Kamis, 04 Juni 2015

PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA DAN KEHIDUPAN UMAT ISLAM MASA KINI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, trutama karena hasil yang dijual di sana menarik pada pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.
Masuknya islam di daerah-daerah Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M. kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan Kedah. Hingga sampai akhir abad ke-12 M perekonomian Sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian wilayah Nusantara dan pada abad ke-11 islam sudah masuk di pulai Jawa.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana Perkembangan Islam di Jawa?
2.      Bagaimana Keadaan Umat Islam Dilihat Dari Dimensi Sosial, Pilitik, Dan Budaya?
3.      Bagaimana Hubungan Sosial Antar Ideologi Umat Islam Yang Berkembang Di Jawa?
4.      Bagaimana Kehidupan Umat Islam di Jawa Masa Kini?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Awal Datangnya Islam di Jawa
Islam untuk pertama kali masuk di Jawa pada abad 14 M, (tahun 1399 M).[1] Kebayakan pedagang muslim di Kerala yang berasal dari teluk Persia mereka menganut madzab Syafi’i. sedang Kerala sendiri berfungsi sebagai persinggahan para pedagang Sumatera, Melayu, dan Cina. Kekuatan hubungan dagang dan hukum ini menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber islamisasi di Jawa dan bagian Indonesia. Kesamaan arsitekstur masjid kian memperkokoh posisi. Di Kerala banyak masjid yang terbuat dari kayu dan bata merah mempunyai atap bersusun tiga. Masjid agung Demak sebagai masjid tertua di Jawa memiliki pola ini. Organisasi keagamaan masyarakat Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip yaitu berorientasi pada ulama. Keadaan ini terjadi sekitar abad ke-13, yaitu kota Baghdad hancur digempur oleh pasuka Tartar dan Mongol, jalan lintas perdagangan antara Barat dan Timur beralih ke Gujarat. Demikian juga kapal dagang masyarakat Indonesia berduyun-duyun berlabuh di kota Gujarat. Dengan hubungan dagang ini banyak masyarakat kecil masuk masuk agama Islam seperti para anak kapal (juragan dan kelasinya). Pemusatannya di daerah pelabuhan seperti Jepara, Tuban serta Gresik yang sejak Prabu Erlangga bertahata (1019-1041 M) telah dibuka hubungan dagang dengan dengan bangsa asing.
Melihat makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslimah Fathimah binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475 H (1082 M), serta makam ulama Persia Malik Ibrahim, nisan yang berangka thun 882 H (1419 M) menjadi tanda bukti bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama islam. Jadi pada waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447 M) para bangsawan dan punggawa telah ada yang menganut agama islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan agama islam di wilayah Timur, di Persia, Afganistan, Pakistan di India sungai Gangga sampai Benggala. Di tanah Aceh dan malaka dapat tersebar dengan cepat di kota pelabuhan jawa.[2]
B.     Keadaan Umat Islam yang Berkembang Saat Ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa era sekarang adalah Era Amerika Serikat (al-Ashr al-Amriki). Seluruh dunia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap AS, Israel dan sekutunya. AS dan Eropa yang beragama Nashrani dan Israel yang Yahudi sangat kuat mencengkeram dunia Islam. Bahkan sebagiannya dibawah kendali langsung mereka seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Irak dan lain-lain. Realitas yang buruk ini telah diprediksikan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya: Dari Said Al-Khudri, dari Nabi saw bersabda:" Kamu pasti akan mengikuti sunah perjalanan orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga walaupun mereka masuk lubang biawak kamu akan mengikutinya". Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw apakah mereka Yahudi dan Nashrani". Rasul saw menjawab, "Siapa lagi!" (H.R. Bukhari dan Muslim)
Beginilah nasib dunia Islam di akhir jaman yang diprediksikan Rasulullah saw. Mereka akan mengikuti apa saja yang datang dari Yahudi dan Nashrani, kecuali sedikit diantara mereka yang sadar. Dan prediksi tersebut sekarang benar-benar sedang menimpa sebagian besar umat Islam dan dunia Islam.
Dari segi kehidupan sosial, sebagian besar umat Islam hampir sama dengan mereka. Hiburan yang disukai, mode pakaian yang dipakai, makanan yang dinikmati, film-film yang ditonton, bebasnya hubungan lawan jenis dan lain-lain. Pola hidup sosial Yahudi dan Nashrani melanda kehidupan umat Islam dengan dipandu media massa khususnya televisi.
Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba' yang sangat zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, mendikte semua laju perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam.
Begitu juga pengekoran umat Islam terhadap Yahudi dan Nashrani terjadi dalam kehidupan politik. Politik dibangun atas dasar nilai-nilai sekuler, mencampakkan agama dan moral dalam dunia politik, bahkan siapa yang membawa agama dalam politik dianggap mempolitisasi agama. Begitu buruknya kehidupan politik umat Islam, sampai departemen yang mestinya mencerminkan nilai-nilai Islam, yaitu departemen agama, menjadi departemen yang paling buruk dan sarang korupsi.
Buruknya realitas sosial politik umat Islam di akhir zaman disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw., beliau bersabda: Dari Tsauban berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Hampir saja bangsa-bangsa mengepung kamu, seperti kelompok orang lapar siap melahap makanan". Berkata seorang sahabat, "Apakah karena jumlah kami sedikit pada waktu itu?" Rasul saw. menjawab, "Jumlah kalian pada saat itu banyak, tetapi kualitas kalian seperti buih ditengah lautan. Allah mencabut rasa takut dari musuh terhadap kalian, dan memasukkan kedalam hati kalian penyakit Wahn". Berkata seorang sahabat, "Wahai Rasulullah saw., apa itu Wahn?" Rasul saw. berkata, "Cinta dunia dan takut mati." (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
Inilah sebab utama dari realitas umat Islam, yaitu Penyakit cinta dunia dan takut mati sudah menghinggapi mayoritas umat Islam, sehingga mereka tidak ditakuti lagi oleh musuh, bahkan menjadi bulan-bulanan orang kafir. Banyak umat Islam yang berkhianat dan menjadi kaki-tangan musuh Islam, hanya karena iming-iming dunia. Bangsa Amerika, Israel dan sekutunya menjadi kuat di negeri muslim, karena di setiap negeri muslim banyak agen dan boneka AS dan Israel. Bahkan yang lebih parah dari itu, bahwa agen AS dan Israel itu adalah para penguasa negeri muslim sendiri atau kelompok yang dekat dengan penguasa.
Dunia dengan segala isinya seperti harta, tahta dan wanita sudah sedemikian kuatnya memperbudak sebagian umat Islam sehingga mereka menjadi budak para penjajah, baik AS Nashrani dan Israel Yahudi. Dan pada saat mereka begitu kuatnya mencintai dunia dan diperbudak oleh dunia, maka pada saat yang sama mereka takut mati. Takut mati karena takut berpisah dengan dunia dan takut mati karena banyak dosa. Demikianlah para penguasa dunia Islam diam, pada saat AS membantai rakyat muslim Irak, dan Israel membantai rakyat muslim Palestina.[3]
C.    Keadaan Umat Islam Dilihat Dari Dimensi Sosial, Pilitik, Dan Budaya
a)      Dimensi Sosial
Kondisi sosial pada umat islam yaitu terjadi kekeringan dan kelaparan di berbagai wilayah islam. Mesir mengalami bencana yang sangat parah sehingga banyak penduduk yang mati akibat kelaparan. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat minimnya hasil pertanian karena area persawahan dilanda kekeringan. Kondisi ini pada akhirnya menyulut pertikaian dan peperangan di mana-mana.
Diantara bukti kekebrokan kondisi sosial masa ini adalah bencana kelaparan yang menimpa mmmmMesir pada tahun 695 H. akibatnya harga barang-barang di wilayah islam lainnya, seperti Syam dan Madinah meroket.
Kekeringan juga melanda wilayah jazirah dan daerah sekitar mosul. Terjadi kekeringan, inflasi, dan kelangkaan bahan pangan. Kondisi yang lain adalah terjadi kriminal, seperti pencurian, perampokan, dan perampasan di berbagai wilayah, terjadi pertikaian antar madzhab dan aliran teologi, sehingga memicu kekacauan dan perpecahan di wilayah islam.[4]
b)      Dimensi Politik
Kondisi politik dunia islam di timur maupun di barat pada masa sejarah di sebut “zaman pertengahan” ini memprihatinkan, biruk, bahkan sangat lemah. Hal ini karena dunia islam tidak lebih dari negeri-negeri kecil yang diperintah para penguasa dari kalngan budak dan non Arab. Pada waktu ini kekhalifahan tinggal istilah dan nama belaka karena efektif kepemimpinan umat dijalankan komunitas non Arab dan kaum budak berpengaruh yang dapat menjatuhkan atau mengangkat siapapun yang mereka kehendaki.
Di antara bukti-bukti kelemahan dunia islam adalah intervensi para sultan terhadap khalifah dan mereka sewenang-wenang untuk menaikkan dan menurunkannya pada tahun 737 H.
Pada sisi lain, sebagian wilayah islam sedang terancam invansi perang salib  eropa yang menyerang dan menduduki daerah Syam serta menguasai kota-kota lain disekitarnya. Mereka merebut kota Aka dan membantai warga muslim di kota tersebut  hingga memasuki baitul maqdis, merusak tiang-tiangnya, dan melakukan kemaksiatan di dalamnya.
Sementara itu wilayah islam bagian utara harus menghadapi serbuan tentara Tartar pada tahun 656 H berhasil menduduki Baghdad, ibu kota dunia islam dan pusat kekhalifahan di bawah komando Hulagu khan. Mereka menguasai dan melakukan berbagai tindakan destruktif  di kota ini. Akibat kekejaman mereka Baghdad banjir darah, mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.[5]

c)      Dimensi budaya
Kebudayaan merupakan proses belajar yang besar yang mempunyai wujud tertentu. Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan norma maupun sebagai peraturan, juga memcerminkan pola tingkah laku dalam masyarakat yang terjadi karena ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar. Ekspresi ini juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah budi dayanya. Selanjutnya menurut Musa Asy’ari  karena kebudayaan yang berasal dari kata budhi yang artinya akal, merupakan tata nilai yang dimiliki manusia sebagai sikap perilaku dan cara berfikir. Kata budhi juga berarti intelek, kecerdasan akal, kemampuan untuk mempertahankan konsep yang telah diterima secara umum.[6]
Ajaran-ajaran islam yang memuat masalah akidah, syariah dan akhlak ikut menentukan aturan-aturan dalam perundang-undangan dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, terbentuklah membudayaan nilai-nilai islam ke dalam budaya masyarakat itu sendiri, seperti dalam mengantarkan tujuan hidup yang hakiki misalnya. Peran agama islam dalam hal ini, adalah menuntun dan menunutut masyarakat untuk berbudaya yang tidak menyimpang dari nilai-nilai manusia dan ketuhanan.
Membangun kesadaran beragama bagi setiap individu sebagai upaya membangun visi yang lebih jauh bagi kehidupan mereka adalah bagian yang jauh lebih penting dari membangun kebudayaan itu sendiri.[7]




D.    Hubungan Sosial Antar Ideologi Umat Islam Yang Berkembang Di Jawa
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat  mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti “patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”, mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun nama “Is­lam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang funda­mental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.[8]



E.     Kehidupan Islam di Jawa pada abad ke-15 dan abad ke-16
Kesusteraan Jawa abad ke-17 dan 18 mengemnal banyak cerita tradisioanl mengenai para wali yaitu orang-orang saleh yang diduga telah menyebarkan agama islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka di bidang mistik dan teologi. Wli ini disenut “wali sembailan”. Wali dijawab berpusat di masjid keramat di Demak yang didirikan bersama. Di situlah mereka adakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang mistik. Mereka memegang peranan penting dalam sejarah politik jawa pada abad ke-16 dan abad ke-17. Mereka telah menjadi pemuka-pemuka agama. Dalam perkembangannya Wali Sembilan ini dibagi dua aliran:
1.      Aliran Tuban dipimpin oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Para ulama ini ahli dalam bidang kenegaraan. Pengembangan gerakan islam hendak dilebur dijadikan gerakan rakyat yang berjuang bersama Empu Supa yang mencita-citakan Negara nasional nusantara. Penerapan agama islam diselaraskan adat, tata cara serta kepercayaan penduduk asli. Karena tidak begitu keras dalam menerapkan peribadatan kelompok ini sering disebut kelompok abangan.
2.      Aliran Giri dipimpin oleh Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Derajat. Ketiga ulama ini golongan ortodok. Kelompok keras dalam penerapan peribatan , maka disebut kelompok mutihan.
Inilah yang menjadi asal mula timbulnya islam abangan dan mutihan. Untungnya perpecahan ini tidak menjadi perpecahan karena kemudian memperoleh persatuan yaitu unan Giri diangkat menjadi pimpinan para ulama (mufti) diserahi memegang pimpinan islam jawa dan diberi julukan Prabu Satmata dan soal kebijakan kenegaraan diserahkan oleh Sunan Kalijaga dan kawan. Maka kemudian dibangunlah masjid Demak yang bertujuan untuk membentuk lembaga islam yang tangguh atau yang diberkahi (keramat).
F.     Saluran Islamisasi di Jawa
1.      Melalui padagang muslim dari Arab, Persia dan India
Ini menjadikan Majapahit, pemilik kapal, dan banyak bupati masuk islam. Namun karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang muslim dan perkembangan selanjutnya mereka mengambil perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggalnya.
2.      Saluran Tasawuf
Tasawuf yang diajarkan memiliki persaman dengan aliran pikiran penduduk pribumi yang sebelumnya menganut agama hindu.
3.      Saluran Pendidikan
Ini dilakukan baik melalui pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama, kyai-kyai dan ulama.
4.      Saluran Politik
Di jawa demi menambah orang yang memeluk agama islam, banyak kerajaan islam yang memerangi kerajaan lain.
5.      Saluran Kesenian
Saluran yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sebagian diambil dari Mahabarata dan Ramayana karena wayang sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang jawa. Karena di dalamnya terdapat unsur hiburan  dan tuntunan, dan ini diperlihatkan orang jawa meniati untuk menyediakan tempat khusus untuk pagelaran wayang.
6.      Saluran Pernikahan
Jika pedagang luar cukup lama tinggal di suatu tempat, sering terjalin  hubungan perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu, dengan puteri atau saudara perempuan setempat.
G.    Peran Walisanga dalam Penyebaran dan Perkembangan Islam di Pulau Jawa
a)              Walisanga periode pertama
Pada waktu Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.       Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, (Beliaulah yang membentuk Majlis Dakwah yang bernama Walisongo),
berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2.       Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3.       Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4.      Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.      Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6.      Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7.      Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8.      Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9.      Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.[9]
b)        Walisanga periode kedua
1.         Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, beliau adalah seorang ahli tata Negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. jauh sebelum beliau datang islam sudah ada walaupun sedikit dibuktikan dengan makam fathimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M. beliau langsung memeperkenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang diajarkan oleh agama Islam. Beliau lansung member contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasa yang sopan, lemah lembut, santun kepad fakir miskin, hormat kepada orang tua dan menyayangi kaum muda. Dengan cara demikian banyak orang jawa yang mulai tertarik pada agama islam dan akhirnya mereka menganut agama islam.
Di kalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau yang disebut kakek Bantal sangat terkenal terutama kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Maka ketika Sunan Gresik menerangkan kedudukan seseorang dalam islam, oarng dari kasta sudra dan Waisa tertarik. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam islam kedudukan semua orang adlah sama derajatnya hanya orang beriman dan bertakwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dan untuk memepersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan agama islam, beliau mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan mengembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama islam, tapi juga meberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air ddari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.
Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419 M , hari senin, 12 Rabiul Awal 822 Hdan dimakamkan di Gresik.
2.    Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Raden Rahmad Ali Rahmatullah adalah cucu raja cempa, ayahnya bernama Ibrahim Asmaira Kandi yang menikah dengan putrid raja cempa yang bermana Dewi Candra Wulan. raden Rahmad ke tanah Jawa langsung ke Majapahit karena bibinya Dewi Dwar Wati diperistri Raja Brawijaya, dan istri yang paling disukainya. raden Rahmad berhenti di Tuban, di tempat itu beliau berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian bersama kedua orang bersama keluarganya masuk islam. Dengan adanya dua orang ini Raden Rahmad semakin  mudah mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau tidak langsung melarang mereka yang masih menganut adat istiadat lama, tapi sedikit demi sedikit tentang ajaran ketauhidan. Beliau menetap di Ampel Denta dan kemudian disebut Sunan Ampel. Di Ampel Denta beliau berhasil menjadikan daerahnya yang semula dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Beliau menerima gelar dari pengikutnya Sultan Makhdum.  Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat putra bangsa dan pengeran Majapahit serta siapa saja yang mau berguru kepadanya. Dan beliau wafat pada tahun 1478 M. Dimakamkan di selah masjid Ampel. Beliau meninggalkan dua orang putra yang belakangan dikenal sebagai wali Bonang dan Drajat.
3.    Syekh Maulana Ishak (sunan giri)
Sampai di Jawa, Sunan Giri kemudian mencari daerah yang susunan tanahnya sama dengan tanah yang dibawanya dari Malaka, tempat itu adalah daerah gresik pada tempat yang agak membukit. Sunan Giri kemudian membangun masjid pada derah perbukitan itu dan menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama islam. Itulah sebabnya Sunan Giri kemudian terkenal dengan julukan Sunan Giri. Giri artinya gunung, yakni Sunan yang menetap di daerah Giri.
Di awal abad ke 14 kerajaan Blambangan diperintah oleh prabu Menak Semboyo, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama hindu dan sebagian yang memeluk budha.
Pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit, banyak yang meninggal. Banyak korban berjatuhan dan puteri prabu juga terserang penyakit beberapa bulan. Banyak Tabib dan Dukun mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga. Lalu Prabu Menak mengutus patih bajul senggoro ke gunung gresik. Patih Bajul senggoro dapat bertemu dengan syekh maulana ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa raja dan rakyat mau di ajak masuk islam maka syekh Maulana Ishak atau Sunan Giri yang nama mudanya adalah Raden Paku atau dijuluki juga dengan nama Muhammad Ainul Yakin, waktu kecil Sunan Giri diasuh dan menjadi anak angkat saudagar janda yang kaya raya, yaitu Nyai Gede Pinasih dari Gresik. Keistimewaan yang lain yang terdapat pada Raden Paku adalah, selama ia menjadi santri di Ampel ia tidak menetap di sana tetapi tetap berdiam di Gresik, sehingga harus jalan bolak-balik berjalan dari Gresik ke Ampel. Bila Raden paku pulang atau pergi maka tanah Surabaya Gresik menyempit dan setelah Raden Paku melangkah ke dua tempat itu menjauh kembali. Beliau bersedia datang ke Blambangan. Memang beliau pandai dalam pengobatan, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh setelah diobati dan wabah penyakit lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji sunan giri di kawinkan dengan puteri Dewi Sekar Dadu dan diberi kekuasaan sebagai adipati Blambangan. Setelah banyak sekali orang yang berobat dan belajar agama islam. Kemudian beliau pindah ke singapura dan wafat disana.[10]
4.    Sunan Bonang
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau putra sunan ampel. Sunan Bonang sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah jawa, beliau berdakwah di daerah Tuban. Cara berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending dan tembang yang disebut bonagisukai rakyat. Dan beliau ahli dalam membunyikan gending yang disebut bonang, sehingga rakyat Tuban dapat diambil hatinya untuk masuk masjid.
Beliau membunyikan bonang rakyat yang mendengar seperti terhipnotis terus melangkah ke massjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini sedikit demi sedikkit dapat merebut simpati rakyat, lalu menanamkan pengertian sebenarnya tentang islam.
5.    Sunan Drajad
Nama aslinya adalah Raden Qasim, beliau adalah putra sunan ampel dari Dewi candrawati. Beliau berdakwah di daerah drajad sehingga dikenal dengan sunan drajad. Cara menyebarkan agama islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat gamelan, gending dan tembang mocopat setelah itu baru diberi ceramah islam. Dan beliau mendirikan pesantren untuk menyiarkan islam. Beliau wafat pada tahun 1462 M. Dan dimakamkan di deda drajad kecamatan paciran kabupaten lamongan.
6.    Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid atau Jaka Said, kemudian ia disebut juga dengan nama Syekh Malaka, Lokakarya, Raden Abdurrahman dan Pangeran Tuban. Beliau putra Raden Sahur Putera Temanggung Wilatikta Adipati Tuban. Raden sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan bagikan kepada rakyatnya tapi ketahuan ayahnya, hingga di hukum yaitu tangannya dicambuk 100 kali sampai banyak darahnya dan di usir.
      Setelah diusir ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah sunan bonang. Lalu raden sahid diangkat menjadi murid. Lalu disuhnya menunggui tongkatnya di depan kali sampai bebulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka redden sahid disebut sunan kalijaga.
      Beliau dikenal sebagai seorang yang dapat berbaur dengan segala lapisan masyarakat . Beliau adalah mubaligh keliling dengan memanfaatkan kesenian rakyat yang ada beliau dapat mengumpulkan rakyat untuk kemudian diajak mengenal agama islam. Beliau adalah penabuh gamelan, dalang, menciptakan tembang yang ahli. Kesemuanya itu untuk kepentingan dakwah dan beliau tidak secara langsung menentang adat istiadat, agar mereka tidak lari dari islam dan enggan mempelajari islam.


7.    Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber beliau adalah putera Raden Ustman yang bergelar Sunan Nguudang dari jipang panolan. Nama aslinya Raden Ja’far Shodiq. Cara-cara berdakwah sunan kudus adalah sebagai berikut:
a.       Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan:
b.      Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah.
c.       Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam
d.      Tut wuri handayani
e.       Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama hindu adalah binatang suci dan keramat.
f.       Merangkul masyarakat budha setelah masjid, terus sunan kudus mendirikan padasan tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Diatas pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran budha “jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
g.      Selamatan mitoni biasanya sebelum acara selamatan membacakan sejarah nabi.


8.    Sunan Muria
Beliau adalah putera dari sunan kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai keruh airnya. Itulah cara yang digunakan disekitar gunung muria dalam menyebarkan agama islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pula lah yang menciptakan tembang sinom. Beliau banyak mengisi tradisi jawa dengan nuansa islami seperti nelung dino, mitung dino, nyatis dino dan sebagainya.
Sunan Muria menyebarkan Islam pada derah-derah Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Dalam berdakwah, beliau sebagaimana wali-wali yang lain, juga menciptakan lagu jawa.
9.    Sunan Gunung Jati
Orang sepakat bahwa penyebar agama islam di jawa barat terutama Cirebon adalah sunan gunung jati yang aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Di Mekkah, Syarifah Mudain melainkan anak pertamanya yaitu anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syarif Hidayatullah.[11]
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 M. Dia berangkat ke tanah jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di pasumbangan gunung jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putrid Cakra Buana Nyi PAkung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana pada tahun 1479 M. Dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukan melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[12]




H.    Kehidupan Umat Islam Masa Kini
Walaupun mayoritas orang Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa punya perbedaan dari agama Islam yang di lakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam di Jawa dicampuri dengan kepercayaan manusia lain asli Jawa, yaitu kepercayaan animisme dam kepercayaan dari kerajaan Hindu-Budha.
Asalnya kepercayaan animisme adalah dari jaman prasejarah dan bagian kepercayaan itu masih hidup sampai sekarang. Penganut animisme adalah orang-orang yang percaya bahwa tempat-tempat atau objek-objek punya kepercayaan tersendiri, mislanya orang yang percaya dengan mahluk halus, roh leluhur dan hantu yang mendiami macam-macam tempat.
1.      Masuknya Hindu-Budha Ke Jawa
Pengaruh Hindu Budha yang paling mengakar dalam kehidupan orang Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup kental, karena Hindu-Budha memberikan tat tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.
Asalnya agama Hindu dan agama Budha adalah dari India dan agama tersebut datang ke pulau Jawa sebelum abad ke 8. Agama Hindu-Budha menguasai pulau Jawa selama delapan abad dan agama itu memang pengaruhi kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung. Tempat bergunung-gunung sepanjang sejarah agama ini dipakai sebgai tempat smemedi. Simbolisme agama Hindu dalam kepercayaan manusia Jawa memang kuat sekali.
Sebenarnya Hindu-Budha tidak mematikan budaya Jawa asli akan tetapi sebaliknya justru memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang dipengaruhi oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati para dewa. Oleh karena itu Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan.
2.       Pengaruh Hindu Jawa
Kebudayaan Hindu mengkin telah mendominasi hampir seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara pada waktunya, tetapi pengaruhnya yang terbesar adalah terhadap masyarakat istana, sedangkan konsep-konsep Hindu hanya sedekit mempengaruhi masyarakat petani di daerah pedesaan yang cara hidupnya barangkali tidak banyak berubah sejak abad-abad yang lalu.
Walaupun pandangan kita banyak tentang cara hidup, pandangan hidup, dan agama raja-raja, para bangsawan, dan para pemuka agama dalam masyarakat Jawa zaman dahulu yang dapat kita pelajari dari piagam-piagam kerajaan, kesusasteraan Jawa kuno dan sisa-sisa candi-candi kuno serta monumen-monumen keagamaan, kita samasekali tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan para petani di daerah pedesaan jaman itu.
3.      Islam Kejawen
Agami jawi atau kejawen adalah suatu keyakinan dan konsep-konsep hindu-budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama islam. Varian dari kejawen adalah agami islam santri, yang walaupun tidak sama sekali bebas dari unsur animism dan unsur-unsur hindu-budha, namun sedikit lebih dekat pada dogma-dogma ajaran islam yang sebenarnya.

1)      Paham Ngerti Sadurunge Winarah
Ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya mencari hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup dunia itu.
a)      konsep neraka dan surge yang berbeda sekali dengan apa yang diajarkan para wali.
b)      Orang mukmin telah keliru karena telah mengerjakan shalat jungkir balik mengharapkan balasan surga, sedang surga sesudah kematian itu tidak ada
c)      Menuduh para wali dan muridnya sebagai orang dungu dan dangkal ilmu karena menfsirkan surga adalah balasan yang nanti diterima diakhirat.
d)     anti duniawi, ditegaskan lebih kongkrit lagi oleh salah seorang muridnya yang bernama Pringgabaya. 
Hal-hal di atas mengakibatkan konflik antara Syekh Siti Jenar dengan seoraing Raja Demak. Siti Jenar yng menganut ajaran mistik islam sering “meremehkan” ketentuan-ketentuan syariah yang baku yang sudah diadopsi oleh kerajaan. Oleh karena itu, Raja Demak ketika itu berusaha menghilangkan pengeruh mistik, sufi, dan tarekat, karena telah meremehkan kekuasaan kerajaan.
Raja Demak akhirnya menghukum Siti Jenar membakarnya hidup-hidup yang melambangkan dihapusnya sufisme dan mistik islam untuk digantikan dengan syariah demi ketertiban kerjaan.[13]

2)      System budaya agami jawi
Kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagian penting yang juga terdapat dlam kesusastraan yang dianggap kramat dan bersifat moralis. Oleh karena itu untuk dapat memahami agami jaw kita perlu mengetahui tentang tradisi tertulis itu. Agami jawi dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh keyakian, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma-norma, yang kebanyakan berada di dalam alam pikirnya.[14]
3)      Konsep agami jawi mengenai Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan orang jawa yang beragama agami jawi terhadap Tuhan sangat mendalam , para penganut agami jawi di daerah pedesaan mempunyai konsep yang sederhana yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, dank arena itu adalah penyebab dari segala kehidupan di dunia, dan seluruh alam semesta.
Sumber yang paling utama mengenai Tuhan pada agami jawi adalah buaku narwaci yang ditulis pada permulaaan abad ke-17. Menurut konsepsi agami jawi Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini ang dilambangkan dengan mahluk yang sangat kecil sehingga sewaktu-waktu dapat masuk ke sanubari orang, tetapi Tuhan sekaligus besar juga luas seperti samudera, tidak berujung juga tidak berpangkal sepeti angkasa dan terdiri dari semua warna yang ada didunia. Kedua konsepsi ini memiliki perbedaan pokok dengan pandangan islam orthodox yang memiliki sifat monotheitis, yang menganggap bahwa Tuhan adalah Maha Besar dan Mahakuasa, dan orang hanya merupakan mahluk yang tidak berarti jika dibandingkan engan Tuhan.
4)      Keyakinan agami jawi akan adanya Nabi Muhammad dan Para Nabi Lainnya
Sistem keyakinan agami jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Alloh. Dalam hampir setiap ritus dan upacara, seorang orang jawa mengucapkan nama Alloh mereka mengucapkan nama Nabi Muhammad. Selebihnya Nabi Muhammad kurang mendapatkan perhatian dalam sistem keyakinan Agami Jawi, kecuali pada perayaan Mi’raj. Kesusastraan yang lebih disukai oleh para penganut Agami Jawi adalah kesusastraan Islam yang mengandung unsur mistik yang persifat kepahlawanan dan cerita peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi seperti mengenai kelahiran, pernikahannya dengan Siti Khadijah, hijrah, perang dan mengenai kenaikan Nabi Muhammad. Namun bukan hanya orang santri saja yang mengenal riwayat hidup Nabi, tetapi juga orang Agami Jawi.
5) Tindakan-Tindakan Keagamaan
                        a) Selametan atau Wilujengan
Slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya dan penganut Agami Jawi khususnya. Salah satu aktivitas keagamaan penting lain dalam sistem religi Agami Jawi yaitu kunjungan ke makam nenek moyang yang disebut nyekar. Suatu slametan biasanya diadakan di rumah keluarga dan dihadiri keluarga, kerabat dan tetangga. Slametan biasanya diadakan pada malam hari. Para tamu duduk di atas tikar dan di tengah-tengahnya diletakkan dua atau tiga buah tampah berisi hidangan slametan berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk dan hiasannya.
Setelah semuanya siap, modin atau kaum diminta untuk mempersilahkan doa (ndonga) yang terdiri dari ayat-ayat Al Qur’an. Selesai mengucapkan maka modin dipersilahkan oleh tuan rumah untuk mulai menyantap hidangan disusul para tamu. Upacara slametan sering kali dilanjutkan dengan dhikir mengucapkan “La‘illaha Illallah” secara berulang-ulang. Geertz menjelaskan bahwa slametan tidak hanya diadakan dengan maksud untuk memelihara solidaritas antara para peserta upacara, dan setiap upacara itu bersifat religi. Padahal tidak semua slametan bersifat religi.

b) Tingkeban
Lingkaran ritus-ritus sudah dimulai sejak seorang individu berada dalam rahim ibunya. Upacara pertama dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan slametan yang disajikan itu tujuh buah nasi tumpeng, lauk-pauk, dan tujuh macam juadah, harus mempunyai makna yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat. Misalnya diantara ketujuh juadah tersebut ada yang namanya jenang procot yang maksudnya agar bayi kelak akan lahir dengan mudah, (procot= keluar tak terkendali). Mitoni juga harus dilakukan pada hari Setu Wage (Sabtu Wage) dalam bulan ketujuh umur kandungan yang artinya metu age atau lekas keluar.
Sejak diadakan upacara mitoni, calon ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib. Larangannya antara lain memakan telur ayam, udang, buah yang letak bijinya melintang. Calon ayah pun harus memperhatikan pantangan tersebut. Dalam bulan kesembilan, diadakan slametan lagi yaitu mumuli sedherek untuk menghormati saudara yang belum lahir.
c) Melahirkan
Apabila di daerahnya tidak ada seorang bidan, keluarga tiyang tani di desa biasanya memanggil seorang dhukun bayi, adalah orang yang ahli dalam membantu persalinan, yang sebelumnya telah melakukan berbagai upacara. Setelah bayi lahir, dhukun memotong tali pusat dengan sebilah pisau atau bambu sambil mengucapkan mantera. Kemudian, ayahnya harus membisikan ayan ke telinga kanan bayi dan kamat ke telinga kirinya. Selanjutnya dukun memandikan wanita yang baru melahirkan dan memijat dibalur ramuan parem dan bobokan dan meminum jamu. Sementara ari-ari dibersihkan oleh dhukun dan dimasukan ke dalam bejana yang terbuat dari tanah liat. Ari-ari yang menyusul kelahiran anak laki-laki dibuang ke kali atau dikubur di halaman belakang, sedangkan apabila bayinya perempuan, ari-arinya selalu dikubur di halaman belakang rumah sebelah kanan. Upacara puput puser diadakan pada malam hari setelah tali puser terlepas, dengan mengadakan berbagai ritual. Tali pusat yang telah terlepas dan menjadi kering dibungkus kain bersama rempah-rempah, dijahit dan menjadi jimat.
d)     Upacara Kekah Dan Upacara Pemotongan Rambut
Orang santri yang taat menjalankan ajaran Islam mengadakan suatu upacara berkorban pada hari ketujuh kelahiran bayi yaitu upacara kekah, sekaligus pemberian nama. Semua rambut di kepala dicukur, kecuali dibagian ubun-ubun. Penganut Agami Jawi juga mengadakan upacara kekah, tetapi dengan upacara pemotongan rambut sebagai unsur yang utama, bukan unsur berkorbannya. Kemudian diadakan upacara nyepasari. Banyak hidangan yang disediakan, menandakan upacara ini penting. Orang Jawa percaya apabila ada kekurangan dalam jumlah macam atau hidangan maka akan berpengaruh pada kepribadian anaknya. Selanjutnya ada upacara lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu nyelapani,yang diadakan saat bayi berumur 35 hari jatuh pada hari weton pertama. Baik para penganut Agami Jawi yakin bahwa tidak baik apabila dalam satu keluarga ada orang yang sama wetonnya.
e)      Khitanan
Upacara penting berikutnya dalam lingkaran hidup orang jawa adalah upacara khitanan. Orang Jawa pada umumnya menganggap khitanan sebagai suatu upacara untuk meresmikan diri masuk Islam, dan dalam buku hukum dari ajaran Shafi’, khitanan (sunatan) itu memang dianggap wajib dan karena itu upacara itu seringkali juga disebut ngislamaken yang berarti “mengislamkan”.
Pada keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari-hari yang ditentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hati keempat puluh setelah lahir. Upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pri berumur empat sampai tujuh tahun, akan tetapi keluarga Agami Jawi menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, disamping sebagai peresmian masuk Islam dan karena itu mengadakannya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun. Anak pria yang sudah dikhitan dinamakan jaka. Setelah melakukan khitan, siang harinya diadakan slametan yang dinamakan slametan jenang abrit.
Upacara yang sama untuk anak wanita adalah upacara kafad yang sebenarnya hanya merupakan suatu upacara lambang saja, karena pada diri anak itu tidak dilakukan mutilasi pada alat kelaminya. Upacara ini dilakukan setelah seorang anak gadis mendapat haid pertamanya. Di dalam keluarga-keluarga santri, khitanan bagi anak-anak gadis merupakan hal yang wajib, sesuai dengan hukum Islam.
f)       Pemakaman Dan Ritus Kematian
Apabila ada orang meninggal, maka hal pertama yang dilakukan oleh orang Jawa adalah untuk memanggil seorang modin, dan mengumumkan kematian itu kepada sanak saudara dan tetangga. Sekarang orang lebih sering pergi ke dokter atau ke Puskesmas terdahulu dan baru kemudian mencari modin serta memberi kabar kepada orang-orang sekitarnya. Setelah itu dilakukan tata urut upacara pemakaman, mulai dari memandikan jenazah sampai memakamkannya.
Setelah melakukan prosesi pemakaman, pada malam harinya para keluarga melakukan slametan sedhekah ngesur siti dengan mengundang semua orang yang telah memberikan bantuan serta sumbangan berupa apapun juga. Tumpeng untuk slametan sedhekah ngesur siti harus dilengkapi dengan kue apem. Pada setiap slametan yang diadakan untuk memperingati arwah orang yang sudah meninggal dilakukan dzikir. Hingga empat puluh hari lamanya, dibawah tempat tidur orang yang meninggal diletakkan sajian yang diganti dua hari sekali. Sedhekah yang diadakan berhubung dengan kematian, juga diselenggarakan pada hari ketiga (sedhekah nigang ndinteni), hari keempatpuluh (sedhekah ngawandasa dinten), hari keseratus (sedhekah nyatus), peringatan setahun meninggalnya (sedhekah mendhak sepisan), peringatan dua tahun (sedhekah mendhak kaping kalih) serta hari keseribu (sedhekah nyewu). Bila yang meninggal anak kecil, sedhekah hanya dilakukan satu kali saja yaitu sedhekah ngesah.
Setelah peringatan hari keseribu, maka sedhekah yang diadakan oleh para kerabat orang yang meniggal merupakan kewajiban yang terakhir yang harus dipenuhi. Sementara itu sisa-sisa terakhir dari ikatan-ikatan dari ikatan-ikatan emosional dan spiritual yang mungkin masih ada, juga dianggap telah habis. Walaupun demikian banyak keluarga Jawa penganut Agami Jawi masih tetap mengunjungi makam nenek moyang mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu disebut nyekar.
g)      Nyekar, Adat Untuk Mengunjungi Makam
Pada tahun pertama setelah seorang anggota keluarga meninggal dan ikatan-ikatan emosional dengan orang tersebut masih kuat, maka frekuensi mengunjungi makamnya masih tinggi. Adanya larangan untuk memperbaiki makam sebelum kuburan itu berumur tiga tahun, yaitu sebelum hari keseribu (nyewu). Baru setelah itu makam boleh diperbaiki degan memasang batu nisan (kijing) dan kadang-kadang dengan membuat pagar besi disekeliling makam. Namun hal ini dapat berbeda-beda diberbagai tempat.
Makin lama setelah orang meninggal, makin jarang pula makamnya dikunjungi oleh sanak saudaranya, biasanya hanya ramai sebelum bulan Puasa. Dalam masyarakat desa orang masih menganggap perlu untuk mengunjungi makam para pendiri desa pada waktu diadakan upacara bersih dhusun, dan mengunjungi makam-makam nenek moyang dan makam-makam keluarga lainnya.[15]











 








 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dunia dengan segala isinya seperti harta, tahta dan wanita sudah sedemikian kuatnya memperbudak sebagian umat Islam sehingga mereka menjadi budak para penjajah, baik AS Nashrani dan Israel Yahudi. Dan pada saat mereka begitu kuatnya mencintai dunia dan diperbudak oleh dunia, maka pada saat yang sama mereka takut mati. Takut mati karena takut berpisah dengan dunia dan takut mati karena banyak dosa. Demikianlah para penguasa dunia Islam diam, pada saat AS membantai rakyat muslim Irak, dan Israel membantai rakyat muslim Palestina
2.      Dimensi Sosial,Kondisi sosial pada umat islam yaitu terjadi kekeringan dan kelaparan di berbagai wilayah islam. Mesir mengalami bencana yang sangat parah sehingga banyak penduduk yang mati akibat kelaparan. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat minimnya hasil pertanian karena area persawahan dilanda kekeringan. Kondisi ini pada akhirnya menyulut pertikaian dan peperangan di mana-mana. Dimensi Politik, Kondisi politik dunia islam di timur maupun di barat pada masa sejarah di sebut “zaman pertengahan” ini memprihatinkan, biruk, bahkan sangat lemah. Hal ini karena dunia islam tidak lebih dari negeri-negeri kecil yang diperintah para penguasa dari kalngan budak dan non Arab. Pada waktu ini kekhalifahan tinggal istilah dan nama belaka karena efektif kepemimpinan umat dijalankan komunitas non Arab dan kaum budak berpengaruh yang dapat menjatuhkan atau mengangkat siapapun yang mereka kehendaki. Dimensi budaya, Kebudayaan merupakan proses belajar yang besar yang mempunyai wujud tertentu. Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan norma maupun sebagai peraturan, juga memcerminkan pola tingkah laku dalam masyarakat yang terjadi karena ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar.
3.      Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
4.      Selametan atau Wilujengan, Tingkeban, Melahirkan, Upacara Kekah Dan Upacara Pemotongan Rambut, Khitanan, Pemakaman Dan Ritus Kematian, Nyekar, Adat Untuk Mengunjungi Makam.
B.     Saran
            Demikian makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


[1] Muhammad Hambal Shafwan, Intisari Sejarah Pendidikan Islam, Puataka Arafah, Solo, 2014, hlm 242
[2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2010, hlm 190-191
[4]Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, RAJAWALI PERS, Jakarta, 2004, hlm 188
[5] Ibid., hlm 192
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 345
[7] Ibid., hlm 346
[10] Ridin Shafwan,dkk, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm 59

[11] Soekama Karya,dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, logos wacana ilmu, Jakarta, 1996, hlm 180
[12] Fatah Syukur, Op., Cit, hlm 199
[13] Atang Abd. Hakim, dkk, METODOLOGI STUDI ISLAM, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm 46
[14]  Abdul Djamil, Jurnal Penelitian Walisongo No. VII 1996, hlm 16
[15] Ibid., hlm 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar