Bentuk-bentuk pemberian kepercayaan
dalam Muamalah
Disusun guna memenuhi tugas Resume
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen Pembimbing: Zakiyah, M.Pd
DisusunOleh:
Kelompok 7
1. Ahmad Junaidi (1310110049)
2. Amanah Fitria (1310110053)
3. Nita Solfiana (1310110063)
4. Siti Fatimah (1310110067)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
TAHUN 2015
RESUME
A.
Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)
a.
Pengertian Sewa-Menyewa (Al-Ijarah)
Menurut bahasa ijarah berarti “upah”, “ganti”, atau “imbalan”.
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas baranag atau jasa, melalui upah
sewa, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[1] Menurut
pengertian hukum Islam sewa-menyewa (Ijarah) adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepamilikan barang itu sendiri.[2]
b.
Syarat dan Rukun Ijarah
Menurut golongan Syafi’iyah, Malikiah, dan Hanabilah bahwa rukun
ijarah terdiri atas muajjir (pihak yang memberikan ijarah), musta’jir (orang
yang membayar ijarah), al-ma’qud ‘alaih, dan sighat. Golongan Syafi’iyah dan
Hanabilah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad mestilah orang yang sudah
dewasa dan tidak cukup hanya mumayiz saja.[3]
c.
Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja kawajiban penyewa dan yang menyewakan? Yang menyewakan
wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal
oleh penyewa. Misalnya mobil yang disewakan ternyata tidak dapat digunakan
karena akhirnya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya Bila yang
menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk
membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Bila dimikian adanya, apakah
harga sewa masih harus dibayar penuh?. Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa
tidak membatalkan akad, harga sewa harus diabayar penuh. Sebagian ulama lain
berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan
kerusakan.
d.
Pembatalan dan Berakhirnya Sewa-Menyewa
Adapun hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian sewa-menyewa
antara lain:
1.
Terjadinya aib pada barang sewaan
2.
Rusaknya barang yang disewakan
3.
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan.[4]
e. Landasan
syariah
1. Al Qur’an
Allah swt
berfirman Q.S Albaqarah 233Artinya : Dan
jika kamu berkehendak akan meminta disusukan anak-anakmu oleh wanita lain, maka
tidak ada halangan juga bagikamu, apabila kamu memberikan upah menurut yang
patut. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, dan ketahuilah kamu, bahwa
sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang
menjadi dasar pokok dalam ijarah ini, ialah ungkapan upah yang patut diberikan
sebagai jasa membayar upah (fee) secara patut.dalam hal ini termasuk didalamnya
jasa penyewaan atau leasing.
2.
Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah
olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah bersabda, “ berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
(HR. Ibnu Majah)[5]
B.
Pinjam-Meminjam (‘Ariyah)
a.
Pengertian Ariyah
Ariyah secara etimologi berarti pinjaman dalam pelaksanaannya,
Ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh
seseorang kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan
memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus
membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib
mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi.[6]
b.
Dasar Hukum
Pada surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman yang artinya:
“Dan
saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah
bantu membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan”.
c.
Syarat dan Rukun
Rukun pinjam meminjam itu adalah adanya pihak yang meminjamkan, adanyapihak
yang dipinjamkan, adanya objek yang dipinjamkan, dan terjadinya akad pinjam
meminjam. Para ulama’ pun mensyaratkan supaya pihak-pihak yang mengadakan
transaksi pinjam meminjam itu mestilah orang yang memiliki kecakapan bertindak,
yaitu orang yang berakal sehat serta mengerti akan maksud dan tujuan dari
perbuatan yang dilakukannya. Kelompok Syafi’iyah mensyariatkan orang yang
melakukan akad pinjam meminjam haruslah yang sudah berusia dewasa.[7]
d.
Ketentuan Dalam Pinjam Meminjam
Menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan Iskhaq bila
peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak,
ia berkewajiabn menjaminnya baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpedapat bahwa,
meminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena
tindakannya yang berlebihan.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A Karim, Bank
Islam Anlisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994.
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997.
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Moh Rifai, Konsep Perbankan
Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek,
Gema Insani, Jakarta, 2013.
[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktek,
Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm 117.
[2]
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hlm, 52.
[3]
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,
hlm 29-35
[4] Adiwarman A Karim, Bank Islam
Anlisis Fiqih dan Keuanga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm,
138-140.
[8]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm, 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar