Selasa, 09 Desember 2014

PENGERTIAN, DASAR DAN RUANG LINGKUP PSIKLOLGI ISLAM



PENGERTIAN, DASAR DAN RUANG LINGKUP
PSIKOLOGI ISLAM

REVISI MAKALAH
Dipresentasikan pada
Mata Kuliah Psikologi Islam
Semester : III
Tahun pelajaran 2014
Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad  Choiron, M.Ag


STAIN_NON_BLOK1.jpg


Disusun Oleh :
Kelompok 1
Siti Fitriana                             : 1310110041
Sulfiana Mufidah                    : 1310110068
Hidayatul Mustafit                 : 1310110074
Nurul Ainiyah                         : 1310110078




 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2014

A.    Pendahuluan
Islam adalah sumber pedoman, pandangan dan tata nilai bagi kehidupan manusia. Disamping itu, karena didapati banyaknya cerita dan konsep tentang manusia dalam Al-Qur’an, Islam sendiri merupakan sumber ilmu pengetahuan. Psikologi Islam adalah wacana psikologi yang didasarkan pada pandangan dunia islam. Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah islam diambil sebagai dasar utama pengembangan psikologi islam. Beberapa contohnya adalah fitrah, qalbu, ruh, nafs, insan kamil, sabar, syukur dan seterusnya.
Psikologi Islam lebih merupakan pandangan islam tentang manusia yang tidak harus dikaitkan-kaitkan dengan pandangan Psikologi Barat. Berbeda dengan Psikologi Barat yang pandangan filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, maka Psikologi Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.
      Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan Psikologi Islam. Alasan yang paling utama adalah karena Islam mempunyai pandangan sendiri tentang manusia. Al-Qur’an, sumber utama agama islam, adalah kitab petunjuk, didalamnya terdapat rahasia mengenai manusia. Allah, sebagai pencipta manusia, tentunya tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat Al-Qur’an, memberitakan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an (Wahyu), adalah sumber yang selayaknya dijadikan ajuan utama.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, dalam makalah ini kami menarik beberapa permasalahan yaitu:
1.    Bagaimana Hakikat Psikologi Islam?
2.    Bagaimana Dasar Tentang Psikologi Islam?
3.    Bagaimana ruang lingkup Psikologi Islam?

C. Pembahasan
1.  Hakikat Psikologi Islam
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “Psikologi” yang ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya.  Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psycbe), seperti studi yang dilakukan plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
 Pengertian pertama, lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Kelebihan dari pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakikat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkapkan hakikat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya yaitu pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan dan ingatan. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana psikologi kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat.
Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakikat jiwa, melainkan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakikat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehinnga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan.
Hakikat psikologi Islam dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat” .
Hakikat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok:
Pertama, psikologi islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi islam, politik islam, kebudayaan islam, dan sebagainya. Penempatan kata “islam” disini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya.Tentunya hal itu tidak terlepas dari hakikat jiwa, bagaimana cara mempelajari jiwa dan tujuan mempelajari jiwa dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam islam, seperti psikologi agama islam, psikologi perkembangan islam, psikologi sosial islam, dan sebagainya.
Kedua, Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam islam berupa Al-ruh, al-Nafs, al-kalb, al-aql, al-fitrah. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui Al-qur’an, As-Sunah serta dari Khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melaikan juga apa hakikat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiar) nya. Dari sini tampak bahwa psikologi islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berfikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunah-sunah Allah.
Ketiga, Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan alam kondisi tidak mengetahi apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri,  dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau untuk diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuansa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari Psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasingan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektivitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal-hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran psikologi islam berdasarkan pola pikir islam.
 Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak diantara metode dan teknik yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak masalah-masalah normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan konsep psikologinya dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa psikologi kontemporer barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku didunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara empiric dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang.
Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan.
Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.[1]
   
2.  Dasar Tentang Psikologi Islam
Menurut kepercayaan umat islam bahwa Al-Quran dan Al-Hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari psikologi islam adalah Al-Quran dan Al--Hadis.
Menurut ajaran islam, cara untuk memahami manusia dan alam semesta dapat dilakukan melalui dua pintu, yaitu ayat kauniyah dan ayat kauliyah. Diungkapkan oleh Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, untuk menggali manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an dan Al-Hadis (ayat kauliyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan, dan merefleksikan kejadian-kejadian yang berbeda di alam semesta dan terjadi pada diri manusia (ayat kauniyah) dengan menggunakan akal, indera, intuisi.[2]
Secara umum, sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis. Karenanya pengembangan teori Psikologi Islam dapat pula dirumuskan dengan menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas, dapat dikatakan Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah rujukan utama psikologi Islam. Psikologi islam memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia.
 Dalam Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Tentang bagaimana wujudnya, bagaimana bentuknya, dilarang untuk mempersoalkannya (QS 17:85). Tetapi bagaimana ruh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang menjadi khalifah itu, dalam alqur’an Q.S. al-Hijr Ayat 29 dinyatakan
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ(29)
Artinya: “Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S. Al-Hijr:29)

Tingkah laku manusia adalah akibat dari interaksi antara ruh dan badan. Walaupun manusia mempunyai ruh dan badan, tetapi ia dipandang sebagai pribadi yang terpadu.
Dalam al-Qur’an Surat Al-A’raaf ayat 172, Allah SWT berfirman:    
 وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172}
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
(Q.S. Al-A’raaf: 172)

Allah telah mengeluarkan dari sulbi Adam dan keturunannya, generasi demi generasi sebelum mereka diturunkan ke  dunia, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka dengan firman-Nya “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Jawab mereka: “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” Dan Allah menyatakan bahwa Ia mengambil kesaksian terhadap mereka akan kedudukan-Nya sebagai Tuhan agar mereka pada hari kiamat, tidak menyatakan bahwa mereka tidak tahu akan hal itu. Dari sini tampak jelas bahwa dalam diri manusia terdapat kesiapan alamiah untuk mengenal Allah dan mengesakan-Nya. Jadi, pengakuan terhadap kedudukan Allah sebagai Tuhan tertanam kuat dalam fitrahnya dan telah ada dalam relung jiwanya sejak zaman azali.[3]
Di dalam surat An-nisa’ ayat 1 juga disebutkan bahwa:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا {1}
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa’:1)

Artinya, dari satu jiwa, nabi Adam AS, Allah menciptakan puluhan miliar jiwa yang berbeda-beda satu sama lain dan berbeda pula dengan jiwa yang menjadi asalnya. Hal semacam ini telah menjadi jelas bagi ilmuwan genetika saat ini. Oleh karena itu, adanya kemiripan dua orang, semata-mata dari aspek genetisnya saja, kemungkinannya hanya terjadi dalam angka satu persepuluh pangkat empat puluh. Dari sini pula kita dapat memahami secara mendalam makna firman Allah berikut ini:
يَاأَيُّهَا اْلإِنسَانُ مَاغَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ {6} الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ {7} فيِ أَيَّ صُورَةٍ مَّاشَآءَ رَكَّبَكَ {8}
Artinya:Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.

Hikmah Allah benar-benar telah menetapkan sebagai penjelasan atas kekuasaan-Nya didalam melakukan penciptaan bahwa makhluk manapun tidak ada yang serupa dengan yang lainnya, sejak Allah memulai penciptaan-Nya sampai hari kiamat. Inilah yang berhasil disingkapkan oleh ilmu genetika pada paruh terakhir abad ke 20.[4]
Selain ayat-ayat di atas, Allah juga berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 yaitu:
 كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ
النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ {185}Artinya : Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.(Q.S. Ali Imran:185 )

Contonya yaitu badan Fir’aun, dengan hikmah (kebijaksanaan)-Nya, telah ditetapkan untuk tetap terpelihara sejak 3000 tahun yang lampau dan masih ada sampai saat kita sekarang ini. Tujuannya adalah agar menjadi pelajaran serta bukti yang dapat dirasakan secara pasti oleh generasi yang datang setelah Fir’aun- kebenaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, badan atau mumi Fir’aun yang pernah mengejar Nabi Musa AS. Masih ada sampai sekarang ini di Museum Kairo, Mesir.[5]
Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan psikologi islam. Alasan yang paling utama adalah karena islam mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia. Psikologi islam itu merupakan konsep manusia menurut Al-Qur’an. Al-quran sebagai sumber utama agama islam. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, didalamnya banyak terdapat rahasia mengenai manusia. Allah sebagai pencipta manusia, tentu tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat al-quran, allah memberitahukan rahasia-rahasia tentang manusia. Oleh karena itu Psikologi Islam disusun dengan memakai Al-Qur’an sebagai acuan utamanya. Sementara Al-Qur’an sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat islam, tetapi untuk kebaikan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, Psikologi Islam dibangun dengan arahan untuk kesejahteraan umat  manusia.
3.  Ruang Lingkup Psikologi Islam
Kajian dalam diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-qur’an. Manusia menempati posisi penting dalam Al-qur’an. Surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah sudah berbicara tentang manusia. Khalaqal insaana min ‘alaq. Salah satu istilah yang berkenaan dengan manusia, yaitu Nafs disebut ratusan kali. Belum lagi istilah al-naas, al-basyar, dan al-insaan. Istilah-istilah tersebut menunjukkan betapa Al-qur’an begitu peduli berbicara tentang manusia. Istilah Nafs termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-qur’an, yaitu sebanyak lebih dari 300 kali. Menurut Sukanto MM (1994), istilah Nafs bisa berarti “aku”, “pribadi”, “diri”, “makna derivatif ( nafsu )”, “sesama jenis”. Jiwa atau nafsu bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas.
Psikologi islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi islam melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi islam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia.
Oleh karena itu, psikologi islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan.[6]
Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ {53}
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami   di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?(Q.S. Fushshilat:53)

Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa dialam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berilmu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, aql, ruh, qalb, fitrah, dan sebagainya. Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Nashaori ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajiaan mengenai manusia bukanlah kajiaan yang berdiri sendiri tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-hashimi 1991),  yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an, tapi juga menggunakan, memikirkan dan merekflesikan kejadian-kejadiaan di alam semesta dengan akal pikiran, indra dan intuisi.

D. ANALISA
Dari pembahasan diatas menurut kelompok kami Psikologi Islam itu merupakan ilmu yang mengkaji tentang jiwa yang didasarkan pada Al-Qur’an. Psikologi Islam berpandangan bahwa jiwa manusia terdiri atas Qalbu, akal, dan nafsu. Ketiganya sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian. Didalamnya terdapat potensi-potensi luar biasa, sehingga semuanya harus berjalan selaras dan didukung dengan lingkungan positif, agar tercipta kepribadian positif yang dapat menetramkan kehidupan.
Dalam diri manusia terdapat kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian ruang lingkup psikologi islam sebagaimana Al-Qur’an banyak sekali memberi gambaran mengenai manusia dan kehidupannya. Keadaan tubuh manusia merupakan cerminan dari jiwanya. Misalnya jika seseorang ekspresi wajahnya terlihat ceria, semangat maka itu cerminan dari jiwanya yang sedang bahagia, begitupun sebaliknya. 
Jadi, pada hakikatnya manusia didalam Al-Qur’an dibahas secara rinci dari mulai jiwa, perilaku, akal, darah, dan sebagainya. Maka dari itu Psikologi Islam disusun dengan memakai Al-Qur’an sebagai acuan utamanya. Kajian utama dari psikologi islam adalah tentang jiwa (nafs) yang tidak terlepas dari diri manusia.




E. KESIMPULAN
a)    Hakikat Psikologi Islam mengandung tiga unsur pokok:
1.    Psikologi islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi islam, politik islam, kebudayaan islam, dan sebagainya
2.    Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam islam berupa Al-ruh, al-Nafs, al-kalb, al-aql, al-fitrah
3.    Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b)   Dasar Psikologi Islam dengan kepercayaan umat islam bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari Psikologi Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
c)    Kajian dalam diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-qur’an. Manusia menempati posisi penting dalam Al-qur’an. Psikologi islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan.

F. PENUTUP
Demikianlah pembahasan dari makalah ini, mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dei kesmpurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib dkk, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002
Adnan Syarif, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Mighwar,Psikologi Qurani,Pustaka Hidayah,Bandung:2002
Djamuludin Ancok dkk, Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:2011
Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002





















[1]Abdul Mujib dkk, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002, hal.1-9
[2]Fuad Nashori, Agenda Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002, hal 61
[3]Djamuludin Ancok dkk,Psikologi Islam,PustakaPelajar,Yogyakarta:2011, hal 158-160
[4]Adnan Syarif, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Mighwar,Psikologi Qurani,Pustaka Hidayah,Bandung:2002,Hal 67-68

[5]Ibid., hal 59-60
[6]Djamaluddin Ancok, dkk., Op.cit, Hal 148-149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar