BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada masa
kini kearifan local menjadi kecenderungan umum masyarakat Nusantara yang telah
menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan
nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi
perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan local
tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik. Oleh karena
itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan local sebagai
alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam
menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara mertabat.
Namun
demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan local
di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan
local sebagai system pengetahuan manusia itu logis atau sekedar mitos. Apakah
kearifan local itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekedar
spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Tulisan ini mencoba
menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kearifan lokal di Nusantara?
- Bagaimana hubungan kearifan lokal dengan agama Islam?
3.
Bagaimana
urgensi kearifan lokal yang ada dalam menjaga keutuhan NKRI?
4.
Apa saja
karakteristik kearifan lokal di Nusantara?
5.
Apa saja
manfaat kearifan lokal di Nusantara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kearifan Lokal di Nusantara
Dalam pengertian kamus, kearifan local terdiri dari
dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan
konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara
terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan
masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sacral maupun
profane.
Di dalam pemukiman tradisional dapat ditemukan pola
atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesaklarannya atau
nilai-nilai adat dari satu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh
cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan
tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam pemukiman tradisional
menunjukkan nilai estetika serta locl wisdom dari masyarakat tersebut.
Keanekaragaman social budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam
jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teori-teori untuk menggali
kearifan local dapat mengungkapkan nilai-nilai arsitektur bangunan maupun
kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian kearifan local dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijkasana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.[1]
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu
yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal
tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. S.Swarsi
Geriya dalam “menggali kearifan lokal untuk Ajeg Bali” mengatakan bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia
yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dengan demikian adalah nilai
yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan
bahkan melembaga.
Kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan
pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta
kondisinya sekarang dan yang akan dating kearifan lokal terdapat dibeberapa
daerah misalnya di Papua, Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Bali. Dan di antara
daerah tersebut terdapat kearifan lokal masing-masing yang berbeda satu dengan
yang lainnya.
Selain etika moral yang bersumber pada agama, di
Nusantara juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal
pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan
keharmonisan alam dan social. Kita mengenal pepetah “Barang siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya”. Yang mengplikasikan ajakan untuk
membangun etos kerja dan semangat untuk meraih kesuksesan. Dalam hal
keharmonisan social dan alam, hamper semua budaya di Nusantara mengenal gotong
royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukin dipedalaman juga
dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam misalnya
kayu dihutan hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.[2]
1.
Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Jawa
Ziarah sebagai penghormatan
terhadap arwah leluhur tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat
jawa ada saat dmana manusia akan melakukan aktifitas yang berkaitan dengan
ziarah ke makam. Makam dan segala aktivitasnya akan mengingatkan manusia akan
sadar untuk bisa melakukan perbuatan baik sebagai bekal menghadapi alam arwah.
Aktivitas ziarah oleh banyak fihak juga dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki,
keberuntungan, dan sebagainya sesuai dengan kharisma dan keistimewaan tokoh
yang dimakamkan.
Ziarah makam merupakan satu dari
sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat jawa. Berbagai maksud
dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang
dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap keramat sebenarnya akibat
pengaruh masa Jawa-hindu. Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap titising
dewa sehingga segala Sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih
dianggap keramat termasuk makam, petilasan, maupun benda-benda peninggalan
lainnya. Misalnya Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan adalah titisan
Hyang Giri Nata yang beristana di puncak Gunung Semeru. Bagi masyarakat Jawa,
ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan ruwahmenjelang
ramadhan.
Pada saat itu masyarakat biasanya secara
bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga
terdekat melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara
umum disebut nyadran. Kata nyadranberarti slametran (sesaji) ing papan kang
kramat selamatan (member sesaji) di tempat yang angker/keramat.Kata nyadran
juga memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi ruwah nylameti para
leluhur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras reresik
tuwin ngirim kembang)selamatan di bulan ruwah menghormati para leluhur
(biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan mengirim
bunga).Selain bulan ruwahatau sadran, masyarakat Jawa juga berziarah tiap hari
jum’at ke makam orang tua atau leluhur mereka. Mereka tahlilanuntuk mendoakan
arwah orang tuanya. [3]
Di Jawa juga dikenal tradisi
tahlilanatau kenduriselama tujuh hari setelah hari kematian orang tua atau
kerabat, seratus dan seribu hari, juga tiap tahun di tanggal kematian. Jika
memang jauh sekali dari makam maka tiap malam jumat akan menyempatkan diri
tahlilanuntuk arwah orang tua dan kerabatnya. Di daerah-daerah yang mempunyai
tempat bersejarah, agak berbau angker, pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisah
tersendiri biasanya mempunyai upacara adat yang disebut nyadran. Tak ubahnya
dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadranini juga mengandung makna
religius. Ada yang dengan jalan memasang sesaji di tempat itu selama tiga hari
berturut-turut, adayang dengan cara melabuhmakanan yang telah diramu dengan
bebagai macam kembang. Ada pula yang mengadakan kenduridengan makanan-makanan
enak, lalu diadakan pertunjukan besar-besaran dan sebagainya.Kebiasaan
mengunjungi makam sebenarnya merupakan kebiasaan mengunjungi candi atau tempat
suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan melakukan pemujaan terhadap roh nenek
moyang.Raja Kerta Rajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya) wafat dimakamkan di Antah
Pura dalam wujud Arca Budha, serta wujud Arca Siwa di Candi Simping.
Kebiasaan ini semakin mendalam jika yang
dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai kedudukan
tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan sebagainya. Secara
umum ziarah yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa
mempunyai maksud untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya
secara bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan makam desa atau dusun
dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun. Ada
juga yang dilengkapi dengan mengadakan kenduribersama di makam, atau di rumah
kepala dusun mereka. Pada umumnya mereka tidak lupa membuat apem. Tradisi ini
biasanya disebut ruwahan. Sesuai namanya diadakan di bualan Ruwah. Apemadalah
makanan khas Jawa berbentuk kue manis yang terbuat dari tepung beras. Konon
apem adalah bentukan dari kata afwandari bahasa Arab yang artinya maaf. Orang
Jawa berharap dosa-dosa leluhur mereka di maafkan oleh Allah. [4]
2.
Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Sumatera
Jauh
sebelum Indonesia merdeka dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
telah ada kelompok masyarakat social di kepulauan Nias yang terorganisir dalam
sebuah desa yang disebut Banua, dan Ori sebagai koalisi dari beberapa desa.
Penataan kehidupan dalam Banua, baik menyangkut system pemerintahan, system
religious, system kekerabatan dan kemasyarakatan. Prinsip tersebut di atas
menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalam Fondrako.
Menurut S.W Mendrofa bahwa Fondrako tersebut memiliki banyak pengertian yakni
lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian, lambang seni dan
budaya, dan sebagainya. Menurutnya bahwa dasar Fondrako adalah Fo’adu
artinya pemujaan patung, Fangaso artinya tata aturan pemilikan yang diatur
dalam fondrako (pemilikan harta terbaik), Faharahao-hao artinya adat yang
menyangkut pribadi dan tata, Bowo masi-masi artinya hubungan dalam pengasihan
Jadi
Fondrako adalah budaya dan sekaligus agama yang terdapat disetiap banua atau
ori, sehingga terdapat keragaman atau variasi Fondrako bagi orang Nias.
Bertolak dari dasar Fondrako tersebut di atas, maka pokok-pokok yang dibahas,
dimusyawarahkan dan di syahkan dalam Fondrako menyangkut adat-istiadat, yakni: pertama,
huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh
manusia), kedua, huku si fakhai ba gokhota niha (hukum yang menyangkut
keterjaminan hak atas harta milik manusia), ketiga, huku sifakhai ba
rorogofo sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia).
Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara telah
memiliki kearifan lokal menata kehidupan bersama dalam Banua berdasarkan
pandangan hidupnya, yakni kebudayaan setempat.[5]
3. Kearifan
lokal pada masyarakat Kalimantan
Pada masyarakat Kalimantan Timur, menginang atau makan sirih biasanya
ditempatkan dalam suatu tempat yang khusus. Tempat ini biasanya disebut dengan
istilah penginangan. Perlengkapan menginang seperti tempat sirih, tempat
tembakau, alat penumbuk kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah merah
atau ludah sirih serta kinangnya ditempatkan dalam satu wadah.
Apabila orang
hendak menginang biasanya disediakan kinang yang terdiri atas ramuan pokok dan
ramuan pelengkap. Ramuan pokok terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih,
dan buah pinang, sedangkan ramuan pelengkap terdiri dari tembakau, kapulaga,
cengkih, kunyit, dan daun jeruk.
Fungsi primer
menginang sama halnya dengan kebiasaan minum teh, kopi, dan merokok. Pada
mulanya setiap orang yang menginang tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan
ini kemudian berlanjut menjadi kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit
untuk dilepaskan.
Kebiasaan
menginang di samping untuk kenikmatan juga berfungsi sebagai obat untuk merawat
gigi, terutama untuk memakan agar gigi tidak rusak atau berlubang. Fungsi
menginang yang lain yaitu, menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan.
Hal ini tercermin dari kebiasaan menginang, hidangan penghormatan untuk tamu,
sarana penghantar bicara, sebagai mahar perkawinan, alat pengikat dalam
pertunangan sebelum nikah, untuk menguji ilmu seseorang, dan sebagai pengobatan
tradisional. Bahkan menginang juga digunakan sebagai upacara dan sesaji yang
menyangkut adat istiadat serta kepercayaan dan religi.[6]
4. Kearifan
lokal pada masyarakat Lombok
Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system
social kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai
lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local
yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung
sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam
dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA)
sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan
bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap
musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul
upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut.[7]
Pada
masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak
memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Hubungan antara manusia dan alam
atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk
dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan.
Karena
kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya,
tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna
kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak
heran bila puluhan bahkan ratusan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang
dijadikan landasan dalam berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan
bermasyarakat.[8]
5. Kearifan
lokal pada masyarakat Sulawesi
Tana Toraja
memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa
disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di
Tongkonan untuk
beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai
keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si
mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa
atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak
itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan
di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival
pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau
Juli, dan paling lambat bulan September.
Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang
disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk
sementara, begitu kuat. Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan
Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke
suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh.
Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap
arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk
ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status
sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan
tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang
bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan,
ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan
dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang.
Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat
upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat
kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan
semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan
sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan,
pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai
ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan
tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka
agar bisa mencapai puyo alias surga.Semakin sempurna upacara pemakaman
seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka
sebut puyo tadi.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara
turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara
kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itukini pun masih bisa
disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya
dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah
beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya.[9]
6.
Kearifan Lokal Pada Masyarakat Bali
1. Hari Raya Galungan
Hari raya Galungan: Buda Kliwon
Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya
dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan
kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya
sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya.
Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan
aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.
2. Haru Raya Kuningan
Haru Kuningan adalah rangkaian
upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari itu dibuat nasi kuning,
lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan
suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi
berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau
kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang
berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang
melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
3. Hari Raya Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi,
senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu
berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.
Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai
dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan,
termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun
tidak untuk rumah sakit.
4. Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi,
umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut
juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada
di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau
adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor)
di dalam diri manusia dan alam.
6. Hari
Raya Saraswati
Merupakan hari suci untuk merayakan
turunnya ilmu pengetahuan sebagai sinar suci yang memberikan penerangan
kebijaksanaan hidup. Jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung.Yaitu
hari turunnya ilmu pengetahuan suci. Datangnya perayaan ini secara periodik
setiap 210 hari sekali, dan dibulan april ini jatuh pada tanggal 23. Sebagai
wujud rasa bhakti, pemujaan terhadap sumber segala ilmu pengetahuan material
maupun spiritual tersebut, diwujudkan atau digambarkan dalam alam pikiran
melalui personifikasi dewi saraswati.
Banyak dirayakan di sekolah-sekolah, dan
pusat-pusat pendidikan, tentu saja di tempat para pinandita.[10]
B. Hubungan Kearifan Lokal dengan Agama Islam
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual
yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
Aqidah
yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam. Sedangkan
tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa Islam.
Penjagaan atas aqidah dan tauhid yang bersih ini merupakan kewajiban yang
pertama kali ditekankan dalam syariah dan bimbingan-bimbingan Islam. Perang
terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan
yang sesat merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari
debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan.
Keyakinan
pertama yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa para pemeluknya adalah bahwa jagad
raya yang luas ini, yang manusia hidup di atasnya dan di bawah langitnya, tidak
berjalan secara sporadis dan tanpa bimbingan. Ia tidak beredar dengan kendali
salah seorang mahluk, karena hawa nafsu mereka bersama kesesatannya bersifat
cenderung konflik.
Kaum
muslimin telah belajar dari Kitab Tuhannya dan Sunah Nabinya, bagaimana harus
menghormati hukum alam ini, mencari sebab akibat yang Allah ikatkan atasnya,
sekaligus menolak berbagai unsur sebab akibat mistis yang diyakini, yang sering
disitir oleh para juru kunci tempat-tempat keramat, para pendusta, dan para
penjual agama.
Karena
itu, barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara yang ghaib, niscaya
ia berdusta kepada Allah, kepada realitas, dan kepada umat manusia. Beberapa
orang utusan datang menemui Nabi SAW. Mereka meyakini bahwa Nabi SAW, termasuk
orang-orang yang dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka menyembunyikan
sesuatu di tangan dan berkata kepada Nabi SAW, ”Tahukah tuan,apa ini?”Nabi
menjawab dengan terus terang, ”Saya bukan seorang dukun, dan sesungguhnya
dukun, perdukunan, dan para tukang ramal tempatnya di neraka.”[11]
Kearifan
sosial tentu saja harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari
tradisi lokal (local tradition) dan kemudian secara selektif ditarik ke
dalam nilai-nilai keadaban. Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal
mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak semua tradisi lokal menjadi
sumber bagi kearifan lokal. Bagi kita, tradisi lokal harus terseleksi untuk
ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan nilai-nilai
ajaran Islam yang telah menjadi worldview (pandangan dunia) bagi setiap
Muslim.
Dalam
masa ini ilmu pengetahuan cepat berkembang yang kemudian terjadi sekularisasi
dalam hampir seluruh kehidupan manusia. Agama dan tradisi dipandang sebagai
sesuatu yang obsolete yang menghambat kemajuan. Jika modernitas semacam
itu dipandang sebagai tesis (sebelumnya berupa antitesis), maka pada masa
berikutnya muncul antisesis baru yang mengkritik modernitas sebagai sumber
malapetaka. Seorang intelektual Muslim, Seyyed Hosein Nasser, menulis sebuah
buku berjudul The Plight of Modern Men, yang menggambarkan kehidupan manusia
modern yang menderita akibat kegersangan spiritual dan kerusakan lingkungan.
Antitesis itu disebut orang sebagai post-modernity atau post-traditionality,
yang selain mengkritik modernitas, juga memberikan kembali apresiasi terhadap
agama dan tradisi. Pada masa terakhir inilah wacana tentang pluralisme,
multikultutalisme dan kearifan lokal berkembang, yang pada dasarnya ingin
menyatakan bahwa agama dan tradisi yang pernah dipersalahkan sebagai penghambat
kemajuan sekarang dipandang sebagai modal budaya yang diperlukan bagi perbaikan
kehidupan manusia.
Di
samping ancaman modernitas, tradisi dan nilai-nilai lokal juga mendapatkan
ancaman dari puritanisme agama. Kecenderungan puritan dalam Islam, misalnya,
telah menggusur tradisi-tradisi yang dipandang berbau bid’ah, takhayul,
khurafat dan syirik karena merusak akidah Islam yang murni. Dalam prakteknya,
gerakan puritan ini telah melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap
tradisi yang diyakini bertentangan dengan Islami murni, seperti ziyarah kubur, sedekah
bumi, sedekah laut, tahlilan dan slametan karena semuanya itu berbau sinkretik
dan tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik. Tradisi secama itu
dipandang oleh Puritanisme sebagai bentuk sikretisme, campuran ajaran-ajaran
yang berasal dari Hindu, Budha dan paganisme. Cara berfikir puritan semacam itu
pada masa berikutnya dikritik karena menyebabkan kegersangan spiritual dan
hilangnya kearifan lokal.
Menyadari
pentingnya kearifan lokal. Maka tugas kita sekarang ialah menemukan kearifan
lokal dan memfungsikannya untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang
berkeadaban. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat
semacam itu, dalam bahasa rakyat Indonesia, adalah kehidupan yang sejahtera
lahir dan batin dan berada bi bawah naungan keampunan Allah (wa rabb ghafur);
juga masyarakat yang diberkahi oleh Allah (barakat min al-sama’ wa al-ardl);
masyarakat yang aman damai (aminan muthma’innan). Masyarakat seperti itu
tidak akan lahir secara tiba-tiba, tetapi dari proses yang melibatkan usaha
manusia, yang salah satunya ialah pertimbangan terhadap pentingnya kearifan
lokal.[12]
C.
Urgensi
Kearifan Lokal yang Ada dalam Menjaga Keutuhan NKRI
Dalam masyarakat Indonesia yang
multiculturalintegral, konsepsi aspirasinya terkandung dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang mengandung arti bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku, agama, adat, bahasa dan strata social tetapi tetap satu
(persatuan dalam perbedaan). Maknanya adalah menghubungkan atau menyatukan
daerah-daerah dan suku bangsa yang berbeda-beda dalam satu wadah atau wilayah
yang disebut Nusantara. Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ikaan, diharapkan setiap warga, pemerintahan
dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan
berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasionalisme demi mempertahankan NKRI.
Berdasarkan pemahaman nilai-nilai ke Bhinneka
Tunggal Ikaan, perwujudan aktualisasinya tampak dalam integrasi nasional. Bila dikaitkan
peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan social budaya sebagai pencintraan
dari budaya bahasa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun
citra diri berdasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekaan yang
dimiliki dapat menjadi investasi yang diandalkan bahwa pada pelaksanaan
pembangunan nasional. Sebagai salah satu pilar Demokrasi.[13]
D.
Karakteristik
Kearifan Lokal di Nusantara
Karakteristik kearifan lokal adalah suatu bentuk
kearifan lingkungan yang adadalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah.jadi
merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu.kearifan lokal merupakan tata
nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif.sebagai salah satu bentuk perilaku manusia,kearifan
lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan
waktu,tergantung dari tatanan dan ikatan social budaya yang ada di masyarakat.
Karakteristik
kearifan lokal adalah sebagai berikut:
1.
Mampu
bertahan terhadap budaya luar
2.
Memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3.
Mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsure budaya luar ke dalam budaya asli
4.
Mempunyai
kemampuan mengendalikan
5.
Mampu
memberi arah pada perkembangan budaya[14].
E. Manfaat Kearifan Lokal Di Nusantara
1.
Bidang Ekonomi
Dengan
menggunakan kearifan lokal sebagai strategi utama dalam perbaikan ekonomi
dimasa depan khususnya ekonomi berkelanjutan sangatlah tepat. Dikarenakan
masyarakat dapat mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan
dalam melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu
daerah. Dengan demikian, kegiatan perekonomian disuatu daerah dapat berjalan
dengan baik.
2.
Bidang Pendidikan
Pendidikan
adalah sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan
lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu memupuk dan menumbuhkan
kesadaran akan arti keberadaan manusia untuk lingkungan dan alam semesta.
Dengan pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal maka kita bisa optimis akan
terciptanya pendidikan yang mampu memberi makna bagi kehidupan manusia
Indonesia. Artinya, pendidikan kemudian akan menjadi spirit yang bisa mewarnai
dinamika manusia Indonesia kedepan. Pendidikan nasional kita harus mampu
membentuk manusia yang berintegritas tinggi dan berkarakter sehingga mampu
melahirkan anak-anak bangsa yang hebat dan bermartabat sesuai dengan spirit
pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
3.
Bidang Politik
Dibidang
politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarat lain sebagai
unsure pembentuk bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang
lebih sulit lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran system
pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang
pemerintahan rezim Orde Baru upaya penghancuran ini secara gamblang bisa
dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam diseluruh Indonesia sebagaimana
diatur dalam UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi
lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat
konsep pembinaan territorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA)
sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan kebijakan-kebijakan ini bisa
dikategorikan bahwa Negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan
politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan
hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945. [15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual
yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sacral maupun profane. Seperti Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Jawa,
Sumatera, Lombok,
Sulawesi, Bali,
Kalimantan.
Hubungan Kearifan Lokal dengan Agama Islam. Kearifan sosial tentu saja
harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari tradisi lokal dan
kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban. Dengan kata
lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak
semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Bagi kita, tradisi
lokal harus terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan
harus paralel dengan nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi worldview
(pandangan dunia) bagi setiap Muslim.
Urgensi Kearifan Lokal yang Ada dalam Menjaga Keutuhan NKRI . Dalam
masyarakat Indonesia yang multiculturalintegral, konsepsi aspirasinya
terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti bahwa
walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan
strata social tetapi tetap satu. Maknanya adalah menghubungkan atau menyatukan
daerah-daerah dan suku bangsa yang berbeda-beda dalam satu wadah atau wilayah
yang disebut Nusantara. Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ikaan, diharapkan setiap warga, pemerintahan
dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan
berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasionalisme demi mempertahankan NKRI.
Karakteristik
Kearifan Lokal di Nusantara adalah sebagai berikut:
A. Mampu
bertahan terhadap budaya luar
B. Memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
C. Mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsure budaya luar ke dalam budaya asli
D. Mempunyai
kemampuan mengendalikan
E. Mampu
memberi arah pada perkembangan budaya.
Manfaat Kearifan
Lokal Di Nusantara
1.
Bidang
Ekonomi
2.
Bidang
Pendidikan
3.
Bidang Politik
B.
Saran
Demikianlah yang kami susun. Kami menyadari bahwa
masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Catatan Perbaikan Makalah
1. Makalah dilengkapi dengan power point.
2. Bagaimana menurut pemakalah urgensi
kearifan lokal yang ada didalam menjaga keutuhan NKRI.
3. Coba cari di beberapa referensi apa yang
menjadi karakteristik kearifan lokal, dan dibuat menjadi satu bahasan
tersendiri.
4. Apa manfaat adanya kearifan lokal yang
ada dalam bidang.
5. Masukan dan pertanyaan dari teman-teman
dijadikan acuan dalam perbaikan makalah.
[1]Ariani
Christriyani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal , Teraju, Jakarta; 2003, hlm. 40.
[3]Suyanto, Pandangan
Hidup Jawa, Dahana Prize, Semarang; 1990, hlm. 90
[4]Erwin
Arsadani MS, Simuh Sufisme Jawa,
Bentang Budaya, Yogyakarta; 1996, hlm. 110
[8]Titi
Munfangati, Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi Masyarakat
Pendukungnya, Patra-Widya. Vol. 3. No. 1, Maret 2002, hlm. 220.
[10]JWM
Baker, Agama Asli Indonesia, Bentangan Budaya, Yogyakarta; tt, hlm. 217-224
[11]Muhammad Yusuf, BahayaPendangkalan
Akidah. Al Hidayah. Jakarta; 1980, hlm 156-157
[13]
Budiono Kusumo Hamodjo, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo,
Jakarta; 2000 hlm 54-69
[14]http://ihdaihda.wordpress.com/2015/05/23
[15]http://edwinorja.wordpress.com/24/05/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar