c.
Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal
Maksudnya
mereka menyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan tidak melalui
proses pendadakan.
Jadi
perilaku keberagamaan tergantung pada watu, keadaan, dan lingkungannya, dan
pengaruh factor-faktor yang lain yang menimbulkan banyak perilaku keberagamaan
yang dimiliki manusia secara berbeda-beda.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Perilaku keberagamaan adalah segala
aktifitas atau aspek perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama. Untuk
mewujudkan satuan perilaku keagamaan diperlukan suatu proses panjang yang
menyangkut dimensi kemanusian baik pada aspek
kejiwaan perorangan maupun kehidupan kelompok.
Perilaku
keberagamaan dalam psikologi islam sangat berpengaruh besar terhadap system
nafsani manusia. Hal ini bisa dilihat dari cara berfikir, memahami realita,
memilih tingkah laku dan hawa nafsu. Oleh karena itu kinerja berfikir, memahami
realita dan tingkah laku setiap individu berbeda-beda, karena perangkat-perangkat
tersebut merupakan ciri dari masing-masing indvidu yang tidak bisa disamakan.
Jikapun ada, namun tidak sama tetapi hanya menyerupai.
2.
Dalam perspektif psikologi islam mengenai perilaku keberagamaan pada
dasarnya membagi tatanan individu. Hal ini menyebabkan persepsi masing-masing
individu mengenai ajaran islam
berbeda-beda. Dengan demikian maka dapat dipahami individu hanya
memahami ajaran islam sesuai dengan pandangan yang menurutnya merupakan sebuah
acuan dalam ajaran islam. Maka dari itu tidak bisa disalahkan karena hal
tersebut merupakan kepercayaan masing-masing individu.
3.
Perilaku
keberagamaan yang merupakan respon benar ataupun salahnya terhadap iman.
Perilaku keberagamaan menjadikan tolak ukur kualitas iman seseorang. Ukuran keberagamaan seseorang
sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan
sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama
adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang
yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan
keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi
dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya
memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan
dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin
meronta kelaparan.
Kita beragama untuk berakhlak, namun
dalam kenyataannya kita beragama hanya mengedepankan simbol-simbol dan ritual
keagamaan saja. kita lebih banyak berlindung kepada topeng Agama namun perilaku
kita tidak menunjukkan sebagai umat yg beragama. Agama belum menjadi nilai yang
harus kita transformasikan kedalam bentuk perilaku kesalehan sehari-hari. Oleh
karena itu perilaku keberagamaan harus dibahas sehingga kita dapat mengetahui
sudah sampai mana dimensi kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Poerwadarmanto,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1985
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Agama, PT Mizan Pustaka, Bandung: 2003
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Balai
Pustaka, Jakarta: 2005
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2007
Djamaludin Ancok. Psikologi Islam, PustakaPelajar,
Yogyakarta: 2011
Muslim.
Ahmad Kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka
pelajar, Yogyakarta; 2000
[1]W.J.S Poerwadarmanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1985
[2]Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, PT Mizan Pustaka,
Bandung: 2003, hal 32
[5]DjamaludinAncok. Psikologi
Islam,PustakaPelajar, Yogyakarta: 2011, hal 123
[6]SarlitoWirawanSarwono,
Psikologi Sosial, BalaiPustaka, Jakarta: 2005, hal 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar