GEJALA
PSIKOLOGI DALAM KEBERAGAMAAN
I.
PENDAHULUAN
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche
yang artinya jiwa dan logos berarti ilmu pengetahuan. Dengan
demikian psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Namun demikian
kata jiwa bukanlah kata yang mudah dipahami begitu saja, sebab jiwa memiliki
arti yang beragam dan masih sangat kabur. Pengertian ilmu jiwa itu sebenarnya
berbeda dengan psikologi karena jiwa mencakup pengertian yang sangat luas
termasuk khayalan dan spekulasi tentang jiwa, sedangkan psikologi yang
sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang dibangun dengan
menggunakan metode ilmiah
Psikologi juga dapat dikatakan sebagai
disiplin ilmu. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian orang telah merasa bahwa
dirinya telah mengerti psikologi yang dianggap semacam ilmu untuk mengenal
sifat dan watak manusia. Setiap orang secara alamiah telah mengembangkan cara
untuk mengenal orang lain melalui pengalaman pribadinya. Dengan cara yang
demikian ia merasa mampu menyelesaikan masalah psikologis tanpa bantuan
psikologi
Dalam makalah ini, dengan gejala-gejala
psikologi dalam keberagamaan, akan diuraikan tentang macam dari gejala
psikologi dalam keberagamaan dan peran agama dalam kehidupan seseorang menurut
perspektif psikologi islam.
Dalam
ajaran agama terdapat banyak sikap batiniah yang dimiliki seseorang, misalnya
beriman, bertaqwa, berbuat jujur dan lain sebagainya. Semua itu merupakan
gejala kejiwaan yang ada pada manusia dalam keberagamaan.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan
wacana diatas, maka dapat diambil bebarapa permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa kita harus mengetahui Macam dari
Gejala Psikologi Islam ?
2. Bagaimana Gejala Psikologi dalam
Keberagamaan ?
3. Bagaimana Peran Agama dalam Kehidupan
Seseorang Menurut Perspektif Psikologi
Islam ?
III. PEMBAHASAN
Psikologi hadir sebagai
wujud perubahan serta respon keprihatinan atas pemikiran peradaban modern yang
gagal dalam upaya mensejahterakan moral spiritual, sehingga hanya bertitik
tolak pada kisaran empiris inderawi (otak) atau fakta lapangan sebagai
tendensinya saja tanpa memasukan unsure transendenendental (non-inderawi)
Psikologi pada umumnya
mempelajari tentang gejala-gejala manusia yang sering berkaitan kognitif,
afektif, konasi, dan campuran. Dan berdasarkan pandangan psikologi agama
bahwasanya perilaku beragama dipengaruhi faktor intern dan ekstern (saling
mendukung sehingga dapat memunculkan keberagaman yang sinergis). Kedudukan
psikologi sendiri adalah sebagai titk kedudukan psikologi sendiri adalah
sebagai titik singgung faktor intern yang dapat menghantarkan seseorang
memahami agama secara keseluruhan dengan penyempurnaan/ pembuktian yang
berwujud perilaku beragama.
Mengetahui macam
gejala-gejala dari psikologi merupakan salah satu pengetahuan yang sangat
penting dalam memahami dan mempelajari psikologi islam. Karena dengan kita
mengetahuinya maka dapat di ketahui pula bagaimana seorang harus berinteraksi
kepada sesama manusia maupun kepada sang pencipta. Dan ilmu psikologi di anggap
hal yang sangat penting, dan merupakan kelanjutan studi tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa tingkah laku yang kelihatan
maupun tidak kelihatan dalam artian secara dhohiriyah.
Adapun gejala pokok
tersebut dapat di ambil melalui sikap dan perilaku seseorang, ahli psikologi
berpendapat ada 4 gejala :
1.
Gejala
pengenalan (kognisi), antara lain : pengindraan, pengamatan, tanggapan,
reproduksi, asosiasi, ingatan, fantasi, berfikir, intelegensi, intuisi dan
pengamatan melalui panca indera.
2.
Gejala
perasaan (emosi), antara lain : perasaan, affek, stemming, simpati dan empati.
3.
Gejala
kemauan (konasi), antara lain : kemauan meliputi dorongan, keinginan, hasrat,
kecenderungan dan hawa nafsu.
4.
Gejala
campuran (psikomotorik) adalah serangkaian minat dan perhatian.[1]
Bahwa
perkembangan individu itu akan ditentukan baik oleh faktor pembawaan (dasar)
atau faktor endogen, maupun oleh faktor keadaan atau lingkungan atau faktor
eksogen.[2]
Perkembangan gejala psikologi dalam keberagamaan di pengaruhi oleh banyak hal,
diantaranya tingkat kecerdasan dan rentan usia, kedua hal tersebut sangatlah
tinggi perannya dalam respon ajaran-ajaran agama yang kemudian di aplikasikan
dalam kehidupan manusia sebagai wujud untuk meningkatkan keimanan dengan jalan
interaksi dengan tuhan.
A.
Gejala
Psikologi Anak dalam Keberagamaan
Pada waktu lahir
anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang
menjadi manusia beragama. Perkembangan kesadaran beragama anak sangat di
pengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku kedua orang tuanya. Oleh
karena itu peran orang tua disini sangat penting terkait dengan mebimbing
anaknya dalam merespon agama maupun tentang segala sesuatu dalam membentuk
kepribadian si anak agar berperilaku baik.
Dalam bukunya the
Development of Religious on Children, bahwa Ernest Harms mengatakan
bahwa peekembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu :
1. The fairy talle stage (tingkat dongeng).
Tingkatan ini
dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai
Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini anak menhayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan
konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (mas usia) adolesense.
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul memalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide
keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka melahirkan
konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak
tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh
orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segla bentuk tindak atau amal keagamaan
mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini
anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi
atas tiga golongan, yaitu:
1.
Konsep
ke-Tuhanan yang
konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2.
Konsep
ke-Tuhanan yang lebih
murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3.
Konsep
keTuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan
dipengaruhi faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa
pengaruh luar yang dialaminya.[3]
B.
Gejala
Psikologi Remaja Dalam Keberagamaan
Sejalan
dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut
dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran
agama dan tindak keagaman yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan
faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan
agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan
jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a.
Pertumbuhan
Pikiran dan Mental
Ide dan dasar
keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak
begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul.
Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial,
ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
Sebaliknya,
agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah
merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak
meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan pikiran dan
mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b.
Perkembangan
Perasaan
Berbagai
perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis
mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam
lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat
ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan
seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan
ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan
seksual yang negatif.
c.
Pertimbangan
Sosial
Corak
keagamaan remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan
keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja
sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih
dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya
untuk bersikap materialis.
d.
Perkembangan
Moral
Perkembangan
moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari
proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja juga mencakupi: Pertama, Self-dierctive
yaitu taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
Kedua, Adaptive yaitu mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan
kritik. Ketiga, Submissive yaitu merasakan adanya keraguan terhadap
ajaran moral dan agama. Keempat, Unadjusted yaitu belum meyakini akan
kebenaran ajaran agama dan moral. Kelima, Deviant yaitu menolak dasar
dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
e.
Sikap
dan minat
Sikap
dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan
hal ini tergantung dari kebiasaan kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
f.
Ibadah
Dari
penelitian yang telah dilakukan ternyata 17% remaja menyatakan sembahyang
bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya
menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[4]
C.
Gejala
Psikologi Orang Dewasa dalam Keberagamaan
Orang
dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Kemantapan jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang
bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung
jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber
dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan.
Pokonya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan
pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang di
usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu
terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Sebaliknya,
jika seseorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama,
itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini
memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap antiagama, bila menurut
pertimbangan akal sehat, (common sense), terdapat kelemahan-kelemahan
tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap antiagama
seperti itu diperlihatkannya dalam bentuk sikap menolak hingga ke tindakan
memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Sebaliknya,
jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap
keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan
itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap
keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan ajaran agama yang
mereka anut. Sehingga, tak jarang sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan
ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena itu, sikap
keberagamaan seorang dewasa cenderung di dasarkan atas pemilihan terahap ajaran
agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Sikap
keberagamaan orang dewasa memiliki perseptif yang luas didasarkan atas
nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga
dilandasi oleh pendalaman pengerrtian dan perluasan pemahaman tentang ajaran
agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup
dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Sejalan
dengan tingkat perkembanagn usia, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa
antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan
pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan.
Cenderung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
2. Bersikap positif terhadap ajaran dan
norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman
kaagamaan.
3. Tingkat ketaatan beragama didasarkan
atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan
realisasi dan sikap hidup.
4. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih
luas.
5. Bersikap lebih kritis terhadap materi
ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain berdasarkan atas pertimbangan
pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
6. Sikap keberagamaan cendeung mengarah
kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh
kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang
diyakininya.
7. Terlihat adanya hubungan antara sikap
keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan
organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
D. Gejala Psikologi Orang Dewasa Lanjut
dalam Keberagamaan
Adapun di usia selanjutnya, yaitu
setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan.
Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik
berkurang, akitivis menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang
menyebabkan mereka kehilangan semangat. Seiring dengan meningkatnya usia, orang
pada masa dewasa lanjut tidak sulit mengikuti dogma-dogma agama dan melakukan
kunjungan ke tempat ibadah (untuk beribadah, seperti ke masjid), mengunjungi
para ulama, dan orang-orang yang berbeda kepercayaan dengan sikap yang lebih
lunak. Ketertarikannya terhadap agama sering dipusatkan pada masalah kematian
yang menjadi sesuatu yang bersifat pribadi. Dan menurunnya kehadiran dan
partipasi dalam kegiatan di masjid pada usia lanjut tidak minat adalah lebih
sedikit daripada faktor-faktor lain seperti kesehatan memburuk, tidak ada
transportasi, malu karena tidak mempunyai pakaian yang sesuai atau tidak mampu
menyumbang uang, dan perasaan tidak butuhkan oleh anggota organisasi masjid
yang lebih muda.
Kehidupan keagamaan pada usia
lanjut ini menurut hasil menurut hasil penelitian psikologi agama meningkat. Temuan menunjukkan secara jelas
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur
ini.
Dalam banyak hal, tak jarang para
ahli psikologi menghubungakan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan
dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendukung pendapat ini manusia
usia lanjut mengalami frustasi di bidang seksual, sejalan dengan penurunan
kemampuan fisik dan frustasi semacam itu dinilai sebagai satu-satunya faktor
yang membentuk sikap keagamaan. Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab
kecenderungan sikap keagamaan pada manusia lanjut, secara garis besarnya
ciri-cirinya keberagamaan di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut
sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kencenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas
tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah
kepada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang
meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.[5]
E. Peran Agama dalam Kehidupan Seseorang
Menurut Perspektif Psikologi Islam
Walaupun para psikolog belum
sependapat dengan kemutlakan naluri beragama pada diri manusia, namun sebagian
besar dari mereka membenarkan naluri beragama itu, mereka beranggapan bahwa
semacam dorongan pada diri manusia yang menyebabkan mereka cenderung untuk
mengakui adanya suatu zat yang adikodrati (supranatural).
Dalam ajaran agama Islam, bahwa
adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan
dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu
fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama. Dalam fitrah beragama,
iman menjadi kekuatan inti. Fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa
keimanan, karena iman bagi seorang mukmin merupakan daya penggerak utama dalam
dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran yang hakiki dari
Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Atas dasar ini, Muhammad Thahir bin
Ashur dalam tafsirnya tentang surat ar-Rum ayat 30, Allah berfirman sebagai
berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}
Artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah
itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[6]
IV. ANALISA
Dari pembahasan dapat dianalisis
bahwa begitu pentingnya psikologi islam dalam mempelajari kehidupan manusia,
baik itu yang berhubungan terhadap sesama manusia atau sosial maupun terhadap
perilaku keberagamaan. Begitu banyak pembelajaran dan wawasan masalah ilmu
psikologi islam salah satunya tentang gejala-gejala psikologi dalam
keberagamaan.
Psikologi
pada umumnya mempelajari tentang gejala-gejala manusia yang sering berkaitan
dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan berdasarkan pandangan psikologi
agama bahwasanya perilaku beragama dipengaruhi faktor endogen atau faktor
pembawaan (dasar) maupun faktor eksogen atau faktor keadaan atau lingkungan.
Hal ini dapat menghantarkan seseorang memahami agama secara keseluruhan dengan
penyempurnaan atau pembuktian yang berwujud perilaku beragama.
V. KESIMPULAN
Manusia
seutuhnya adalah sebagai satu kesatuan tubuh, roh dan jiwa yang saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya. Perkembangan gejala psikologi dalam
keberagamaan di pengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tingkat kecerdasan dan
rentan usia, kedua hal tersebut sangatlah tinggi perannya dalam respon
ajaran-ajaran agama yang kemudian di aplikasikan dalam kehidupan manusia
sebagai wujud untuk meningkatkan keimanan dengan jalan interaksi dengan tuhan.
Gejala Psikologi
keberagamaan meliputi empat macam yaitu Gejala pengenalan (Kognisi), Gejala
Perasaan (Afeksi), Gejala kemauan (Konasi) dan Gejala campuran (Psikomotorik).
Dalam ajaran
agama Islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku
makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak
lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama.
VI. SARAN
Demikianlah makalah yang kami
sajikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca. Apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekeliruan, kami mohon
maaf yang sebenarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bimo
Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogjakarta, 1981
Jalaludin,
Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Zunaidi,
Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar