Jumat, 25 Desember 2015

RESUME KERJA SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN



KERJA SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN

RESUME
Disusun Guna memenuhi salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah : Fiqih Mu’ammalah
Dosen : Zakiyah Isnawati, M.Pd

A description...


Disusun Oleh:
1.      Zahotul Mustabsyiroh                   (1310110046)
2.      Wulan Miftakhul Jannah               (1310110050)
3.      Tri Rahayuning Raufah                 (1310110061)



 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH / PAI
2015


KERJA SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN

1.      Mukhabarah dan Muzara’ah  
a.      Pengertian
Mukhabarah” ialah pekerjaan orang yang mengelola (menggarap) bumi si Malik (orang yang memiliki bumi/sawah) dengan janji upah mendapatkan sebagian barang yang keluar dari bumi itu, sedangkan bijinya dari pihak Amil (pengelola pekerjaan).
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah memiliki arti melemparkan tanaman yang maksudnya adalah modal. Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap lahan. Dimana pemilik lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Muzara’ah sering disamakan dengan mukhabarah. Padahal keduanya sedikit bebeda, muzara’ah benihnya berasal dari pemilik lahan sedangkan mukhabarah benihnya beasal dari penggarap. [1]
Pengertian muzara’ah menurut para ulama’ sebagai berikut:
1)      Menurut Hanafiyah, Muzara’ah adalah akad bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
2)      Menurut Hanabilah, Muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
3)      Menurut Syafi’iyah, Muzara’ah adalah seoang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.
b.      Hukum Muzara’ah
Hukum muzara’ah shahih menurut Hanafiyah, apabila:
1)      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2)      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3)      Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
4)      Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkakan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi jika tidak ada kesepakatan maka penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5)      Diperbolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6)      Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasakan pada waktu.
c.       Penghabisan Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkna Muzara’ah habis, diantaranya:
1)      Habis masa Muzara’ah
2)      Salah seorang akad meninggal
3)      Adanya udzur. Udzur tersebut diantaranya:
a)      Tanah garapan tepaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
b)      Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah, dll[2].
d.      Dasar hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Dasar yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum Mukhabaah dan muzaa’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkann oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
إِنَّ النبي ص م لَمْ يُحَرِّمِ الْمُزَارَعَةُ وَلَكِنْ اَمَرَاَنْ يَرْ فُقَ   بَعْضُهُمْ بِبَعْضِ بِقَوْلِهِ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَاِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ اَرْضَهُ
“Sesungguhnya Nabi SAW, menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan Beliau menyuruhnya supaya sebagian menyayangi sebagian yang lainnya, dengan katanya barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mampu maka boleh ditahan saja tanah itu” 
2.      Musaqah
a.    Pengertian
Al-Musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dengen jumlah tertentu.[3]
Musaqah menurut beberapa ulama:
1)   Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah menjadi lima macam yaitu:
a.    Pohon-pohon tersebut berakar kuat dan berbuah.
b.    Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah.
c.    Pohon-pohon tersebut tidak beaka kuat, tetapi berbuahnya dan dapat dipetik.
d.   Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya untuk dapat dipetik.
e.    Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat bukan buahnya.
2)   Menurut Syafi’iyah, Musaqah adalah memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon tersebut[4].
b.     Landasan Syari’ah
1)   Al-hadits
Ibnu Umar berkata bahwa Rasullah SAW. Penah memberikan tganah dan tanaman kuma di khoibar kepada Yahudi Khoibar untuk dipelihara dengan mempegunakan pealatan dan dana meeka. Sebagai imbalan, mereka mempeoleh posentase tertentu dai hasil panen.
2)   Ijma’
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Tholib r.a. bahwa Rasullah SAW.telah menjadikan penduduk khoibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan ¼. Semua telah dilakukan oleh Khulafaurasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya.[5]
3)   Hukum Musaqah
Musaqah shahih menurut ulama Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggaap dean menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.


DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah,PT Raja Gravindo Persada, Bandung, 2002
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2013
Rachmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalah, Pustaka Setia Bandung, Bandung, 2001
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Pustaka Percetakan,TK,TT


[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm. 99
[2] Rachmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalah, Pustaka Setia Bandung, Bandung, 2001, hlm. 210-211
[3] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Pustaka Percetakan,TK,TT,hlm 165
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah,PT Raja Gravindo Persada, Bandung, 2002,hlm146-147
[5] Ibid, Muhammad Syafi’I Antomio, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik, hlm. 100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar