Jumat, 25 Desember 2015

Makalah Thaharah, Najis, Hadats dan Pengajarannya



Thaharah, Najis, Hadats dan Pengajarannya
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Materi dan Pembelajaran Fiqih MTs dan MA
Dosen : Ahmad Fatah, S.Pd.I, M.S.I




Disusun Oleh:
Kelompok 02
1.      Ahmad Junaidi             1310110049
2.      Randi Julianto              1310110058
3.      Iyanatul Masbakhah     1310110077



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN  2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Idealnya, dalam pembelajaran thaharah guru harus dapat menuntun siswa untuk dapat aktif dan kreatif. Siswa bukan hanya dapat menguasai materi tetapi juga harus dapat mempraktekkan dan menerapkannya pada keidupan sehari-hari. Namun realitanya, dalam pembelajaran thaharoh, rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan ilmu, siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun.
Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka. artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah. Dalam adagium ushul fiqh dijelaskan bahwa:
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Suatu kewajibanyang tidak dapat semurna kecuali dengan adanya sesuatu(perkara), maka sesuatu(perkara)tersebut juga menjadi wajib.”

Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.
Di sini, guru dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif dalam penerapan metode mengajar materi thaharah agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang materi thaharoh, najis, hadats dan pengajarannya.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana thaharah dan cara pengajarannya?
2.    Bagaimana najis dan cara pengajarannya?
3.    Bagaimana hadats dan cara pengajarannya?
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Thaharah (Bersuci)
Dalam hukum Islam, tentang bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadats dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.[1]
Firman Allah SWT.:
إِنَّ اللّه يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ المُتَطَهِّرِيْنَ . ( البقرة ٢٢٢ )
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)

Thaharah secara lughat ialah bersih. Menurut syara’ ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’ atau menghilangkan najasah, mandi dan tayammum. Hakikat thaharah ialah memakai air atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang disyariatkan, untuk menghilangkan najsah dan hadats.[2] 
Bersuci pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: bersuci secara lahiriyah dan bersuci secara batiniyah. Suci secara lahir, artinya bersih dari semua kotoran dan najis yang melekat, sedangkan suci secara batin berati jiwanya bersih dari segala dosa dan bersih dari perbuatan maksiat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa thaharah adalah membersihkan diri dari hadats atau najis dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’.



B.     Najis
Najis artinya segala sesuatu yang menjijikkan. Menurut pandangan syara’ najis adalah segala sesuatu yang menjijikkan, baik yang bersifat hissy (indrawi) maupun hukmi (secara hukum).
Najis yang dapat mencegah sahnya shalat ada kemungkinan melekat pada badan, pakaian, atau tempat yang dipergunakan untuk shalat. Najis-najis itu terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.    Najis Mukhaffafah (najis yang ringan)
Cara menyucikan najis mukhaffafah ialah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis mukhaffafah itu.
b.    Najis Mutawassitah (najis yang sedang)
Najis mutawassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)   Najis ‘Ainiyah
Najis ‘Ainiyah yaitu najis mutawassitah yang masih kelihatan wujud, warna, dan baunya. Cara mensucikan najis mutawassitah ‘ainiyah yaitu dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, rasa, dan baunya.
2)   Najis Hukmiyah
Najis hukmiyah yaitu naijs mutawassitah yang diyakini ada, tetapi sudah tidak kelihatan wujud, warna, dan baunya. Cara menyucikannya yaitu dengan menggenangi air mutlak pada tempat najis hukmiyah tersebut.
c.    Najis Mugalladzah (najis yang berat)
Cara menyucikan najis mugalladzah yaitu dengan mencuci najis tersebur sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satu diantaranya dengan memakai debu yang suci.[3]
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa najis adalah sesuatu yang dipandang syara’ menjijikkan yang dapat mencegah sahnya shalat. Najis terbagi tiga yaitu mukhoffafah, mutawassitah, mugalladzah.
C.    Hadats
Hadats menurut bahasa adalah sifat yang menurut pandangan hukum seseorang tidak sah melakukan shalat. Sedangkan menurut istilah, hadats adalah perbuatan atau kejadian yang menyebabkan seseorang secara hukum, dia itu tidak suci. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan tayammum.
Hadats terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Hadats kecil, seperti buang air dan buang angin (kentut).
Cara menghilangkan hadats ini dengan berwudhu atau tayammum apabila orang yang berhadats itu sakit atau tidak mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu.
2.      Hadats besar
Hadats besar yaitu kejadian yang menyebabkan seseorang dilarang melakukan ibadah tertentu, seperti membaca al-Qur’an, shalat, atau thawaf. Hadats besar yang dimaksud meliputi: haid, nifas, dan keluarnya sperma (mani) bagi laki-laki. Cara menghilangkannya yaitu dengan mandi besar, atau tayammum jika tidak didapatkan air atau karena sakit.
Adapun macam-macam cara bersuci dari hadats adalah sebagai berikut:
1.      Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti baik dan bersih. menurut istilah, wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan pada anggota-anggota badan tertentu dengan rukun dan syarat tertentu.[4]
a.       Syarat-syarat Wudhu:
1)      Islam
2)      Mumayiz
3)      Tidak berhadas besar
4)      Dengan air yang suci dan menyucikan
5)      Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit.
b.      Fardhu (rukun) wudhu:
1)      Niat
2)      Membasuh muka
3)      Membasuh dua tangan sampai ke siku
4)      Menyapu sebagian kepala
5)      Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki
6)      Menertibkan rukun-rukun di atas.[5]
c.       Hikmah wudhu sebagai berikut:
1)      Dengan berwudhu, maka dosa dan maksiat yang dilakukan oleh anggota wudhu dapat terhapus.
2)      Orang yang dalam keadaan suci dan bersih dapat melakukan banyak ibadah.
3)      Orang yang dalam keadaan suci dan bersih dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah.
4)      Orang yang berwudhu selalu sehat dan terhindar dari penyakit, karena anggota wudhu yang merupakan panca indra yang sangat vital bagi manusia selalul dibersihkan secara teratur.[6]
Dari hikmah berwudlu tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang berwudlu akan selalu terjaga dan lebih merasa dekat kepada Allah.
2.      Mandi
Mandi adalah mengalirkan air yang suci ke seluruh tubuh, maksudnya adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan pada seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan cara tertentu. Sebagaimana Firman Allah SWT.:
“Dan apabila kamu sekalian dalam keadaan junub, maka mandilah ...” (QS. Al-Maidah: 6)
Hukum mandi adalah wajib bagi orang yang berhadats besar ada enam, tiga diantaranya biasa terjadi pada laki-laki dan perempuan, dan tiga lagi tertentu (khusus) pada perempuan saja, sebagai berikut:
a.       Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak. Sabda Rasulullah SAW.: “Apabila dua yang di khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun tidak keluar mani.” (HR. Muslim)
b.      Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan.
c.       Mati. Orang Islam yang mati, fardhu kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya, kecuali bagi orang yang mati syahid.
d.      Haid (menstruasi). Apabila seorang perempuan telah berhenti dari haid, ia wajib mandi agar ia dapat shalat dan dapat bercampur dengan suaminya. Dengan mandi itu badannya pun menjadi segar dan sehat kembali.
e.       Nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan anak. Darah itu merupakan darah haid yang berkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu mengandung.
f.       Melahirkan, baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.
Di samping mandi wajib, ada juga mandi sunnah, diantaranya sebagai berikut:
a.       Mandi hari Jumat, disunnahkan bagi orang yang bermaksud akan mengerjakan shalat Jumat, agar baunya yang busuk tidak mengganggu orang di sekitar tempat duduknya.
b.      Mandi hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.
c.       Mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya, karena ada sangkaana (kemungkinan) ia keluar mani.
d.      Mandi tatkala hendak ihram haji atau umroah.
e.       Mandi sehabis memandikan mayat.
f.       Mandi seorang kafir setelah memeluk agam Islam, sebab ketika beberapa orang sahabat masuk Islam, mereka disuruh oleh Nabi mandi.
3.      Tayammum
Tayammum menurut bahasa berari “bermaksud”, sedangkan menurut istilah ialah mengusapkan debu yang suci ke muka dan ke tangan sampai siku dengan niat dan syarat tertentu. Tayammum merupakan pengganti dari wudhu atau mandi manakala tidak ditemukan air atau karena alasan dan sebab tertentu tidak diperbolehkan menggunakan air, seperti karena udzur, sakit, atau karena dalam perjalanan.
a.       Syarat Sah Tayamum
a)      Telah masuk waktu solat.
b)      Sudah berusaha mencari air tetapi tidak mendapatnya sedang waktu solat sudah masuk.
c)      Dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih.
d)     Akan bertambah parah sakitnya atau lama sembuhnya bila anggota wudhunya kena air.
e)      Tidak ada air.
b.      Rukun Tayamum
a)      Niat.
b)      Mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang bersih sampe siku.
c)      Meratakan debu yang bersih pada anggota-anggota yang harus ditanyamumkan.
d)     Terbib, berurutan mengusapnya.[7]
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tayamum dilakukan ketika dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk berwudlu, dengan ketentuan syarat dan rukun yang telah dijelaskan di atas.
D.    Pengajaran Thaharah, Najis dan Hadats
Untuk mencapai tujuan dan efektifitas pembelajaran diperlukan adanya metode yang tepat.  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih metode pembelajaran, di antaranya; kondisi kelas, psikologis perserta didik, materi pelajaran dan biaya.
Pengajaran thaharah cocok menggunakan model pembelajaran demonstrasi. Langkah-langkah dalam model pembelajaran ini antara lain:
1.  Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2.  Guru menyajikan gambaran sekilas thaharah (wudhu dan hadas) yang akan disampaikan
3.  Menyiapkan bahan atau alat yang diperlukan, misalkan air.
4.  Menujukkan salah seorang siswa untuk mendemonstrasikan sesuai skenario yang telah disiapkan
5.  Seluruh siswa memperhatikan demonstrasi dan menganalisnya
6.  Tiap siswa mengemukakan hasil analisis dan mendemonstrasikan pengalaman
7.  Guru dan siswa membuat suatu kesimpulan
8.  Penutup.
Sedangkan pengajaran najis dan hadats cocok menggunakan model pembelajaran Jigsaw. Langkah model pembelajaran ini sebagai berikut:
1.    Guru merencanakan pembelajaran yang akan menghubungkan beberapa konsep dalam satu rentang waktu secara bersamaan. Pada bab najis dan hadats. Konsep yang akan siswa pelajari: (1) definisi najis dan hadats. (2) Macam-macam najis dan hadats, (3) Cara menyucikan najis dan hadats. Tentu saja perlu menyiapkan RPP dengan menerapkan model Jigsaw.
2.    Siapkan handout materi pelajaran untuk masing-masing konsep sehingga guru memiliki tiga jenis handout tentang (1) definisi najis dan hadats. (2) Macam-macam najis dan hadats, (3) Cara menyucikan najis dan hadats. Tentu saja perlu menyiapkan RPP dengan menerapkan model Jigsaw.
3.    Guru menyiapkan kuis sebanyak tiga jenis sesuai materi (najis dan hadats) yang akan siswa pelajari.
4.    Pada saat diskusi setiap sub kelompok mendalami satu konsep dan masing-masing sub kelompok bisa saling bertanya untuk memperoleh pemahaman, atau dalam bahasa inggris kelompok seperti ini disebut dengan home groups.
5.    Setiap sup kelompok mendalami materi (najis dan hadits) pada handout yang menjadi pegangannya.
6.    Tiap kelompok membahas satu handout materi (najis dan hadats) yang menjadi bidang keahliannya. Dalam diskusi ini terdapat masa kritis yag perlu guru pantau pada tiap kelompok, memastikan bahwa konsep yang siswa kembangkan sesuia dengan yang seharusnya atau tidak mengandung kekeliruan.
7.    Hasil dari diskusi pada kelompok dibahas kembali pada kelompok awal. Pada akhir kegiatan belajar, setiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya.
8.    Guru mengukur hasil belajar siswa dengan tes atau kuis. Guru dapat menilai ketingkat ketuntasan belajar dengan cara membandingkan hasil yang siswa capai dengan target yang ditetapkan dalam RPP. [8]
Model pembelajaran yang ditawarkan, yaitu demonstrasi dan jigsaw terdapat relevansi dengan Permendikbud  Nomor  64 Tahun 2013 dan Permenag Nomor 2 Tahun 2008 yang berisi tentang tujuan pembelajaran fikih  diarahkan untuk mengantarkan peserta didik dapat memahami pokok-pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikankan dalam kehidupan sehingga  menjadi muslim yang selalu taat  menjalankan syariat Islam secara kaaffah (sempurna). Dalam Permenag Nomor 2 Tahun 2013, kompetensi dasar yang harus dicapai adalah siswa mampu menjelaskan materi dari thaharah serta mempraktikkannya. Dengan model demonstrasi, siswa dapat lebih mengetahui mana praktik wudlu yang benar dan salah. Sedangkan model jigsaw dapat memberikan pemahaman kepada siswa tentang berbagai masalah yang ada didalam thaharah.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran demonstrasi dan jigsaw tepat digunakan dalam pengajaran thaharah di MTs dan MA.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        Thaharah ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’ atau menghilangkan najasah, mandi dan tayammum.
2.        Najis adalah segala sesuatu yang menjijikkan, baik yang bersifat hissy (indrawi) maupun hukmi (secara hukum).
Macam-macam najis:
a.    Najis Mukhaffafah (najis yang ringan)
b.    Najis Mutawassitah (najis yang sedang)
1)   Najis ‘Ainiyah
2)   Najis Hukmiyah
c.    Najis Mugalladzah (najis yang berat)
3.        Hadats adalah perbuatan atau kejadian yang menyebabkan seseorang secara hukum, dia itu tidak suci. Macam-macam cara bersuci dari hadats:
a.    Wudhu
b.    Mandi
c.    Tayammum.
4.        Pengajaran thaharoh dapat menggunakan cara demonstrasi sedangkan materi najis dan hadats dengan metode diskusi agar peserta didik dapat lebih aktif
B.     Penutup
Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami harapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca. Demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Amir Abyan & Zainal Muttaqin, Pendidikan Agama Islam Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas VII, Semarang, Thoha Putra, 2008
Aris Shoimin, 68 Model Pembelajran Inovatif dalam Kurikulum 13,Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2014
Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), Semarang, CV. Gani & SON, 2004
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru, Aalgensindo, 2011
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru, Aalgensindo, 2011, hlm. 13
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000, Hlm. 101
[3] Amir Abyan & Zainal Muttaqin, Pendidikan Agama Islam Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas VII, Semarang, Thoha Putra, 2008, hlm. 5-7
[4] Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), Semarang, CV. Gani & SON 2004, hlm. 3

[5] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978, hlm. 63-64
[6] Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi),hlm. 2-7
[7] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978, hlm. 71-74
[8] Aris Shoimin, 68 model pembelajran inovatif dalam kurikulum 13,Yogyakarta Ar-ruzz media, 2014 hlm. 62-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar