DAMPAK TERORIS, RADIKAL
DAN FUNDALISME DALAM PERKEMBANGAN ISLAM
MAKALAH
Dibuatgunamemenuhitugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen pembimbing: Muhammad Miftah, M.Pd.I
Disusun oleh: Kelompok
11
1. Zulfa Rahmawati (1310110057)
2. Hidayatul Mustafid (1310110074)
3. Iyanatul Masbakhah (1310110077)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini isu fundamentalisme agama menjadi topik utama dalam kehidupan
keberagamaan tidak saja di tanah air, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti apa
yang disinyalir Karen Amstrong, hampir di setiap agama fundamentalisme selalu
muncul, meski kadar dan bentuknya berbeda. Namun, gerakan fundamentalisme agama
yang paling tampak berhadap-hadapan, khususnya diIndonesia, tidak lain kecuali terlibatnya dua agama Kristen
dan Islam. Dalam Agama Kristen dan Islam, fundamentalisme agama kadang menampak
pada sikap keagamaan pemeluknya, sementara di sisi lain fundamentalisme juga
tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan pemahaman ajaran agama semata.
Kendati demikian, fundamentalisme agama tetap merupakan suatu fenomena yang
masih tetap samar.
Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut pada distingsi kelompok penganut
agama. Artinya, cap fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang
mengaku sebagai kelompok pembaharu. Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan
tatkala melawan kelompok liberal, sementara tuduhan yang
sama juga kerap di alamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya yang
dinilai serbae kstrem. Hal yang sama juga terdapat pada term
radikalisme dan terorisme, terjadi perluasan makna yang mengakibatkan tidak jelasnya batasan-batasan istilah tersebut.
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya teroris, radikal dan fundalisme ?
2.Bagaimana dampak teroris, radikal, dan fundalisme dalam
perkembangan islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah munculnya Teroris, Radikal, dan Fundalisme
Terorisme adalah kekerasan, namun tidak semua bentuk kekerasan
adalah terorisme. terorisme merupakan hal yang sangat pentng untuk dikenali,
meskipun sulit untuk didefinisikan secara tepat.
Kapan terorisme mulai muncul ke permukaan menimbulkan berbagai
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa keberadaan terorisme sebenarnya telah ada
sepanjang peradaban umat manusia, hanya saja ketika itu istilah terorisme belum
dikenal tetapi aksi kekerasan yang terjadi saat itu identik dengan apa yang
disebut terorisme dewasa ini. Ahli sejarah Yunani kuno, Xenopon (430-349 SM)
mengungkapkan bahwa penggunaan Psychological warface ( perang secara
diam-diam) telah dipraktekkan Kaisar Romawi melawan musuhnya dianggap sebagai
terorisme ketika itu. Misalnya, Kaisar Tiberius (14-37 M ) dan raja Caligula
(37-41 M) dalam kekaisaran Romawi melakukan tindakan kekerasan antara lain
pemberlakuan hukuman mati, pengasingan, penyiksaan, dan penyitaan harta benda
untuk meredam gerakan oposisi. Selanjutnya di Mesir, Fir’aun telah melancarkan
teror yang sangat mengerikan dengan membunuh anak laki-laki dan membiarkan
hidup anak perempuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam sejarah islam dikenal kelompok sempalan sekte Assassn pecahan
kelompok dari syi’ah Ismailiyah yang ekstrim dibawa pimpinan Hassan al-Shabbah
(1057 M) di gelarThe Old of Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia).
Kelompok ini membolehkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya dari Bani
Saljuq yang mereka klaim telah sesat pada abad ke-11 dan ke-13. Tindakan mereka
ini oleh sejarawan dikategorikan sebagai aksi terorismem. Perkembangan
selanjutnya sekte ini dihancurkan ileh laskar Mongol. Demikian halnya golongan
khawarij sering melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak lain yang tidak
sepaham baik dalam bidang keagamaan maupun politik.
Di era modern, ideologi terorisme menurut Harun Yahya pada umumnya
dinisbatkan kepada teori Evolusi Darwin “Stuggle for survival between the
races” (pertarungan untuk bertahan hidup antar ras) dan teori “Natural
selection” (seleksi alamiah). Secara umum, terorisme merupakan salah satu
fenomena pergolakan politik dunia era modern. Istilah ini telah menjadi istilah
yang popular dalam pembahasan politik dewasa ini. Sebenarnya term terorisme
berasal dari Eropa dan Amerika, sebab Eropa dan Amerika merupakan tempat
lahirnya term ini lalu memberikan beragam pengertian yang diambil dari filosofi
yang dipraktekkan dalam gerakan sejumlah kelompok atau organisasi yang
melegalkan tindakan kekerasan sebagai sarana perjuangan.
Sedangkan rumusan makna terorisme sendiri bervariasi yang diberikan
oleh berbagai kalangan dan disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Al Juhani, tidak hanya
rumusan terorisme yang dapat disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia disebabkan
antara lain banyaknya perbedaan pendapat mereka dalam membicarakan persoalan
ini.
Argumen yang sama juga
dikemukakan Ahmad Jalal Izudin. Menurutnya, perbedaan permaknaan konsep
terorisme diakibatkan karena beberapa faktor, antara lain perbedaan persepsi
tentang suatu tindakan yang dilakukan perorangan atau kelompok apakah dianggap
legal dan bisa dibenarkan atau tidak.
Pakar lainnya, seperti Azyumardi
Azra, mengakui bahwa sekalipun terjadi kesulitan dalam mendefinisikan makna
terorisme. Perbedaan antara “teror” dengan “terorisme” sebab penggunaan teror
tidak otomatis merupakan “terorisme” karena “teror” dapat dilakukan
tujuan-tujuan kriminal dan personal. Argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa
ahli di atas mengindikasikan bahwa tidak terdapat konsensus dalam merumuskan
makna terorisme disebabkan beberapa faktor. Pada intinya, sulit memformulaiskan
definisi terprisme disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam merumuskan definisi terorisme.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan
mendefinisikan terorisme, terdapat sejumlah definisi anatara lain:
Secara etimologis, terorisme
memiliki beberapa pengertian yakni:
a.
Attitude d’intimdation (sikap menakut-nakuti)
b.
Use of violence and intimidation,
especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan politik).
c.
Penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik);
praktek-praktek tindakan teror.
d.
Fear and dispear (Setiap tindakan yang menimbulkan
suasana ketakutan dan keputusan).
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab
III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan
Tindak Pidana Terorisme, jika:
1.
Dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta
benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional (Pasal 6)
2.
Dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan
suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup
atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga
dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9,
10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang
menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1.
Adanya rencana untuk
melaksanakan tindakan tersebut.
2.
Dilakukan oleh suatu
kelompok tertentu.
3.
Menggunakan kekerasan.
4.
Mengambil korban dari
masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5.
Dilakukan untuk
mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif
sosial, politik ataupun agama.
Berdasarkan beberapa definisi
terorisme yang dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu pengertian operasional
bahwa terorisme adalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu
keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan
oleh perorangan, kelompok ataupun negara.
a.
Bentuk-bentuk terorisme
Menurut Wilkinson, terorisme
terbagi menjadi 3 tipe (bentuk) yakni:
1.
Terorisme revolusioner
Dilakukan warga sipil. Bertujuan untuk merubah secara totalitas tatanan sosial
dan politik yang sudah ada.
2.
Terorisme sub revolusioner
Dilakuaka warga sipil.Bertujuan untuk menguabah kebijakan atau balas dendam
atau menghukum pejabat pemerintahan yang tidak sejalan.
3.
Terorisme represif
Dilakukan oleh negara.
Kemudian penulis membagi bentuk
terorisme kedalam 2 bagian. Ditinjau dari segi pelakunya, yakni sipil dan
negara. Jadi hanya terfokus pada terorisme yang berperan sebagai individual
atau kelompok dan negara.
Terorisme yang dilakukan secara
individu atau kelompok adalah aksi teror tersebut biasanya dilakukan untuk
mencapai tujuan-tujuan dari elompok tertentu baik itu ditujukan pada komunitas
tertentu ataupun negara yang berdaulat.
Terorisme negara adalah aksi
teror yang dilakuakn oleh pemerintah, mengatasnamakan atas dasar hukum,
ditujukan baik terhadap kelompok oposisi yang ada di bawah pemerintahannya
maupun terhadap kelompok di wilayah lainnya.
b.
Faktor-faktor Terjadinya
Terorisme
Beberapa argumentasi dari
berbagai pakar dan pemerhati masalah terorisme mencoba mengungkapkan faktor-faktor
terjadinya aksi teror, antara lain ideologis, politis, ekonomi, dan sosial.
Secara umum, keempat aspek ini paling
tidak dijadikan acuan atau dasar dalam mendeskripsikan hal-hal yang menyebabkan
munculnya terorisme.
1.
Faktor ideologis
Alasan ideologis kadangkala
dijadikan motivasi bagi pelaku teror untuk melegitimasi aksi teror mereka. Mainstrem
dari faktor ideologis ini biasanya dikaitkan dengan isu fanatisme keagamaan,
yang ditandai dengan radikalisme dan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme dan
fundamentalisme tidak hanya dikenal dalam sejarah dan dunia islam, tetapi bisa
juga ada di agama selain islam.
2.
Faktor Politik
Kelompok teroris kadangkala
menggunakan alasan politik yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan
untuk melancarkan aksi teror dan aksi dehumanisasi lainnya. Pembajakan pesawat,
penyanderaan, pembakaran, pemboman, penganiayaan, intimidasi, penculikan dan
pembunuhan serta sejumlah tindakan kriminalitas lainnya merupakan bentuk
skenario politik untuk mencapai tujuan politis tertentu.
3.
Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor yang
tidak kalah pentingnya dalam memicu terjadinya tindakan teror. Terorisme
kadangkala dilancarkan karena terjadi ketimpangan ekonomi atau sistem
eksploitasi ekonomi dalam suatu negara. Kemungkinan salah satu sebabnya adalah
terjadinya globalisasi ekonomi yang berimplikasi pada ketimpangan dan
ketidakadilan, termasuk dalam penanganan ekonomi maupun dalam
pendistribusiannya, baik yang terjadi di internal negara tersebut maupun di
negara-negara berskala internasional.
4.
Faktor Sosial
Aksi teror kadangkala juga dilatarbelakangi oleh
faktor kondisi sosial masyarakat, dan ini biasanya diekspresikan sebagai bentuk
frustasi, kekecewaan dan ketidakberdayaan para teroris melihat kondisi di
masyarakat sebagai akibat ketidakadilan para teroris melihat kondisi di
masyarakat sebagai akibat ketidakadilan baik dari pemerintahnya sendiri maupun
dari negara lainnya.
Secara
historis, kemunculan dan eksistensi kelompok garis keras atau radikal di
kalangan umat Islam Indonesia bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada awal
abad ke 20, dalam peningkatan semangat nasionalisme dan depripasi ekonomi yang
kian parah dikalangan pribumi, radikalisme muslim diambil alih oleh
kelompok-kelompok sarekat islam (SI) lokal. Pergerakan islam radikal memang
sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh
dunia . Indonesia dan Malaysia, yang secara statistik berpenduduk mayoritas
Muslim telah mengalami gejala globalisasi Islam radikal.
Kemunculan gerakan islam radikal di
indonesia disebabkan oleh dua factor. Pertama, faktor internal dari
dalam umat islam sendiri. Faktor ini dilandasi oleh kondisi internal umat islam
sendiri telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekular yang
sudah merasuk ke dalam kehidupan umat islam dengan segalaa dampaknya mendorong
mereka melakukan gerakan-gerakan kembali kepada otentitas (fundamen) Islam. Kedua,
faktor eksternal di luar umat islam,
baik yang dilakukan rezim penguasa maupun hegemoni Barat. (1) Sikap represif
rezim penguasa terhadap kelompok-kelompk islam seperti yang dilakukan Orde Baru
telah membangkitkan radikalisme islam. Kasus gerakan Warsidi, Salman Hafidz dan
Imron atau yang dikenal dengan Komando Jihad telah membangkitkan radikalisme
islam di Indonesia. (2) Begitu pula krisis kepemimpinan yang terjadi pasca-Orde
Baru yang ditunjukan dengan lemahnya penegakkan hukum, seperti di Ambon dan
praktik kemaksiatan yang terjadi di masyarakat, telah mendorong gerakan Islam
bahwa syariat Islam adalah solusi terbaik terhadap kkrisis. Pada gilirannya
Radikalisme dijadikan sebagai jawaban atas lemahnya aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan kasus yang terkait dengan umat islam.
Sementara
itu, radikalisme juga terdiri dalam bentuk perlawanan terhadap Barat yang
hegemonik, dan terlalu dalam ikut campur di negara-negara islam, seperti yang
terjadi di Irak, Libya, Bosnia, dan Palestina. Umat islam sudah lama
diperlakukan tidak adil oleh Barat secara Politik, ekonomi, dan budaya,
sehingga mereka harus mendeklarasikan perlawanan terhadap Barat. Dominasi
Baraat terhadap negara-negara Islam tidak dalam kapasitasnya yang saling
bekerja sama, tetapi malah memojokkan dan memusuhi. Pada gilirannya,
ketidakadilan Barat dilawan dengan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di
Palestina dan Libya.
Reaksi
yang ditunjukkan kelompok Islam radikal biasanya adalah melawan dengan
cara-cara kekerasan terhadap kepentingan atau perusahaan multinasional Barat.
Kantor kedutaan atau perusahaan AS sering menjadi simbol perlawanan yang
efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi ini menyebabkan
permusuhan yang terus menerus antara Islam dan Barat. Bahkan, kalangan Islam
radikal melihat Barat berada dalam pertanrungan abadi melawan islam. Fenomena
ini terjadi di indonesia ketika melawan umat Islam bereaksi terhadap serangan
Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Di masa inilah, islam radikal menemukan
momentumnya untuk menyuarakan aspirasi Islam (solidaritas islam).
Gerakan
revivalisme Islam (islam radikal) merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh
dunia islam. Fenomena ini adalah ekspresi keinginan umat islam untuk kembali
menjadikan Islam sebagai landasan hidup (Way of Life) sebagai alternatif
dari seklularisme. Islam juga ditampilkan sebagai ideologi untuk menggantikan
ideologo-ideologi Barat yang dianggap tidak relevan dengan kondisi umat islam.
Ideologi dan pemikiran gerakan revivalisme Islam terbentang dalam spektrum yang
amat luas. Ia mencakup gerakan kebangkitan keagamaan yang moderat hingga
radikal, dengan berbagai pemikiran dan metode perjuangan yang amat beragam.
Gerakan
islam ini dimotori dan didukung oleh komunitas muslim santri (taat beragama)
ini juga tidak tunggal. Di dalamnya terdapat berbagai kelompok dengan
pemikiran, ideologi, dan strategi gerakan yang bermacam-macam. Namun, dalam
keragaman ini terdapat satu corak gerakan keagamaan mainstream yang
diwakili oleh NU, Muhammadiyah, Jamiat Khair, Al-Irsyad, Al-Wasliyah dan
sebagainya. Gerakan islam yang beraneka warna ini mengalami peningkatan
kegairahan, pada akhir dekade 1980-an. Fenomena ini tidak lepas dari perubahan
kebijakan politik rezim Suharto terhadap
gerakan islam. Pada masa sebelumnya, pemerintah Orde Baru tampak sekali
mempersempit ruang gerak ormas-ormas islam. Kelompok-kelompok Islam masih kukuh
dengan ideologi Islam politiknya, dipandang sebagai ancaman terhadap kemapanan
kekuasaan Orde Baru yang ditopang oleh militer, birokrasi dan Golkar.
Sejak
dekade 90-an, berbagai unsur Islam memperoleh peluang yang semakin luas dalam
ruang-ruang Negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam
panggungpolitik ini sering disebut “Politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada
empat pola akomodasi yang menonjol:
a.
Akomodasi Struktural, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan aktiis
Islam untuk menduduki posisi-posisi penting dalam birokrasi negara maupun
badan-badan legislatif,.
b.
Akomodasi Infrastruktur, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi
kepentingan umat Islam menjalankan kewajiban agama mereka, seperti pembangunan
masjid-masjid yang disponsori oleh Negara.
c.
Akomodasi Kultural, yakni berupa diterimanya ekspresi Kultural Islam ke
dalam wilayah publik seperti, pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalaamu’alaikum.
d.
Akomodasi Legislative, yakni upaya memasukkan beberapa aspek hukum Islam
menjadi hukum negara, meskipun hanya berlaku bagi umat Islam saja.
Di indonesia, yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, keinginan mendirikan negara Islam selalu muncul ke
permukaan. Wacana negara Islam di Tanah Air sebenarnya tidak pernah dilepaskan
dari persoalan sejarah awal mula berdirinya bangsa Indonesia. Hal ini dapat
dilihat pada gagasan Islam sebagai dasar negara, yang sekaligus menjadi
keinginan mendirikan negara Islam pesca kemerdekaan oleh tokoh-tokoh Islam.
Karena itulah, setelah Indonesia merdekaa, perdebatan yang amat krusial di
kalangan founding fathers adalah perdebatan mengenai dasar negara di
dalam Sidang BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Pada
perkembangan selanjutnya, gagasan negara Islam atau Islam sebagai dasar negara
kembali diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam sidang konstituante. Bahkan,
tarik-menarik antara negara Islam dan negara Pancasila mengakibatkan Presiden
Soekarno akhirnya membubarkan Majelis Tertinggi ini lewat dekritnya yang
terkenal dengan Dekrit presiden 5 Jul 1959. Kecenderungan mendirikan negara Islam
di kalanga tokoh-tokoh Islam sebenarnya
tidak dapat dielakkan dari paradigma keislaman (keberagamaan) yang cenderung
romantis-religius, yakni mengenang kejayaan negara Islam masa silam. Tolak ukur
mereka adalah masa silam dinasti-dinasti Islam yang pernah berjaya menguasai
dunia yang wilayahnya sangat luas. Paradigma ini didukung oleh landasan
teologis yang kuat tentang konsep negara dalam islam.
Secara teoritik, Javid iqbal
menjelaskan bahwa negara Islam adalah negara Allah, negara yang memeberlakukan
syari’at islam, dan kedaulatan di tangan Tuhan (Allah Swt). Dalam pengertian
ini, negara islam memiliki tiga komponen penting, yakni:
1)
Masyarakat Muslim
2)
Hukum Islam atau Syari’at Islam
3)
Khalifah.
Tiga komponen ini menjadi prasyarat berdirinya negara Islam yang sah.
Secara
sederhana pengertian “kaum fundamentalis Muslim” kini cenderung diartikan
sebagai kelompok Islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. “Fundamentalisme Islam” bagi media massa Baraat tidak
lain berarti Islam yang kejam, Islam yang terbelakang, dan sejenisnya. Lebih
jauh lagi, istilah Fundamentalisme islam sering pula dimanipulasi sedemikian
rupa untuk memojokkan gerakan-gerakan islam yang secara sadar berjuang untuk
menentang dominasi politik kultural Barat di negeri mereka masing-masing.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagian sarjana-sarjana Muslim bersikap
enggan untuk menggunakan istilah “Fundamentalisme”, karena istilah itu dinilai
telah kehilangan sifat netralnya.
Media
Barat seringkali memberikan kesan bahwa bentuk religiusitas yang diserati
kekerasan dan pertempuran yang dikenal sebagai “fundamentalisme” adalah
fenomena Islam murni. Fundamentalisme adalah fakta global dan telah muncul ke
permukaan pada setiap keyakinan penting sebagai reaaksi terhadap permasalahan
modernitas kita.Fundamentalisme yaitu, suatu pandangan yang ditegakkan atas
keyakinan, baik yng bersifat agama, politik atau budaya, yang dianut oleh
pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah. Dengan
begitu, ia yakin bahwa ia memiliki kebenaran mutlak dan oleh karena itu
kebenaran tersebut harus diberlakukan. Ada kaum fundamentalis sekular dan ada
pula kaum fundamentalis teknokratis. Mereka beranggapan bahwa mereka mempunyai
jawaban bagi segala problema dengan konsep naturalistik, untuk ilmu pengetahuan
yang naturalistik.
Sumber
utama fundamentalisme dewasa ini adalah paduan antara penindasan, tekanan dan
kesewenang-wenangan dengan kebudayaan dan agama.
“ISIS” Merupakan negara Islam di Irak dan Suriah. Masuk dalam faham
Terorisme dan Radikal. ISIS disebut-sebut sebagai negara minus yang berupaya
mencipatakan kepemimpinan versinya sendiri, yaitu khilafah. ISIS memiliki
wilayah dan rakyat (yang terjebak, serta memiliki kekuasaan militer yang cukup
kuat sehingga dianggap sebagai negara riil).
Sementara itu, jaringan kelompok teroris di indonesia mempunyai
visi yang sama, yakni mendirikan khilafah. Namun, jaringan kelompok teroris
terus-menerus mengalami kegagalan karena sealu berhasil ditumpas oleh kepolisian
indonesia. Kegagalan yang cukup sering tersebut kemudian menjai dasar bagi
mereka unuk berafiliasi dengan ISIS yang dianggao sebagai bentuk negara riil.
Di indonesia, radikalisme sebenarnya bukan cerita baru, dan ISIS tidak dapat
dikatakan sebagai paham impor karena sebenarnya dapat ditelusuri sejarahnya di
negeri ini sejak era awal kemerdekaan. Parkembangan paham radikal berawal
dari Negara Islam Indonesia (NII). Mereka merasa sebagai representasi Islam
yang sebenarnya, meluruskan yang lain dengan cara jihad. Namun, cara jihadnya
adalah jihad menurut versi mereka sendiri yang banyak bertentangan dengan
ajaran Islam yang damai.
Berkembangnya paham-paham radikal seperti Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS) di Indonesia dinilai tumbuh pesat sejak era pemerintahan Presiden
Susilo bambang Yudhoyono. Sikap pemerintah yang dianggap salah dalam menyikapi
kelompok yang dianggap sesat, dianggap memberikan pembenaran untuk melakukan
kekerasan. “ISIS” di Tanah Air adalah akumulasi dari gerakan radikalisme sebelumnya.
Kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah dianggap sebagai kelompok sesat. Pemerinyah
yang terus-menerus menekan kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah, secara tidak langsung
membangkitkan semangat organisasi militan untuk membasmi kelompok minoritas
terseebut. Semangat militan yang tumbuh tersebut menyebabkan munculnya kembali
keinginan untuk membentuk Negara Islam di Indonesia. Dengan alasan itulah,
paham ISIS untuk mendirikan negara Islam dapat diterima beberapa kelompok
radikal yang sudah ada sebelum di Indonesia. Dengan begitu, ada kemungkinan
anggota Hizbut Tahrir dan NII ingin cepat wujudkan negara Islam., karena mereka
melihat adanya harapan untuk mendirikan negara Islam melalui ISIS.
B.
Dampak Teroris, Radikal, dan Fundalisme
dalam perkembangan islam
Munculnya teroris, radikal dan
fundalisme merupakan sebuah gerakan yang mengancam kemunduran islam karena
banyak menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Seperti halnya salah satu
ideolog fundamentalis kuno adalah Maududi, pendiri Jamaah Islamiyah di
Pakistan. Ia melihat kekuasaan barat yang luar biasa besar sebagai penghimpunan
kekuatan untuk mengahancurkan islam. Muslim, menuruutnya harus bersatu untuk
menghadapi sekularisme yang mengacaukan ini, bila mereka ingin agama dan
kebudayaan mereka bertahan lama. Muslim telah menghadapi berbagai masyarakat
yang menunjukkan sikap bermusuhan sebelumnya dan mengalami bencana, tapi
dimulai dengan Afghani, sebuah catatan
baru yang merembes ke wacana Islam. Ancaman Barat telah menjadikan Muslim
melawan untuk pertama kalinya. Maududi menantang seluruh etos kaum sekuler; ia
mengusulkan sebuah teologi pembebasab Islam. Karena Tuhan sendiri adalah
Kedaulatan, tidak seorangpun diwajibkan menjalankan perintah dari manusia yang
lain Revolusi terhadap kekuatan kolonial bukan sejadar sebuah hak melainkan
sebuah kewajiban. Maududi menyerukan Jihad universal.
Dalam pergerakan
Terorisme di Indonesia sangat terpengaruh dengan adanya peristiwa 11 September
2001 yaitu pengeboman Al Qaeda terhadap World Trade Center, samgat mengejutkan
dunia. Hal itu membuat Indonesia mendapat dampak dan stigma dari Indonesia
bahwasannya Indonesia merupakan sarang terorisme, hal itu dikarenakan adanya
kedekatan Al Qaeda dengan Jaringan Islamiyah. Dan hal itu semakin dibuktikan
dan memberikan dampak yang sangat signifikan setelah peristiwa bom Bali pertama
di legian kuta Bali, yang menewaskan sekitar 200 orang yang hampir seperahnyu
warga negara Australia.
Peristiwa tersebut membuat perekonomian Indonesia jatuh karena kurangnya sumber
pemasukan dari sektor pariwisata, karena pelarangan yang dilakukan oleh
pemerintahan negara lain yang melarang warga negaranya untuk melakukan
kunjungannya ke Indonesia. Selain itu juga memberikan dampak yang sangat besar
terhadap sistem sosial budaya Indonesia, adanya sebuah permusuhan diantara kaum
beragama yang ada di Indonesia.
Adanya tindakan teroris tersebut juga berdampak dalam sistem sosial budaya
Indonesia, dampak tersebut dapat memberikan sebuah pandangan bahwasannya aksi
terorisme tersebut mendapatkan pengertian kalo teror tersebut sejatinya telah
menciptakan adanya disintegrasi nilai sosial terhadap nilai pancasila. Karena
motif gerakan teror tersebut selain mereka anti dengan segala macam yang
berasal dari “barat” mereka juga beranggapan bahwa untuk mewujudkan impiannya
dalam pembentukan negara Islam Indonesia harus menggunakan jalan kekerasan.
Jika kita melihat dari pandangan George Simmel dalam pemahamannya tentang
konflik . Maka konflik dan aksi teror tersebut para pelaku berkeyakinan bahwa
pertikian yang terjadi harus saling mengalahkan bahkan dalam mengalahkan harus
terjadi aksi kekerasan agar kehidupan dan idenya dapat terjamin guna mencapai
keberhasilan dalam mewujudkan idenya,
Dampak lain terorisme terhadap sistem sosial budaya Indonesia, tentunya
mengancam kerukunan antar umat beragama yang ada di Indonesia. Seperti yang
kita ketahui aksi teror yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu
tersebut diatasnamakan oleh ajaran agama. Yang hal itu tentunya dapat
menimbulkan stigma negatif terhadap agama tertentu.
Terorisme, radikal serta fundalisme merupakan faham yang salah mengartikan
apa makna dari Islam itu sendiri. Mereka mengupayakan segala hal dengan maksud
untuk memajukan Islam tetapi dengan cara yang salah. Secara umum, yang menjadi prinsip utama
organisasi-organisasi revivalis islam baru, adalah bahwa Islam adalah sebuah
sistem kehidupan yang kompleks dan menyeluruh. Islam meliputi seluruh aspek
kehidupan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, Islam tidak bisa dipahami secara
sempit hanya sebagai seperangkat aturan ritual, Umat Islam diwajibkan untuk
melaksanakan islam secara Kaffah. Mereka beranggapan bahwa dengan cara
apapun diperbolehkan untuk mengajak orang lain beragama Islam ataupun
melaksanakan perintah Islam walaupun dengan cara yang sebenarnya tidak
diperbolehkan oleh Islam, contohnya dengan kekerasan. Sehingga yang pada awalnya
niat mereka menegakkan islam tetapi pada aktualisasinya mereka justru menyalahi
aturan dalam Islam itu sendiri. Dalam hal ini, untuk menjadikan negara Islam,
masyarakat yang menganut faham-faham tersebut perlu ditekankan dan ditegakkan
kembali seluruh tatanan masyarakat dengan syari’at islam. Agar negara Islam
terbebas dari faham-faham yang menyimpang dari Islam serta menjadi negara Islam
yang benar-benar Kaffah. Pada dasarnya negara Islam yang sebenarnya
adalah pemerintahan yang berjalan seiring dengan ajaran-ajaran Islam dan sesuai
dengan nilai-nilai Islam, serta menegakkan keadilan. Pemerintahan yang berasal
dari rakyat, berbuat untuk rakyat, mempersatukan umat manusia, tidak membedakan
antara golongan satu dengan lainnya meskipun berbeda-beda jenis, suku atau
keyakinan. Pemerintaha seperti itu sangat memperhatikan pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, sejarah dan teknologi. Pemerintahan seperti itu juga
mampu memotivasi masyarakat untuk selau tolong-menolong dan saling toleransi
antarsesama golongan.
Untuk membendung adanya faham ini, perlu diadakan upaya-upaya
penerapan syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat serta memerlukan
pilar-pilar yang ditopang oleh sinergi antara individu, masyarakat, dan negara.
Ada tiga pilar penerapan syari’at yang perlu diajarkan, yaitu:
a)
Ketakwaan
yang tertanam dan terbina pada setiap individu. Islam telah mendorong setiap
muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, dengan cara menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah prinsip dasar yang akan
mampu mendorong rakyat untuk selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Dengan prinsip ini, penerapan syari’at Islam di segala bidang
bisa terwujud secara alami dan pasti.
b)
Adanya
kontrol pelaksanaan hukum Islam oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui, tidak
menutup kemungkinan ada seorang mukmin melanggar aturan hukum Allah. Untuk
mengatasi hal ini, Islam telah mendorong masyarakat untuk melakukan koreksi,
baik terhadap individu, masyarakat maupun negara, bila terjadi pelanggaran hukum
Allah.
c)
Peran
dan fungsi negara dalam menerapkan hukum-hukum Islam. Negara merupakan pilar
yang sangat penting, bagi terlaksananya hukum-hukum Allah di tengah-tengah
masyarakat.
Jika
ketiga pilar tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka kemungkinan negara
indonesia akan terbebas dari faham-faham yang menyimpang serta dapat menjadi
negara Islam yang taat dengan perintah Islam.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terorisme adalah setiap tindakan
atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta,
maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara.
Munculnya terorisme disebabkan beberapa faktor, yaitu
faktor ideologis, politik, ekonomi dan sosial.
Secara historis, kemunculan dan
eksistensi kelompok garis keras atau radikal di kalangan umat islam indonesia
bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada awal abad ke 20, dalam peningkatan
semangat nasionalisme dan depripasi ekonomi yang kian parah dikalangan pribumi,
radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok-kelompok sarekat islam lokal.
Munculya gerakan islam radikal di indonesia disebabkan oleh dua factor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Fundamentalisme yaitu, suatu
pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik yng bersifat agama, politik atau
budaya, yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu
dalam sejarah.
Dalam pergerakan
Terorisme di Indonesia sangat terpengaruh dengan adanya peristiwa 11 September
2001. Peristiwa tersebut membuat perekonomian Indonesia jatuh karena kurangnya
sumber pemasukan dari sektor pariwisata. Hal ini memberikan dampak yang sangat
besar terhadap sistem sosial budaya Indonesia yaitu dapat memberikan sebuah
pandangan bahwasannya aksi terorisme tersebut mendapatkan pengertian kalau
teror tersebut sejatinya telah menciptakan adanya disintegrasi nilai sosial
terhadap nilai pancasila.
Karen Amstrong, Islam;
Sejaah Singkat, Jendela, Yogyaarta: 2002, Hlm. 228
DAFTAR PUSTAKA