BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf adalah
bagian dari syari’at Islamiah yakni wujud dari ihsan. Salah satu dari kerangka
ajaran Islam (Iman, Islam, dan Ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus
tetap berada dalam kerangka syari’at Islam. Tasawuf merupakan perwujudan dari
ihsan yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Apabila
tidak mampu, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita adalah penghayatan
seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mestinya pada
umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia.
Yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk,
yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal.
Dalam
makalah ini, kami akan membahas tentang sumber-sumber ajaran tasawuf yang
dianggap penting untuk mengetahui apa yang para sufi jadikan dasar sehingga
mereka mengamalkan ilmu tasawuf tersebut. Semoga dengan adanya makalah yang
begitu singkat ini, dapat memberikan informasi kepada kita tentang hal-hal yang
menjadi sumber ilmu tasawuf sehingga menjadikan kita lebih bersyukur kepada
Allah SWT yang telah menjadikan segala sesuatu dengan penuh hikmah didalamnya.
B.
Rumusan Masalah
1) Apa saja sumber tasawuf yang berasal dari
unsur Islam?
2) Apa saja sumber tasawuf yang berasal dari
unsur Luar islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
Di kalangan para orientalis Barat
biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf
itu ada dua, yaitu
unsur Islam dan unsur luar Islam. Kedua
unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Unsur Islam
Secara umum
ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1]
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab untuk seluruh umat manusia, meski pada saat yang
sama dan inilah yang lebih utama, ia merupakan kitabnya kaum minoritas, kitab
bagi mereka yang terpilih secara spiritual.[2]
Teks Al-Quran itu begitu memukau karena keakuratannya. kaum sufi berupaya keras
untuk menghasilkan makna batin yang mencerminkan percakapan pribadi dengan
tuhan.[3]
Bagi sebagian sufi, pembacaan alqur’an menjadi cara utama untuk bertafakkur tentang Tuhan selama
hayatnya. Perenungan itu sendiri merupakan esensi setiap jalan spiritual.[4] Sebagai
sumber ajaran agama islam, al-Qur’an menghadirkan ayat-ayat yang berhubungan
dengan tasawuf, mulai dari ayat yang berhubungan dengan ajaran yang
sangat mendasar dalam tasawuf sampai kepada ayat yang berhubungan dengan
maqamat dan ahwal. Di
bawah ini akan diuraikan beberapa ayat yang berhubungan dengan ajaran tasawuf.
Firman Allah SWT dalam surah al-Fatihah ayat 6, yaitu
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
Artinya: Tunjukilah[8]
Kami jalan yang lurus,
Sebagian ahli tafsir dalam memberikan
penafsiran tLìÉ)tGó¡ßJø9$# xÞºuÅ_Ç9$# didalam Tafsir Mahasinu Attakwil disebutkan sebagai
Tarekat/jalan pengabdian diri kepada Allah. Sedang di dalam Kitab Insanul Kamil
dikatakan tLìÉ)tGó¡ßJø9$# xÞºuÅ_Ç9$# Bahwa Shiratal Mustaqim, adalah ibarat/suatu pengertian
dari pada suatu tarekat untuk mencapai kasyaf (terbuka rahasia yang ghaib).[5]
b. Al-Sunnah serta Praktek kehidupan Nabi dan
para sahabatnya
Banyak hadits fi’liyah yang menggambarkan kesederhanaan Nabi Muhammad SAW.
yang bisa ditafsirkan sebagai kehidupan tasawufnya. Menurut ‘Aisyah, Rasulullah
SAW pernah tak merasa kenyang dari makan roti selama 4 bulan. Pada Hadis yang
lain dia menceritakan bahwa beliau dan keluarganya tidak pernah kenyang di pagi
dan sore hari dari roti gandum selama tiga hari berturut-turut sampai menghadap
ke hadirat Allah SWT.[6]
Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya
sebagai seorang sufi. Nabi muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua
Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu
itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang
menggunakan segala cara yang menghalalkan. Selama di Gua Hira’ yang ia kerjakan
hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup
sederhana terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau
meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah
kepada Allah SWT.
Di kalangan para sahabat pun ada pula ada orang yang mengikuti praktek
bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar
Ash-Shiddiq misalnya berkata;”aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan,
kefanaan dalam keagungan dan rendah hati.” Demikian pula khalifah Umar Ibn
Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan jama’ah kaum muslimin
dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya Khalifah Usman Ibn
‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an,
baginya al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca
kemanapun ia pergi.[7]
2.
Unsur luar Islam
Dalam berbagai
literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang
menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur Masehi,
unsur Yunani,unsur Hindu/Budha dan unsur
Persia.Hal ini secara akademik bisa saja diterima,namun secara Aqidah perlu
kehati-hatian.para Orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam
masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama
tersebut telah ada sebelum Islam.bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab
yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja
orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut,namun tidak secara otomatis
mempengaruhi kehidupan tasawuf,karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang
yang kelak menjadi Sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian
adanya unsur luar islam yang
mempengaruhi tasawuf islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah Aqidah
islamiah.karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan
obyektif.kita mengakui bahwa Islam sebagai agama Universal yang dapat
bersentuhan dengan berbagai lingkungan social.dengan sangat selektif Islam bisa
beresonansi dengan berbagai unsur ajaran Sufistik yang terdapat dalam berbagai
ajaran tersebut.dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat
bersentuha atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal
dari luar Islam itu.
a. Unsur Masehi
(Agama Nasrani)
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan,khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer
berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat
pada zaman jahiliyah.hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan
bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama
Nasrani.selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak
digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan
pakaian yang biasa dipakai oleh para
Pendeta.sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu
berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran
tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi
tasawuf Islam adalah sikap fakir.menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam
adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir.Isa
berkata : ”Beruntunglah kamu orang-orang
yang miskin,karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang
lapar,karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah
dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syaikh yang menyerupai Pendeta ,
bedanya Pendata dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin
karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari khalik, dan
penyaksian, dimana Sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan
dengan Allah.
b.
Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah
masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan
puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut
mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan
tuhan.kalau pada bagian uraian dimulai prkembangan tasawuf ini baru dalam taraf
amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang
tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’ , al-kindi, ibnu Sina
terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada
uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi dan
lain-lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari
filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal fikiran.tetapi dengan
munculnya filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang
tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati setiap
hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis : “kenallah dirimu dengan dirimu” diambil
oleh para Sufi dan diantara sufi berkata : “siapa yang mengenal dirinya, maka
dia mengenal tuhannya”. Hal ini semua mengarah kepada munculnya teori Hulul,
Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi
(sufi berketuhanan dan filosof ) seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farabi, al-Hallaj,
ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir mereka.
c.
Unsur Hindhu/Budha
Antara tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu dapat dilihat
adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-birawi mencatat bahwa ada
persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu.kemudian pula
paham Reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara
kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.
Salah satu maqamat sufiah al-fana nampaknya ada persamaan dengan
ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan
persamaan antara tokoh Sidharta Gautama
dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
Menurut Qomar Kailani pendapat-pendapat ini
terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal
dari Hindu/Budha itu ke Mekkah,padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan
seperti itu.
d.
Unsur Persia.
Sebenarnya
antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan sejak lama yaitu hubungan dalam
bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum
ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah
masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf didunia ini. Namun barangkali ada
persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Masduq
dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama
Zarathustra.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa
sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran islam itu sendiri mengingat yang
dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya.
Semuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi tidak
dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu
berkembang menjadi pemikiran dia mendapat pengaruh dari para filsafat Yunani,
Hindu, Persia dan lain sebagainya.
Sumber-sumber
yang menggambarkan bahwa tasawuf islam
seolah-olah berasal bukan dari ajaran islam, biasanya berasal dari Barat. Di
dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat kita menjumpai
uraian seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka mengidentikkan ajaran
islam sebagaimana ajaran non islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil
pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat,
bahwa mengidentikkan islam dengan non islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran
Islam diketahui bersumber pada wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah terkadang tampil dalam
format yang “belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan begitu saja dalam
aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan
operasionalisasinya oleh akal pikiran. Dalam hubungan inilah ke dalam ajaran
islam masuk unsur pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian
bagian dari ajaran islam ada yang bersifat ajaran Normatif, yaitu yang
bersumber pada Al-Qur’an dan dan Al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan.
Dan ada yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal pikiran yang
dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
` Dalam pada itu perlu juga dicatat bahwa pemikiran yang dihasilkan
dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah itu pun sifatnya jauh berbeda
dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan masih terikat
pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya tidak demikian
tidak dapat diterima sebagai pemikiran Islam. Hal ini berbeda dengan pemikiran
yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat bebas, liberal
dan tidak terikat pada ajaran apapun.
Jika jalan
pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran tasawuf, maka dapat kita
katakan, bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya
dengan ajaran lainnya dalam islam, seperti teologi, fiqh dan lain sebagainya.
Ajaran tasawuf bersumber pada al-Qur’an
dan al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan pemikiran yang sehat,
lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran al-Quran dan al-Sunnah itu sendiri,
yaitu pemikiran yang tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan kerasulan
Muhammad, tidak sampai menentang rukun iman dan rukun islam, dan seterusnya.
Jika dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah itu, maka segera diperbaiki dan hal ini telah dilakukan oleh para
ulama.
Berdasarkan
uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran
tasawuf atau menolaknya. Bahkan jika
boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah
sebenarnya inti ajaran Islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
1) Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di
akherat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani
manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran.
2) Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan
didunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan
dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat dan
kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang
lupa diri, dan terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa
tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan
kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang,
disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan
menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan
ketakwaannya kepada Tuhan.
3)
Dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai kepada
batas-batas dimana harta benda seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian
yang serba lux, kendaraan yang mengkilap dan lain sebagainya tidak diperlukan
lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya
fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya pancaindera,
dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan
lebih mendekatkandiri kepada Tuhan, tempat ia mempertanggung jawabkan amalnya.
4)
Dalam
suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti
materialisme, hedoneisme, vitalisme dan lain sebagainya sering menyeret manusia
kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain
sebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai
produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan
yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran,
dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap
generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran,
biaya, tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf
dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara
ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf
ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian integral
dari ajaran islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang paling depan
dalam menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan
di dunia dan di akhirat.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun sumber-sumber ajaran Tasawuf diantaranya yaitu:
1.
Unsur Islam
Bagi sebagian sufi, pembacaan alqur’an menjadi
cara utama untuk bertafakkur
tentang Tuhan selama hayatnya. Selain itu, al-Qur’an juga menghadirkan ayat-ayat yang berhubungan
dengan tasawuf. Sedangkan
sumber dari hadis berupa penggambaran kehidupan Nabi Muhammad sebagai seorang
sufi yang berupa pengasingan diri beliau
ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia
menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya,
seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang
menghalalkan.
2.
Unsur Luar Islam
Dari Unsur Masehi (Agama Nasrani)
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan,khususnya dalam hal latihan jiwa
dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat
bahwa tasawuf adalah buah dari unsure agama Nasrani yang terdapat pada zaman
jahiliyah. Sedangkan dari Unsur Yunani berupa Metode berpikir
filsafat Yunani yang ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian
orang Islam yang ingin berhubungan dengan tuhan. Pada Unsur Hindhu/Budha terdapat persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu.
Sedangkan Unsur Persia terdapat persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan
zuhd menurut agama Manu dan Masduq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz
(Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
B.
Saran
Semoga makalah Ilmu Tasawuf
yang berisi tentang “SUMBER-SUMBER AJARAN TASAWUF ” ini dapat bermanfaat bagi
kita. Khususnya bagi mahasiswa STAIN KUDUS,
pembaca dan pendengar.
[3] Julian Baldick, Islam
Mistik “mengantar anda ke dunia tasawuf”, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta;
2002, hal.39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar