BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti
Fatimiah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti
Fatimiah didirikan oleh Sa’id bin Husain. Berakhirnya kekuasaan Dinasti
Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi
wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan
diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil
yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti
Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk.
Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah,
Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada
pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti
Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi
sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini berakhir
setelah Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti
Fatimiah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki
andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Fatimiah?
2. Ekspansi
ke wilayah mana saja yang dilakukan Dinasti Fatimiah?
3. Bagaimana
perkembangan ideologi keagamaan pada masa Dinasti Fatimiah?
4. Bagaimana
kemajuan Dinasti Fatimiah?
5. Bagaimana
kemunduran Dinasti Fatimiah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiah
Pada tahun 850 Afrika Utara meliputi wilayah
Ifriqiyah (Tunisia) dan sebagian pulau Sisiliah yang merupakan bagian Daulah
Abbasiyah masih dikuasai oleh Bani Aglab. Wilayah disebelah baratnya berkuasa
Bani Rustamiyah di Aljazair dan bani Idris di Maroko dan Spanyol masih berada dibawah
kekuasaan Bani Umayah II. Semua dinasti ini berkuasa sampai tahun 909. Namun
sesudah tahun 909 muncul sebuah dinamika baru, terbentuknya sebuah Dinasti
Fatimiah di Tunusia (909 M- 1171 M).
Wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Fatimiah dilatarbelakangi oleh
melemahnya Dinasti Abbassiyah. Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan Dinasti Fatimiah
yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada
masa kepemimpinan Al-Aziz. Dinasti Fatimiah berakhir setelah Al-Adid, khalifah
terakhir Dinasti Fatimiah, jatuh sakit. Dinati ini mengklaim sebagai keturunan
garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimiah binti Rasulullah.
Menurut mereka, Abdullah Al-Mahdi sebagai pendiri Dinasti ini merupakan cucu
Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang
ketujuh.
Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah
terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Khazim sebagai
imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai
Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua
ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya
secara jelas, sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah
Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang
mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan
Fatimiah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah
muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar
belakang berdirinya Dinasti Fatimiah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M,
ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-Husain
sebagai pemimipin Syi’ah Ismailiyah. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat
propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar,
khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini.
Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad, berusaha
menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya
dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika
Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yakni Sa’id
bin Husain As-salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk
menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah.
Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya
sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil
menduduki menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun
909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yakni
Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar
“Ubaidullah Al-Mahdi”. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan Dinasti
Fatimiah di Afrika Utara dengan Al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.[1]
Adapun para penguasa Dinasti Fatimiah secara
keseluruhan ada empat belas khalifah, akan tetapi yang berperan hanya delapan
orang khalifah yaitu sebagai berikut:
1.
Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi (297-322 H/ 909-934 H)
Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propa
gandanya yakni Abu abdullah Al-Husein karena terbukti bersekongkol dengan
saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan
khalifah. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya
dari perbatasan Mesir sampai propinsi Fez di Maroko, selanjutnya pada tahun 914
M ia berhasil menduduki Alexandria, Syria, Malta, Sardinia, Cosrisa, pulau
Betrix dan pulau lainnya. Kemudian pada tahun 920 H ia mendirikan kota baru di
pantai Tunisia yang dijadikannya sebagai ibukota Fatimiyah yang diberi nama al-Mahdi.
2.
Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah
(322-323 H/ 934-946 M)
Setelah Al-Mahdi meninggal pemerintahan digantikan putra tertuanya yang
bernama Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im. Ia merupakan khalifah Fatimiah
pertama yang berhasil menguasai lautan tengah. Pada masa pemerintahannya mampu
menaklukkan Genoa dan wilayah Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim
pasukan ke Mesir tetapi gagal karena adanya penjegalan oleh Abu Yazid Makad.
3.
Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah (323-341 H/926-962 M)
Al-Manshur merupakan putra Al-Qa’im, ia adalah pemuda yang sangat
lincah. Al-Manshur berhasil menghancurkan Abu Yazid Makad, meskipun putra Abu
Yazid dan sejumlah pengikut setianya senantiasa menimbulkan keributan, namun
seluruh wilayah di Afrika pada masa ini tunduk kepada ke khalifahan Dinasti
Fatimiah. Al-Manshur membangun sebuah kota yang sangat mewah di wilayah
diperbatasan Susa’ yang diberi nama kota Al-Manshuriyah.
4.
Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah (341-365 H/952-975 M)[2]
Khalifah ke empat ini diberi gelar Mu’izz Lidinillah. Banyak
keberhasilan yang dicapainya. Pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan
peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi
yang sebenarnya. Selanjutnya ia menetapkan langkah yang harus ditempuh demi
tercapainya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara
tuntas, oleh sebab itu dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri mengenyam
kehidupan yang damai dan makmur. Wilayah yang berhasil ditaklukkannya meliputi:
Maroko, Sycilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo lama dan berhasil
menyingkirkan Dinasti Ikhsyidiyah. Ia memperluas kekuasaannya sampai Palestina,
Suriah dan mengambil penjagaan atas tempat suci di Hijaz.
5.
Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah (365-386 H/975-996 M)
Al-Aziz termasuk khalifah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian
pada masanya ditandai dengan kesejahterahan warga baik muslim maupun non
muslim. Dalam pemerintahannya, al-‘Aziz sangat liberal dan memberikan kebebasan
agama untuk berkembang dan terjaganya toleransi beragama. Kemajuan Imperium
Fatimiah mencapai puncaknya pada masa pemerintahan ini.
Luas kekuasaan Imperium membentang dari wilayah Eufrat sampai Atlantik.
Imperium ini mengungguli kebesaran Abbasiyah di Baghdad yang sedang dalam
kemundurannya dibawah kekuasaan Buwaihiyyah. Antara khalifah Al-Aziz dan Amin
Buwaihiyyah, Aziz Ad-daulat, menjalin hubungan persahabatan dengan saling
mengirim duta masing-masing. Pada masa ini banyak kemajuan dalam bidang
pembangunan fisik dan seni arsitektur. Banyak bangunan megah yang didirikan
dikota Kairo seperti The Golden Palace, the pear Pavillion dan masjid Karafa.
Ia berhasil menaklukkan Syria dan Mesopotamia. Ia meninggal pada tahun 996 M dan
bersamaan dengan berakhirnya kejayaan dinasti Fatimiah.
6.
Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah (386-411 H/996-1021 M)
Dia diangkat pada usia 11 tahun. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai
kekejaman; membunuh beberapa wazir, merusak gereja Kristen termasuk makam suci
di Palestina. Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu berkobarnya perang salib.
Ia juga memaksa orang Kristen dan Yahudi untuk memakai jubbah hitam,
mengendarai keledai dan menunjukkan salib bagi orang Kristen, sedangkan orang
yahudi menaiki lembu dengan memakai bel. Kebijakan politik al-Hakim menimbulkan
rasa benci kaum dzimmi dan muslim non syi’ah. Pada masa ini kemunduran dan
keruntuhan dinasti Fatimiah dimulai.
7.
Abu al-Hasan Ali-Zhahir (411-428 H/ 1021-1035 M)
Al-Zhahir naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan
dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal bibinya, Al-Zhahir
menjadi raja boneka ditangan menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat
menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang tidak dapat terjangkau.
Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus menerus.
Peristiwa yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaian
persengketaan keagamaan pada tahun 1025 dimana tokoh-tokoh Madzhab Malikiyah
diusir dari mesir meskipun demikian Al-Zhahir cukup toleran kepada kaum Sunni.
Ia bersedia membuat perjanjian dengan Kaisar Romawi Constantine VIII dengan
memberi ijin untuk membangun kembali gereja Yerussalem yang roboh. Ia berhasil
menarik simpatik kembali kaum dzimmi. Akan tetapi, tak lama kemudian ia jatuh
sakit karena paceklik dan meninggal dunia.
8.
Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir (428-487 H/ 1035-1094 M)
Terjadi pemberontakan di
Palestina dan beberapa di antaranya menyatakan bergabung kembali dengan
Abbasiyah. Pada masa ini Mesir dilanda wabah penyakit dan kemarau panjang. Hal
ini menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Amir Makkah dan Madinah
melepaskan diri dan Maroko menyatakan diri bebas dari kekuasaan Fatimiah
begitupun Yaman. Al-Muntashir merupakan khalifah yang memerintah dalam kurun
waktu yang sangat panjang yakni selama 61 Tahun. Ia meninggal pada tahun 1095
M, Imperium Fatimiah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorangpun khalifah
sesudah Al-Muntanshir mampu mengendalikan kemerosotan Imperium ini.[3]
B. Ekspansi Dinasti Fatimiah
Pada mulanya, Dinasti Fatimiah berdiri di Qairawan,
Maroko pada tahun 909 M. Imam yang pertama, yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang
memimpin dari tahun 909-934 M.[4]
Khalifahan
Ubaidillah sangat menegakkan pemerintahan di istana Aglabiyah, yakni Raqqadah yang
terletak dipinggiran kota Qairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa
yang paling mampu dan berbakat. Dua tahun setelah memegang kekuasaan tertinggi
ia membunuh panglima dainya al-Syi’i. Segera setelah itu, ia memperluas
kekuasannya meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai
perbatasan-perbatasan Mesir.
Pada tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun kemudian ia menundukkan
wilayah Delta. Lalu ia mengirim Gubernur baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan
menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spayol. Malta, Sardinia,
corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya ikut merasakan kekuatan armada yang
ia warisi dari Dinasti Aglabiyah. Pada tahun 915 M,
mereka berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat
kekuasaan. Sekitar tahun 920 M, ia memindahkan pusat pemerintahanya ke ibu kota baru,
al-Mahdiyyah yang didirikan di pesisir Tunisia, sekitar 27,2 kilometer ke arah
tenggara kota Qairawan dan kota ini dinamai dengan nama dirinya sendiri.[5]
Pada tahun 935 M, al-Qaim bi Amrillah Abu al-Qasim
Muhammad, putera sulung Ubaidillah melanjutkan kepemimpinannya di dalam Dinasti
Fatimiah. Ia mengirimkan ekspedisi untuk menguasai Italia, Prancis, Andalusia, Genoa dan
sepanjang pesisir Calabria serta berhasil membawa para budak dan harta rampasan
lainya.
Sebagaimana orang tuanya, ia tidak pernah putus asa untuk mengirimkan pasukan
ke Mesir, kendatipun upaya tersebut selalu berakhir dengan kegagalan.
Kekuasaannya hanya berkutat di Afrika Utara.[6]
Di bawah pemerintah cucu al-Qa’im, Abu Tamim Ma’add al-Muiz (952-975)
pasukan Fatimiah menyerbu pantai Spayol yang khalifahannya pada saat itu adalah
al-Nashir yang agung. Tiga tahun kemudian tentara Fatimiah berhasil menuju
Atlantik. Dari situlah komadan pasukan mengirimkan ikan hidup dalam beberapa
buah buli-buli kepada khalifahannya. Pada tahun 969 M, Mesir telah terbebas
dari penguasa Iksidiyah. Armada pasukan ini diperkuat dengan tambahan sebuah
unit baru yang dibangun di Maqs, sebelum Bulak sebagai pelabuhan Kairo.
Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini adalah
Jawhar al-Shiqilli (orang Sisilia) atau al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia
seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin Sisilia yang dari sana
ia dibawa sebagai seorang budak ke Kairawan. Segera setelah kemenangannya atas
ibu kota Fusthat pada 969, Jahwar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama
al-Qahirah. Kota ini Kairo modern yang menjadi pusat kota Bani Fatimiah sejak
973. Setelah mendirikan ibu kota baru yang sekarang menjadi kota paling ramai
di Afrika. Pada 972 Jawhar mendirikan Mesjid Agung al-Azhar yang kemudian oleh
Khalifah al-Aziz dikembangkan menjadi Universitas besar.
Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi’i yang
daerah kekuasanya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat
adalah warisan dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa
Abbasiyah sebagai perlindungan terhadap kota Suci. Setelah kedudukannya di
Mesir kokoh, Jahwar mulai melirik negara tetangganya Suriah dan mengirim
seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969. Lawan utama
Jahwar adalah sekte Qaramitah, yang pada saat itu berkuasa di Suriah.[7]
C. Ideologi Keagamaan Yang Berkembang Pada Dinasti Fatimiyah
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat
madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan al-Muiz menganut
faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan
mengangkat hakim dari kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan
penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah dan sunni hanya menduduki
jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh
Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke
Syi’ah supaya jabatannya meningkat.
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak
hanya berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut
Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan
hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh
karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut.
Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap
sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan
peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain
dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan
yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama
sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan
keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti
dinyatakan oleh Moh Nurhakim bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti
Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya yang menjulang bagaikan
ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan
Madinah Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena
kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup
disejajarkan dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi.
Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir,
dalam rangka meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada
masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala
Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan
dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang
disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh
Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa.
Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi
keagamaan pada dirinya. Misalnva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah,
adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia
menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka
setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam
yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdisme), yakni, ia
dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan
konflik yang berkepanjangan yang tak terselesaikan. Sebagai akibat dari
doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang
militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang
kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan
di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya,
pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus
maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat,
make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini
juga membawa pengaruh kepada corak kebudayaannya yang religius.[8]
D. Kemajuan Dinasti Fatimiah
Dinasti Fatimiah mencapai puncak
kejayaannya di bawah pemerintahan Abu Manshur Nizar al-‘Aziz yang terkenal
seorang yang pemberani dan bijaksana. Daerah kekuasaannya mencapai seluruh
Syiria dan Mesopotamia. Al-‘Aziz dan penguasa Baghdad Buwaihiyah menjalin
hubungan persahabatan, menjadi saingan berat bagi Dinasti Fatimiah.
Hasil peradaban yang pernah ditorehkan
pada masa dinasti Fatimiah ini antara lain:[9]
a) Bidang
Administrasi
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup
wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut
Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Periode
Dinasti Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah
dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan
kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Khalifah menjabat sebagai kepala negara
baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan
sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian negara terbagi menjadi
dua kelompok; pertama adalah para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena.
Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi
sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian
sebagai berikut: (1) Hakim, (2) pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola
lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah, (3) inspektur pasar yang bertugas
menertibkan pasar dan jalan, (4) pejabat keuangan yang menangani segala urusan
keuangan negara, (5) regu pembantu istana, (6) petugas pembaca Al-Qur’an.
Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas kelompok pegawai negeri,
yaitu petugas penjaga dan juru tulis dalam berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana diatas,
terdapat berbagai jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu
Mesir, Siria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir
terdiri atas empat provinsi, provinsi Mesir bagian atas,
Mesir wilayah timur, Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria, segala
urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa
setempat.
Dalam bidang kemiliteran
terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1) Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi
militer dan pegawai khalifah, (2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Komando-komando
resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti hafiziyyah, Juyushiyyah
dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama khalifah, wazir
dan suku. Pusat-pusat armada laut dibangun di Alexandria,
Damika, Ascaton, dan di beberapa pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai
seorang Admiral tinggi.
b) Bidang
Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah
bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa
ini pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah
Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti
dan Armenia ridak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap
pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada
umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana.
Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh
kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh
orang-orang kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak
yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai
pemerintah.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola
hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan
semacam paviliun di istananya sebagai tempat
memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.[10]
Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia
menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan
pakaian kebesarannya. Istana Khalifah dihuni 30.000 orang, diantara mereka
terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkudadan pengawal
jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit,
dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat
dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun
untuk perempuan.
c) Bidang
Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian pemerintahan Fatimiah dapat dibilang
cukup bagus. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah dikuasai
dan stabilitas politik yang mapan. Hal ini menjadi mungkin karena pemerintahan
Fatimiah menggunakan kekuasaan yang sentralistik. Kondisi ini berdampak majunya
bidang ekonomi, termasuk di dalamnya kemajuan bidang perdagangan dan sektor
industri. Tentu faktor ekonomi ini juga mendorong lamanya eksistensi dinasti
ini bertahan hingga dua setengah abad.
Pada masa kekuasaannya khalifah al-Mu’iz melakukan
usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia melakukan pembangunan saluran
irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian. Ia juga membangun
pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan volume kegiatan
perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan perdagangan dengan
negara-negara lain seperti Eropa dan India juga mengalami peningkatan.
Selain itu penguasa Fatimiah juga berhasil
mengembangkan pelabuhan seperti Iskandariah. Pelabuhan Iskandariah sangat
penting artinya dalam pertumbuhan perekonomian Fatimiah. Karena itu, tingkat
kemakmuran yang dicapai oleh Khilafah Fatimiyah cukup bagus.[11]
d) Bidang
Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Ibnu Khilis merupakan salah
seorang wazir Fatimiah yang sangat mempedulikan pengajaran. Ia mendirikan
sebuah lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa
Ibnu Khilis ini di dalam istana Al-Aziz terdapat terdapat seorang fisikawan
besar bernama Muhammad At-Tamim. Al-Khindi sejarawan dan topografer terbesar
dan hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal
Fathimiyah adalah Qasdi An-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki
jabatan Qadhi dan keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukan Mesir
sampai pada masa pemerintahan Al-Hakim.
Diantara para khalifah Fatimiah
adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk di
antara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan
pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga
pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiah dan besarnya
perhatian para khlifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuwan berpindah ke
Kairo. Istana Al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar
dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali Al-Hasan bin Al-Haitami, seorang fisikawan
muslim terbesar dan juga ahli di bidang optik.
Khalifah Fatimiah mendirikan
sejumlah sekolah dan perguruan tinggi, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga
ilmu pengetahuan. Dar Al-Hikmah (The House Of Wisdom)
merupakan prakarsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada
awalnya lembaga ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan
ajaran Syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim pada
tahun 1005 M.[12] Dar Al
Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di
Bahgdad. Lembaga tersebut didesain sedemikian rupa untuk memberikan konstribusi terhadap
kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan
kedokteran.
Pada masa Al Muntasir mendirikan Perpustakaan Istana
Martabat al Qashr yang menyimpan sekitar 200 ribu koleksi buku yang dihimpun
dari seluruh dunia. Koleksi buku tersebut terdiri atas berbagai cabang ilmu
pengetahuan, mulai dari bahasa Arab, astronomi, kimia, sejarah, dan biografi.
Perpustakaan ini juga mempunyai 2400 naskah Alquran.[13]
Al-Hakim juga besar minatnya dalam
penelitian astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan
lembaga observasi dibukit Al-Makattam. Ilmu astronomi banyak dikembangkan
oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu
Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika,
astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Penelitiannya ini telah
mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di
bidang optik.[14]
e) Bidang
Politik
Keberhasilan pemerintahan Fatimiah yang
dapat menakhlukkan Mesir merupakan kesuksesan yang besar. Maka tidak heran bila
mulai saat itu dapat dikatakan bahwa para penguasa Dinasti Fatimiah berhasil
mewujudkan keinginannya untuk membangun sebuah imperium yang kuat, dengan
dukungan militer yang tangguh, di seputar Laut Tengah. Kekuasaan Fatimiah
selanjutnya cukup luas yang membentang dari Samudera Atlantik di sebelah barat
dan sungai Euphrat di sebelah timur, pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman
di sebelah selatan. Karena itu sesungguhnya secara politis Dinasti Fatimiah
merupakan ancaman tersendiri bagi kekuasaan Abbasiyah.
Ada sejumlah hal penting yang ditempuh
oleh para penguasa awal khilafah Fatimiah ini untuk melancarkan stabilitas
politik, yaitu antara lain al-Mahdi, khalifah
pertama, melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai
penghalang progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga
pernah terjadi. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang
punggung Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari
tindakan al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan.
Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Khilafah Fatimiah. Langkah lain
yang dilakukan juga adalah pengembanag wilayah kekuasaan.
Pengembangan wilayah kekuasaan ini
berkaitan erat dengan kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk
menguasai daerah-daerah strategis, dan upaya antisipasi
terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan posisi Khilafah Fatimiah. Dengan
begitu stabilitas politik Fatimiah tetap terjaga.
Dalam kenyataannya
apa yang dilakukan para penguasa Fatimiah ini dapat berjalan dengan baik,
sehingga hampir seluruh Afrika Utara, terutama wilayah barat, berhasil
dikuasai. Khilafah Fatimiah berhasil menguasai seluruh wilayah bekas kekuasaan
Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, demikian juga menguasai Rustamiah Khariji
di Tabart, demikian juga kekuasaan oraang-orang Syi’ah yang lain, Indrisiah di
Fez juga berhasil dikuasai. Di luar wilayah tersebut juga tercatat bahwa pulau
Sisilia yang sebelumnya dikuasai dinasti Aghlab dapat dikuasai pula.
Pada puncak kejayaan
pemerintahan Fatimiah ini daerah yang dikuasai mencakup seluruh daerah-daerah
Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syria, dan Arabia Barat. Pencapaian tersebut
tidak bisa dilepaskan dai penguasaan awal wilayah Mesir, yang cukup stategis
tampaknya untuk melakukan ekspansi-ekspansi berikutnya.[15]
f) Bidang
Kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan
pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar sekitar tahun 972 M, dalam
masa pemerintahan al Mu’iz. Kemudian menjadi madrasah tingkat tinggi pada tahun
976 M dan sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang
berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan
baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
Dalam pemerintahan
Fatimiyah, terdapat empat perayaan maulud, yakni:
1) Maulid
Nabi Muhammad SAW
2) Maulid
Fatimiyah, putri Nabi
3) Maulid
Ali Ibn Abi Thalib
4) Maulid
Khalifah yang memerintah pada masa tersebut
Dalam masa pemerintahan al Aziz,
khalifah paling bijaksana, ia berhasil membawa Fatimiyah pada puncak kemajuan
mengungguli bani Abbas pada saat itu. Bangunan megah ia dirikan di
Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan masjid Karafa serta
peresmian masjid al Azhar.
g) Bidang
Arsitektur dan Seni
Salah satu bukti bahwa Dinasti Fatimiyah
juga mempunyai prestasi gemilang dalam hal arsitektur dan seni yaitu
didirikannya masjid al-Azhar yang dibangun pada masa al-Mu’iz. Mode dan model
masjid ini dipengaruhi pola pembangunan masjid Ibnu Tulun di Mesir dan juga
terdapat pengaruh pola pembangunan Persia.
Sementara model menara yang pada
akhirnya mengalami rekontruksi dengan gaya menara yang berasal dari Irak Utara.
Kemudian masjid al-Azhar mengalami perkembangan menjadi sebuah Universitas
yaitu pada masa Khalifah al- Aziz, yang sebenarnya dibangunnya al-Azhar adalah
untuk menyebarluaskan doktrin Syi’ah akan tetapi kemudian Salahuddin al-Ayyubi
mengubahnya menjadi pusat studi Sunni bahkan sampai sekarang.
Selain al-Azhar, pada tahun 990 M
dibangun pula masjid al-Hakim yang dimungkinkan selesai pada tahun 1012 M.
kontruksi masjid al-Hakim tidak jauh beda dengan masjid al-Azhar. Kemudian pada
tahun 1125 M dibangun pula masjid al-Aqmar yang mana masjid ini sangat kentara
sekali khas arsitektur Islamnya yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Masjid ini
mempunyai tiang dengan gaya kaligrafi Kufi yang kubus, yang mana model ini juga
mempunyai persamaan dengan masjid al-Shalih ibn Ruzzak.
Kemudian pada tahun 1125 M juga dibangun
masjid al-Aqsa dan pada tahun 1160 M dibangun masjid Salih ibn Ruski dengan
gaya kufi. Guna memperlihatkan kegagahan pemerintahan Dinasti Fatimiyah maka
dibangunlah beberapa pintu gerbang besar yang mana kelak menjadi simbol bahwa
Dinasti ini pernah jaya diantaranya yang masih ada sampai sekarang adalah : bab
Zawilah, bab an-Nashr dan bab al-Futuh. Selain itu, di Mesir juga dibangun
bangunan megah seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan masjid
Karafa. Saat itu pula sudah banyak dikenal seni-seni keramik yang banyak
mengikuti pola dari Iran. Penjilidan buku juga sudah ada saat itu yang kemudain
berkembang sampai pada seni penghiasan sampul buku dan alat stempel.
Di samping
itu terdapat gedung-gedung yang terkenal, seperti gedung emas, gedung pembuat
mata uang, gedung perpustakaan dan lain-lain. Bangunan itu dibuat bukan hanya
sangat megah, tetapi mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi yang tidak
kalah dengan nilai-nilai arsitektur Romawi maupun Bizantium. Perkembangan seni
bukan terbatas kepada bangunan dan gedung, seni ukir keramik atau tembikar juga
sudah dikenal pada saat itu.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa
pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan dan tidak membedakan antara
syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak da’i sunni yang
belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan
orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang
diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran
dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.[16]
Pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan
bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang
tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca
dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan
granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel
dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam
berbagailapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat
dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang
sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid
Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili.[17]
h) Bidang
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok
ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiah adalah ikhwanu
shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok
Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran
yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti
Fatimiyah ini adalah:
1)
Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah
seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik,
Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya kitab Azzayinah yang
terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat
dan aliran-aliran dalam agama.
2)
Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah
seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul
al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus
syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak
dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul
Mujrof.
3)
Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan
salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4)
Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5)
Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6)
Hamiduddin Al-Qirmani.[18]
E. Kemunduran Dinasti Fatimiah
Sebagaimana juga yang terjadi di beberapa kekuasaan
lain, maka demikian juga yang terjadi pada Dinasti Fatimiah. Setelah Dinasti
ini mengalami kemajuan-kemajuan disana sini, kemudian tiba waktu kemundurannya.
Para sejarawan menyimpulkan kemunduran Dinasti Fatimiah ini disebabkan oleh
beberapa faktor sebagai berikut:
a)
Figur Khalifah yang Lemah
Dalam sejarah Dinasti Fatimiah yang pernah
mengalami kejayaaan di atas terdapat beberapa khalifah yang diangga sebagai
figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah diangkat dalam usia yang relatif masih
muda. Ada pula kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana
serta melakukan sikap yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang
menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap Dinasti Fatimiah khususnya kepada
Khalifahnya.
Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam
usia muda, diantaranya adalah Khalifah Al-Hakim yang diangkat dalam usia 11
tahun, usia yang masih belia untuk ukuran seorang pemimpin negara. Demikian
juga Al-Zahir yang menjadi khalifah dalam usia 16 tahun, Al-Muntashir dalam
usia 11 tahun, Al-Musta’li dalam usia 9 tahun, Al-Amir dalam usia 5 tahun,
Al-Zafir dalam usia 16 tahun, Al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan Al-Adhid,
khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun. Pengangkatan khalifah dalam
usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian
khalifah secara garis keturunan. Dan sebagai akibat dari pengangkatan khalifah
di usia muda itu menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan
umumnya didominasi oleh para wazir.
Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang
muncul sikap sewenang-wenang khalifah, seperti yang dilakukan oleh khalifah
al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang.
Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Al-Hakim memang punya
prestasi monumental misalnya membangun perpustakaan besar yang kemudian dinamai
dengan Darul Hikmah pada tahun 1004 M, tetapi ia juga terkenal sebagai khalifah
yang kejam.
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukkan dengan
kebenciannya kepada orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang dan
merendahkan mereka, harta dan nyawa yang dirampas. Al-Hakim memberi tempat
orang-orang asing dan orang-orang yang tidak jelas moralnya untuk mengurusi
masalah-masalah pemerintahan. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan
pemerintahan, menurunnya ketenteraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap
amoral.
b)
Perebutan Kekuasaan ditingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia
muda mengakibatkan peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetitif,
sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi. Ini terutama
terjadi diantara para wazir yang sangat ambisius terhadap jabatan dan mereka
ingin mendapatkan pengaruh di Istana, terlebih lagi dengan melihat kondisi
khalifah yang sangat lemah. Ada juga wazir yang berusaha mengangkat khalifah
padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Hal tersebut bisa dilihat misalnya yang terjadi
pada pengganti khalifah khalifah al-Muntashir, dimana setelah al-Muntashir
meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal yang menjabat
sebagai wazir kala itu mengatur penggantian al-Muntashir, padahal al-Muntashir
telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal justru
menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para pejabat
senior untuk menerima keputusannya itu.[19] Besar kemungkinan
apa yang dilakukan oleh al-Afdal dalam rangka agar ketika anaknya berkuas nanti
akan dapat dikendalikannya.
Apa yang dilakukan wazir al-Afdal yang memaksakan
kehendaknya, menjadikan Nizar yang mestinya mempunyai hak menjadi khalifah lari
ke Iskandaria dan disana ia menyatakan diri sebagai khalifah. Al-Afdal kemudian
dengan membawa pasukan besar bergerak untuk menyerang dan menangkap Nizar.
Akhirnya Nizar menyerah. Walau tadinya dijanjikan keselamatan. Tetapi dia
lenyap tidak diketahui.
Hal ini membawa perpecahan di dalam pergerakan
Ismailiah. Rakyat yang loyal kepada al-Muntashir pecah menjadi dua golongan.
Pertama, di Iran dan sebagian wilayah Syiria, pengikut Madzhab Ismailiah
mendukung anaknya yang paling tua yaitu Nizar dan Kedua, di Mesir, Yaman dan
Sind pengikut Ismailiah berkeyakinan bahwa adik Nizar yang bernama al-Musta’li.
Kedua kelompok Ismailiyah ini, sama-sama mewarisi Dinasti Fatimiah, tetapi
sejarah dan perkembangan mereka berjalan dalam arah yang berlainan. Kenyataan
ini tentu secara politis tidak menguntungkan.
Demikian juga terjadi pertentangan antara para
wazir dan klik-klik militer terjadi pada masa al-Hafid. Yaitu konflik antara
Bahram dan Ridwan yang keduanya pernah menjabat penguasa Armenia yang kemudian
menjadi wazir. Konflik internal ini jelas semakin hari semakin melemakan
kekuasaan khilafah Fatimiah. Demikian juga pada masa al-Adhid juga terjadi
pertentangan yang serupa, terutama perebutan wazir antara Syawar dan Dirgham.
c)
Konflik di Tubuh Militer
Pada saat Al-Aziz menjabat sebagai khalifah
keempat, dia membuat kebijakan untuk merekrut orang-orang Turki dan Negro.
Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang
telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal dari suku
Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekruitmen ini menimbulkan kemelut di
dalam tubuh militer dan antar mereka terus menerus terjadi perselisihan yang
melemahkan kekuasaan Fatimiah.
Demikian juga pada masa Khalifah Al-Muntashir, di
masa ini kekuasaan Dinasti Fatimiah mulai merosot tajam. Tentara profesional
betul-betul tidak bisa dikendalikan sang khalifah. Kelompok-kelompok militer
yang terdiri dari orang-orang Turki, Sudan, Barbar dan Armenia bersaing sengit,
dan terkadang terjadi pertempuran diantara mereka. Bahkan panglima tentara
berkebangsaan Turki, Nasir mampu menguasai Kairo pada tahun 1068 sempat
menjarah istana kekhalifahan. Sebuah peristiwa cukup membahayakan eksistensi
pemerintahan Fatimiah. Tentu saja kemelut di kalangan Militer ini berdampak
pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman lagi.[20]
d)
Bencana Alam Berkepanjangan
Pada masa Al-Muntashir, selama tujuh tahun, Mesir
ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil yang merupakan urat
nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang menyebabkan pertanian
mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela dimana-mana. Penguasa
mengalami kesuitan mengatasi kondisi yang demikian. Sehingga dalam waktu
sembilan tahun pernah terjadi pergantian pejabat wazir sampai empat puluh kali.
Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fatimiah.
Kemudian Khalifah al-Muntashir meminta bantuan
kepada seorang jenderal dari suku Armenia yang bernama Badr al-Jama, yang
menjabat Gubernur Arce untuk mengatasi bencana tersebut. Orang ini segera
berlayar ke Mesir dengan pengawal Armenia dan sepasukan bala tentara yang
setia. Sebelum maksud pemanggilannya, oleh al-Muntashir diketahui dia telah
menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang
mungkin menimbulkan masalah. Dia berusaha semaksimal mungkin memperbaiki
keadaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Fatimiah.
e)
Keterlibatan Non-Islam dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak Khalifah Fatimiah yang
terkenal memiliki andil dalam memajukan Dinasti ini adalah Khalifah al-Aziz.
Dia memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan Dinasti Fatimiah.
Diantara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering memberikan pos-pos penting dan
strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya kebijakan ini memang turut
memajukan Fatimiah tetapi pada sisi yang lain justru menjadi salah satu faktor
yng mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata
menimbulkan kecemburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum
muslimin. Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial
politik Fatimiah.
Sebagian orang non-muslim tersebut ada yang
dipercaya menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga terdapat para dokter dan para
pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Kenyataan seperti
ini, secara berangsur-angsur dapat melemahkan dan menggerogoti kondisi
kekhalifahan Fatimiah.[21]
Setelah kekuasaan
berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian khilafah Fatimiah mengalami
kehancurannya. Kehancuran khilafah ini terjadi pada masa kekhalifahan al-Adhid.
Kehancuran khilafah ini selain dari akumulasi berbagai faktor yang menyebabkan
kemunduran diatas, juga disebabkan oleh adanya kekuatan Kaum Salajiqah dan
Pasukan Salib yang banyak terlibat dalam urusan-urusan kekhalifahan, juga
karena diminta oleh para wazir yang sedang berkuasa untuk mempertahankan
kekuasaannya. Sehingga konflik kerap muncul di masa khalifah al-Adhid.
Pertentangan tingkat
istana itu memuncak saat seorang khalifah Fatimiah memerintahkan untuk membunuh
Ibnu Ruzzik, seorang wazir sejak masa al-Faiz. Kemudian Ibnu Ruzzik digantuikan
oleh anaknya sendiri yang bernama al-Adhil yang kemudian direbut oleh Syawar
yang berasal dari Arab yang juga teman dari Ibnu Ruzzik. Anak Syawar, Tayy,
kemudian membunuh al-Adil pada tahun 1163.
Dari adanya peristiwa
tersebut kemudian Dirgham bersama pendukung al-Adil melakukan pemberontakan.
Pada pemberontakan tersebut pasukan Syawar mengalami kekalahan dan lari ke
Syiria, dan berakhirnya tersingkirnya dari jabatannya sebagai wazir. Karena
Syawar tersingkir maka kedudukan wazir dipegang oleh Dirgham.
Pada saat itu, Syawar
menyusun sebuah strategi dengan cara diam-diam meminta bantuan kepada Nuruddin,
enguasa Dmaskus di masa dinasti Saljuq, yang merupakan afiliasi Abbasiyah di
Baghdad. Syawar menjanjikan kepada Nuruddin akan membiayaiekspedisi militer dan
memberikan sepertiga pajak Mesir sebagai upeti tahunan jika negara itu dapat
dikuasai lagi.
Akhirnya Nuruddin
mengirimkan ekspedisi militer dengan tentara asal Turki dibawah pimpinan
Panglima Syirkuh. Dirgham yang baru saja mengalami kekalahan dari Raja Almaric,
penguasa Yerussalem, tidak berkutik sampai dia meninggal dunia. Sehingga
kemenangan berada di pihak Nuruddin.
Setelah kemenangan
terjadi, dan Syawar kemudian dapat kembali menjadi wazir di Fatimiah pada tahun
1164 M, ternyata ia mengingkari janjinya dulu kepada Nuruddinm, dan bukan itu
saja, ia bahkan dengan bantuan pasukan salib yang berasal dari tentara Perancis
selanjutnya ia mengusir panglima Syirkuh dari Mesir, pasukan yang dulu
membantunya dalam mengalahkan Dirgham.
Setelah terusir dari
Mesir kemudian panglima Syirkuh bersama Shalahuddin al-Ayyubi dengan didukung
pasukan tangguh kemudian berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166 M. Pasukan ini
bukan hanya membantu melawan pasukan Salib tetapi juga sekaigus untuk menguasai
Mesir. Dengan pertimbangan bahwa Mesir lebih baik mereka kuasai dari pada
dikuasai oleh pasukan salib. Disamping itu sebagai akibat dari pengkhianatan
yang dilakukan oleh wazir Syawar. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan
salib serta sekaligus menguasai Mesir tahun 1169 M. Akhirnya atas perintah
Khalifah, Syawar dibunuh dan kemudian yang diangkat sebagai wazir pada tahun
1169 M adalah Syirkuh.
Syirkuh menjabat sebagai
wazir hanya selama dua tahun, selanjutnya ia digantikan oleh Salahuddin. Salahuddin
adalah orang yang bertabiat ramah, ia cepat mendapat simpati rakyat dan bahkan
mengalahkan pengaruh Khalifah. Posisi ini tentu menjadi rawan bagai possi
khalifah Fatimiah.
Dalam keadaan seperti itu
kemudian ada perintah dari istana untuk membunuh Salahuddin di bawah pimpinan
Najah. Salahuddin tidak terbunuh tetapi justru Najah yang ditangkap dan
akhirnya dibunuh. Kemudian terjadilah peperangan antara tentara asal Sudan yang
berada di pihak Khalifah berjumlah 50.000 orang melawan tentara asal Turki dari
pihak Salahuddin. Karena posisi Salahuddin dan pasukannya sudah kuat maka
kemenangan berada di pihak Salahuddin al-Ayyubi.
Setelah kemenangan
Salahuddin tersebut kemudian disusul mengirim ekspedisi militer melawan tentara
Salib di Karak dan Syubik. Setelah meraih kemenangan, pada tahun 1170 M ia
meminta kepada Nuruddin untuk mengirim orang tua dan kerabatnya ke Mesir.
Mayoritas rakyat Mesir baik Syi’ah maupun Sunni dari kalangan Turki menganggap
Salahuddin sebagai pelindung mereka menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin
meminta kepada Salahuddin untuk menyebut nama Khalifah Abbasiyah dalam setiap
khutbah menggantikan nama Khalifah Fatimiah, tetapi Salahuddin tidak langsung
mengabulkannya.
Pada saat khalifah
al-Adid sakit, kemudian Salahuddin mengadakan rapat pimpinan soal permintaan
Nuruddin itu. Tetapi rapat tersebut tidak membuahkan hasil mungkin karena ada
konsekuensi besar dari penyebutan nama Khalifah Abbasiyah tersebut. Pada saat
demikian dalam rapat itu tampil seorang keturunan Persia, al-Amir, yang
mengusulkan untuk melaksanakan keinginan Nuruddin.maka pada hari Jum’at pertama
bulan Muharram, sebelum khatib naik mimbar, ia mendahului naik dan menyebut
nama Khalifah Abbasiyah, al-Mustadli. Karena tidak ada reaksi negatif dari
jamaah, Salahuddin menginstruksikan agar para khatib menyebut nama Khalifah
Abbasiyah pada hari-hari Jum’at.
Pada tahun 1171 M
Khalifah al-Adhid meninggal dunia, dengan meninggalnya khalifah al-adhid dan di
khutbah-khutbah jumah disebut nama khalifah Abbasiyah maka dengan demikian
hancurnya sudah kekuasaan khilafah Fatimiah secara politis setelah berkuasa
sekitar 280 tahun. Jatuhnya kekuasaan Fatimiah ini kemudian kekuasaan dipimpin
oleh Salahuddin dengan dinasti keturunannya yaitu dinasti Ayyubiyah. Dinasti
ini tunduk dan berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah.[22]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171
M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah
karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali Fatimah, putri Rasulullah,
istri Ali ibn Abi Thalib dan Fatimiah dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan
keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi system
agama dan politik oleh Abdullah ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan
kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan
menjadi landasan munculnya dinasti Fatimiah. Tokoh-tokohnya meliputi: Abu
Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi, Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn
Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah, Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah, Abu
Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah, Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah, Abu ‘Ali
Manshur Al-Hakim ibn Amrillah, Abu al-Hasan Ali-Zhahir, Abu Tamim Ma’add
Al-Mustanshir.
2. Ekspansi yang dilakukan oleh dinasti Fatimiah
diantaranya yaitu Khalifah Ubaidillah memperluas kekuasannya meliputi
wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan
Mesir. Tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun
kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Tahun 915 M, mereka
berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat
kekuasaan. Tahun
935 M, al-Qaim bi Amrillah Abu al-Qasim Muhammad mengirimkan ekspedisi untuk
menguasai Italia, Prancis, Andalusia, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria.
Di bawah pemerintah Abu Tamim Ma’add al-Muiz pasukan Fatimiah menyerbu pantai
Spayol. Tiga tahun kemudian tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Pada
tahun 969 M, Mesir telah terbebas dari penguasa Iksidiyah. Kemudian Jahwar
menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi’i yang daerah
kekuasannya meliputi wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat adalah warisan
dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah sebagai
perlindungan terhadap kota Suci. Setelah itu, Jahwar mulai melirik Suriah dan
mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969 M.
3. Ideologi
keagamaan yang berkembang diantaranya berkembang empat madzhab fikih; Maliki,
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Selain itu ada juga yang menganut faham Syi’ah
dan Sunni.
4. Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang
yaitu administrasi, sosial, ekonomi dan perdagangan, ilmu pengetahuan dan
kesusastraan, politik, kebudayaan, arsitektur dan seni, pemikiran dan filsafat.
5. Kemunduran Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa
faktor yaitu figur khalifah yang lemah, perebutan kekuasaan di tingkat istana,
konflik di tubuh militer, keterlibatan non-islam dalam pemerintahan. Kemudian
pada tahun 1171 M dengan meninggalnya khalifah al-Adhid dan di khutbah-khutbah
jum’at tidak disebut nama khalifah Fatimiah melainkan disebut nama khalifah
Abbasiyah, maka dengan demikian hancur kekuasaan khilafah Fatimiah.
B.
SARAN
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II,
Bulan Bintang, Jakarta; 1977
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Teras,
Yogyakarta; 2012
Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the
Earliest Times to the Present (Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah,
Jakarta; 2010
Zuhairi Misrawi, Al-Azhar (Menara Ilmu,
Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas Media Nusantara, Jakarta; 2010
Ibn Ghifarie, Dinasti Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html,
diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya
dalam Pengembangan Peradaban Mesir, http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
Herman Busri, Kemajuan Dinasti Fatimiah (Sejarah
Islam di Afrika), http://penakluq.blogspot.com/2013/09/kemajuan-dinasti-fatimiah-sejarah-islam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, Amzah, Jakarta; 2010, hlm. 254-255
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah
Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977, hlm. 232-237
[3] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan
Sejarah Islam, Teras, Yogyakarta; 2012, hlm. 172-174
[4] Zuhairi Misrawi, Al-Azhar
(Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas Media Nusantara,
Jakarta; 2010, hlm. 120
[5] Philip K. Hitti, History of
The Arabs; From the Earliest Times to the Present (Penerjemah: R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006,
hlm. 789
[6] Zuhairi Misrawi, Op.Cit., hlm.
121
[7] Philip K. Hitti, Op.Cit., hlm.
790
[8] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah
dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir, http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[9] Khoiriyah, Loc.Cit., hlm.
175
[10] Samsul Munir Amin, Loc.Cit., hlm.
264-265
[11] Imam Fuadi, Loc.Cit., hlm.
7-8
[12] Samsul Munir Amin, Op.Cit., hlm.
266-268
[13] Ibn Ghifarie, Dinasti
Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html,
diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
[14] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah
dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir, http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[15] Imam Fuadi, Loc.Cit., hlm.
4-6
[16] Herman Busri, Kemajuan
Dinasti Fatimiah (Sejarah Islam di Afrika), http://penakluq.blogspot.com/2013/09/kemajuan-dinasti-fatimiah-sejarah-islam.html,
diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[17] Ibn Ghifarie, Dinasti
Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html,
diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
[18] Khoiriyah, Loc.Cit., hlm.
175
[19] Imam Fuadi, hlm. 9-11
[20] Imam Fuadi, hlm. 12-13
[21] Imam Fuadi, hlm. 14-15
[22] Imam Fuadi, hlm. 15-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar