BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masuknya Islam di Indonesia ini, terjadi sebelum
bangsa Barat mencari rempah-rempah ke Indonesia. Perkembangan Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, dari singgahnyapedagang-pedagang
Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, adanya komunitasIslam dari berbagai
daerah kepulauan Indonesia, sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia.
Sebelum datangnya bangsa Barat, kondisi dan situasi
politik kerajaan Islam di Indonesia berbeda-beda. Ada yang mengalami perluasan
daerah, ada pula kekuasaan yang mengalami kegoncangan. Di samping itu setelah
datangnya Belanda ke Indonesia, situasi dan kondisi kerajaan-kerajaannya juga
berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses
Islamisasi.
Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sangat
berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam serta pembentukan peradaban di
Nusantara. Pada makalah ini akan dipaparkan peran kerajaan Islam di nusantara
pada masa kemerdekaan dan pra kemerdekaan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis menarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses masuk dan berkembangnya
Islam di Indonesia?
2. Bagaimana keadaan kerajaan Islam ketika
datangnya bangsa Barat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
Perkembangan
Islam di Indonesia dimulai sejak kedatangan para pedagang Islam dari Gujarat,
India. Pada saat itu, di India agama Islam yang dibawa oleh pedagang di persia
sudah berkembang.Menurut para ahli sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia
sebagai berikut:
1.
Pada
sekitar abad ke tujuh agama Islam telah masuk ke Indonesia. Pada saat itu telah
banyak pedagang Arab, Persia, dan Gujarat India yang beragama Islam singgah di
kerajaan Sriwijaya. Selain berdagang, pedagang itu juga menyebarkan agama
Isslam dan kebudayaan Isslam kepada penduduk ddi tempat-tempat yang mereka
singgahi. Pada saat pemerintahan Majapahit, yatu sejak abad ke-12 para pedagang
Islam itu pun sering singgah meskipun Majapahit terkenal sebagai kerajaan yang
mayoritass penduduknya memeluk agama Hindu. Agama Islam menyebar dari pelabuhan
pesisir pantai tempat transaksiperdagangan hinggake pedalaman. Penganutnya pun
tidak hanya pedagang, tetapi juga para bangsawan kerajaan, danrakyat biyasa.
2.
Di
daerah pantai utara Leran, di Jawa Timur ditemukan makam batu nisan bertuliskan
nama Siti Fatimah binti Maimun. Selain menenjukkan nama yanga beragama Islam,
batu nisan itu bertuliskan tahun 475 H atau1082 M.
3.
Pada
tahun 1292 seorang saudagar ari Venesia, Italia bernama Marcopolo singgah di
pesisir pantai Pulau Sumatrabagian utara. Marcopolo merupakan orang Eropa
pertama yang singgah di Indonesia. Menurut catatannya ddipesisir pantai Sumatra
bagian Utara sudah terdapat kerajaan Islam yang penduduknya sudah memeluk agama
Islam. Kerajaan tersebut dikenal dengan kerajaan samudra pasai.
4.
Ditemukannya
makan sultan pertamaa kerajaan samudra pasaiyang bernama sultan Malik al Saleh. Pada tulisan batu
nisan itu terdapat tuliskan arab yang bertuliskan bahwa beliau wafat tahun
1297. Bukti ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk dan menyebar di pulau
Sumatra khususnya di pesisirbagian utara.
5.
Di
gresik, Jawa timur ditemukan makam salah seorang wali songo, bernama Sultan
Maulana malik Ibrahim. Diperkirakan beliau wafat tahun 1419.[1]
Di Indonesia pedagang-pedagang,
mubalig-munalig, orang-orang yang dianggap wali dan keramat, ahli-ahli tasawuf,
guru-guru agama, dan haji-haji adalah orang pembawa dan penyebar Islam. Disamping pembawa dan penyebar Islam,
yang penting kita ketahui adalah saluran-saluran yang mereka gunakan dan
bagaimana islamisasi yang mereka lakukan.
1.
Perdagangan
Saluran islamisasi yang pernah berkembang di indonesia adalah
perdagangan. Hal itu sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7
hingga abad ke-16. Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi sangat
menguntungkan karenabagi kaum muslim
tidak ada pemisahan antara kegiatan brdagang dengan kewajiban menyampaikan
ajaran Islam pada pihak-pihak lain. Selain itu, pola perdagangan sebelum dan ketikaislam datang sangat
menguntungkan karena golongan raja dan bangsawanumumnya turut serta dalam
perdagangan bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Secara umum islamisasi yang dilakukan para pedagang dengan datang
di pusat-pusat perdagangan. Kemudian ada yang tinggal baik sementara waktu
maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi
perkampungan yang disebut Pekojan.[2]
2.
Pernikahan
Pernikahan antara saudagar dengan perempuan pribumi juga merupakan
bagian yang erat berjalin dengan islamisasi. Dalam babad sering kita dapatkan
cerita semacam itu. Pernikahan merupakan salah satu saluran Islamisasi yang
paling mudah karrena ikatan pernikahan itu sendiri sudah merupakan ikatan lahir
batin, tempat mencari kedamaian di antara individu yang terlibat. Dari hasil
pernikahan ini membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat, berarti
menbentuk inti masyarakat muslim. Kemudian dari perkawinan membentuk pertalian
kekerabatan yang lebih besar antara keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak
perempuan.
Saluran pernikahan akan lebih menguntungkan apabila terjadi antara
saudagar, ulama, atau golongan lain, dengan anak bengsawan atau anak raja atau
adipati.lebih menguntungkan karena status sosial-ekonomi, terutama politik
raja-raja, adipati-adipati, dan bangsawan-bangsawan waktu itu yang turut mempercepat
Islamisasi. [3]
3.
Tasawuf
Selain melalui perdagangan dan pernikahan, tasawuf juga merupakan
salah satu saluran penting dalam islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang
berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa indonesia yang meninggalkan
bukti-bukti yang jelas pada tulisan-tulisan antara abad ke-13 sampai abad
ke-18. Hal itu bertalian langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia,
memegang peran suatu bagian yang penting dalam organisasi masyarakat kota-kota
pelabuhan.
Bentuk ajaran Islam yang diperkenalkan di Indonesia menunjukkan
persamaan dengan alam pikiran
orang-orang jawa-hindu. Persamaan tersebut bukan hanya dalam alam pikiran pada
umumnya, melainkan juga dalam pada gambaran ciri-ciri yang dianggap mutlak.
Kesimpulannya, pada mulanya agama Islam disajikan kepada bangsa indonesiadalam
bentuk yang menu njukan persamaan dengan agama Ciwa dan Budhamahayana, sehingga
mudah dimengerti sehingga orang jawa mudah menerima agama baru itu.
4.
Pondok
pesantren
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidik, baik dalam pesantren,
maupun podokyang diselenggarakan oleh guru-guruagama, kiai-kiai, atau
ulama-ulama. Pesantren maupun pondok merupakan lmbaga yang penting dalam
pemyebaran agama Islam. Pembinaan calon-calon kiai dan ulama dilakukan di
pesantren. Setelah keluar dari pesantren mereka kembali ke tiap-tiap kampung
atau desanya.di tempat-tempat asal, mereka akan menjadi tokoh keagamaan,
menjadi kiai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan demikian,
pesantren-pesantren beserta kiai
berperan penting dalam proses pendidikan masyarakat.
5.
Kesenian
Adat istiadat yang telah ada di Indonesia tidak dirusak, tetapi
diperkaya oleh agama Islam. Misalnya palaksanaan upacara kematian dilakukan denagan
cara Islam, yaitu dengan pembecaan do’a-do’a. Seni bangunan yang telah ada juga
dihilangkan dan dialih fungsikan. Agama Islam juga disebarkan melalui seni
budaya wayang, gemelan, dolanan
anak-anak dan sebagainya.[4]
B.
Kondisi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda Datang
Keadaan
kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan
awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan
kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Di Sumatra, penduduk sudah
Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasinya
baru berlangsung.
Di
sumatra, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik di kawasan
Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga, yaitu Aceh, Portugis, dan Johor.
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan. Ketika itu, Aceh memang
sedang berada pada masa kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda wafat.
Kemudian, ia digantikan Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu
mempertahankan kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia meninggal dunia, Aceh
mulai mengalami kemunduran.
Di
Jawa, pusat kerajaan Islam berpindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari
Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerinyahan itu
membawa pengaruh besar yang menentukan sejarah Islam di Jawa. Pada tahun 1619,
seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan Mataram, yang ketika
itu di bawah Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah,
kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Di
Sulawesi, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis,
yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa
Tenggara, dan Kepulauan Indonesia bagian barat. Tetapi ada faktor historis yang
mempercepat perkembangan itu.[5]
Sementara
itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pengkal atau ujung rempah-rempah
menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik
monopolinya. Ternate dan Tidore dapat dan terus berhasil mengelakkan dominasi
total dari Portugis dan Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang
datang kesana. Kerajaan Islam di wilayah ini didukung oleh kerajaan Gowa-Tallo
yang menjalin hubungan baik dengan Ternate dan Giri di Gresik.[6]
C.
Penetrasi Politik Belanda
Tujuan
Belanda datang ke Indonesia untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu
mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan
Amsterdammengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595,
terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis dan Houtman. Menyusul
angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan
van Nede, van Heemskerck, dan van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga
datang berbagai kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat
tahun 1599 di bawah pimpinan van der Hagen dan angkatan keempat tahun 1600 di
bawah pimpinan van Neck.
Pada
bulan Maret 1602, perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten-General
Republik dengan suatu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan
untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Taanjung
Harapan an kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu
bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).[7]
Pada
tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo
kerugian sebesar 137,4 juta Golden. Setelah bubar, secara resmi Indonesia
pindah ke tangan Belanda dan diintrupsi oleh Inggris selama beberapa tahun.
Pemerintahan Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk menaggulangi kemrosotan
ekonomi akibat kebangkrutan perang dengan menjalankan sistem tanam paksa dan
politik liberal di Indonesia.
Penetrasi
Belanda dalam dunia politik justru sering diundang oleh konflik internal suatu
kerajaan atau konflik antarkerajaan Indonesia. Di Sulawesi terdapat konflik
dalam negeri antara Gowa-Tallo dengan Bone sehingga VOC mampu memonopoli di
Makassar maupun di Indonesia bagian Timur. Selanjutnya penetrasi politik
Belanda terjadi di Banjarmasin yang pada akhirnya secara de fakto, Belanda sudah
menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di
Sumatera, kerajaan-kerajaan Islam dengan cepat dikuasai Belanda, kecuali Aceh.
Sebelum datangnya Belanda dan Inggris di Aceh, struktur sosial dan sistem
kehidupannya sudah ratusan tahun berpegang erat pada adatdan kebudayaan dengan
latar belakang Islam. Namun datangnya Belanda di Aceh sudah jelas ingin
menaklukan Aceh dan menundukkannya di bawah kedaulatan Aceh. Memang pada saat
itu Belanda dan Inggris diakui kemerdekaanya oleh Inggris dan Belanda, tetapi
agama Islam dan kerjaannya pun mengalami kemunduran.
Di
Jawa, terjadi perpidahan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang lalu ke
Mataram. Pada abad ke-16 Jawa Timur dikuasai Sultan Agung, namun terjadi kontak
senjata antara kerajaan Mataram dengan VOC dimulai.
Di
Maakassar, terjadi perlawanan terhadap VOC yang berlanjut sampai tahun 1656 dan
diakhiri sementara waktu dengan penandatanganan perjanjian Bongaya pada tanggal
18 November 1667 M. Perjanjian ini mengakhiri posisi domain Makasar dalam
pegangan dan politik Indonesia Timur.dan pada abad ke-16 pelabuhan Makasar
berkembang pesat dengan berbagai faktor.[8]
D.
Peranan Kerajaan-Kerajaan Islam dalam Peralawanan terhadap
Penjajahan Belanda
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, penetrasi Belanda mengakibatkan
terjadinya perubahan ekonomi dan kehidupan keagamaan. Kedua proses ini
menimbulkan apa yang disebut seorang ahli belanda sebgai “Revolusi Intelektual”
yaitu pergerakan paderi, dalam sejarah eksploitasi ekonomi. Tercatat sebgai cultur stelsel dan “Politik Ekonomi
Liberal” dalam sejarah ekspansi dan konsolidasi kekuasaan Belanda perang-perang
yang paling mahal dan paling banyak menelan korban terdapat pada peristiwa
perang Jawa atau babad Diponegoro, perang Paderi, dan Perang Aceh yang mana
ketiga peristiwa tersebut meskipun sifatnya berbeda, tetapi dalam melakukan
perlawanan terhadap Belanda menggunakan bendera Islam.
1.
Kerajaan
Mataram dalam Babad (1825-1830M)
Pembelahan
kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan yaitu kerajaan Mataram di Surakarta dan
Mataram di Yogyakarta, yang mana merupakan dampak suatu krisis dalam kesadaran
kultural Jawa, dimana tidak berdayanya Mataram sebagai kekuatan politik dan
militer, bahkan pihak keraton pun harus memperhatikan akan desakan residen
Belanda. Dengan jatuhnya kekuasaan politik kerajaan-kerajaan ke tangan pemerintah
penjajah, membawa dampak yang luas. Dengan kondisi semacam inilah yang
mengakibatkan dijatuhkannya ulama di kehidupan keraton. Sedangkan akibat lain yang
menyebabkan dampak dari jatuhnya politik keraton ke tangan kolonial Belanda
terhadap rakyat adalah eksploitasi hasil bumi untuk kepentingan pemerintah
kolonial yang semakin merajalela, penggusuran tanah milik rakyat, sedangkan
pihak pemerintah birokat tradisional yang membantu nasib rakyat akan tetapi
mereka memihak pada kolonial Belanda karena mereka mendapatkan upah dari pihak
Belanda.
Pada tahun 1814
M Sultan Hamengku Buwana III meninggal dunia, sehingga terjadi pergantian
kekuasaan dua kali berturut-turut dengan sultan yang masih muda memberikan
kesempatan politik Danureja IV untuk menjalankan pemerintahan kesultanan
Yogyakarta. Sejak makin berkuasanya Patih Danureja IV untuk menjalankan
pemerintahan kesultanan Yogyakarta yang bersahabat erat dengan Belanda, maka
kebiasaan Barat yang bertentangan dengan Islam dan kebudayaan jawa masuk ke
dalam keraton.
Pada tanggal 20
Juli 1825 M meletuslah perang diponegoro di Tegalrejo. Dan Pangeran Dipon egoro
memproklamasikan perang terbuka melawan Belanda dan Patih Danurejo IV. Pada
peperangan ini Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya berhasil lolos dari
kepungan Belanda dan Patih Danurejo IV yang kemudian menuju ke Bukit Selarong
dan di sinilah Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi peperangan.
Untuk
menghadapi Pangeran Diponegoro, Belana harus menguras habis hartanya untuk
mendanai peperangan melawan Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Jendral De
Kock merencanakan tindakan licik dengan alasan perundingan damai pada tanggal
25 Maret 1830M. Akan tetapi Pangeran Diponegoro dan delegasinya, menetapi
janjinya pada tanggal 25 Maret 1830M. Dalam perundingan tersebut Pangeran
Diponegoro mengungkapkan agar diberi “kebebasan untuk mendirikan negara sendiri
yang merdeka bersendikan agama Islam”. Pada perundingan ini pihak Belanda
merasa gagal, maka Pangeran Diponegoro beserta delegasinya ditangkap dan
diasingkan ke Betawi, kemudian dipindah ke Manado, kemudian dipindah ke Unjung
Pandang, dan yang terakhir beliau diasingkan di Makasar, dipengasingan
terakhirnya inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1885M.
2.
Kerajaan
Pagaruyung dalam Perang paderi (1821-1837)
Pagar Ruyung
merupakan pusat kekuasaan Minangkabau yang mana kekuasaannya dipegang oleh
penghulu adat, sedangkan raja hanya dijadikan sebagai simbol saja. Di akhir
abad ke-18 situasi dalam masyarakat Minangkabau mengalami pendikotamian antara
lain adanya kebiasaan-kebiasaan yang menjadi adat, seperti perjudian, sabung
ayam, minum-minuman keras dan madat.
Kebiasaan seperti ini justru mendapat dukungan dari golongn bangsawan,
penghulu, maupun dari sang raja. Dengan demikian, adat-adat Minangkabau sudah
banyak meninggalkan nilai-nilai syara’, sehingga menjadikan suatu keprihatian
para ulama. Tuanku Koto Tuo seorang ulma yang sangat dihormati, ia mulai
meletakkan dasar pemurnian Islam dan mengajak masyarakat kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah ketika melihat kondisi adat kebiasaan masyarakat
Minangkabau. Akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Tuanku Koto Tuo, tidak
bisa diterima oleh murid-muridnya yang lebih radikal terutama oleh Tuanku Nan
Ranceh, yang mana ia adalah seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak
murid juga di daerah Luhah Agam. Perpecahan antara guru dan murid inilah yang
sesungguhnya awal dari “Gerakan Paderi”. Karena dari pihak murid radikal
menginginkan dalam pertentangan suatu kemaksiatan harus dijalankan dengan
kekerasan, sedangkan dari pihak guru tidak menginginkan kekerasan dalam
menjalankan suatu pemurnian ajaran islam.[9]
Di daerah Luhah
Agam Tuanku Nan Ranceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Kubu Ambelan dan
Tuanku Kubu Sanang mengadakan persatuan dan kebulatan tekad untuk menegaskan
syara’ dan membasmi kemaksiatan. Sedangkan kaum Paderi ini dipimpin oleh Tuanku Men Siangan putera dari guru
Tuanku Koto Tuo. Pada mulanya gerakan Paderi ini dilakukan dengan nasehat
melalui ceramah-ceramah agama di masjid-masjid. Tapi setelah timbul konflik
yang dikarenakan kaum penentang dari kaum adat mengadakan pesta menyabung ayam
di kampung Batu Batubah, sehingga mengundang kemarahan kaum Paderi dan
peristiwa inilah yang menandai dimulainya perang Paderi melawan kaum adat
dengan seragam yang khas, yaitu kaum Paderi berpakaian putih-putih sedangkan
kaum adat berpakaian hitam-hitam.
Peperangan
dihadapi oleh kaum Paderi dengan semangat berkobar yang mana asalnya perang
saudara yang diintervensi pihak asing sekarang telah sepenuhnya berubah menjadi
“Perang Demi Kemerdekaan” dikarenakan dari pihak kaum adat sudah mulai sadar
dan kembali bergabung dengan kaum Paderi, selain itu kaum adat juga merasa
diperbudak dan ditindas dengan perintah paksa sehingga bergabunglah kaum adat
dengan kaum Paderi untuk sama-sama melawan Belanda. Dalam peperangan inipun
beberapa kali diadakan perjanjian damai antara kaum Paderi dengan kaum Belanda
yang mana perjanjian tersebut hanyalah untuk memperpanjang waktu konsilidasi
bagi Belanda. Akan tetapi perjanjian damai tersebut sering kali diingkari
Belanda sehingga kaum Paderi mulai tidak percaya lagi kepada Belanda dan
melakukan peperangan-peperangan terhadap Belanda dengan gerilya dan semangat
patriotismenya. Sehingga Belanda merasa kewalahan dan mengadakan perjanjian
damai kembali pada tanggal 15 September 1825 M. yang mana perjanjian ini
bertujuan untuk mengkonsentrasikan kekuatan Belanda dari segi material maupun
moral di Jawa untuk menghadapi Pangeran Diponegoro. Akan tetapi, setelah
peperangan Diponegoro selesai, perjanjian tersebut dikhianati kembali, sehingga
membuat kaum Paderi marah karena dikhianati oleh Belanda untuk melakukan
peperangan kembali secara besar-besaran sehingga pada tanggal 25 oktober 1833
M, Belanda mengumumkan damai yang dikenal dengan “Plakat Panjang” karena dalam
peperangan ini Belanda mengalami kerugian yang amat besar.
3.
Kerajaan
Aceh dalam Perang Aceh (1873-1904M)
Peperangan Aceh
timbul akibat adanya perundingan Belanda dan Inggris pada tanggal 2 November
1871 M. yang dikenal dengan sebutan “Traktat Sumatera” yang salah satu pasalnya
berisikan bahwa Belanda di berikan kebebasan untuk memperluas kekuasaannya di
seluruh Sumatera, yang berarti bebas melanggar kedaulatan Aceh. Dengan begitu,
Aceh semula terlindung dari campur tangan Belanda kini berkat adanya Perjanjian
London 1824 M yang mana kini mulai terancam. Kontak senjata antara Aceh dengan
Belanda terjadi dipesisir sebelah barat daya kota pantai ceruin. Dan pada
tanggal 5 april 1873 M. Belanda mendaratkan pasukannya ke Aceh untuk menyerang
keraton dan Masjid raya yang dijadikan tempat kekuatan rakyat Aceh. Akan tetapi
dalam penguasaan Belanda, masjid serta keraton Aceh dan para rakyat aceh serta
sultan Aceh sudah meninggalkan tempat dan mengungsi.Tidak lama kemudian pada
tahun 1874 M, Sultan Aceh meninggal dunia akibat penyakit kolena. Belanda
berusaha mengadakan perundingan tetapi tidak di tanggapi oleh rakyat aceh.
Gerakan perlawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti Sultan belum
ditunjuk dan keraton sudah di duduki keraton. Kemudian pada tahun 1884 M
dinobatkanlah Sultan baru Acehdari putra Muhammad Daud.
Dari
peperangan-peperangan yang sudah berlangsung di aceh, semakin banyak pula para
pejuang yang menyerah pada Belandaseperti Teuku Muda Baid, Syah Bandar Panglima
Tibang, Teuku di Glajal dan kadi Panglima Polim. Akan tetapi, dengan banyaknya
para pejuang yang menyerah pada Belanda tidak menggoyahkan semangat para
pejuang lain. Di aceh Barat Teuku Umar dibantu dengan istrnya Cut Nya’ Dien
tetap mengadakan perlawanan dan perlebaran penyerangan. Dalam bertrokan senjata
di dedak Meulaboh guna menyerang pos pertahanan Belanda di Meulaboh Teuku Umar
gugur di ujungpeluru pasukan belanda pada tanggal 11 Febuari 1899 M. Dan
perjuangannya di teruskan oleh istrinya. Pada tanggal 3 Januari 1903 Sultan
Aceh menyerahkan diri karena di ancam akan membuang anak dan istrinya. Meskipun
Sultan tertawan dan panglima Polim menyerah, peperangan terus berlangsung, baik
secara perorangan maupun kelompok, sampai Belanda meninggalkan Indonesia tahun
1942 M.[10]
E.
Peranan Kerajaan-Kerajaan Islam dalam Membentuk Peradaban islam di
Indonesia
Hubungan antarkerajan Islam lebih banyak terletak dalam bidang
budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh uang dikenal sebagai Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan
dan pengajaran Islam. Dari sini Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui
karya-karya ulama dan muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian juga dengan
Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.
Karya-karya sastra dan keagamaan dengan cepat berkembang di kerajaan-kerajaan
Islam. Kerajaan-kerajaan islam telah merintis terwujudnya idiom kultural yang
sama, yaitu Islam. Dalam pembentukan budaya, setiap kerajaan menggunakan pola
yang berbeda.[11]
Peradaban Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan, dapat dilihat dalam
birokasi keagamaan, dan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan serta bengunan
arsitek.
1.
Birokasi
keagamaan
Karena
penyebaran Islam di Indonesia pertama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan
komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera,
Jawa, dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di
daerah pesisir. Demikian juga dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak,
Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana kemudian, islam menyebar ke
daerah-daerah seekitar. Begitu pila yang terjadi di Sulawesi dan Kalimantan.
Menjelang akhir abad ke-17, pengaruh Islam sudah hampir merata di berbagai
wilayah penting di Nusantara.
Di samping
merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan
tempat berkumpul para ulama dan mubalig Islam. Ibn Batuthah menceritakan,
sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zair, dikelilingi oleh ulama
dan mubalig Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai
masalah-masalah keagamaan.
Raja-raja Aceh
mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat di bidang keagamaan. Sultan
Iskandar Muda mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi mufti
kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani mengangkat Syaikh Nuruddin Al-Raniri
menjadi mufti kerajaan .
Kedudukan ulama
sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaanjuga terdapat di
kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Di Demak, penasihat Raden Fatah, raja pertama
Demak, adalah para wali, terutama Sunan Ampeldan Sunan Kalijaga. Sunan Gunung
Jati bahkan disamping berperan sebagai guru agama dan mubalig, juga berperan
sebagai kepala pemerintah. Di Ternate, Sultan dibantu oleh sebuah badan
penasihat atau lembaga adat. Peda umumnya, badan ini beranggotakan sekelompok
ulama, yang selain menjadi penasihat badan peradilan, juga memberi nasihat
kepada raja kalau ia melanggar peraturan.
Di samping
sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan
yang tingkat dan namanya berbeda-beda, antara satu daerah dengan daerah
lainnya, pada umumnya disebut qadhi,meski dengan dialek yang berbeda.
Tetapi, penerapan hukum Islam di suatu kerajaan lebih jelas dibanding dengan
kerajaan lain. Yang terkuat di antaranya adalah Aceh dan Banten.
2.
Ulama
dan ilmu-ilmu keagamaan
Penyebaran dan
pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para
ulam. Palingtidak, ada dua cara yang dilakukannya. Pertama, membentuk
kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang
lebih luas. Cara ini dilakukan didalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
dikenal dengan pesantren di Jawa, dayah di Aceh, dan surau
di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca
diberbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut mencerminkan perkembangan
pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu. Pada abad ke-16
dan 17, banyak sekali bermunculam tulisan-tulisan para cendekiawan Islam di
Indonesia. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan, abad-abad itu menyaksikan
suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika, dan teologi
rasional yang tidak terdapat tolok bandingnya dimana-mana ddi zaman apa pun
di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu
juga diketahui bahwa, ketika tradisi pemikiran Islam mulai terbentuk di
kepulauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran itu telah
mapan. Bahkan di sana dikenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran
dalam bidang agama.
Ilmuan Muslim
terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi termuka
yang bersal dari Fansur (Barus) Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul
Asrarul-Arifin fi Bayan ila Suluk wa al-Tauhid, suatu uaraian singkat
tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut ilmu teologi Islam.pemikiran
tasawufnya dipengaruhinoleh paham wahdatul al-wujudIbn ‘Arabi dan juga
pemikiran tasawuf Al-Hallaj.
Ulama Aceh
lainnya yang banyak menilis buku adalah Nuruddin Al-Raniri. Menurut catatan
Ahmad Daudi, karyanya yang sudah diketahui pasti berjumlah 29 buah. Karya-karya
Al-Raini mencerminkan pemikirannya yang tidak sejalan dengan pemikiran Hamzah
Fanzuri yang menganut paham wujudiyah.Penulis lainnya yang juga berasal
darikerajaan Aceh adalah Abdurrauf Singkel yang mendalami ilmu Islam di Mekkah
dan Madinah.
Kitab-kitab
Suluk di Jawa, sebagaimana karya-karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersifat mistik
(tasawuf) Islam. Paham sufisme di Jawa diserap dari kesusastraan Melayu
karya-karya Hamzah Fansuri,Syamsuddin Al-Sumatrani. Selain itu, paham wujudiyah
tersebar di Jawa melalui penyebaran
tarekat Syattariah. Meskipun begitu, sebenarnya di Jawa sudah muncul
karya mistik yang hampir sama, terbukti dangan ditemukannya karya Sunan Bonang,
Suluk Wujil. Di Sulawesi, pemikiran tasawuf yang sama juga berkembang,
terutama melalui Syaikh Yusuf Makassar yang lam belajar di Timur Tengah.
Menurut Tujimah, karya-karyanya yang kebanyakan dibidang tasawuf itu sekarang
masih berupa naskah yang belum diterbitkan.
Pada abad ke-19
M, pemikiran tasawuf mulai bergeser kepemikiran fiqh seperti tergambar dalam
karya-karya ulama pada masa itu.
Diantara ulama-ulama yang produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari yang menulis kitab Sabibul Muhtadin, Syaikh Nawawi Banten
munulis buku yang terkenal di antaranya adalah al-Tasfsir Al-Muniri dan
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dengan karyanya Izharul Zaghlil Kadzibin fi
Tasyabbuhihim bis Shadiqin
3.
Arsitek
bangunan
Tugas raja
khususnya dalam kerajaan Islam bukan hanya menyebarkan agama Islam, melainkan
menciptakan keserasian. Oleh karena itu, kalau di Aceh, Sultan membangun
masjid, di Jawa masjid Demak dibangunoleh Walisongo.
Karena
perbedaan latar belakang budaya, arsitektur bangunan Islam di Indonesia berbeda
dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Hasil-hasil seni bengunan pada
zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain masjid-masjid
kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten,
Baiturrahman di Aceh. Masjid-masjid itu menunjukkan keistemewaan dalam denahnya
yang berbentuk persegi empat ataubujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi
serta pejal, atapnya bertumpang dua, tiga, lima atau lebih, dikelilingi parit
ayau kolam air di bagian depan atau sampingnya yang berserambi. Bagan-bagan
lain, seperti mihrab dengan lengkungan pola kalamakara, mimbar yang
mengingatkan akan ukiran-ukiran pola teratati, mastaka atau memolo,
menunjukkan seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum
kedatangan Islam.[12]
F.
Peran Kerajaan Islam pada Masa Kemerdekaan dan Pra-Kemerdekaan
Masa Pra - Kemerdekaan
|
Masa Kemerdekaan
|
Melawan Penjajah (memperjuangkan kemerdekaan)
|
Memudahkan transaksi perdagangan dengan para pedagang dari
kawasan Timur Tengah
|
Mengenalkan
ajaran Islam kepada penduduk di kerajaan tersebut
|
Menciptakan tata kehidupan baru yang lebih sesuai dengan apa yang
ada pada zaman sekarang
|
Sebagai pusat pengajaran, diskusi persoalan-persoalan agama
|
Mengubah budaya upeti yang banyak digunakan di zaman kerajaan
sebelumnya.
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keadaan
kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan
awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan
kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya.
Pada
tahun 1602 terbentuk VOC, yang mana ini awal mulainya penetrasi politik
Belanda. Meslipun sempat dibubarkan, Belanda kembali melakukan sistem tanam
paksa dan politik liberal. Penetrasi politik yang di lakukan oleh Belanda
sering diundang adanya konflik internal kerajaan Islam. Kedatangan Belanda ini
mendapatkan perlawanan dari beberapa kerajaan tertentu. Perang terbesar yang
tercatat diantaranya, yaitu perang paderi, perang diponegoro dan perang aceh.
Selain
berperan dalam pemberantasan penjajahan, kerajaan-kerajaan Islam juga berperan
dalam penyeberan agama Islam yang dilakukan dengan pola-pola tertentu.
Pembentukan birokasi keagaamaan, puasat pengajaran agama, penyebaran ajaran
Islam melalui karya-karya ulama dilakukan oleh pihak kerajaan untuk menciptakan
keserasian dan penyebaran agama Islam.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah ini yang dapat kami sajikan mengenai “Peran Kerajaan Islam di Nusantara
pada Masa Kemerdekaan dan pra-Kemerdekaan”. Semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Makalah ini telah kami buat semaksimal mungkin, namun kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran
dan kritik yang membangun sebagai masukan serta perbaikan pada tulisan-tulisan
berikutnya.
[1] M. Junaedi Al anshori , Sejarah
Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaa, Jakarta,
PT Mitra Aksara:2010, hlm.46-47
[2]Marwati Djoened Poesponugroho, Sejarah Nasional III, Balai
Pustaka, Jakarta: 2008, hlm. 169
[5]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada, Jakarta:2004,
hlm. 231-234
[6]Ali Sodiqin,
dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Lesfi,
Yogyakarta: 2012, hlm. 330
[7]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada, Jakarta:2004,
hlm. 134-135
[8]Fatah Syukur,
Sejarah Peradaban Islam, PT Pustaka Rizqi Pustra, Semarang:2012, hlm.
215-218
[9]Majelis Ulama
Indonesia, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta:1991, hal. 156
[11]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo Persada, Jakarta:2004,
hal. 224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar