ASAL MULA MADZHAB-MADZHAB HUKUM MASA AWAL
Sewaktu
Rasulullah masih hidup, tidak terdapat penggolongan perintah ke dalam wajib,
mandub (dianjurkan), haram, makruh, dan mubah. Penggolongan ini merupakan
karya para ahli hukum sendiri yang mempelajari berbagai ayat al-Qur’an, hadits
dan praktek-praktek yang dilakukan para sahabat dan kaum muslimin terdahulu.
Menurut para ahli hukum, setiap tindakan harus masuk ke dalam salah satu dari
lima kategori tersebut. Apabila timbul suatu kasus, maka kasus itu diajukan
kepada Rasulullah untuk dimintai keputusannya. Dalam menanggapi keputusan
beliau, orang-orang disekitarnya tidak bertanya lagi mengenai hal-hal khusus
tentang hukum guna dan alasannya. Mereka tidak tertarik dengan hal-hal yang
bersifat filosofis atau perincian yang rumit. Dalam memberikan jawaban dari
sebuah pertanyaan, Rasulullah tidak memberikan jawaban yang kaku tetapi lebih
bersifat umum.
Mereka
mengambil keputusan beliau sebagai model untuk mengambil keputusan serupa dalam
kasus-kasus serupa. Alasan penambahan pada hukum-hukum yang diberikan
Rasulullah ini dengan menggunakan penafsiran ialah bahwa beliau sendiri
memberikan peluang bagi penafsiran dalam perintahnya. Beliau menyerahkan banyak
hal kepada masyarakat untuk diputuskan berdasarkan situasi yang ada. Hukum pada
masa-masa awal islam tidaklah kaku sebagaimana diterapkan pada masa-masa yang
terkemudian. Hukum-hukum yang berbeda dan bahkan bertolak belakang mengenai
banyak persoalan dapat ditolerir atas landasan argumen. Hal ini kelihatan nyata
dari perbedaan pendapat para sahabat setelah Rasulullah wafat dan dari praktek
para ahli hukum terdahulu. Rasulullah memberikan kesempatan bagi digunakannya
nalar dan pikiran sehat dalam berbagai situasi dan kondisi.
Misalnya
pada peristiwa perang Bani Qurayzah. Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya
ke daerah musuh dan memerintahkan mereka untuk melakukan shalat Ashar apabila
mereka sampai pada tempat yang dituju. Tetapi ternyata sudah masuk waktu shalat
ketika mereka masih dalam perjalanan. Karena itu, sejumlah sahabat melaksanakan
shalat dalam perjalanan dan berargumentasi bahwa tentu bukan maksud Rasulullah
untuk menangguhkan shalat. Sedangkan yang lain melaksanakan shalat setibanya di
tempat tujuan ketika hari telah menjelang malam, karena mematuhi perintah
Rasulullah secara harfiah. Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah,
beliau diam saja. Para sahabat menganggap hal hal ini sebagai suatu persetujuan
diam-diam terhadap tindakan kedua kelompok itu.
Contoh
di atas memperlihatkan bahwa Rasulullah, dalam menggariskan hukum pada dasarnya
mempertimbangkan nilai dan semangat tindakan dan bukan bentuk tindakan itu
sendiri. Dalam kasus tersebut yang terpenting ialah kepatuhan kepada perintah Allah
serta tujuan dan semangat untuk melaksanakan kesetiaan pada Allah dan
Rasul-Nya. Ini juga mengandung arti bahwa orang dapat berbeda dalam menampilkan
bentuk kepatuhan atas dasar penafsiran. Dari sini, timbul perbedaan-perbedaan
pendapat dalam hukum diantara para ahli hukum.
Setelah
wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam.
Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai
keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan. Mereka memberikan keputusan kadang-kadang
berdasarkan apa yang pernah mereka pelajari dan ingat dari perintah-perintah
Rasulullah, dan di lain waktu menurut apa yang mereka pahami dari al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Penafsiran Qur’an menimbulkan perbedaan
pendapat diantara para sahabat. Soal-soal yang tidak disinggung oleh al-Qur’an
atau disinggung dengan kata-kata bermakna ganda, memerlukan penjelasan.
Al-Syafi’i menyebutkan beberapa contoh soal-soal seperti itu. Sebuah ayat
al-Qur’an menyatakan: “wanita-wanita yang dicerai hendaklah menunggu tiga
kali qurru’.” Dalam ayat ini kata qurru’ bermakna ganda. Kata
tersebut dapat berarti menstruasi dan dapat pula untuk keadaan suci (thuhr).
Maka ‘Umar Ibnu Kaththab, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari diriwayatkan
berpendapat bahwa aqra’ (bentuk tunggal dari qur’) berarti
menstruasi (haydh). Sebaliknya, ‘Aisyah, Zayd Ibnu Tsabit dan Ibnu Umar
berpendapat bahwa aqra’ berarti masa suci diantara menstruasi (athhar).
Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum sesungguhnya disebabkan karena
perbedaan pendapat diantara para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hal yang sama terjadi dengan hadits.
Dalam Hadits munculnya perbedaaan disebabkan beberapa faktor. Kadang-kadang
terdapat dua tradisi yang bertolakbelakang yang diriwayatkan berasal dari
Rasulullah. Sejumlah sahabat mengikuti tradisi yang satu, sedang kelompok lain
mengikuti yang lainnya. Dalam sejumlah kasus, sebuah hadits tak diketahui oleh
seorang sahabat, maka ia memutuskan persoalan atas dasar pendapatnya sendiri. Apabila
hadits yang relevan kemudian diketahuinya, ia akan membatalkan pendapatnya.
Pada peristiwa-peristiwa tertentu terjadi bahwa hadits yang relevan diperoleh
tetapi periwayatnya sendiri tak dapat memahami arti hadits tersebut yang
sebenarnya.
Para sahabat berusaha semampu mereka
untuk mendasarkan keputusan mereka pada Qur’an dan Sunnah. Mereka berusaha
menjaga agar keputusan-keputusan dan pertimbangan pribadi mereka selalu sedekat
mungkin dengan keputusan dan pertimbangan Rasulullah. Sekalipun dengan adanya
perbedaan pendapat diantara mereka, sedikitpun tidak menyimpang dari ruh Qur’an
dan Sunnah.
Sewaktu masa generasi kedua, yaitu para
tabi’un, terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia Islam, dimana kegiatan
hukum yang bebas terjadi yaitu Iraq, Hijaz dan Syria. Iraq sendiri memiliki dua
madzhab, yaitu madzhab Basrah dan Kufah. Begitu pula Hijaz juga memiliki dua
pusat kegiatan hukum, yaitu Madinah dan Makkah. Madzhab yang paling besar pada
waktu itu adalah Madzhab Iraq dan Madzhab Hijaz. Madzhab Syria kurang sering
tercatat dalam buku-buku teks awal. Meskipun demikian, kecenderungan hukum dari
madzhab ini dapat diketahui secara otoritatif melalui tulisan-tulisan Abu
Yusuf. Berikut ini diantaranya nama-nama yang tercatat dari para ahli hukum di
berbagai tempat:
- Makkah: ‘Atha bin Abi Rabah, dan ‘Amr bin Dinar.
- Madinah: Sa’id bin al-Musyayyib, ‘Urwah bin al-Zubayr, Abu Bakar bin ‘Abdul Rahman, ‘Ubayd illah bin ‘Abdullah, Kharijah bin Zayd, Sulayman bin Yasar, Al-Qasim bin Muhammad.
- Basrah: Muslim bin Yasar, Al-Hasan bin Yasar, dan Muhammad bin Sirin.
- Kufah: ‘Alqamah bin Qays, Masruq bin al-Ajda’, Al-Aswad bin Yazid, Syurayh bin al-Harits.
- Syria: Qabisah bin Dzuwayb, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Makhul, Al-Awza’i.
Unsur
setempat sangat berpengaruh dalam madzhab-madzhab awal. Ahli-ahli hukum yang
berasal dari berbagai daerah ini melandaskan pendapat dan keputusan-keputusan
hukum mereka pada pendapat dan keputusan para sahabat yang tinggal didaerah
masing-masing. Para ahli hukum di Madinah menurunkan pengetahuan hukum mereka
dari laporan-laporan putusan hukum yng berasal dari ‘Umar bin Khaththab,
‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar. Para ahli hukum Kufah menurunkan doktrin-doktrin hukum
mereka dari pendapat dan pertimbangan ‘Ali dan Ibnu Mas’ud.
Faktor
penting lainnya yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ahli hukum
ialah dipergunakannya pendapat pribadi. Sebagai akibat penggunaan pendapat
pribadi, maka tidak dapat dielakkan timbulnya berbagai perbedaan pendapat, dan
memang terjadi bahwa keputusan-keputusan hukum yang saling bertolakbelakang
dalam satu kasus yang sama, diberikan pada waktu yang bersamaan di keempat
penjuru sebuah kota. Untuk menghentikan situasi yang kacau ini dan melindungi
umat dari perpecahan, diperkenalkanlah lembaga ijma’. Dalam menyisihkan
pendapat-pendapat yang terpencil, pendapat umum yang rata-rata dari
masing-masing daerah diambil sebagai ijma’ setempat.
Metode
lain yang diikuti oleh para ahli hukum awal untuk menghilangkan kekacauan ini
ialah dengan mengambil tradisi-tradisi yang berasal dari Rasulullah atau dari
para sahabat yang diperkuat oleh praktek kaum muslimin. Inilah sebabnya mengapa
kita temukan banyak penekanan pada praktek dalam madzhab-madzhab hukum yang
awal ini. Di kalangan madzhab-madzhab hukum yang awal sering kita dengar nama
Abu Hanifah, Abu Yusuf, al-Syaybani, Malik, dan al-Awza’i didaerah yang
berbeda-beda. Umumnya orang mengira bahwa mereka memperoleh ketenaran karena
ijtihad bebas mereka yang didasarkan pada penalaran murni dalam lingkup hukum
islam. Tetapi sebenarnya mereka dipengaruhi baik oleh praktek maupun pemikiran
daerah mereka masing-masing. Ini nyata sekali tercermin dari penalaran mereka.
Madzhab
Hijaz memiliki kecenderungan pendapat kepada Malik yang melakukan ijtihad
secara orisinal dalam beberapa kasus dengan memakai pendekatan aturan atau
qiyas yang berdasarkan pada hadits yang sudah ada. Hal yang serupa terjadi juga
di Iraq. Suatu kecenderungan pendapat di Iraq sudah terbentuk sebelum tampilnya
Abu Hanifah. Ia melaksanakan ijtihad dalam garis-garis para pendahulunya tetapi
tetap memelihara semangat dan praktek yang berlaku di Iraq. Penggunaan nalar
lebih condong dipakai di Madzhab Iraq karena hadits yang beredar di Iraq pada
waktu itu masih sangat sedikit.
Al-Syafi’i
telah berusaha untuk merukunkan perbedaan pendapat di antara para ahli hukum
dengan menetapkan prinsip hadits yang otentik dari Nabi, namun ia tidak dapat
mengakhiri perbenturan pendapat yang ada, tapi malah merintis jalan bagi
tumbuhnya satu madzhab yang baru. Disamping itu, sulit untuk mencapai kompromi
antara Al-Syafi’i dan madzhab-madzhab awal, karena teori hukum dan
prinsip-prinsip yang dipermaklumkan olehnya sebagian besar adalah asing bagi
mereka.
Dalam
dua abad pertama Hijrah, tak ada fenomena kesetiaan yang ketat terhadap seorang
pemikir saja. Dalam buku-buku teks yang awal Abu Hanifah dikabarkan telah
memperoleh pengetahuannya dari Ibrahim al-Nakha’i. Al-Syaibani mengacu pada Abu
Hanifah dalam al-Muwaththa’. Al-Syafi’i menuturkan bahwa satu kelompok
di Kufah mengikuti Abu Yusuf, sedang yang lain mengikuti Ibnu Abi Layla.
Sedangkan di Madinah sekelompok orang umumnya menyandarkan diri pada Malik.
Mereka mengambil pendapatnya sebagai ijma’. Al-Syafi’i sendiri menentang sikap
kesetiaan pribadi pada seorang ahli hukum tertentu. Beliau memisahkan diri dari
orang-orang Madinah ketika beliau mengkritik doktrin-doktrin mereka. Secara
keseluruhan nampaknya Al-Syafi’i bebas dari kecenderungan madzhab.
Kecenderungan
terhadap kesetiaan pribadi secara kasarnya mulai terjadi pada pertengahan abad
kedua Hijrah. Madzhab-madzhab hukum masa awal ini bersumber dari proses
penafsiran hukum yang panjang dan bebas, yang berlangsung di daerah-daerah yang
berbeda semenjak masa yang paling awal. Terlepas dari pengelompokan di berbagai
daerah ini, orang banyak umumnya melakukan pemikiran hukum secara independen. Bersamaan
dengan berlakunya waktu, orang mulai menggantungkan diri terutama pada
keputusan dan pendapat hukum dari sumber-sumber awal ini dan akhirnya berijtihad.
KESIMPULAN
Sewaktu
Rasulullah masih hidup, tidak terdapat penggolongan perintah ke dalam wajib,
mandub, haram, makruh, dan mubah. Penggolongan ini merupakan karya para
ahli hukum sendiri. Dalam memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan, Rasulullah
tidak memberikan jawaban yang kaku tetapi lebih bersifat umum. Karena yang
disampaikan Rasulullah masih ada yang bersifat umum dan nalar atau pengetahuan
para sahabat berbeda-beda maka timbul pemahaman yang berbeda pula. Unsur
setempat atau keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh dalam madzhab
awal. Madzhab yang paling besar pada
waktu itu adalah Madzhab Iraq dan Madzhab Hijaz. Madzhab Hijaz memakai
pendekatan aturan atau qiyas, sedangkan Madzhab Iraq memakai pendekatan nalar
atau logika. Madzhab-madzhab hukum masa
awal ini bersumber dari proses penafsiran hukum yang panjang dan bebas. Bersamaan dengan berlakunya waktu,
orang mulai menggantungkan diri terutama pada keputusan dan pendapat hukum dari
sumber-sumber awal dan akhirnya berijtihad serta melakukan pemikiran hukum
secara independen