Filsafat dan Tasawuf saling berhubungan
yaitu dengan adanya Tasawuf Falsafi. Perkembangan tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk membentuk kesucian
batin dalam upaya menuju kedekatan dengan Tuhan menarik perhatian para pemikir
muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari sinilah tampil
sejumlah sufi yang sekaligus filosof. Karena itu ide-ide dan konsep tasawuf
mereka disebut tasawuf falsafi, tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Dalam islam ada dua bentuk tasawuf yaitu, bercorak religius dan
bercorak filosofis. Tasawuf yang bercorak religius adalah tasawuf yang
berkaitan dengan semua agama, baik agama-agama langit atau agama purba,
sedangkan tasawuf yang bercorak filosofis, sejak lama sudah dikenal di Timur
sebagai warisan filsafat Yunani, maupun di Eropa abad pertengahan.
Tasawuf religius adakalanya berpadu
dengan Tasawuf filosofis, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa sufi
muslim. Oleh sebab itu, pada diri seorang filosofis terjadi kecenderungan
intelektual dan mistik secara terpadu. Perpaduan antara bentuk tasawuf bercorak
religius dengan bentuk tasawuf bercorak filosofis inilah yang menjadi embrio
lahirnya “tasawuf falsafi” dalam sufisme. Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dengan visi rasional atau perpaduan antara tasawuf dengan filsafat.
Tasawuf Falsafi ini banyak dipengaruhi oleh ajaran filsafat di luar islam
seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai
latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, tetap
menjaga kemandirian ajaran aliran mereka terutama bila dikaitkan dengan
kedudukan sebagai umat Islam. Ajaran filsafat yang melandasi tasawuf falsafi sebagian
besar adalah paham emanasi baik dari filsafat yunani (Neo-platonisme) maupun
paham emanasi yang lain.
Keberadaan Tasawuf bercorak Falsafi
ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang awalnya kurang
senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah islam. Sementara bagi para
ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.
Apabila diperhatikan cara kerja
filsafat adalah mengukur segala sesuatu menurut akal pikiran. Namun dengan munculnya
filsafat aliran neo-platonisme, filsafat lebih menjauhi wewenang akal dan mulai
menyentuh hal yang lebih metafisik atau supranatural, terutama dalam persoalan
pengenalan diri manusia di hadapan Tuhan. Ungkapan neo-platonisme misalnya,
“kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan,
“siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Menurut at-Taftazani, tasawuf
falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H. Ciri umum
tasawuf falsafi menurut at-Taftazani adalah ajarannya yang samar-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf Falsafi tidak hanya dipandang
sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq),
tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang
murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih
berorientasi pada panteisme.
Tasawuf Falsafi menggunakan
pendekatan rasio (akal pikiran). Pada Tasawuf Falsafi digunakan teori-teori
filsafat seperti konsep tentang manusia (antropologi), konsep mengenali Tuhan
dan hubungannya dengan manusia (teologi), serta konsep tentang alam semesta
(kosmologi). Dalam hal ini sufi merasakan dapat berhubungan langsung dengan
Tuhan bahkan bersatu secara rohani dengan-Nya. Dalam konteks inilah muncul
doktrin-doktrin yang berkembang dalam tasawuf falsafi, diantaranya fana’,
baqa’, ittihad, hulul, wahdatul wujud, dan insan kamil. Jadi Tasawuf Falsafi
telah mengubah corak tasawuf yang pada awalnya hanya sekedar menekankan sikap
zuhud dan wara’ menjadi kecenderungan panteistik.
Para sufi memandang manusia mampu
naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan yang kemudian melahirkan konsep mistis
semi filosofis “ittihad” yaitu suatu tingkatan tasawuf dimana seorang sufi
telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Konsep Ittihad ini dibangun
oleh Abu Yazid al-Bustami. Diantara syatahiyyat (ungkapan yag sulit dipahami)
diungkapkan oleh al-Bustami adalah: “Tiada Tuhan selain dari Aku, maka
sembahlah Aku”. “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, alangkah Maha Agungnya
keadaan-Ku”. “Tiada ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”. Konsep
“hulul” yaitu suatu paham yang mengatakan bahawa Tuhan memilih tubuh-tubuh
manusia tertentu dan mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan. Konsep hulul ini dialami
oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat
dua unsure, yaitu unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsur Lahut
(ketuhanan), karena itu persatuan Tuhan dan Manusia bisa terjadi dan dengan
persatuan itu mengambil bentuk hulul. Al-Hallaj juga mengungkapkan syatahiyyat
sebagaimana diungkapkan oleh al-Bustami, seperti: “Aku adalah yang Haq”. Konsep
hulul ini berkembang lebih mendalam pada Ibn ‘Arabi dengan konsep Wahdatul
Wujud. Dalam konsep ini Ibn ‘Arabi merubah Nasut menjadi al-khalaq
dan lahut menjadi al-Haq. Kedua unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk,
sebagai aspek lahir dan aspek batin. Ibn ‘Arabi mengungkapkan: “Maha Suci
Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah esensinya sendiri”.
Konsep “isyraqiyah” yang dirumuskan oleh suhrawadi al-Maqtul, al-Hikmah
al-muta’aliyah yang digagas oleh Mulia shadra.
Tasawuf Falsafi mencapai puncak
kesempurnaan dalam pengajaran Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang datang dari
Andalusia. Pengetahuan Ibn ‘Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan
lapangan filsafat membuatnya mampu menghasilkan karya yang diantaranya, al-Futuhad al-Makkiyah dan
fushush al-Hikam. Dan Tasawuf Falsafi ini bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan tentang hakikat hubungan alam manusia dengan Tuhan secara
mistis-filosofis baik dalam bentuk ittihad (penyatuan), hulul (inkarnasi),
wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Berdasarkan pandangan filsafat
emanasi para tokoh tasawuf falsafi berkesimpulan bahwa melalui jalan tasawuf
manusia dapat membebaskan jiwanya (al-nafs, al-lahut) dari materi (al-jizm,
al-nasut) dan nantinya akan memperoleh limpahan sinar ilahi secara langsung
(ma’rifat) setelah melewati pengalaman fana’, dari terminal fana’ inilah akan
diperoleh pengalaman ketuhanan berikutnya, seperti ittihad, hulul dan wahdat
al-wujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar