Proses masuknya agama islam di pulau Jawa tidak
terlepas dari pengaruh para wali yang dikenal dengan sebutan “WALISANGA”.
Konsep WALISANGA hingga kini masih memiliki pengaruh besar di kalangan santri
tradisional sebagai bentuk kepercayaan kepada orang-orang yang disucikan dan
dijadikan sebagai panutan atau wasilah (tempat berlindung dan tempat
meminta pertolongan ). Konsep Walisongo yang dipegang kalangan santri
tradisional ini pada hakikatnya merupakan wujud kompromis dan “permisif “ atas
tradisi-tradisi lokal Jawa. Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu
kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak
semurni yang diajarkan Nabi Muhammad
Saw. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan
tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan
Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu
dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam
konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan
pengikut fiqih mazhab Syafi’i. Ulama sufi yang tergolong awal datang ke
Nusantara adalah Maulana Burhanuddln dari India, ia adalah seorang penganut
Tarekat Qadiriyyah dan mazhab Syafi’i yang berpengaruh di Sumatera dan Malaka.
Kemudian disusul oleh Maulana Malik Ibrahim, yang mempunyai pengaruh besar di
Jawa. Berdasarkan pengaruh kedua tokoh ini, dapat dilihat bahwa proses
Islamisasi di Indonesia pada awalnya hanya dipengaruhi dua hal pokok, yakni
tasawuf atau tarekat dan Mazhab fiqih. Dampak yang dibawa tasawuf sampai
sekarang tetap menjadi bagian dari kultur kaum santri sebagai kelompok
“permisif” dan kompromis terhadap tradisi dan budaya lokal Jawa. Tradisi dan
budaya lokal masyarakat Jawa yang Hinduistis-Budhistis diperlakukan sebagai salah
satu faktor yang banyak memberikan andil dalam pertumbuhan dan perkembangan
Islam.
Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal
Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif
dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme,
dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi
oleh WALISANGA. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim
Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah
sufistik dan non-rasional. Budaya Walisongo yang sampai sekarang masih melekat
di kalangan santri adalah kepercayaan kepada orang-orang suci yang dikeramatkan
dan dijadikan panutan sebagai wasilah atau tempat berlindung dan tempat meminta
pertolongan bagi segala kesulitan. Tokoh- tokoh tarekat dianggap sebagai sosok
manusia kharismatik yang mengetahui alam gaib dan segala ihwal dunia
suprarasional. Penghormatan kepada figur-figur tarekat melebihi penghormatan
kepada ulama yang oleh Allah sendiri nyata-nyata dimuliakan karena keilmuan dan
kepeduliannya pada kehidupan sosial masyarakatnya. Doktrin-doktrin jabariy ini
ternyata memperoleh sambutan dari raja-raja Jawa, sebagai pihak penguasa yapg
berkehendak keras mempertahankan status quo, termasuk penjajah Belanda
di kemudian hari. Penghormatan dan kultus kepada para raja sebagai wakil Tuhan
di muka bumi sebagaimana doktrin raja-raja Hindu, tampak semakin memperlicin
Islam menembus dinding-dinding istana sebagai salah satu jalur suprastruktur
yang mesti diislamkan. Perkawinan dengan puteri-puteri raja adalah salah satu
strategi para pendakwah yang sangat efektif. Melalui perkawinan-perkawinan
macam itu, lahir kerajaan-kerajaan Islam yang besar seperti kerajaan Islam
Demak.
Media wayang yang dijadikan sarana dakwah Islam
Walisongo sebenarnya tidak semata-mata mengefektif-efisienkan penyebaran Islam.
Di pihak lain, seni wayang makin memperjelas justifikasi dan dukungan kepada
posisi raja dan memperkuat penghormatan atas- nya dalam status quo. Dalam
cerita wayang ini, seorang punakawan -betapapun cerdik, pandai, dan keturunan
dewa -akan tetap menempatkan para raja dan keturunannya sebagai manusia paling
mulia dan harus selalu diagungkan, dihormati, dan dipatuhi segala sabdanya.
Secara politis, seni pewayangan di Jawa ingin memproklamasikan “raja” simbol
penguasa -sebagai manusia nomor wahid. Sekalipun seorang raja yang sah itu
zalim dan tiran, ia tetap diperlakukan sebagai wali ad-dahr. “Mendukung raja
zalim lebih baik ketimbang berbuat makar.” Demikianlah imbas politik
pemerintahan para wali di Jawa, yang sampai sekarang masih melekat di hati kaum
santri yang memahami persoalan kepemimpinan (imamah) Sunni Umpamanya saja,
pola-pola monarki sebagai salah satu budaya bangsa Persia sudah akrab dengan
tradisi masyarakat Muslim Jawa. Pendekatan budaya semacam ini memiliki
kelebihan tersendiri dalam pro- ses Islamisasi di Indonesia. Proses pembentukan
tatanan masyarakat Islami dilakukan sebagai proses diferensiasi dan integrasi
yang berlangsung terus-menerus. Proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai itu
akhimya mampu menciptakan individu-individu dan masyarakat yang bersendikan
Islam sebagai pelaku perubahan sosial itu sendiri Perubahan yang dilakukan
dapat menciptakan pembebasan dari budaya kebergantungan. Yang disebut terakhir
ini belum dirasakan hasilnya oleh sebagian besar umat Islam.
Dimensi keilmuan dan kesalihan memang
disepakati sebagai tolok ukur keulamaan seseorang. Akan tetapi, di kalangan
santri, ada tolok ukur lain yang bisa meningkatkan martabat dan kedudukan
seseorang melebihi ulama lain, yakni ma’rifah. Al-Ghazali menjadikan ma’rifah
sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf. Penghayatan ma’rifah dan alam gaib yang
disodorkan ajaran tasawuf dirasakan mampu memberikan penyaluran bagi kepuasan
ruhani, terutama ketika Islam berada dalam masa kemunduran fisik, intelektual,
dan politik. Dalam masa itu, barangkali kompensasi atas kebahagiaan dengan
penghayatan yang serba mistik dan serba gaib mungkin wajar. Namun, dalam masa
sekarang yang sudah cenderung materialistis ini, kepuasan ruhani yang bersifat
individualistik sudah saatnya ditinggalkan, karena sejarah membuktikan bahwa
organisasi tarekat sebagai lembaga dakwah memberikan pengajaran dan pendidikan
yang bersifat individual semata. beberapa tradisi Walisongo untuk masa dan
zaman semodern ini tidak seluruhnya ditelan mentah-mentah, dibuang jauh-jauh,
dan tidak perlu disikapi secara a priori sebelum mengenali secara benar dan
baik. Sikap a priori terhadap tradisi dan budaya Walisongo hanya akan
melahirkan kebutaan yang berkepanjangan. Sebaliknya, sikap arif dan bijaksana
untuk mempertahankan nilai baik dan menerima nilai baru yang lebih bermanfaat
setidaknya me rupakan sikap yang tidak frontal dan tak defensif dalam
menghadapi ketimpangan dan kebobrokan sosial yang ada selama ini. Bukankah
budaya Walisongo yang dianut kaum santri selama ini adalah sikap kompromis dan
“permisif “ atas tradisi lokal Semuanya bergantung pada improvisasi kita dalam
memodifikasi kekayaan warisan budaya itu agar tetap sesuai dengan perkembangan
zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar