Sesungguhnya Hasan Al banna sangat
mengetahui dengan baik dan mendalam rahasia di balik penyakit yang menimpa umat
ini, sebagaimana ia juga memahami dengan baik bahwa obat dari segala penyakit
yang menimpa tubuh umat ini yaitu ma’rifatullah. Ia memahami bahwa jiwa
manusia ditimpa oleh kelemahan pada dua sisi yang membuatnya enggan berjihad di
jalan Allah yaitu ketamakan dan ketakutan. Padahal Allah adalah Dzat yang di
tangan-Nya tergenggam rezeki dan kematian setiap manusia, niscaya ia takkan
berpaling dari jalan yang telah ia lalui. Alangkah indahnya kalimat yang ia
ucapkan, “Wahai Saudaraku, sesungguhnya engkau menjadi ada dalam kehidupan
dunia karena dua perkara yaitu rezeki dan ajalmu. Namun, tak seorang pun yang
memiliki kekuasaan pada keduanya selain Allah. Oleh karenanya, janganlah kedua
hal itu menghalangimu untuk melakukan kebaikan!”
Betapa menarik ilustrasi yang ia
sampaikan tentang ma’rifatullah dan nilai-nilai yang dikandungnya dalam
memperbaiki kondisi masyarakat, dengan ucapannya, “Ma’rifatullah adalah tongkat
pengubah yang memindahkan seseorang dari satu kondisi kepada kondisi yang lain.”
Hasan Al Banna melihat, untuk
melakukan perbaikan di tengah masyarakat sangat bergantung pada perbaikan jiwa,
dan jiwa seseorang takkan menjadi baik selain dengan ber-ma’rifah kepada
Allah. Firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 7-10, Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya),maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Berbagai keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh manusia lainnya yaitu tokoh agama dan politik, pemimpin masa kini
dengan kemuliaan fitrahnya dan ketinggian ruhnya, keindahan jiwa, pesona
kepribadian dan ucapannya yang penuh daya pikat serta kekuatan fisik.
Semangatnya yang besar adalah sebuah
kekuatan yang mengandung daya sihir, yaitu tak seorang pun duduk di sampingnya
sehingga semangatnya yang tinggi akan menarik orang tersebut ke dalam lingkaran
Islam. Naluri kepemimpinannya akan memotivasi dirinya kepada kebaikan. Oleh
karena itu, terpancar fitrah seorang mukmin, sebagaimana digambarkan oleh
Rasulullah saw., Apabila engkau melihatnya, niscaya itu mengantarmu untuk
mengingat Allah. Itulah tabiat iman yang melekat dalam diri seorang mukmin
sejati.
Begitulah kepribadian sosok manusia
agung yaitu kebesaran pribadinya dibentuk oleh kesucian langit dan ketinggian
nilai-nilai keteladanan, bukan dari kecerdasan insting manusiawi belaka.
Kepribadian yang tinggi ini juga tidak diperoleh dari ilmu pengetahuan, akan
tetapi semua itu berasal dari kehendak Allah yang diistimewakan bagi
hamba-hambaNya yang ia pilih untuk itu.
Ciri paling menonjol yang melekat
dalam diri Hasan Al Banna ialah semangat penggerakannya yang demikian kuat,
daya dan vitalitas kerjanya yang luar biasa mengalir dalam ke seluruh anggota
tubuhnya. Langkah kakinya adalah langkah kaki sosok raksasa dan kesungguhannya
adalah kesungguhan satu umat yang sempurna, bukan kesungguhan satu individu
yang memiliki keterbatasan. Ia seakan dapat mengetahui bahwa usia kehidupannya
lebih pendek daripada usia dakwah ini untuk mencapai batas kesempurnaannya.
Maka, ia mengerahkan segala kemampuannya agar dahwah ini tetap survive
dengan membangun pilar-pilar kekuatannya dan membangun tembok besar yang kokoh
yang dapat menjaganya. Ia melihat bahwa masalah yang dihadapi masyarakat jauh
lebih besar dari waktunya yang tersedia dan kehidupannya yang teramat singkat,
ia menjadikan kalimat ini sebagai syiar dakwahnya, “ Al Wajibat aktsaru
minal aukat” kewajiban kita jauh lebih banyak daripada waktu yang tersedia.
Keunikan lain yang menonjol pada
dirinya ialah bergerak secara konstan dan lincah saat melakukan sebuah
pekerjaannya. Dari gerakan yang lincah dan konstan inilah, hasil besar dapat
diraih. Ia dapat melaksanakannya dengan sangat teliti dan jeli, gerakan
berkesinambungan dengan hasil yang sangat akurat. Itulah Hasan Al Banna,
mengorbankan dirinya demi tegaknya dakwah ini hingga tetes darahnya terakhir,
tumpah membasahi bumiNya seraya berucap “Asyhadu alla Ilaha illahlah, wa
asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Pada detik-detik akhir kehidupannya,
seorang ikhwan menasihatinya saat ia melihatnya tidak tidur malam itu dan tidak
juga memanfaatkan siang harinya untuk beristirahat, “ Wahai Syekh, sebaiknya
engkau mengasihi dirimu dengan tidur atau istirahat walau sejenak saja.” Sang
Imam menjawab, “Besok, wahai sahabatku, saya akan beristirahat sangat lama dan
menikmati tidur panjangku.” Ia adalah sosok yang beramal untuk dakwah.
Hasan Al Banna juga memiliki ciri
istimewa pada kemampuan daya ingatnya, kecerdasan dan kesabarannya,
ketawadhuan, sifat pemaaf dan firasatnya yang tajam. Imam Syahid Hasan Al Banna
dilahirkan pada tahun 1906 atau setahun setelah meninggalnya Imam Muhammad
Abduh. Ia pun memulai dakwahnya pada tahun 1928 setelah wafatnya Sa’ad Zaghlul
setahun sebelumnya. Ia memberikan sentuhan akhir pada dakwah Imam Abduh berupa
unsur Al Jundiyah, dan memasukan ke dalam dakwah Sa’ad Zaghlul unsur Islamiyah.
Dengan demikian, ia dapat menyiapkan generasi Muslim masa kini sebagai
prototipe Islamiyah yang kedua, sempurna dan berpengetahuan, setelah generasi
Islam pertama terbentuk pada masa Rasulullah saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar