PENGERTIAN,
DASAR DAN RUANG LINGKUP
PSIKOLOGI ISLAM
REVISI
MAKALAH
Dipresentasikan pada
Mata Kuliah Psikologi
Islam
Semester : III
Tahun pelajaran 2014
Dosen
Pengampu : Dr. H. Ahmad Choiron, M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Siti Fitriana : 1310110041
Sulfiana Mufidah : 1310110068
Hidayatul Mustafit : 1310110074
Nurul Ainiyah : 1310110078
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2014
A. Pendahuluan
Islam adalah sumber pedoman, pandangan
dan tata nilai bagi kehidupan manusia. Disamping itu, karena didapati banyaknya
cerita dan konsep tentang manusia dalam Al-Qur’an, Islam sendiri merupakan
sumber ilmu pengetahuan. Psikologi Islam adalah wacana psikologi yang
didasarkan pada pandangan dunia islam. Pandangan-pandangan yang berasal dari
khazanah islam diambil sebagai dasar utama pengembangan psikologi islam.
Beberapa contohnya adalah fitrah, qalbu, ruh, nafs, insan kamil, sabar, syukur
dan seterusnya.
Psikologi Islam lebih merupakan
pandangan islam tentang manusia yang tidak harus dikaitkan-kaitkan dengan
pandangan Psikologi Barat. Berbeda dengan Psikologi Barat yang pandangan
filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, maka Psikologi
Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Ada
dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan Psikologi Islam. Alasan
yang paling utama adalah karena Islam mempunyai pandangan sendiri tentang
manusia. Al-Qur’an, sumber utama agama islam, adalah kitab petunjuk, didalamnya
terdapat rahasia mengenai manusia. Allah, sebagai pencipta manusia, tentunya
tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat Al-Qur’an,
memberitakan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu
manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an (Wahyu), adalah sumber
yang selayaknya dijadikan ajuan utama.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas,
dalam makalah ini kami menarik beberapa permasalahan yaitu:
1. Bagaimana Hakikat Psikologi Islam?
2. Bagaimana Dasar Tentang Psikologi Islam?
3. Bagaimana ruang lingkup Psikologi Islam?
C. Pembahasan
1. Hakikat Psikologi Islam
Sejak
pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi
kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “Psikologi”
yang ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan,
seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh
penciptanya. Meskipun demikian,
perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian pertama,
psikologi adalah studi tentang jiwa (psycbe), seperti studi yang
dilakukan plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang kesadaran dan
proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga,
psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti
perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan
sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama, lebih bernuansa
filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Kelebihan dari pengertian
pertama ini dapat mencerminkan hakikat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia
dapat mengungkapkan hakikat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi.
Kelemahannya yaitu pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin
filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris.
Pengertian kedua
mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus
kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan dan ingatan. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam
wacana psikologi kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam
pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri
yang terpisah dari disiplin filsafat.
Pada pengertian ketiga
ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakikat jiwa, melainkan gejala-gejala
jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan
makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakikat jiwa tersebut
tidak dapat diketahui, sehinnga psikologi hanya membahas mengenai proses,
fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan.
Hakikat
psikologi Islam dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan
dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat
membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup
didunia dan akhirat” .
Hakikat definisi tersebut mengandung
tiga unsur pokok:
Pertama,
psikologi islam merupakan salah satu
dari kajian masalah-masalah keislaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang
sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi
islam, politik islam, kebudayaan islam, dan sebagainya. Penempatan kata “islam”
disini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran.
Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana
yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam islam, sehingga dapat membentuk aliran
tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada
umumnya.Tentunya hal itu tidak terlepas dari hakikat jiwa, bagaimana cara
mempelajari jiwa dan tujuan mempelajari jiwa dalam Islam. Melalui kerangka ini
maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam islam, seperti psikologi
agama islam, psikologi perkembangan islam, psikologi sosial islam, dan
sebagainya.
Kedua,
Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek
dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan
dalam islam berupa Al-ruh, al-Nafs, al-kalb, al-aql, al-fitrah.
Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi,
dan perilaku yang perlu dikaji melalui Al-qur’an, As-Sunah serta dari Khazanah
pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan,
melaikan juga apa hakikat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen,
jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku
sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiar) nya. Dari sini tampak bahwa psikologi
islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi,
berfikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan
tersebut tetap dalam koredor sunah-sunah Allah.
Ketiga,
Psikologi Islam memiliki tujuan yang
hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih
sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia
dilahirkan alam kondisi tidak mengetahi apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang
untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin
yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri,
realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol
diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri
sendiri atau untuk diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut adanya
penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep
yang bernuansa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik,
yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman.
Walhasil, mempelajari Psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri
sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam
keterasingan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam
telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain
berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta
mengklaim keabsahan dan objektivitasnya, lalu mengapa kita tidak berani
melakukan hal-hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran psikologi islam
berdasarkan pola pikir islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar
seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran,
tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran
dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak diantara metode dan teknik
yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak masalah-masalah normatif
yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan
konsep psikologinya dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam
pengembangan diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa psikologi
kontemporer barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang
berlaku didunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara
empiric dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka pemikiran mereka diakui
sebagai disiplin yang objektif.
Para
pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah
membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam.
Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal
upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang.
Mereka
mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba
mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk
‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari
psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia
Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para
psikolog terapan.
Tasawwuf
merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur
jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses
penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam
sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.[1]
2. Dasar Tentang Psikologi Islam
Menurut
kepercayaan umat islam bahwa Al-Quran dan Al-Hadis
merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari psikologi islam adalah
Al-Quran dan Al--Hadis.
Menurut ajaran
islam, cara untuk memahami manusia dan alam semesta dapat dilakukan melalui dua
pintu, yaitu ayat kauniyah dan ayat kauliyah. Diungkapkan oleh Djamaluddin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, untuk menggali manusia kita tidak semata-mata
menggunakan teks Al-Qur’an dan Al-Hadis (ayat kauliyah), tapi juga dengan
menggunakan, memikirkan, dan merefleksikan kejadian-kejadian yang berbeda di
alam semesta dan terjadi pada diri manusia (ayat kauniyah) dengan menggunakan
akal, indera, intuisi.[2]
Secara umum,
sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Karenanya pengembangan teori Psikologi Islam dapat pula dirumuskan dengan
menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas,
dapat dikatakan Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah rujukan utama psikologi Islam.
Psikologi islam memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam
manusia.
Dalam Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa
kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Tentang bagaimana
wujudnya, bagaimana bentuknya, dilarang untuk mempersoalkannya (QS 17:85).
Tetapi bagaimana ruh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia
yang menjadi khalifah itu, dalam alqur’an Q.S. al-Hijr Ayat 29 dinyatakan
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي
فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ(29)
Artinya: “Maka
apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S.
Al-Hijr:29)
Tingkah laku
manusia adalah akibat dari interaksi antara ruh dan badan. Walaupun manusia
mempunyai ruh dan badan, tetapi ia dipandang sebagai pribadi yang terpadu.
Dalam al-Qur’an
Surat Al-A’raaf ayat 172, Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172}
Artinya : “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
(Q.S. Al-A’raaf:
172)
Allah
telah mengeluarkan dari sulbi Adam dan keturunannya, generasi demi generasi
sebelum mereka diturunkan ke dunia, dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka dengan firman-Nya “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Jawab mereka: “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” Dan
Allah menyatakan bahwa Ia mengambil kesaksian terhadap mereka akan
kedudukan-Nya sebagai Tuhan agar mereka pada hari kiamat, tidak menyatakan
bahwa mereka tidak tahu akan hal itu. Dari sini tampak
jelas bahwa dalam diri manusia terdapat kesiapan alamiah untuk mengenal Allah
dan mengesakan-Nya. Jadi, pengakuan terhadap kedudukan Allah sebagai Tuhan
tertanam kuat dalam fitrahnya dan telah ada dalam relung jiwanya sejak zaman
azali.[3]
Di dalam surat
An-nisa’ ayat 1 juga disebutkan bahwa:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا
اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا {1}
Artinya: “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa’:1)
Artinya, dari
satu jiwa, nabi Adam AS, Allah menciptakan puluhan miliar jiwa yang
berbeda-beda satu sama lain dan berbeda pula dengan jiwa yang menjadi asalnya.
Hal semacam ini telah menjadi jelas bagi ilmuwan genetika saat ini. Oleh karena
itu, adanya kemiripan dua orang, semata-mata dari aspek genetisnya saja,
kemungkinannya hanya terjadi dalam angka satu persepuluh pangkat empat puluh.
Dari sini pula kita dapat memahami secara mendalam makna firman Allah berikut
ini:
يَاأَيُّهَا
اْلإِنسَانُ مَاغَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ {6} الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ
فَعَدَلَكَ {7} فيِ أَيَّ صُورَةٍ مَّاشَآءَ رَكَّبَكَ {8}
Artinya: “Hai manusia, Apakah
yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha
Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan
menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki,
Dia menyusun tubuhmu.”
Hikmah
Allah benar-benar telah menetapkan sebagai penjelasan atas kekuasaan-Nya
didalam melakukan penciptaan bahwa makhluk manapun tidak ada yang serupa dengan
yang lainnya, sejak Allah memulai penciptaan-Nya sampai hari kiamat. Inilah
yang berhasil disingkapkan oleh ilmu genetika pada paruh terakhir abad ke 20.[4]
Selain ayat-ayat
di atas, Allah juga berfirman dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 185 yaitu:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا
تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ
النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ {185}Artinya : “Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.(Q.S.
Ali Imran:185 )
Contonya
yaitu badan Fir’aun, dengan hikmah (kebijaksanaan)-Nya, telah ditetapkan untuk
tetap terpelihara sejak 3000 tahun yang lampau dan masih ada sampai saat kita
sekarang ini. Tujuannya adalah agar menjadi pelajaran
serta bukti yang dapat dirasakan secara pasti oleh generasi yang datang setelah
Fir’aun- kebenaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, badan atau mumi Fir’aun yang
pernah mengejar Nabi Musa AS. Masih ada sampai sekarang ini di Museum Kairo,
Mesir.[5]
Ada dua alasan
mendasar mengapa kita perlu menghadirkan psikologi islam. Alasan yang paling
utama adalah karena islam mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang
manusia. Psikologi islam itu merupakan konsep manusia menurut Al-Qur’an.
Al-quran sebagai sumber utama agama islam. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk,
didalamnya banyak terdapat rahasia mengenai manusia. Allah sebagai pencipta manusia,
tentu tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat al-quran, allah
memberitahukan rahasia-rahasia tentang manusia. Oleh karena itu Psikologi Islam
disusun dengan memakai Al-Qur’an sebagai acuan utamanya. Sementara Al-Qur’an
sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat islam, tetapi untuk
kebaikan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
Psikologi Islam dibangun dengan arahan untuk kesejahteraan umat manusia.
3. Ruang Lingkup Psikologi Islam
Kajian dalam
diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-qur’an. Manusia menempati
posisi penting dalam Al-qur’an. Surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah
sudah berbicara tentang manusia. Khalaqal insaana min ‘alaq. Salah satu
istilah yang berkenaan dengan manusia, yaitu Nafs disebut ratusan kali.
Belum lagi istilah al-naas, al-basyar, dan al-insaan. Istilah-istilah
tersebut menunjukkan betapa Al-qur’an begitu peduli berbicara tentang manusia.
Istilah Nafs termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-qur’an,
yaitu sebanyak lebih dari 300 kali. Menurut Sukanto MM (1994), istilah Nafs
bisa berarti “aku”, “pribadi”, “diri”, “makna derivatif ( nafsu )”, “sesama
jenis”. Jiwa atau nafsu bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan
dengan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang
mencerminkan adanya totalitas dan unitas.
Psikologi islam
akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi
merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena
kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi islam melihat manusia
tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula
berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi islam bermaksud
menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia.
Oleh karena itu,
psikologi islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia.
Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata
mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari
dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan.[6]
Kajian tentang
diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Qur’an:
سَنُرِيهِمْ
ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ {53}
Artinya: “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S.
Fushshilat:53)
Ayat ini hendak
mengungkapkan bahwa dialam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu
yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu
adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila
rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai
makhluk yang berpengetahuan dan berilmu.
Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan
lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang
berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, aql, ruh, qalb,
fitrah, dan sebagainya. Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Nashaori ada
beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajiaan
mengenai manusia bukanlah kajiaan yang berdiri sendiri tetapi digunakan untuk
menuju Allah (Abdul Hamid al-hashimi 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa
manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an, tapi juga
menggunakan, memikirkan dan merekflesikan kejadian-kejadiaan di alam semesta
dengan akal pikiran, indra dan intuisi.
D. ANALISA
Dari
pembahasan diatas menurut kelompok kami Psikologi Islam itu merupakan ilmu yang
mengkaji tentang jiwa yang didasarkan pada Al-Qur’an. Psikologi Islam
berpandangan bahwa jiwa manusia terdiri atas Qalbu, akal, dan nafsu. Ketiganya
sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian. Didalamnya terdapat
potensi-potensi luar biasa, sehingga semuanya harus berjalan selaras dan
didukung dengan lingkungan positif, agar tercipta kepribadian positif yang
dapat menetramkan kehidupan.
Dalam
diri manusia terdapat kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian ruang
lingkup psikologi islam sebagaimana Al-Qur’an banyak sekali memberi gambaran
mengenai manusia dan kehidupannya. Keadaan tubuh manusia merupakan cerminan
dari jiwanya. Misalnya jika seseorang ekspresi wajahnya terlihat ceria, semangat
maka itu cerminan dari jiwanya yang sedang bahagia, begitupun sebaliknya.
Jadi, pada
hakikatnya manusia didalam Al-Qur’an dibahas secara rinci dari mulai jiwa,
perilaku, akal, darah, dan sebagainya. Maka dari itu Psikologi
Islam disusun dengan memakai Al-Qur’an sebagai acuan utamanya. Kajian utama dari psikologi islam
adalah tentang jiwa (nafs) yang tidak terlepas dari diri manusia.
E. KESIMPULAN
a)
Hakikat Psikologi Islam mengandung tiga unsur pokok:
1.
Psikologi islam merupakan salah satu dari
kajian masalah-masalah keislaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama
dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi
islam, politik islam, kebudayaan islam, dan sebagainya
2.
Psikologi
Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek
kejiwaan dalam islam berupa Al-ruh, al-Nafs, al-kalb, al-aql, al-fitrah
3.
Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran
diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
b)
Dasar Psikologi Islam dengan kepercayaan umat islam bahwa Al-Qur’an dan
Al-Hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari Psikologi Islam
adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
c)
Kajian
dalam diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-qur’an. Manusia
menempati posisi penting dalam Al-qur’an. Psikologi
islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya,
dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri
pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari dalil-dalil
tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan.
F. PENUTUP
Demikianlah pembahasan dari
makalah ini, mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun diharapkan dei kesmpurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mujib dkk, Nuansa-Nuansa
Psikologi Islam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta:
2002
Adnan Syarif, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Mighwar,Psikologi
Qurani,Pustaka Hidayah,Bandung:2002
Djamuludin Ancok dkk, Psikologi Islam, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta:2011
Fuad Nashori, Agenda Psikologi
Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar