Rabu, 24 Desember 2014

KONSEP PENDIDIKAN WALISANGA DI PULAU JAWA



Proses masuknya agama islam di pulau Jawa tidak terlepas dari pengaruh para wali yang dikenal dengan sebutan “WALISANGA”. Konsep WALISANGA hingga kini masih memiliki pengaruh besar di kalangan santri tradisional sebagai bentuk kepercayaan kepada orang-orang yang disucikan dan dijadikan sebagai panutan atau wasilah (tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan ). Konsep Walisongo yang dipegang kalangan santri tradisional ini pada hakikatnya merupakan wujud kompromis dan “permisif “ atas tradisi-tradisi lokal Jawa. Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak semurni yang diajarkan Nabi  Muhammad Saw. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i. Ulama sufi yang tergolong awal datang ke Nusantara adalah Maulana Burhanuddln dari India, ia adalah seorang penganut Tarekat Qadiriyyah dan mazhab Syafi’i yang berpengaruh di Sumatera dan Malaka. Kemudian disusul oleh Maulana Malik Ibrahim, yang mempunyai pengaruh besar di Jawa. Berdasarkan pengaruh kedua tokoh ini, dapat dilihat bahwa proses Islamisasi di Indonesia pada awalnya hanya dipengaruhi dua hal pokok, yakni tasawuf atau tarekat dan Mazhab fiqih. Dampak yang dibawa tasawuf sampai sekarang tetap menjadi bagian dari kultur kaum santri sebagai kelompok “permisif” dan kompromis terhadap tradisi dan budaya lokal Jawa. Tradisi dan budaya lokal masyarakat Jawa yang Hinduistis-Budhistis diperlakukan sebagai salah satu faktor yang banyak memberikan andil dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi oleh WALISANGA. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional. Budaya Walisongo yang sampai sekarang masih melekat di kalangan santri adalah kepercayaan kepada orang-orang suci yang dikeramatkan dan dijadikan panutan sebagai wasilah atau tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan bagi segala kesulitan. Tokoh- tokoh tarekat dianggap sebagai sosok manusia kharismatik yang mengetahui alam gaib dan segala ihwal dunia suprarasional. Penghormatan kepada figur-figur tarekat melebihi penghormatan kepada ulama yang oleh Allah sendiri nyata-nyata dimuliakan karena keilmuan dan kepeduliannya pada kehidupan sosial masyarakatnya. Doktrin-doktrin jabariy ini ternyata memperoleh sambutan dari raja-raja Jawa, sebagai pihak penguasa yapg berkehendak keras mempertahankan status quo, termasuk penjajah Belanda di kemudian hari. Penghormatan dan kultus kepada para raja sebagai wakil Tuhan di muka bumi sebagaimana doktrin raja-raja Hindu, tampak semakin memperlicin Islam menembus dinding-dinding istana sebagai salah satu jalur suprastruktur yang mesti diislamkan. Perkawinan dengan puteri-puteri raja adalah salah satu strategi para pendakwah yang sangat efektif. Melalui perkawinan-perkawinan macam itu, lahir kerajaan-kerajaan Islam yang besar seperti kerajaan Islam Demak.
Media wayang yang dijadikan sarana dakwah Islam Walisongo sebenarnya tidak semata-mata mengefektif-efisienkan penyebaran Islam. Di pihak lain, seni wayang makin memperjelas justifikasi dan dukungan kepada posisi raja dan memperkuat penghormatan atas- nya dalam status quo. Dalam cerita wayang ini, seorang punakawan -betapapun cerdik, pandai, dan keturunan dewa -akan tetap menempatkan para raja dan keturunannya sebagai manusia paling mulia dan harus selalu diagungkan, dihormati, dan dipatuhi segala sabdanya. Secara politis, seni pewayangan di Jawa ingin memproklamasikan “raja” simbol penguasa -sebagai manusia nomor wahid. Sekalipun seorang raja yang sah itu zalim dan tiran, ia tetap diperlakukan sebagai wali ad-dahr. “Mendukung raja zalim lebih baik ketimbang berbuat makar.” Demikianlah imbas politik pemerintahan para wali di Jawa, yang sampai sekarang masih melekat di hati kaum santri yang memahami persoalan kepemimpinan (imamah) Sunni Umpamanya saja, pola-pola monarki sebagai salah satu budaya bangsa Persia sudah akrab dengan tradisi masyarakat Muslim Jawa. Pendekatan budaya semacam ini memiliki kelebihan tersendiri dalam pro- ses Islamisasi di Indonesia. Proses pembentukan tatanan masyarakat Islami dilakukan sebagai proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus-menerus. Proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai itu akhimya mampu menciptakan individu-individu dan masyarakat yang bersendikan Islam sebagai pelaku perubahan sosial itu sendiri Perubahan yang dilakukan dapat menciptakan pembebasan dari budaya kebergantungan. Yang disebut terakhir ini belum dirasakan hasilnya oleh sebagian besar umat Islam.
Dimensi keilmuan dan kesalihan memang disepakati sebagai tolok ukur keulamaan seseorang. Akan tetapi, di kalangan santri, ada tolok ukur lain yang bisa meningkatkan martabat dan kedudukan seseorang melebihi ulama lain, yakni ma’rifah. Al-Ghazali menjadikan ma’rifah sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf. Penghayatan ma’rifah dan alam gaib yang disodorkan ajaran tasawuf dirasakan mampu memberikan penyaluran bagi kepuasan ruhani, terutama ketika Islam berada dalam masa kemunduran fisik, intelektual, dan politik. Dalam masa itu, barangkali kompensasi atas kebahagiaan dengan penghayatan yang serba mistik dan serba gaib mungkin wajar. Namun, dalam masa sekarang yang sudah cenderung materialistis ini, kepuasan ruhani yang bersifat individualistik sudah saatnya ditinggalkan, karena sejarah membuktikan bahwa organisasi tarekat sebagai lembaga dakwah memberikan pengajaran dan pendidikan yang bersifat individual semata. beberapa tradisi Walisongo untuk masa dan zaman semodern ini tidak seluruhnya ditelan mentah-mentah, dibuang jauh-jauh, dan tidak perlu disikapi secara a priori sebelum mengenali secara benar dan baik. Sikap a priori terhadap tradisi dan budaya Walisongo hanya akan melahirkan kebutaan yang berkepanjangan. Sebaliknya, sikap arif dan bijaksana untuk mempertahankan nilai baik dan menerima nilai baru yang lebih bermanfaat setidaknya me rupakan sikap yang tidak frontal dan tak defensif dalam menghadapi ketimpangan dan kebobrokan sosial yang ada selama ini. Bukankah budaya Walisongo yang dianut kaum santri selama ini adalah sikap kompromis dan “permisif “ atas tradisi lokal Semuanya bergantung pada improvisasi kita dalam memodifikasi kekayaan warisan budaya itu agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar