Kamis, 04 Juni 2015

makalah peradaban islam pada masa dinasti fatimiah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dinasti Fatimiah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah. Dinasti Fatimiah didirikan oleh Sa’id bin Husain. Berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini berakhir setelah Al-Adid sebagai Khalifah terakhir, jatuh sakit. Dinasti Fatimiah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Fatimiah?
2.      Ekspansi ke wilayah mana saja yang dilakukan Dinasti Fatimiah?
3.      Bagaimana perkembangan ideologi keagamaan pada masa Dinasti Fatimiah?
4.      Bagaimana kemajuan Dinasti Fatimiah?
5.      Bagaimana kemunduran Dinasti Fatimiah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiah
Pada tahun 850 Afrika Utara meliputi wilayah Ifriqiyah (Tunisia) dan sebagian pulau Sisiliah yang merupakan bagian Daulah Abbasiyah masih dikuasai oleh Bani Aglab. Wilayah disebelah baratnya berkuasa Bani Rustamiyah di Aljazair dan bani Idris di Maroko dan Spanyol masih berada dibawah kekuasaan Bani Umayah II. Semua dinasti ini berkuasa sampai tahun 909. Namun sesudah tahun 909 muncul sebuah dinamika baru, terbentuknya sebuah Dinasti Fatimiah di Tunusia (909 M- 1171 M).  Wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Fatimiah dilatarbelakangi oleh melemahnya Dinasti Abbassiyah. Ubaidillah Al-Mahdi mendirikan Dinasti Fatimiah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Dinasti Fatimiah berakhir setelah Al-Adid, khalifah terakhir Dinasti Fatimiah, jatuh sakit. Dinati ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimiah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah Al-Mahdi sebagai pendiri Dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Cabang pertama meyakini Musa Al-Khazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, sehingga muncullah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fatimiah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abdullah Al-Husain sebagai pemimipin Syi’ah Ismailiyah. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yakni Sa’id bin Husain As-salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaidullah Al-Mahdi”. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan Dinasti Fatimiah di Afrika Utara dengan Al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.[1]
Adapun para penguasa Dinasti Fatimiah secara keseluruhan ada empat belas khalifah, akan tetapi yang berperan hanya delapan orang khalifah yaitu sebagai berikut:
1.      Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi (297-322 H/ 909-934 H)
Dua tahun semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propa gandanya yakni Abu abdullah Al-Husein karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya yang bernama Abul Abbas untuk melancarkan perebutan jabatan khalifah. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya dari perbatasan Mesir sampai propinsi Fez di Maroko, selanjutnya pada tahun 914 M ia berhasil menduduki Alexandria, Syria, Malta, Sardinia, Cosrisa, pulau Betrix dan pulau lainnya. Kemudian pada tahun 920 H ia mendirikan kota baru di pantai Tunisia yang dijadikannya sebagai ibukota Fatimiyah yang diberi nama al-Mahdi.
2.      Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah (322-323 H/ 934-946 M)
Setelah Al-Mahdi meninggal pemerintahan digantikan putra tertuanya yang bernama Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im. Ia merupakan khalifah Fatimiah pertama yang berhasil menguasai lautan tengah. Pada masa pemerintahannya mampu menaklukkan Genoa dan wilayah Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi gagal karena adanya penjegalan oleh Abu Yazid Makad.
3.      Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah (323-341 H/926-962 M)
Al-Manshur merupakan putra Al-Qa’im, ia adalah pemuda yang sangat lincah. Al-Manshur berhasil menghancurkan Abu Yazid Makad, meskipun putra Abu Yazid dan sejumlah pengikut setianya senantiasa menimbulkan keributan, namun seluruh wilayah di Afrika pada masa ini tunduk kepada ke khalifahan Dinasti Fatimiah. Al-Manshur membangun sebuah kota yang sangat mewah di wilayah diperbatasan Susa’ yang diberi nama kota Al-Manshuriyah.
4.      Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah (341-365 H/952-975 M)[2]
Khalifah ke empat ini diberi gelar Mu’izz Lidinillah. Banyak keberhasilan yang dicapainya. Pertama kali ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya ia menetapkan langkah yang harus ditempuh demi tercapainya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas, oleh sebab itu dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur. Wilayah yang berhasil ditaklukkannya meliputi: Maroko, Sycilia dan Mesir dengan memasuki kota Kairo lama dan berhasil menyingkirkan Dinasti Ikhsyidiyah. Ia memperluas kekuasaannya sampai Palestina, Suriah dan mengambil penjagaan atas tempat suci di Hijaz.
5.      Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah (365-386 H/975-996 M)
Al-Aziz termasuk khalifah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian pada masanya ditandai dengan kesejahterahan warga baik muslim maupun non muslim. Dalam pemerintahannya, al-‘Aziz sangat liberal dan memberikan kebebasan agama untuk berkembang dan terjaganya toleransi beragama. Kemajuan Imperium Fatimiah mencapai puncaknya pada masa pemerintahan ini.
Luas kekuasaan Imperium membentang dari wilayah Eufrat sampai Atlantik. Imperium ini mengungguli kebesaran Abbasiyah di Baghdad yang sedang dalam kemundurannya dibawah kekuasaan Buwaihiyyah. Antara khalifah Al-Aziz dan Amin Buwaihiyyah, Aziz Ad-daulat, menjalin hubungan persahabatan dengan saling mengirim duta masing-masing. Pada masa ini banyak kemajuan dalam bidang pembangunan fisik dan seni arsitektur. Banyak bangunan megah yang didirikan dikota Kairo seperti The Golden Palace, the pear Pavillion dan masjid Karafa. Ia berhasil menaklukkan Syria dan Mesopotamia. Ia meninggal pada tahun 996 M dan bersamaan dengan berakhirnya kejayaan dinasti Fatimiah.
6.      Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah (386-411 H/996-1021 M)
Dia diangkat pada usia 11 tahun. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai kekejaman; membunuh beberapa wazir, merusak gereja Kristen termasuk makam suci di Palestina. Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu berkobarnya perang salib. Ia juga memaksa orang Kristen dan Yahudi untuk memakai jubbah hitam, mengendarai keledai dan menunjukkan salib bagi orang Kristen, sedangkan orang yahudi menaiki lembu dengan memakai bel. Kebijakan politik al-Hakim menimbulkan rasa benci kaum dzimmi dan muslim non syi’ah. Pada masa ini kemunduran dan keruntuhan dinasti Fatimiah dimulai.
7.      Abu al-Hasan Ali-Zhahir (411-428 H/ 1021-1035 M)
Al-Zhahir naik tahta pada usia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al-Mulk. Sepeninggal bibinya, Al-Zhahir menjadi raja boneka ditangan menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang tidak dapat terjangkau. Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus menerus.
Peristiwa yang paling terkenang pada masa ini adalah penyelesaian persengketaan keagamaan pada tahun 1025 dimana tokoh-tokoh Madzhab Malikiyah diusir dari mesir meskipun demikian Al-Zhahir cukup toleran kepada kaum Sunni. Ia bersedia membuat perjanjian dengan Kaisar Romawi Constantine VIII dengan memberi ijin untuk membangun kembali gereja Yerussalem yang roboh. Ia berhasil menarik simpatik kembali kaum dzimmi. Akan tetapi, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia.
8.      Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir (428-487 H/ 1035-1094 M)
Terjadi pemberontakan di Palestina dan beberapa di antaranya menyatakan bergabung kembali dengan Abbasiyah. Pada masa ini Mesir dilanda wabah penyakit dan kemarau panjang. Hal ini menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Amir Makkah dan Madinah melepaskan diri dan Maroko menyatakan diri bebas dari kekuasaan Fatimiah begitupun Yaman. Al-Muntashir merupakan khalifah yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat panjang yakni selama 61 Tahun. Ia meninggal pada tahun 1095 M, Imperium Fatimiah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorangpun khalifah sesudah Al-Muntanshir mampu mengendalikan kemerosotan Imperium ini.[3]


B.     Ekspansi Dinasti Fatimiah
Pada mulanya, Dinasti Fatimiah berdiri di Qairawan, Maroko pada tahun 909 M. Imam yang pertama, yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang memimpin dari tahun 909-934 M.[4] Khalifahan Ubaidillah sangat menegakkan pemerintahan di istana Aglabiyah, yakni Raqqadah yang terletak dipinggiran kota Qairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Dua tahun setelah memegang kekuasaan tertinggi ia membunuh panglima dainya al-Syi’i. Segera setelah itu, ia memperluas kekuasannya meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan Mesir.
Pada tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Lalu ia mengirim Gubernur baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spayol. Malta, Sardinia, corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya ikut merasakan kekuatan armada yang ia warisi dari Dinasti Aglabiyah. Pada tahun 915 M, mereka berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Sekitar tahun 920 M, ia memindahkan pusat pemerintahanya ke ibu kota baru, al-Mahdiyyah yang didirikan di pesisir Tunisia, sekitar 27,2 kilometer ke arah tenggara kota Qairawan dan kota ini dinamai dengan nama dirinya sendiri.[5]
Pada tahun 935 M, al-Qaim bi Amrillah Abu al-Qasim Muhammad, putera sulung Ubaidillah melanjutkan kepemimpinannya di dalam Dinasti Fatimiah. Ia mengirimkan ekspedisi untuk menguasai Italia, Prancis, Andalusia, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria serta berhasil membawa para budak dan harta rampasan lainya. Sebagaimana orang tuanya, ia tidak pernah putus asa untuk mengirimkan pasukan ke Mesir, kendatipun upaya tersebut selalu berakhir dengan kegagalan. Kekuasaannya hanya berkutat di Afrika Utara.[6]
Di bawah pemerintah cucu al-Qa’im, Abu Tamim Ma’add al-Muiz (952-975) pasukan Fatimiah menyerbu pantai Spayol yang khalifahannya pada saat itu adalah al-Nashir yang agung. Tiga tahun kemudian tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Dari situlah komadan pasukan mengirimkan ikan hidup dalam beberapa buah buli-buli kepada khalifahannya. Pada tahun 969 M, Mesir telah terbebas dari penguasa Iksidiyah. Armada pasukan ini diperkuat dengan tambahan sebuah unit baru yang dibangun di Maqs, sebelum Bulak sebagai pelabuhan Kairo.
Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini adalah Jawhar al-Shiqilli (orang Sisilia) atau al-Rumi (orang Yunani). Aslinya ia seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin Sisilia yang dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke Kairawan. Segera setelah kemenangannya atas ibu kota Fusthat pada 969, Jahwar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah. Kota ini Kairo modern yang menjadi pusat kota Bani Fatimiah sejak 973. Setelah mendirikan ibu kota baru yang sekarang menjadi kota paling ramai di Afrika. Pada 972 Jawhar mendirikan Mesjid Agung al-Azhar yang kemudian oleh Khalifah al-Aziz dikembangkan menjadi Universitas besar.
Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi’i yang daerah kekuasanya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat adalah warisan dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah sebagai perlindungan terhadap kota Suci. Setelah kedudukannya di Mesir kokoh, Jahwar mulai melirik negara tetangganya Suriah dan mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969. Lawan utama Jahwar adalah sekte Qaramitah, yang pada saat itu berkuasa di Suriah.[7]

C.    Ideologi Keagamaan Yang Berkembang Pada Dinasti Fatimiyah
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan al-Muiz menganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang  politik, agama dan militer dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya yang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah  Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinya. Misalnva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdisme), yakni, ia dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang berkepanjangan yang tak terselesaikan. Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syi’ah yang kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya, pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak kebudayaannya yang religius.[8]
D.    Kemajuan Dinasti Fatimiah
Dinasti Fatimiah mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Abu Manshur Nizar al-‘Aziz yang terkenal seorang yang pemberani dan bijaksana. Daerah kekuasaannya mencapai seluruh Syiria dan Mesopotamia. Al-‘Aziz dan penguasa Baghdad Buwaihiyah menjalin hubungan persahabatan, menjadi saingan berat bagi Dinasti Fatimiah.
Hasil peradaban yang pernah ditorehkan pada masa dinasti Fatimiah ini antara lain:[9]
a)    Bidang Administrasi
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyah mencakup wilayah yang sangat luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Periode Dinasti Fatimiyah menandai era baru sejarah bangsa Mesir. Sebagian khalifah dinasti ini adalah pejuang dan penguasa besar yang berhasil menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran di Mesir. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian negara terbagi menjadi dua kelompok; pertama adalah para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedang kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut: (1) Hakim, (2) pejabat pendidikan sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar al-Hikmah, (3) inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan, (4) pejabat keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara, (5) regu pembantu istana, (6) petugas pembaca Al-Qur’an. Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga dan juru tulis dalam berbagai departemen.
Adapun di luar jabatan istana diatas, terdapat berbagai jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria, dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus untuk daerah Mesir terdiri atas empat provinsi, provinsi Mesir bagian atas, Mesir wilayah timur, Mesir wilayah barat, dan wilayah Alexandria, segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa setempat.
Dalam bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu (1) Amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah, (2) petugas keamanan, dan (3) berbagai resimen. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti hafiziyyah, Juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan  nama khalifah, wazir dan suku. Pusat-pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton, dan di beberapa pelabuhan Syiria. Masing-masing dikepalai seorang Admiral tinggi.
b)   Bidang Sosial
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia ridak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang kopti. Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.[10] Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan sebuah khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana Khalifah dihuni 30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkudadan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
c)    Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian pemerintahan Fatimiah dapat dibilang cukup bagus. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari luasnya wilayah dikuasai dan stabilitas politik yang mapan. Hal ini menjadi mungkin karena pemerintahan Fatimiah menggunakan kekuasaan yang sentralistik. Kondisi ini berdampak majunya bidang ekonomi, termasuk di dalamnya kemajuan bidang perdagangan dan sektor industri. Tentu faktor ekonomi ini juga mendorong lamanya eksistensi dinasti ini bertahan hingga dua setengah abad.
Pada masa kekuasaannya khalifah al-Mu’iz melakukan usaha-usaha peningkatan bidang pertanian, ia melakukan pembangunan saluran irigasi baru dalam meningkatkan hasil pertanian. Ia juga membangun pabrik-pabrik dan industri, sehingga terjadi meningkatkan volume kegiatan perdagangan di beberapa kota. Demikian juga hubungan perdagangan dengan negara-negara lain seperti Eropa dan India juga mengalami peningkatan.
Selain itu penguasa Fatimiah juga berhasil mengembangkan pelabuhan seperti Iskandariah. Pelabuhan Iskandariah sangat penting artinya dalam pertumbuhan perekonomian Fatimiah. Karena itu, tingkat kemakmuran yang dicapai oleh Khilafah Fatimiyah cukup bagus.[11]
d)   Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Ibnu Khilis merupakan salah seorang wazir Fatimiah yang sangat mempedulikan pengajaran. Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan memberinya subsidi besar setiap bulan. Pada masa Ibnu Khilis ini di dalam istana Al-Aziz terdapat terdapat seorang fisikawan besar bernama Muhammad At-Tamim. Al-Khindi sejarawan dan topografer terbesar dan hidup di Fustat dan meninggal di tahun 961 M. Pakar terbesar pada awal Fathimiyah adalah Qasdi An-Nu’man dan beberapa keturunannya yang menduduki jabatan Qadhi dan keagamaan tertinggi selama 50 tahun semenjak penaklukan Mesir sampai pada masa pemerintahan Al-Hakim.
Diantara para khalifah Fatimiah adalah tokoh pendidikan dan orang yang berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk di antara khalifah yang mahir dalam bidang syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Ia telah mengubah masjid agung Al-Azhar menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi. Kekayaan dan kemakmuran Dinasti Fatimiah dan besarnya perhatian para khlifahnya merupakan faktor pendorong para ilmuwan berpindah ke Kairo. Istana Al-Hakim dihiasi dengan kehadiran Ali bin Yunus, pakar terbesar dalam bidang astronomi, dan Ibnu Ali Al-Hasan bin Al-Haitami, seorang fisikawan muslim terbesar dan juga ahli di bidang optik.
Khalifah Fatimiah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan tinggi, mendirikan perpustakaan umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar Al-Hikmah (The House Of Wisdom) merupakan prakarsa terbesar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sekalipun pada awalnya lembaga ini dimaksudkan sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Al-Hakim pada tahun 1005 M.[12] Dar Al Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Lembaga tersebut didesain sedemikian  rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan kedokteran.
Pada masa Al Muntasir mendirikan Perpustakaan Istana Martabat al Qashr yang menyimpan sekitar 200 ribu koleksi buku yang dihimpun dari seluruh dunia. Koleksi buku tersebut terdiri atas berbagai cabang ilmu pengetahuan, mulai dari bahasa Arab, astronomi, kimia, sejarah, dan biografi. Perpustakaan ini juga mempunyai 2400 naskah Alquran.[13]
Al-Hakim juga besar minatnya dalam penelitian astronomi. Oleh karena itu, ia mendirikan lembaga observasi dibukit Al-Makattam. Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Penelitiannya ini telah mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.[14]
e)    Bidang Politik
Keberhasilan pemerintahan Fatimiah yang dapat menakhlukkan Mesir merupakan kesuksesan yang besar. Maka tidak heran bila mulai saat itu dapat dikatakan bahwa para penguasa Dinasti Fatimiah berhasil mewujudkan keinginannya untuk membangun sebuah imperium yang kuat, dengan dukungan militer yang tangguh, di seputar Laut Tengah. Kekuasaan Fatimiah selanjutnya cukup luas yang membentang dari Samudera Atlantik di sebelah barat dan sungai Euphrat di sebelah timur, pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Karena itu sesungguhnya secara politis Dinasti Fatimiah merupakan ancaman tersendiri bagi kekuasaan Abbasiyah.
Ada sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal khilafah Fatimiah ini untuk melancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain al-Mahdi, khalifah pertama, melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga pernah terjadi. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari tindakan al-Mahdi dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan. Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Khilafah Fatimiah. Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembanag wilayah kekuasaan.
Pengembangan wilayah kekuasaan ini berkaitan erat dengan kemiliteran. Perluasan wilayah kekuasaan diarahkan untuk menguasai daerah-daerah strategis, dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan posisi Khilafah Fatimiah. Dengan begitu stabilitas politik Fatimiah tetap terjaga.
Dalam kenyataannya apa yang dilakukan para penguasa Fatimiah ini dapat berjalan dengan baik, sehingga hampir seluruh Afrika Utara, terutama wilayah barat, berhasil dikuasai. Khilafah Fatimiah berhasil menguasai seluruh wilayah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di Tunisia, demikian juga menguasai Rustamiah Khariji di Tabart, demikian juga kekuasaan oraang-orang Syi’ah yang lain, Indrisiah di Fez juga berhasil dikuasai. Di luar wilayah tersebut juga tercatat bahwa pulau Sisilia yang sebelumnya dikuasai dinasti Aghlab dapat dikuasai pula.
Pada puncak kejayaan pemerintahan Fatimiah ini daerah yang dikuasai mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syria, dan Arabia Barat. Pencapaian tersebut tidak bisa dilepaskan dai penguasaan awal wilayah Mesir, yang cukup stategis tampaknya untuk melakukan ekspansi-ekspansi berikutnya.[15]
f)    Bidang Kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar sekitar tahun 972 M, dalam masa pemerintahan al Mu’iz. Kemudian menjadi madrasah tingkat tinggi pada tahun 976 M dan sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
Dalam pemerintahan Fatimiyah, terdapat empat perayaan maulud, yakni:
1)      Maulid Nabi Muhammad SAW
2)      Maulid Fatimiyah, putri Nabi
3)      Maulid Ali Ibn Abi Thalib
4)      Maulid Khalifah yang memerintah pada masa tersebut
Dalam masa pemerintahan al Aziz, khalifah paling bijaksana, ia berhasil membawa Fatimiyah pada puncak kemajuan mengungguli bani Abbas pada saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan masjid Karafa serta peresmian masjid al Azhar.
g)   Bidang Arsitektur dan Seni
Salah satu bukti bahwa Dinasti Fatimiyah juga mempunyai prestasi gemilang dalam hal arsitektur dan seni yaitu didirikannya masjid al-Azhar yang dibangun pada masa al-Mu’iz. Mode dan model masjid ini dipengaruhi pola pembangunan masjid Ibnu Tulun di Mesir dan juga terdapat pengaruh pola pembangunan Persia.
Sementara model menara yang pada akhirnya mengalami rekontruksi dengan gaya menara yang berasal dari Irak Utara. Kemudian masjid al-Azhar mengalami perkembangan menjadi sebuah Universitas yaitu pada masa Khalifah al- Aziz, yang sebenarnya dibangunnya al-Azhar adalah untuk menyebarluaskan doktrin Syi’ah akan tetapi kemudian Salahuddin al-Ayyubi mengubahnya menjadi pusat studi Sunni bahkan sampai sekarang.
Selain al-Azhar, pada tahun 990 M dibangun pula masjid al-Hakim yang dimungkinkan selesai pada tahun 1012 M. kontruksi masjid al-Hakim tidak jauh beda dengan masjid al-Azhar. Kemudian pada tahun 1125 M dibangun pula masjid al-Aqmar yang mana masjid ini sangat kentara sekali khas arsitektur Islamnya yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Masjid ini mempunyai tiang dengan gaya kaligrafi Kufi yang kubus, yang mana model ini juga mempunyai persamaan dengan masjid al-Shalih ibn Ruzzak.
Kemudian pada tahun 1125 M juga dibangun masjid al-Aqsa dan pada tahun 1160 M dibangun masjid Salih ibn Ruski dengan gaya kufi. Guna memperlihatkan kegagahan pemerintahan Dinasti Fatimiyah maka dibangunlah beberapa pintu gerbang besar yang mana kelak menjadi simbol bahwa Dinasti ini pernah jaya diantaranya yang masih ada sampai sekarang adalah : bab Zawilah, bab an-Nashr dan bab al-Futuh. Selain itu, di Mesir juga dibangun bangunan megah seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan masjid Karafa. Saat itu pula sudah banyak dikenal seni-seni keramik yang banyak mengikuti pola dari Iran. Penjilidan buku juga sudah ada saat itu yang kemudain berkembang sampai pada seni penghiasan sampul buku dan alat stempel.
Di samping itu terdapat gedung-gedung yang terkenal, seperti gedung emas, gedung pembuat mata uang, gedung perpustakaan dan lain-lain. Bangunan itu dibuat bukan hanya sangat megah, tetapi mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi yang tidak kalah dengan nilai-nilai arsitektur Romawi maupun Bizantium. Perkembangan seni bukan terbatas kepada bangunan dan gedung, seni ukir keramik atau tembikar juga sudah dikenal pada saat itu.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan dan tidak membedakan antara syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak da’i sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.[16]
Pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili.[17]

h)   Bidang Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1)        Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2)        Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof.
3)        Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4)        Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5)        Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6)        Hamiduddin Al-Qirmani.[18]


E.     Kemunduran Dinasti Fatimiah
Sebagaimana juga yang terjadi di beberapa kekuasaan lain, maka demikian juga yang terjadi pada Dinasti Fatimiah. Setelah Dinasti ini mengalami kemajuan-kemajuan disana sini, kemudian tiba waktu kemundurannya. Para sejarawan menyimpulkan kemunduran Dinasti Fatimiah ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a)         Figur Khalifah yang Lemah
Dalam sejarah Dinasti Fatimiah yang pernah mengalami kejayaaan di atas terdapat beberapa khalifah yang diangga sebagai figur yang lemah. Kelemahan ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya  adalah diangkat dalam usia yang relatif masih muda. Ada pula kelemahan itu karena khalifah terlena dengan kemewahan istana serta melakukan sikap yang sewenang-wenang dan cenderung amoral, yang menyebabkan ketidaksukaan masyarakat terhadap Dinasti Fatimiah khususnya kepada Khalifahnya.
Terdapat beberapa nama khalifah yang diangkat dalam usia muda, diantaranya adalah Khalifah Al-Hakim yang diangkat dalam usia 11 tahun, usia yang masih belia untuk ukuran seorang pemimpin negara. Demikian juga Al-Zahir yang menjadi khalifah dalam usia 16 tahun, Al-Muntashir dalam usia 11 tahun, Al-Musta’li dalam usia 9 tahun, Al-Amir dalam usia 5 tahun, Al-Zafir dalam usia 16 tahun, Al-Faiz dalam usia 4 tahun, dan Al-Adhid, khalifah terakhir, diangkat dalam usia 9 tahun. Pengangkatan khalifah dalam usia yang masih muda ini merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis keturunan. Dan sebagai akibat dari pengangkatan khalifah di usia muda itu menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya didominasi oleh para wazir.
Karena faktor usia khalifah masih muda terkadang muncul sikap sewenang-wenang khalifah, seperti yang dilakukan oleh khalifah al-Hakim, dia terkenal sebagai khalifah yang keras dan sewenang-wenang. Sikapnya cenderung dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Al-Hakim memang punya prestasi monumental misalnya membangun perpustakaan besar yang kemudian dinamai dengan Darul Hikmah pada tahun 1004 M, tetapi ia juga terkenal sebagai khalifah yang kejam.
Sikap kesewenangan al-Hakim ditunjukkan dengan kebenciannya kepada orang-orang Mesir sendiri, bertindak sewenang-wenang dan merendahkan mereka, harta dan nyawa yang dirampas. Al-Hakim memberi tempat orang-orang asing dan orang-orang yang tidak jelas moralnya untuk mengurusi masalah-masalah pemerintahan. Hal ini berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunnya ketenteraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap amoral.
b)        Perebutan Kekuasaan ditingkat Istana
Sebagai akibat dari diangkatnya khalifah di usia muda mengakibatkan peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetitif, sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi. Ini terutama terjadi diantara para wazir yang sangat ambisius terhadap jabatan dan mereka ingin mendapatkan pengaruh di Istana, terlebih lagi dengan melihat kondisi khalifah yang sangat lemah. Ada juga wazir yang berusaha mengangkat khalifah padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Hal tersebut bisa dilihat misalnya yang terjadi pada pengganti khalifah khalifah al-Muntashir, dimana setelah al-Muntashir meninggal dunia pada akhir tahun 1094, tindakan setelah al-Afdal yang menjabat sebagai wazir kala itu mengatur penggantian al-Muntashir, padahal al-Muntashir telah menunjuk putranya yang pertama, yaitu Nizar, tetapi al-Afdal justru menunjuk putranya yang lebih muda, al-Musta’li, dan membujuk para pejabat senior untuk menerima keputusannya itu.[19] Besar kemungkinan apa yang dilakukan oleh al-Afdal dalam rangka agar ketika anaknya berkuas nanti akan dapat dikendalikannya.
Apa yang dilakukan wazir al-Afdal yang memaksakan kehendaknya, menjadikan Nizar yang mestinya mempunyai hak menjadi khalifah lari ke Iskandaria dan disana ia menyatakan diri sebagai khalifah. Al-Afdal kemudian dengan membawa pasukan besar bergerak untuk menyerang dan menangkap Nizar. Akhirnya Nizar menyerah. Walau tadinya dijanjikan keselamatan. Tetapi dia lenyap tidak diketahui.
Hal ini membawa perpecahan di dalam pergerakan Ismailiah. Rakyat yang loyal kepada al-Muntashir pecah menjadi dua golongan. Pertama, di Iran dan sebagian wilayah Syiria, pengikut Madzhab Ismailiah mendukung anaknya yang paling tua yaitu Nizar dan Kedua, di Mesir, Yaman dan Sind pengikut Ismailiah berkeyakinan bahwa adik Nizar yang bernama al-Musta’li. Kedua kelompok Ismailiyah ini, sama-sama mewarisi Dinasti Fatimiah, tetapi sejarah dan perkembangan mereka berjalan dalam arah yang berlainan. Kenyataan ini tentu secara politis tidak menguntungkan.
Demikian juga terjadi pertentangan antara para wazir dan klik-klik militer terjadi pada masa al-Hafid. Yaitu konflik antara Bahram dan Ridwan yang keduanya pernah menjabat penguasa Armenia yang kemudian menjadi wazir. Konflik internal ini jelas semakin hari semakin melemakan kekuasaan khilafah Fatimiah. Demikian juga pada masa al-Adhid juga terjadi pertentangan yang serupa, terutama perebutan wazir antara Syawar dan Dirgham.
c)         Konflik di Tubuh Militer
Pada saat Al-Aziz menjabat sebagai khalifah keempat, dia membuat kebijakan untuk merekrut orang-orang Turki dan Negro. Kebijakan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal istana yang telah terlanjur membesar yang mereka ini sebagian besar berasal dari suku Barbar yang terkenal keras. Ternyata, rekruitmen ini menimbulkan kemelut di dalam tubuh militer dan antar mereka terus menerus terjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan Fatimiah.
Demikian juga pada masa Khalifah Al-Muntashir, di masa ini kekuasaan Dinasti Fatimiah mulai merosot tajam. Tentara profesional betul-betul tidak bisa dikendalikan sang khalifah. Kelompok-kelompok militer yang terdiri dari orang-orang Turki, Sudan, Barbar dan Armenia bersaing sengit, dan terkadang terjadi pertempuran diantara mereka. Bahkan panglima tentara berkebangsaan Turki, Nasir mampu menguasai Kairo pada tahun 1068 sempat menjarah istana kekhalifahan. Sebuah peristiwa cukup membahayakan eksistensi pemerintahan Fatimiah. Tentu saja kemelut di kalangan Militer ini berdampak pada stabilitas pemerintahan yang tidak aman lagi.[20]
d)        Bencana Alam Berkepanjangan
Pada masa Al-Muntashir, selama tujuh tahun, Mesir ditimpa musibah kelaparan akibat kekeringan. Sungai Nil yang merupakan urat nadi wilayah Mesir saat itu mengalami kekeringan yang menyebabkan pertanian mengalami kegagalan. Demikian juga penyakit merajalela dimana-mana. Penguasa mengalami kesuitan mengatasi kondisi yang demikian. Sehingga dalam waktu sembilan tahun pernah terjadi pergantian pejabat wazir sampai empat puluh kali. Musibah ini, tentu mengganggu kondisi ekonomi di pemerintahan Fatimiah.
Kemudian Khalifah al-Muntashir meminta bantuan kepada seorang jenderal dari suku Armenia yang bernama Badr al-Jama, yang menjabat Gubernur Arce untuk mengatasi bencana tersebut. Orang ini segera berlayar ke Mesir dengan pengawal Armenia dan sepasukan bala tentara yang setia. Sebelum maksud pemanggilannya, oleh al-Muntashir diketahui dia telah menangkap dan menghukum mati para jenderal Turki dan pejabat-pejabat Mesir yang mungkin menimbulkan masalah. Dia berusaha semaksimal mungkin memperbaiki keadaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Fatimiah.
e)         Keterlibatan Non-Islam dalam Pemerintahan
Di antara sekian banyak Khalifah Fatimiah yang terkenal memiliki andil dalam memajukan Dinasti ini adalah Khalifah al-Aziz. Dia memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan Dinasti Fatimiah. Diantara kebijakan al-Aziz adalah al-Aziz sering memberikan pos-pos penting dan strategis kepada orang-orang non-Islam. Tampaknya kebijakan ini memang turut memajukan Fatimiah tetapi pada sisi yang lain justru menjadi salah satu faktor yng mengakibatkan kemunduran dinasti ini, karena kebijakan ini ternyata menimbulkan kecemburuan, kejengkelan dan bahkan kemarahan di kalangan kaum muslimin. Benih-benih kejengkelan ini tentu membahayakan kehidupan sosial politik Fatimiah.
Sebagian orang non-muslim tersebut ada yang dipercaya menjadi menteri, petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga terdapat para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Kenyataan seperti ini, secara berangsur-angsur dapat melemahkan dan menggerogoti kondisi kekhalifahan Fatimiah.[21]

Setelah kekuasaan berjalan sekitar dua setengah abad, kemudian khilafah Fatimiah mengalami kehancurannya. Kehancuran khilafah ini terjadi pada masa kekhalifahan al-Adhid. Kehancuran khilafah ini selain dari akumulasi berbagai faktor yang menyebabkan kemunduran diatas, juga disebabkan oleh adanya kekuatan Kaum Salajiqah dan Pasukan Salib yang banyak terlibat dalam urusan-urusan kekhalifahan, juga karena diminta oleh para wazir yang sedang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sehingga konflik kerap muncul di masa khalifah al-Adhid.
Pertentangan tingkat istana itu memuncak saat seorang khalifah Fatimiah memerintahkan untuk membunuh Ibnu Ruzzik, seorang wazir sejak masa al-Faiz. Kemudian Ibnu Ruzzik digantuikan oleh anaknya sendiri yang bernama al-Adhil yang kemudian direbut oleh Syawar yang berasal dari Arab yang juga teman dari Ibnu Ruzzik. Anak Syawar, Tayy, kemudian membunuh al-Adil pada tahun 1163.
Dari adanya peristiwa tersebut kemudian Dirgham bersama pendukung al-Adil melakukan pemberontakan. Pada pemberontakan tersebut pasukan Syawar mengalami kekalahan dan lari ke Syiria, dan berakhirnya tersingkirnya dari jabatannya sebagai wazir. Karena Syawar tersingkir maka kedudukan wazir dipegang oleh Dirgham.
Pada saat itu, Syawar menyusun sebuah strategi dengan cara diam-diam meminta bantuan kepada Nuruddin, enguasa Dmaskus di masa dinasti Saljuq, yang merupakan afiliasi Abbasiyah di Baghdad. Syawar menjanjikan kepada Nuruddin akan membiayaiekspedisi militer dan memberikan sepertiga pajak Mesir sebagai upeti tahunan jika negara itu dapat dikuasai lagi.
Akhirnya Nuruddin mengirimkan ekspedisi militer dengan tentara asal Turki dibawah pimpinan Panglima Syirkuh. Dirgham yang baru saja mengalami kekalahan dari Raja Almaric, penguasa Yerussalem, tidak berkutik sampai dia meninggal dunia. Sehingga kemenangan berada di pihak Nuruddin.
Setelah kemenangan terjadi, dan Syawar kemudian dapat kembali menjadi wazir di Fatimiah pada tahun 1164 M, ternyata ia mengingkari janjinya dulu kepada Nuruddinm, dan bukan itu saja, ia bahkan dengan bantuan pasukan salib yang berasal dari tentara Perancis selanjutnya ia mengusir panglima Syirkuh dari Mesir, pasukan yang dulu membantunya dalam mengalahkan Dirgham.
Setelah terusir dari Mesir kemudian panglima Syirkuh bersama Shalahuddin al-Ayyubi dengan didukung pasukan tangguh kemudian berangkat lagi ke Mesir pada tahun 1166 M. Pasukan ini bukan hanya membantu melawan pasukan Salib tetapi juga sekaigus untuk menguasai Mesir. Dengan pertimbangan bahwa Mesir lebih baik mereka kuasai dari pada dikuasai oleh pasukan salib. Disamping itu sebagai akibat dari pengkhianatan yang dilakukan oleh wazir Syawar. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan pasukan salib serta sekaligus menguasai Mesir tahun 1169 M. Akhirnya atas perintah Khalifah, Syawar dibunuh dan kemudian yang diangkat sebagai wazir pada tahun 1169 M adalah Syirkuh.
Syirkuh menjabat sebagai wazir hanya selama dua tahun, selanjutnya ia digantikan oleh Salahuddin. Salahuddin adalah orang yang bertabiat ramah, ia cepat mendapat simpati rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh Khalifah. Posisi ini tentu menjadi rawan bagai possi khalifah Fatimiah.
Dalam keadaan seperti itu kemudian ada perintah dari istana untuk membunuh Salahuddin di bawah pimpinan Najah. Salahuddin tidak terbunuh tetapi justru Najah yang ditangkap dan akhirnya dibunuh. Kemudian terjadilah peperangan antara tentara asal Sudan yang berada di pihak Khalifah berjumlah 50.000 orang melawan tentara asal Turki dari pihak Salahuddin. Karena posisi Salahuddin dan pasukannya sudah kuat maka kemenangan berada di pihak Salahuddin al-Ayyubi.
Setelah kemenangan Salahuddin tersebut kemudian disusul mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Syubik. Setelah meraih kemenangan, pada tahun 1170 M ia meminta kepada Nuruddin untuk mengirim orang tua dan kerabatnya ke Mesir. Mayoritas rakyat Mesir baik Syi’ah maupun Sunni dari kalangan Turki menganggap Salahuddin sebagai pelindung mereka menghadapi pasukan Salib. Kemudian Nuruddin meminta kepada Salahuddin untuk menyebut nama Khalifah Abbasiyah dalam setiap khutbah menggantikan nama Khalifah Fatimiah, tetapi Salahuddin tidak langsung mengabulkannya.
Pada saat khalifah al-Adid sakit, kemudian Salahuddin mengadakan rapat pimpinan soal permintaan Nuruddin itu. Tetapi rapat tersebut tidak membuahkan hasil mungkin karena ada konsekuensi besar dari penyebutan nama Khalifah Abbasiyah tersebut. Pada saat demikian dalam rapat itu tampil seorang keturunan Persia, al-Amir, yang mengusulkan untuk melaksanakan keinginan Nuruddin.maka pada hari Jum’at pertama bulan Muharram, sebelum khatib naik mimbar, ia mendahului naik dan menyebut nama Khalifah Abbasiyah, al-Mustadli. Karena tidak ada reaksi negatif dari jamaah, Salahuddin menginstruksikan agar para khatib menyebut nama Khalifah Abbasiyah pada hari-hari Jum’at.
Pada tahun 1171 M Khalifah al-Adhid meninggal dunia, dengan meninggalnya khalifah al-adhid dan di khutbah-khutbah jumah disebut nama khalifah Abbasiyah maka dengan demikian hancurnya sudah kekuasaan khilafah Fatimiah secara politis setelah berkuasa sekitar 280 tahun. Jatuhnya kekuasaan Fatimiah ini kemudian kekuasaan dipimpin oleh Salahuddin dengan dinasti keturunannya yaitu dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini tunduk dan berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah.[22]


























BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
1.      Dinasti Fatimiah berkuasa tahun 297-567 H/909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di Mesir dan Syria. Dinamakan dinasti Fatimiah karena dinisbatkan nasabnya kepada keturunan Ali Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali ibn Abi Thalib dan Fatimiah dari Ismail anak Ja’far Sidiq keturunan keenam dari Ali. Awalnya kelompok ini dibangun dan dibentuk menjadi system agama dan politik oleh Abdullah ibn Maimun. Setelah itu berubah menjadi gerakan kekuatan, dengan tokohnya Said ibn Husein. Kemudian sekte ini menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti Fatimiah. Tokoh-tokohnya meliputi: Abu Muhammad Abdullah/ Ubaidullah Al-Mahdi, Abu al-Qasim Muhammad Al-Qa’im ibn Amrullah ibn al-Mahdi Ubaidullah, Abu Tahir Isma’il Al-Manshur Billah, Abu Tamim Ma’add Al-Mu’izz Lidinillah, Abu Manshur Nizar Al-‘Aziz Billah, Abu ‘Ali Manshur Al-Hakim ibn Amrillah, Abu al-Hasan Ali-Zhahir, Abu Tamim Ma’add Al-Mustanshir.
2.      Ekspansi yang dilakukan oleh dinasti Fatimiah diantaranya yaitu Khalifah Ubaidillah memperluas kekuasannya meliputi wilayah Afrika dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan Mesir. Tahun 914 M, ia menguasai Iskandariyah. Dua tahun kemudian ia menundukkan wilayah Delta. Tahun 915 M, mereka berhasil menguasai Mahdiyah, Tunisia, dan menjadikannya sebagai pusat kekuasaan. Tahun 935 M, al-Qaim bi Amrillah Abu al-Qasim Muhammad mengirimkan ekspedisi untuk menguasai Italia, Prancis, Andalusia, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria. Di bawah pemerintah Abu Tamim Ma’add al-Muiz pasukan Fatimiah menyerbu pantai Spayol. Tiga tahun kemudian tentara Fatimiah berhasil menuju Atlantik. Pada tahun 969 M, Mesir telah terbebas dari penguasa Iksidiyah. Kemudian Jahwar menjadi pendiri Dinasti Fatimiah yang kedua setelah al-Syi’i yang daerah kekuasannya meliputi wilayah Afrika Utara. Arab sebagaian barat adalah warisan dinasti Iksidiyah yang telah dipercayakan oleh penguasa Abbasiyah sebagai perlindungan terhadap kota Suci. Setelah itu, Jahwar mulai melirik Suriah dan mengirim seorang panglima perang yang berhasil menaklukan Damaskus pada 969 M.
3.      Ideologi keagamaan yang berkembang diantaranya berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Selain itu ada juga yang menganut faham Syi’ah dan Sunni.
4.      Kemajuan Dinasti Fatimiah meliputi berbagai bidang yaitu administrasi, sosial, ekonomi dan perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesusastraan, politik, kebudayaan, arsitektur dan seni, pemikiran dan filsafat.
5.      Kemunduran Dinasti Fatimiah disebabkan beberapa faktor yaitu figur khalifah yang lemah, perebutan kekuasaan di tingkat istana, konflik di tubuh militer, keterlibatan non-islam dalam pemerintahan. Kemudian pada tahun 1171 M dengan meninggalnya khalifah al-Adhid dan di khutbah-khutbah jum’at tidak disebut nama khalifah Fatimiah melainkan disebut nama khalifah Abbasiyah, maka dengan demikian hancur kekuasaan khilafah Fatimiah.
B.     SARAN
Demikian Makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







DAFTAR PUSTAKA

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Teras, Yogyakarta; 2012
Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present (Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta; 2010
Zuhairi Misrawi, Al-Azhar (Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas Media Nusantara, Jakarta; 2010
Ibn Ghifarie, Dinasti Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html, diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir,  http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html, diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
Herman Busri, Kemajuan Dinasti Fatimiah (Sejarah Islam di Afrika), http://penakluq.blogspot.com/2013/09/kemajuan-dinasti-fatimiah-sejarah-islam.html, diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB


[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta; 2010, hlm. 254-255
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, Bulan Bintang, Jakarta; 1977, hlm. 232-237
[3] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Teras, Yogyakarta; 2012, hlm. 172-174 
[4] Zuhairi Misrawi, Al-Azhar (Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan), Kompas Media Nusantara, Jakarta; 2010, hlm. 120
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present (Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; 2006, hlm. 789
[6] Zuhairi Misrawi, Op.Cit., hlm. 121
[7] Philip K. Hitti, Op.Cit., hlm. 790
[8] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir,  http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html, diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[9] Khoiriyah, Loc.Cit., hlm. 175
[10] Samsul Munir Amin, Loc.Cit., hlm. 264-265
[11] Imam Fuadi, Loc.Cit., hlm. 7-8
[12] Samsul Munir Amin, Op.Cit., hlm. 266-268
[13] Ibn Ghifarie, Dinasti Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html, diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
[14] Mohammad Kamilus Zaman, Fatimiyah dan Perannya dalam Pengembangan Peradaban Mesir,  http://kamiluszaman.blogspot.com/2014/12/fatimiyah-dan-perannya-dalam.html, diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[15] Imam Fuadi, Loc.Cit., hlm. 4-6
[16] Herman Busri, Kemajuan Dinasti Fatimiah (Sejarah Islam di Afrika), http://penakluq.blogspot.com/2013/09/kemajuan-dinasti-fatimiah-sejarah-islam.html, diunduh tanggal 26 April 2015 pukul 09.23 WIB
[17] Ibn Ghifarie, Dinasti Fatimyah, http://agama.kompasiana.com/2010/12/15/sakola-dinasti-fatimiyah-325368.html, diunduh tanggal 10 Mei 2015 pukul 12.31 WIB
[18] Khoiriyah, Loc.Cit., hlm. 175
[19] Imam Fuadi, hlm. 9-11
[20] Imam Fuadi, hlm. 12-13
[21] Imam Fuadi, hlm. 14-15
[22] Imam Fuadi, hlm. 15-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar