Jumat, 25 Desember 2015

RESUME BENTUK-BENTUK KERJASAMA DALAM PERDAGANGAN

BENTUK-BENTUK KERJASAMA DALAM PERDAGANGAN

RESUME
 Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Fiqih II (Muamalah)
Dosen pengampu : Zakiyah Isnawati, M.Pd


A description...

Disusun Oleh :
1)   Intan Wakhidah                (1310110040)
2)   M. David Noor R.                        (1310110043)
3)   Zulfa Rahmawati              (1310110057)
4)   Ulya Syarifa                     (1310110065) 










 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH/PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015




1.      Syirkah/Musyarakah
1)      Pengertian Syirkah/Musyarakah
Secara harfiah makna “sirkah” adalah “penggabungan, percampuran, atau serikat”.[1] Sedangkan menurut istilah perbankan disebut “partnership=persekutuan”, yaitu kontrak antar dua orang atau lebih yang membentuk suatu gabungan usaha dan bersepakat untuk menyatukan dana atau bakat dalam suatu bidang, serta membagi bersama keuntungan dari usaha mereka.[2] Al Musyarakah yang populer dikalangan pesantren disebut Asy-Syirkah, yaitu suatu akad dalam bentuk kerjasama baik dalam bidang modal atau jasa antara sesama pemilik modal dan jasa tersebut. Artinya dua orang atau lebih berserikat di dalam jumlah harta yang tertentu, guna memperoleh keuntungan bagi mereka bersama.
2)      Landasan Dasar Syari’ah
Landasan dasar syari’ah adanya syirkah atau pengkongsian terdapat pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 12.
ôMßgsù...... âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .....
“.....maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga.....” QS. An-Nisaa’:12
Sedangkan dalam hadits Nabi disebutkan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang berbunyi:
عن أبي هريرة رفعه قال ان الله يقول انا ثا لث الشريكين ما لم يخن أحدهما صا حبه
Artinya : Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya. ” (HR. Abu Dawud no.2936, dalam Kitab al-Buyu’, dan Hakim).
Hadist Qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambaNya yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi penghianatan.[3]
3)      Macam-macam Syirkah
Menurut Said Sabiq, syirkah itu ada empat macam :
a)      Syirkah ‘Inan
Syirkah ‘Inan yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah modal masing-masing.
b)      Syirkah Mufawadhoh
Syirkah Mufawadhoh yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan persyaratan sebagai berikut :
(a)    Modalnya harus sama banyak. Bila ada diantara anggota persyarikatan modalnya lebih besar, maka syirkah itu tidak sah.
(b)   Mempunyai wewenang untuk bertindak, yang ada kaitannya dengan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang belum dewasa belum bisa menjadi anggota persyarikatan.
(c)    Satu agama, sesama muslim. Tidak sah bersyarikat dengan non muslim.
(d)   Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerjasama).
c)      Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
d)      Syirkah Abdan
Syirkah Abdan yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka berdasarkan perjanjian.
Menurut Hanafiyah, menyetujui (membolehkan) keempat macam syirkah tersebut.Syafi’iyah melarang syirkah Abdan, Mufawadhoh, Wujuh, dan membolehkan syirkah ‘Inan. Malikiyah membolehkan syirkah Abdan, syirkah ‘Inan, dan syirkah Mufawadhoh dan melarang syirkah Wujuh. Hanbaliyah membolehkan syirkah ‘Inan, Wujuh, Abdan, dan melarang syirkah Mufawadhoh.[4]
4)      Rukun dan Syarat Sahnya Syirkah
Menurut Sulaiman Rasyid rukun syirkah adalah :
a)      Sighot ( Lafadz akad
b)      Orang (Pihak-pihak yang mengadakan) Syirkah
c)      Pokok pekerjaan (Bidang usaha yang dijalankan)
Bahwa dalam perjanjian pembentukan syirkah atau perseroan ini sighot atau lafadznya, dalam praktiknya di indonesia sering diadakan dalam bentuk tertulis, yaitu dicantumkan dalam akte pendirian serikat itu. Pada hakikatnya sighot tersebut berisikan perjanjian untuk mengadakan syirkah.
Adapun syarat-syarat orang (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian serikat/kongsi itu haruslah :
a)    Orang yang berakal
b)   Balig, dan
c)    Dengan kehendaknya sendiri (tidak ada unsur paksaan).
Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah berupa:
a)    Barang modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentu uang).
b)   Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu, yaitu menjadi harta perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi darimana asal-usul modal itu.
Di Indonesia, perseroan atau serikat dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu :
a)      Perkumpulan yang tidak berbadan hukum, meliputi Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komanditer.
b)      Perkumpulan yang berbadan hukum, meliputi perseroan terbatas (PT), Koperasi, Perkumpulan saling menanggung.[5]

2.      Mudharabah
1)    Pengertian Mudharabah
Secara etimologi kata Mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya, memukul; dharaba Ahmad al-kalb, berdetak; dharaba al-qalbu, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al-ma’, bergabung; dharaba fi al-amr, menghindar; dharama ‘an al-amr, berubah; dharaba al-laun ila al-laun, mencampur; dharaba al-syai’ bi al-syai’, berjalan; dharaba fi al-ardh dan lain sebagainya.
Secara terminologi Mudharabah adalah suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta (jaiz attashruf) kepada orang lain yang aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan.[6]
2)    Landasan Hukum
Secara umum, landasan dasar al mudharabah mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist berikut ini:
a)        Al-Qur’an
tbrãyz#uäur .... tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#   ....
“....dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah....”. (QS. Al-Muzammil:20)
b)        Hadits
عن صا لح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلا ث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقا رضة وأخلا ط البر بالشعير للبيت لا للبيع
Artinya: Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : Jual beli secara tangguh, Muqaradhah (Mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung  keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah No.2280, kitab at-Tijarah)
3)    Rukun Mudharabah
Rukun dalam akad Mudharabah adalah
a.    Pelaku (pemilik modal ataupun pelaksanaan usaha)
b.    Obyek Mudharabah (modal dan kerja)
Merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek Mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek Mudharabah.
c.    Persetujuan Kedua Belah Pihak (ijab-qabul)
Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip ‘antarodhin minkum (sama-sama rela)
d.   Nisbah Keuntungan
Merupakan rukun yang khas dalam akad Mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
4)    Bentuk-bentuk Mudharabah
Bentuk-bentuk Mudharabah ada dua macam:
a.    Mudharabah Muthlaqah
Merupakan bentuk kerjasama antara shaihibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b.    Mudharabah Muqoyyadah
Merupakan kebalikan dari Mudharabah Muthlaqah, yaitu Mudharibnya dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya penbatasan ini sering kali mencerminkan kecendungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.[7]




[1] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm 74.
[2] H. Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002, hlm 54.
[3]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm 90-91.
[4] M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyyah 2), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 110-111.
[5] H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, hlm 76-77.
[6] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm 43-47.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik, hlm. 97.





DAFTAR PUSTAKA

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
H. Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002.
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2005.
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyyah 2), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar