Jumat, 25 Desember 2015

Resume Bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam Muamalah

Bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam Muamalah
Disusun guna memenuhi tugas Resume
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen Pembimbing: Zakiyah, M.Pd

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7hVYKhk2Yd8OVV9rw4QiTRMb1NSFd0KgPe6fzw23fLY84Dnz0fdHDlBbOU72zxyVROuX2YuXGJle64kSQs6EG6-mnb26Jr7kntMKj1UAMYIJXDveQjTtQMWTpAD3afl3pAOSMdNobP9FV/s1600/logo+stain+kudus.JPG
DisusunOleh:
Kelompok 7
1.      Ahmad Junaidi                     (1310110049)
2.      Amanah Fitria                       (1310110053)
3.      Nita Solfiana                          (1310110063)
4.      Siti Fatimah                           (1310110067)



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN 2015

RESUME
A.    Sewa-Menyewa  (Al-Ijarah)
a.    Pengertian Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)
Menurut bahasa ijarah berarti “upah”, “ganti”, atau “imbalan”. Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas baranag atau jasa, melalui upah sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[1] Menurut pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah) adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepamilikan barang itu sendiri.[2]
b.      Syarat dan Rukun Ijarah
Menurut golongan Syafi’iyah, Malikiah, dan Hanabilah bahwa rukun ijarah terdiri atas muajjir (pihak yang memberikan ijarah), musta’jir (orang yang membayar ijarah), al-ma’qud ‘alaih, dan sighat. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad mestilah orang yang sudah dewasa dan tidak cukup hanya mumayiz saja.[3]
c.    Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kawajiban penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya mobil yang disewakan ternyata tidak dapat digunakan karena akhirnya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila dimikian adanya, apakah harga sewa masih harus dibayar penuh?. Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus diabayar penuh. Sebagian ulama lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
d.   Pembatalan dan Berakhirnya Sewa-Menyewa
Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa-menyewa antara lain:
1.    Terjadinya aib pada barang sewaan
2.    Rusaknya barang yang disewakan
3.    Terpenuhinya manfaat yang diakadkan.[4]
e.    Landasan syariah
1.      Al Qur’an
Allah swt berfirman Q.S Albaqarah 233Artinya : Dan jika kamu berkehendak akan meminta disusukan anak-anakmu oleh wanita lain, maka tidak ada halangan juga bagikamu, apabila kamu memberikan upah menurut yang patut. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, dan ketahuilah kamu, bahwa sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang menjadi dasar pokok dalam ijarah ini, ialah ungkapan upah yang patut diberikan sebagai jasa membayar upah (fee) secara patut.dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2.      Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “ berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)[5]
B.     Pinjam-Meminjam (‘Ariyah)
a.       Pengertian Ariyah
Ariyah secara etimologi berarti pinjaman dalam pelaksanaannya, Ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi.[6]
b.      Dasar Hukum
Pada surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman yang artinya:
Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah bantu membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan”.
c.       Syarat dan Rukun
Rukun pinjam meminjam itu adalah adanya pihak yang meminjamkan, adanyapihak yang dipinjamkan, adanya objek yang dipinjamkan, dan terjadinya akad pinjam meminjam. Para ulama’ pun mensyaratkan supaya pihak-pihak yang mengadakan transaksi pinjam meminjam itu mestilah orang yang memiliki kecakapan bertindak, yaitu orang yang berakal sehat serta mengerti akan maksud dan tujuan dari perbuatan yang dilakukannya. Kelompok Syafi’iyah mensyariatkan orang yang melakukan akad pinjam meminjam haruslah yang sudah berusia dewasa.[7]
d.      Ketentuan Dalam Pinjam Meminjam
Menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan Iskhaq bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiabn menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpedapat bahwa, meminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan.[8]












 























DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman  A Karim, Bank Islam Anlisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Hendi Suhendi,  Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2013.



[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm 117.
[2] Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm, 52.
[3] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 29-35
[4] Adiwarman  A Karim, Bank Islam Anlisis Fiqih dan Keuanga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm, 138-140.
[5] Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002 hlm77-78
[6] Helmi Karim, Ibid,  hlm 37.

[7] Helmi Karim, Ibid,  hlm 39-40.
[8] Hendi Suhendi,  Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm, 98.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar