Jumat, 25 Desember 2015

Makalah Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru



UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas pada
Mata Kuliah : Profesi Keguruan
Dosen Pengampu: Annisah Setyaningrum, M.Pd

 

Disusun oleh   : Kelompok 8
1.      Siti Fitriana                       (1310110041)
2.      Norudin                            (1310110048)
3.      Nila Niswatul Khusna       (1310110071)


         
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang Masalah
Pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dewasa ini yang sering kita sebut sebagai era globalisasi, proses peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan oleh sebuah sistem, yang mana sistem tersebut mampu menggerakkan beberapa komponen, antara lain berupa progranm kegiatan pembelajaran, peserta didik, sarana prasarana pembelajaran, dana, lingkungan masyarakat, kepemimpinan kepala sekolah, dan lain-lain. Namun semua itu tidak akan efektif terhadap perubahan pengalaman peserta diaik apabila tidak didukung oleh keberadaan guru profesional.
Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang dinamis dalam mencapai tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa’, dan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Gurulah yang menggerakkan proses pendidikan. Sehingga peran guru semakin nyata dan strategis sebagai pembangun peradaban dan pencerdas anak bangsa.   
Sekarang ini sebagian guru masih menggunakan paradigma hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didiknya. Pemahaman yang mendalam diharapkan peserta didik dapat merasakan kemanfaatan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Guru harus terampil mengajar dan juga wajib memiliki pengetahuan yang luas, memiliki sikap bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesionalisme merupakan hal penting bagi guru untuk melaksanakan tugasnya secara efektif.

B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana pengertian profesionalisme guru?
2.   Bagaimana upaya peningkatan profesionalisme guru?
3.   Bagaimana indikator guru professional?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Profesionalisme Guru
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan ketrampilan khusus yang dipelajari dari pendidikan akademis yang intensif.
Secara etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam sesuatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mensyaratkan pendidikan tinggi baik pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrument untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.[1]
Menurut Kunandar disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu.[2]
Adapun mengenai kata Profesional , Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata profesional itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal.[3]
Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.  Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.[4]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional.



B.     Upaya Peningkatkan Profesionalisme Guru
Guru idaman merupakan produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek keguruan dan disiplin ilmu. Keduanya tidak perlu dipertentangkan melainkan bagaimana guru tertempa kepribadiannya dan terasah aspek penguasaan materi. Kepribadian guru yang utuh dan berkualitas sangat penting karena dari sinilah muncul tanggung jawab profesional sekaligus menjadi inti kekuataan profesional dan kesiapan untuk selalu mengembangkan diri. Tugas guru adalah merangsang potensi peserta didik dan pengajarnya supaya belajar. Guru tidak membuat peserta didik menjadi pintar. Guru hanya memberikan peluang agar potensi itu ditemukan dan dikembangkan.
Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya peningkatan profesi guru di Indonesia sekurang-kurangnya mengahadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu :
1.      Ketersediaan dan Mutu Calon Guru
Secara jujur kita akui pada masa lalu dan masa kini profesi guru kurang memberikan rasa bangga diri. Bahkan ada guru yang malu disebut sebagai guru. Rasa inferior terhadap potensi lain masih melekat di hati banyak guru. Masih jarang kita mendengar dengan suara lantang guru mengatakan “inilah aku”.
Kurangnya rasa bangga itu akan mempengaruhi motivasi kerja dan citra masyarakat terhadap profesi guru. Banyak guru yang secara sadar atau tidak sadar mempromosikan kekurangbanggaannya kepada masyarakat. Ungkapan “cukuplah saya sebagai guru” sering masih terdengar dari mulut guru. Ungkapan ini lalu diterjemahkan sebagai profesi yang kurang menjanjikan masa depan yang kurang cerah. Muramnya masa depan itu sering didendangkan secara berlebihan seolah-olah profesi termalang dibumi tercinta ini.
Selama ini pilihan lulusan SMTA studi di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (pendidikan pra-jabatan) masih belum merata mencerminkan pilihan utama yang sadar. Akibatnya jika mereka menjadi guru tentu tidak sepenuh hati memahami dan menghayati makna profesi keguruan. Jabatan fungsional diharapkan menjadi daya pikat tersendiri terhadap profesi guru. Daya pikat itu merefleksikan masyarakat untuk memberikan makna tersendiri baik dalam upaya membangkitkan rasa bangga diri maupun dalam usaha mencari bibit guru berkualitas.
2.      Pendidikan Pra-Jabatan
Bidang pekerjaan guru hanya pantas memperoleh penghargaan khusus, apabila jajaran guru memberikan layanan ahli, yang hanya bisa diberikan melalui pendidikan pra-jabatan. Sebaliknya mereka tidak pernah melalui jenjang pendidikan pra-jabatan, tidak mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan layanan yang khas dimaksud. Ada dua langkah yang perlu diambil untuk mencapai keadaan yang dikehendaki itu.
Pertama, untuk meyakinkan pemilikan kemampuan profesional awal, saringan calon peserta pendidikan pra-jabatan perlu dilakukan secaara efektif, baik dari segi kemampuan potensial, aspek-aspek kepribadian yang relevan, maupun motivasi. Di samping mempersyaratkan mekanisme saringan yang efektif, bidang pekerjaan guru akan memperoleh calon yang bermutu jika saringan yang dilakukan terhadap calon yang relatif bermutu pula. Dengan kata lain, keadaan demikian didukung oleh sistem imbalannya membuat putra putri terbaik kita tertarik untuk memasuki bidang pekerjaan guru.
Kedua, pendidikan pra-jabatan harus benar-benar secara sistematis menyiapkan calon guru untuk menguasai kemampuan profesional. Ada yang berpendapat bahwa untuk menjadi guru hanya diperlukan penguasaan mantap bidang ilmu sumber bahan ajaran kemampuan keguruan untuk dapat mengolah dan menyajikan bahan itu kepada peserta didik akan tumbuh sendiri dari pengalaman. Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa apabila calon guru menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran dan apabila mereka diberkan ilmu pendidikan dan teknik mengajar maka proses sintesis ke dalam bentk kemampuan keguruan bisa dilakukan sendiri-sendiri, cepat atau lambat. Dengan perkataan lain, persiapan memang diperlukan, namun terbatas pada pembekalan ilmu pendidikan dan teknologi mengajar, yang secara sendiri-sendiri dicobaterapkan oleh masing-masing calon yang telah menguasai ilmu bahan ajaran.
Sedangkan penganut penyelenggara pendidikan pra-jabatan yang sistematis berpendapat bahwa di samping mempersyaratkan penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran, pekerjaan profesional keguruan juga memerlukan wawasan kependidikan serta pengetahuan dan keterampilan keguruan. Selanjutnya, penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran dan teori serta kemampuan keguruan kependidikan itu hanya mungkin terintegrasi ke dalam kiat pembelajaran, apabila pengalaman belajar di dalam pendidika pra-jabatan menyediakan peluang bagi pembentukan kemampuan keguruan-kependidikan itu secara sistematis. Dengan perkataan lain, pendidikan pra-jabatan guru harus berhasil membentuk penghayatan tentang manusia dan masyarakat masa depan Indonesia yang dikehendaki, memahami manusia dan masyarakat Indonesia masa kini yang menjadi subjek dan latar garapannya, disamping menguasai bahan serta prosedur pengajaran yang mendidik yang dipandu oleh ketanggapan yang berlandaskan kearifan, sehingga lulusannya mampu mengelola progam belajar mengajar demi urunan nyata bagi perwujudan manusia dan masyarakat masa depan Indonesia yang dicita-citakan.
Jelaslah bahwa pendidikan pra-jabatan guru diselenggarakan secara benar-benar mantap, apabila kita menginginkan jajaran guru terdiri dari tenaga-tenaga profesional.
3.      Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan
Ada tiga upaya dalam penyelenggaraan berbagai aspek dan tahap penanganan pembinaan dalam jabatan profesionl guru. Ketiga upaya itu adalah sebagai berikut:
Pertama, mekanisme dan prosedur penghargaan aspek layanan ahli keguruan perlu dikembangkan. Berlainan dengan jenjang pendidikan tinggi yang telah memberlakukan mekanisme ini dalam waktu yang relatif lama, jenjang pendidikan dasar dan menengah sama sekali belum berpengalaman dalam hal ini. Bukan hanya itu, apabila jenjang pendidikan tinggi mempunyai kultur kolegial yang telah bertradisi cukup panjang, sebaliknya dunia pendidikan dasar dan menengah ditandai dengan struktur hierarkis yang mantap.
Kedua, sistem penilaian di jenjang SD dan juga sistem kepengawasan di jenjang SMTA yang berlaku sekarang jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian mendasar. Tidak lagi dibenarkan seorang kepala satu jenis SMTA dipromosikan menjadi pengawas, apalagi untuk jenis SMTA yang lain. Bahkan untuk jenjang SMTA mungin sudah harus dipikirkan kebutuhan pengawas bidang studi, meskipun hubungan hierarkisnya dengan para guru di lapangan memerlukan banyak penyesuaian.
Ketiga, keterbukaan informasi juga mempersyaratkan keluasan kesempatan untuk meraih kualifikasi normal yang lebih tinggi, katakanlah S1 dan bahkan S2 dan S3. Apabila 25% saja dari jajaran guru SD berkesempatan untuk menduduki jenjang kepangkatan untuk mempersyaratkan pendidikan S2 dan 3% berkesempatan menduduki jenjang kepangkatan yang mempersyaratkan jenjang S3, dapat dibayangkan tambahan pekerjaan yang perlu ditangani oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan, baik dari segi daya tampung maupun dari segi pengembangan progam yang diperlukan. Sebab dengan mudah dapat dibayangkan bahwa sekali lagi demi keandalan layanan ahli yang dibutuhkan sistem pendidikan, progam-progam yang baru perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan dari segi daya tampung, mekanisme pengumpulan kredit yang tidak seluruhnya mempersyaratkan kehadiran penuh di kampuus sebagaimana tealh lumrah dinegara maju, harus secepatnya mulai dikembangkan.[5]
Pengembangan sikap professional tidak berhenti apabila calon guru mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap professional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai guru. Seperti telah disebut, peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun secara informal melalui media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap profesonal keguruan.[6]
4.      Peranan Organisasi Profesi
Di atas telah dikemukakan bahwa pengawasn mutu layanan suatu bidang profesional dilakukan secara kesejawatan, baik melalui perorangan maupun melalui organisasi profesi. Pengawasan dilakukan bukan atas dasar kekuasaan seperti yang terjadi di lingkungan serikat buruh. Sebaliknya pengawasaan dilakukan oleh kelompok ahli yang dipandu oleh nilai-nilai profesi sejati, yaitu pengabdian keahlian bagi kemaslahatan orang banyak.
Penanganan yang tepat terhadap semua aspek dan tahap sistem pengadaan guru, yaitu perekrutan, pendidikan pra-jabatan, pengangkatan-pengangkatan dan pembinaan dalam jabatan (Inservice training) akan berdampak positif dalam profesionalisasi jabatan guru, yang diberi peluang besar oleh keputusan pemerintah untk memfungsionalisasikan jabatan guru.
Pemberian imbalan yang kenyataannya tidak didasarkan kepada penghargaan terhadap layanan ahli, akan menjadi bumerng yaitu dana imbalan yang lebih besar diberikan kepada pihak yang tidak berhak, kepentingan masa depan bangsa terabaikan, jajaran profesional keguruan gagaldiwujudkan dan digantikan oleh kelompok yang memperoleh hak khusus karena kesempatan, bukan karena layanan ahlinya yang terandalkan. Oleh karena itu, kita berharap mudah-mudahan pengambil keputusan organisasi profesi, jajaran keguruan, dan masyarakat luas diberi kejernihan pikiran dan keteguhan pendirian dalam mengupayakan segala yang perlu, untuk mewujudkan dan meningkatkan upaya profesionalisasi jabatan guru melalui fungsionalisasi jabatannya di Indonesia.[7]

C.    Indikator Guru Professional
Menurut Soedijarto, guru yang profesional itu harus memiliki enam kriteria sebagai berikut:
1.      Memahami peserta didik dengan latar belakang dan kemampuannya.
2.      Menguasai disiplin ilmu sebagai sumber bahan belajar, dan sebagai realms of meanings and ways of knowing.
3.      Menguasi bahan pelajaran.
4.      Memiliki wawasan kependidikan yang mendalam.
5.      Menguasai rekayasa dan teknologi pendidikan.
6.      Berkepribadian dan berjiwa Pancasila.[8]
Syarat guru yang professional adalah sebagai berikut :
1.      Seorang guru hendaklah memiliki ketaqwaan.
2.      Guru harus memiliki wawasan ilmu yang luas.
3.      Guru harus memiliki kesehatan baik secara jasmani dan rohani.
4.      Guru wajib berkelakuan baik.[9]

BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
1.      Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian.
2.      Upaya peningkatan profesi guru di Indonesia sekurang-kurangnya mengahadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu :
a.       Ketersediaan dan Mutu Calon Guru
b.      Pendidikan Pra-Jabatan
c.       Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan
d.      Peranan Organisasi Profesi
3.      Indikator guru professional meliputi:
a.       Memahami peserta didik dengan latar belakang dan kemampuannya.
b.      Menguasai disiplin ilmu sebagai sumber bahan belajar, dan sebagai realms of meanings and ways of knowing.
c.       Menguasi bahan pelajaran.
d.      Memiliki wawasan kependidikan yang mendalam.
e.       Menguasai rekayasa dan teknologi pendidikan.
f.       Berkepribadian dan berjiwa Pancasila.
  1. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia kami pun tak luput dari kesalahan dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi semoga apa yang telah kami paparkan ini dapat bermanfaat bagi kani maupun bagi para pembaca dengan harapan dapat memperluas pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua.


[1] Rusman, Model-Model Pembelajaran, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hlm 15-16
[2] Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm 45
[3] Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2006, hlm 14-15
[4] Ibid., Rusman, hlm 18-19
[5] Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta, Ciputat Pers, 2002, hlm 24-28
[6] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1999, hlm 55
[7] Ibid., Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, hlm 29-32
[8] Jamal Ma’mur Asmani, Tips Sukses PLPG, Jogjakarta, Diva Press, 2011, hlm 59
[9] Manpan Drajat dan Ridwan Effendi, Etika Profesi Guru, Bandung, Alfabeta, 2014, hlm 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar