Selasa, 09 Desember 2014

Makalah Sumber-Sumber Ajaran Tasawuf



BAB I
                                                               PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah bagian dari syari’at Islamiah yakni wujud dari ihsan. Salah satu dari kerangka ajaran Islam (Iman, Islam, dan Ihsan). Oleh karena itu perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari’at Islam. Tasawuf merupakan perwujudan dari ihsan yang berarti beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Apabila tidak mampu, maka harus disadari bahwa Dia melihat diri kita adalah penghayatan seseorang terhadap agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mestinya pada umumnya, bertujuan membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri manusia. Yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk, yang secara hakiki adalah bersifat kerohanian dan kekal.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang sumber-sumber ajaran tasawuf yang dianggap penting untuk mengetahui apa yang para sufi jadikan dasar sehingga mereka mengamalkan ilmu tasawuf tersebut. Semoga dengan adanya makalah yang begitu singkat ini, dapat memberikan informasi kepada kita tentang hal-hal yang menjadi sumber ilmu tasawuf sehingga menjadikan kita lebih bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan segala sesuatu dengan penuh hikmah didalamnya.


B.     Rumusan Masalah
1)      Apa saja sumber tasawuf yang berasal dari unsur Islam?
2)      Apa saja sumber tasawuf yang berasal dari unsur Luar islam ?




BAB II
PEMBAHASAN
            Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada dua, yaitu unsur Islam dan unsur luar Islam. Kedua unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Unsur Islam
Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1]
a.       Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab untuk seluruh umat manusia, meski pada saat yang sama dan inilah yang lebih utama, ia merupakan kitabnya kaum minoritas, kitab bagi mereka yang terpilih secara spiritual.[2] Teks Al-Quran itu begitu memukau karena keakuratannya. kaum sufi berupaya keras untuk menghasilkan makna batin yang mencerminkan percakapan pribadi dengan tuhan.[3] Bagi sebagian sufi, pembacaan alqur’an menjadi cara utama untuk  bertafakkur tentang Tuhan selama hayatnya. Perenungan itu sendiri merupakan esensi setiap jalan spiritual.[4] Sebagai sumber ajaran agama islam, al-Qur’an menghadirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tasawuf, mulai dari ayat yang berhubungan dengan  ajaran yang sangat mendasar dalam tasawuf sampai kepada ayat yang berhubungan dengan maqamat dan ahwal. Di bawah ini akan diuraikan beberapa ayat yang berhubungan dengan ajaran tasawuf.

Firman Allah SWT dalam surah al-Fatihah ayat 6, yaitu

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
Artinya: Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
Sebagian ahli tafsir dalam memberikan penafsiran  tLìÉ)tGó¡ßJø9$# xÞºuŽÅ_Ç9$# didalam Tafsir Mahasinu Attakwil disebutkan sebagai Tarekat/jalan pengabdian diri kepada Allah. Sedang di dalam Kitab Insanul Kamil dikatakan  tLìÉ)tGó¡ßJø9$# xÞºuŽÅ_Ç9$# Bahwa Shiratal Mustaqim, adalah ibarat/suatu pengertian dari pada suatu tarekat untuk mencapai kasyaf (terbuka rahasia yang ghaib).[5]
b.      Al-Sunnah serta Praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya
Banyak hadits fi’liyah yang menggambarkan kesederhanaan Nabi Muhammad SAW. yang bisa ditafsirkan sebagai kehidupan tasawufnya. Menurut ‘Aisyah, Rasulullah SAW pernah tak merasa kenyang dari makan roti selama 4 bulan. Pada Hadis yang lain dia menceritakan bahwa beliau dan keluarganya tidak pernah kenyang di pagi dan sore hari dari roti gandum selama tiga hari berturut-turut sampai menghadap ke hadirat Allah SWT.[6] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan. Selama di Gua Hira’ yang ia kerjakan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sederhana terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum minuman kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT.
Di kalangan para sahabat pun ada pula ada orang yang mengikuti praktek bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq misalnya berkata;”aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati.” Demikian pula khalifah Umar Ibn Khattab pada suatu ketika pernah berkhutbah di hadapan jama’ah kaum muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya Khalifah Usman Ibn ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca al-Qur’an, baginya al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemanapun ia pergi.[7]
2.      Unsur  luar Islam
Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur Masehi, unsur  Yunani,unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.Hal ini secara akademik bisa saja diterima,namun secara Aqidah perlu kehati-hatian.para Orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam.bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut,namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf,karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi Sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian adanya unsur luar islam  yang mempengaruhi tasawuf islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah Aqidah islamiah.karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif.kita mengakui bahwa Islam sebagai agama Universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan social.dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran Sufistik yang terdapat dalam berbagai ajaran tersebut.dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat bersentuha atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal dari luar Islam itu.
a.       Unsur Masehi (Agama Nasrani)
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan,khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman jahiliyah.hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani.selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian  yang biasa dipakai oleh para Pendeta.sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir.menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir.Isa berkata  : ”Beruntunglah kamu orang-orang yang miskin,karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar,karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat pada peranan syaikh yang menyerupai Pendeta , bedanya Pendata dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari khalik, dan penyaksian, dimana Sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.
b.      Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir  filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan tuhan.kalau pada bagian uraian dimulai prkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’ , al-kindi, ibnu Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal fikiran.tetapi dengan munculnya filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis : “kenallah dirimu dengan dirimu” diambil oleh para Sufi dan diantara sufi berkata : “siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal tuhannya”. Hal ini semua mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi (sufi berketuhanan dan filosof ) seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir mereka.
c.       Unsur Hindhu/Budha
Antara tasawuf dan system kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu.kemudian pula paham Reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat sufiah al-fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
Menurut Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha itu ke Mekkah,padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.  
d.      Unsur Persia.
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan sejak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf didunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Masduq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
 Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran islam itu sendiri mengingat yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya. Semuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf  itu berkembang menjadi pemikiran dia mendapat pengaruh dari para filsafat Yunani, Hindu, Persia dan lain sebagainya.
Sumber-sumber yang menggambarkan bahwa tasawuf  islam seolah-olah berasal bukan dari ajaran islam, biasanya berasal dari Barat. Di dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat kita menjumpai uraian seperti itu. Hal ini disebabkan karena mereka mengidentikkan ajaran islam sebagaimana ajaran non islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Namun perlu dicatat, bahwa mengidentikkan islam dengan non islam tidak sepenuhnya benar. Ajaran Islam diketahui bersumber pada wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah terkadang tampil dalam format yang “belum siap pakai”, atau belum bisa digunakan begitu saja dalam aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan operasionalisasinya oleh akal pikiran. Dalam hubungan inilah ke dalam ajaran islam masuk unsur pemikiran yang pada hakikatnya bukan wahyu. Dengan demikian bagian dari ajaran islam ada yang bersifat ajaran Normatif, yaitu yang bersumber pada Al-Qur’an dan dan Al-Sunnah yang tidak akan mengalami perubahan. Dan ada yang bersifat non-normatif, yaitu yang bersumber pada akal pikiran yang dapat dikembangkan bahkan diubah dan dibuang.
`                       Dalam pada itu perlu juga dicatat bahwa pemikiran yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah itu pun sifatnya jauh berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Pemikiran jenis pertama tidak bebas sebebas-bebasnya melainkan masih terikat pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pemikiran yang sifatnya tidak demikian tidak dapat diterima sebagai pemikiran Islam. Hal ini berbeda dengan pemikiran yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat bebas, liberal dan tidak terikat pada ajaran apapun.
Jika jalan pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran tasawuf, maka dapat kita katakan, bahwa ajaran tasawuf  itu sama kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam islam, seperti teologi, fiqh dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf  bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran al-Quran dan al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikiran yang tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan kerasulan Muhammad, tidak sampai menentang rukun iman dan rukun islam, dan seterusnya. Jika dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu, maka segera diperbaiki dan hal ini telah dilakukan oleh para ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf  atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan bahwa tasawuf  itulah sebenarnya inti ajaran Islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
1)      Kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akherat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran.
2)      Kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan didunia ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat dan kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaannya kepada Tuhan.
3)      Dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai kepada batas-batas dimana harta benda seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian yang serba lux, kendaraan yang mengkilap dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya pancaindera, dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkandiri kepada Tuhan, tempat ia mempertanggung jawabkan amalnya.
4)      Dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme, hedoneisme, vitalisme dan lain sebagainya sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat.[8]


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun sumber-sumber ajaran Tasawuf diantaranya yaitu:
1.      Unsur Islam
Bagi sebagian sufi, pembacaan alqur’an menjadi cara utama untuk  bertafakkur tentang Tuhan selama hayatnya. Selain itu, al-Qur’an juga  menghadirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tasawuf. Sedangkan sumber dari hadis berupa penggambaran kehidupan Nabi Muhammad sebagai seorang sufi yang berupa pengasingan diri beliau ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan dimana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.
2.      Unsur Luar Islam
Dari Unsur Masehi (Agama Nasrani) Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan,khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsure agama Nasrani yang terdapat pada zaman jahiliyah. Sedangkan dari Unsur Yunani berupa Metode berpikir  filsafat Yunani yang ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan tuhan. Pada Unsur Hindhu/Budha terdapat  persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Sedangkan Unsur Persia terdapat persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Masduq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
B.     Saran
Semoga makalah Ilmu Tasawuf yang berisi tentang “SUMBER-SUMBER AJARAN TASAWUF ” ini dapat bermanfaat bagi kita. Khususnya bagi mahasiswa STAIN KUDUS, pembaca dan pendengar.


[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta; 1997, hal.189.
[2] Martin Lings, membedah tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, hal.19
[3] Julian Baldick, Islam Mistik “mengantar anda ke dunia tasawuf”, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2002, hal.39.
[4] Martin Lings, op.cit., hal.17
[5] Mustafa zahri, Kunci Memahami ILMU TASAWUF, PT.Bina Ilmu, Surabaya; 1995, hal.161-162.
[6] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 1999,hal.25-26.
[7] Abuddin Nata, op.cit., hal.183-184.
[8] Ibid., hal.185-191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar