Sabtu, 20 Juni 2015

DAMPAK TERORIS, RADIKAL DAN FUNDALISME DALAM PERKEMBANGAN ISLAM



DAMPAK TERORIS, RADIKAL DAN FUNDALISME DALAM PERKEMBANGAN ISLAM

MAKALAH
Dibuatgunamemenuhitugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen pembimbing: Muhammad Miftah, M.Pd.I


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7hVYKhk2Yd8OVV9rw4QiTRMb1NSFd0KgPe6fzw23fLY84Dnz0fdHDlBbOU72zxyVROuX2YuXGJle64kSQs6EG6-mnb26Jr7kntMKj1UAMYIJXDveQjTtQMWTpAD3afl3pAOSMdNobP9FV/s1600/logo+stain+kudus.JPG

Disusun oleh: Kelompok 11
1.    Zulfa Rahmawati                (1310110057)
2.    Hidayatul Mustafid             (1310110074)
3.    Iyanatul Masbakhah           (1310110077)
           

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
TAHUN AKADEMIK 2014/2015




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini isu fundamentalisme agama menjadi topik utama dalam kehidupan keberagamaan tidak saja di tanah air, tetapi juga di seluruh dunia. Seperti apa yang disinyalir Karen Amstrong, hampir di setiap agama fundamentalisme selalu muncul, meski kadar dan bentuknya berbeda. Namun, gerakan fundamentalisme agama yang paling tampak berhadap-hadapan, khususnya diIndonesia, tidak lain kecuali terlibatnya dua agama Kristen dan Islam. Dalam Agama Kristen dan Islam, fundamentalisme agama kadang menampak pada sikap keagamaan pemeluknya, sementara di sisi lain fundamentalisme juga tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan pemahaman ajaran agama semata. Kendati demikian, fundamentalisme agama tetap merupakan suatu fenomena yang masih tetap samar. 
Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut pada distingsi kelompok penganut agama. Artinya, cap fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang mengaku sebagai kelompok pembaharu. Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan tatkala melawan kelompok liberal, sementara tuduhan yang sama juga kerap di alamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya yang dinilai serbae kstrem. Hal yang sama juga terdapat pada term radikalisme dan terorisme, terjadi perluasan makna yang mengakibatkan tidak jelasnya batasan-batasan istilah tersebut.

B.  Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya teroris, radikal dan fundalisme ?
2.Bagaimana dampak teroris, radikal, dan fundalisme dalam perkembangan islam ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah munculnya Teroris, Radikal, dan Fundalisme
Terorisme adalah kekerasan, namun tidak semua bentuk kekerasan adalah terorisme. terorisme merupakan hal yang sangat pentng untuk dikenali, meskipun sulit untuk didefinisikan secara tepat.[1]
Kapan terorisme mulai muncul ke permukaan menimbulkan berbagai pendapat. Ada yang mengatakan bahwa keberadaan terorisme sebenarnya telah ada sepanjang peradaban umat manusia, hanya saja ketika itu istilah terorisme belum dikenal tetapi aksi kekerasan yang terjadi saat itu identik dengan apa yang disebut terorisme dewasa ini. Ahli sejarah Yunani kuno, Xenopon (430-349 SM) mengungkapkan bahwa penggunaan Psychological warface ( perang secara diam-diam) telah dipraktekkan Kaisar Romawi melawan musuhnya dianggap sebagai terorisme ketika itu. Misalnya, Kaisar Tiberius (14-37 M ) dan raja Caligula (37-41 M) dalam kekaisaran Romawi melakukan tindakan kekerasan antara lain pemberlakuan hukuman mati, pengasingan, penyiksaan, dan penyitaan harta benda untuk meredam gerakan oposisi. Selanjutnya di Mesir, Fir’aun telah melancarkan teror yang sangat mengerikan dengan membunuh anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam sejarah islam dikenal kelompok sempalan sekte Assassn pecahan kelompok dari syi’ah Ismailiyah yang ekstrim dibawa pimpinan Hassan al-Shabbah (1057 M) di gelarThe Old of Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia). Kelompok ini membolehkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya dari Bani Saljuq yang mereka klaim telah sesat pada abad ke-11 dan ke-13. Tindakan mereka ini oleh sejarawan dikategorikan sebagai aksi terorismem. Perkembangan selanjutnya sekte ini dihancurkan ileh laskar Mongol. Demikian halnya golongan khawarij sering melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak lain yang tidak sepaham baik dalam bidang keagamaan maupun politik.
Di era modern, ideologi terorisme menurut Harun Yahya pada umumnya dinisbatkan kepada teori Evolusi Darwin “Stuggle for survival between the races” (pertarungan untuk bertahan hidup antar ras) dan teori “Natural selection” (seleksi alamiah). Secara umum, terorisme merupakan salah satu fenomena pergolakan politik dunia era modern. Istilah ini telah menjadi istilah yang popular dalam pembahasan politik dewasa ini. Sebenarnya term terorisme berasal dari Eropa dan Amerika, sebab Eropa dan Amerika merupakan tempat lahirnya term ini lalu memberikan beragam pengertian yang diambil dari filosofi yang dipraktekkan dalam gerakan sejumlah kelompok atau organisasi yang melegalkan tindakan kekerasan sebagai sarana perjuangan. [2]
Sedangkan rumusan makna terorisme sendiri bervariasi yang diberikan oleh berbagai kalangan dan disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Al Juhani, tidak hanya rumusan terorisme yang dapat disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia disebabkan antara lain banyaknya perbedaan pendapat mereka dalam membicarakan persoalan ini.
Argumen yang sama juga dikemukakan Ahmad Jalal Izudin. Menurutnya, perbedaan permaknaan konsep terorisme diakibatkan karena beberapa faktor, antara lain perbedaan persepsi tentang suatu tindakan yang dilakukan perorangan atau kelompok apakah dianggap legal dan bisa dibenarkan atau tidak.
Pakar lainnya, seperti Azyumardi Azra, mengakui bahwa sekalipun terjadi kesulitan dalam mendefinisikan makna terorisme. Perbedaan antara “teror” dengan “terorisme” sebab penggunaan teror tidak otomatis merupakan “terorisme” karena “teror” dapat dilakukan tujuan-tujuan kriminal dan personal. Argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas mengindikasikan bahwa tidak terdapat konsensus dalam merumuskan makna terorisme disebabkan beberapa faktor. Pada intinya, sulit memformulaiskan definisi terprisme disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merumuskan definisi terorisme.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan mendefinisikan terorisme, terdapat sejumlah definisi anatara lain:
Secara etimologis, terorisme memiliki beberapa pengertian yakni:
a.    Attitude d’intimdation (sikap menakut-nakuti)
b.    Use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan politik).
c.    Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktek-praktek tindakan teror.
d.    Fear and dispear (Setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusan).
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1.         Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)
2.         Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1.         Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2.         Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3.         Menggunakan kekerasan.
4.         Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5.         Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Berdasarkan beberapa definisi terorisme yang dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu pengertian operasional bahwa terorisme adalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara.
a.    Bentuk-bentuk terorisme
Menurut Wilkinson, terorisme terbagi menjadi 3 tipe (bentuk) yakni:
1.         Terorisme revolusioner
Dilakukan warga sipil. Bertujuan untuk merubah secara totalitas tatanan sosial dan politik yang sudah ada.
2.         Terorisme sub revolusioner
Dilakuaka warga sipil.Bertujuan untuk menguabah kebijakan atau balas dendam atau menghukum pejabat pemerintahan yang tidak sejalan.
3.         Terorisme represif
Dilakukan oleh negara.
Kemudian penulis membagi bentuk terorisme kedalam 2 bagian. Ditinjau dari segi pelakunya, yakni sipil dan negara. Jadi hanya terfokus pada terorisme yang berperan sebagai individual atau kelompok dan negara.
Terorisme yang dilakukan secara individu atau kelompok adalah aksi teror tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari elompok tertentu baik itu ditujukan pada komunitas tertentu ataupun negara yang berdaulat.
Terorisme negara adalah aksi teror yang dilakuakn oleh pemerintah, mengatasnamakan atas dasar hukum, ditujukan baik terhadap kelompok oposisi yang ada di bawah pemerintahannya maupun terhadap kelompok di wilayah lainnya.

b.        Faktor-faktor Terjadinya Terorisme
Beberapa argumentasi dari berbagai pakar dan pemerhati masalah terorisme mencoba mengungkapkan faktor-faktor terjadinya aksi teror, antara lain ideologis, politis, ekonomi, dan sosial. Secara  umum, keempat aspek ini paling tidak dijadikan acuan atau dasar dalam mendeskripsikan hal-hal yang menyebabkan munculnya terorisme.
1.    Faktor ideologis
Alasan ideologis kadangkala dijadikan motivasi bagi pelaku teror untuk melegitimasi aksi teror mereka. Mainstrem dari faktor ideologis ini biasanya dikaitkan dengan isu fanatisme keagamaan, yang ditandai dengan radikalisme dan fundamentalisme keagamaan. Radikalisme dan fundamentalisme tidak hanya dikenal dalam sejarah dan dunia islam, tetapi bisa juga ada di agama selain islam.
2.         Faktor Politik
Kelompok teroris kadangkala menggunakan alasan politik yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk melancarkan aksi teror dan aksi dehumanisasi lainnya. Pembajakan pesawat, penyanderaan, pembakaran, pemboman, penganiayaan, intimidasi, penculikan dan pembunuhan serta sejumlah tindakan kriminalitas lainnya merupakan bentuk skenario politik untuk mencapai tujuan politis tertentu.
3.         Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dalam memicu terjadinya tindakan teror. Terorisme kadangkala dilancarkan karena terjadi ketimpangan ekonomi atau sistem eksploitasi ekonomi dalam suatu negara. Kemungkinan salah satu sebabnya adalah terjadinya globalisasi ekonomi yang berimplikasi pada ketimpangan dan ketidakadilan, termasuk dalam penanganan ekonomi maupun dalam pendistribusiannya, baik yang terjadi di internal negara tersebut maupun di negara-negara berskala internasional.
4.         Faktor Sosial
Aksi  teror kadangkala juga dilatarbelakangi oleh faktor kondisi sosial masyarakat, dan ini biasanya diekspresikan sebagai bentuk frustasi, kekecewaan dan ketidakberdayaan para teroris melihat kondisi di masyarakat sebagai akibat ketidakadilan para teroris melihat kondisi di masyarakat sebagai akibat ketidakadilan baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari negara lainnya.[3]
       Secara historis, kemunculan dan eksistensi kelompok garis keras atau radikal di kalangan umat Islam Indonesia bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada awal abad ke 20, dalam peningkatan semangat nasionalisme dan depripasi ekonomi yang kian parah dikalangan pribumi, radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok-kelompok sarekat islam (SI) lokal. Pergerakan islam radikal memang sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia . Indonesia dan Malaysia, yang secara statistik berpenduduk mayoritas Muslim telah mengalami gejala globalisasi Islam radikal.
       Kemunculan gerakan islam radikal di indonesia disebabkan oleh dua factor. Pertama, faktor internal dari dalam umat islam sendiri. Faktor ini dilandasi oleh kondisi internal umat islam sendiri telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekular yang sudah merasuk ke dalam kehidupan umat islam dengan segalaa dampaknya mendorong mereka melakukan gerakan-gerakan kembali kepada otentitas (fundamen) Islam. Kedua,  faktor eksternal di luar umat islam, baik yang dilakukan rezim penguasa maupun hegemoni Barat. (1) Sikap represif rezim penguasa terhadap kelompok-kelompk islam seperti yang dilakukan Orde Baru telah membangkitkan radikalisme islam. Kasus gerakan Warsidi, Salman Hafidz dan Imron atau yang dikenal dengan Komando Jihad telah membangkitkan radikalisme islam di Indonesia. (2) Begitu pula krisis kepemimpinan yang terjadi pasca-Orde Baru yang ditunjukan dengan lemahnya penegakkan hukum, seperti di Ambon dan praktik kemaksiatan yang terjadi di masyarakat, telah mendorong gerakan Islam bahwa syariat Islam adalah solusi terbaik terhadap kkrisis. Pada gilirannya Radikalisme dijadikan sebagai jawaban atas lemahnya aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus yang terkait dengan umat islam.
       Sementara itu, radikalisme juga terdiri dalam bentuk perlawanan terhadap Barat yang hegemonik, dan terlalu dalam ikut campur di negara-negara islam, seperti yang terjadi di Irak, Libya, Bosnia, dan Palestina. Umat islam sudah lama diperlakukan tidak adil oleh Barat secara Politik, ekonomi, dan budaya, sehingga mereka harus mendeklarasikan perlawanan terhadap Barat. Dominasi Baraat terhadap negara-negara Islam tidak dalam kapasitasnya yang saling bekerja sama, tetapi malah memojokkan dan memusuhi. Pada gilirannya, ketidakadilan Barat dilawan dengan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Palestina dan Libya.
       Reaksi yang ditunjukkan kelompok Islam radikal biasanya adalah melawan dengan cara-cara kekerasan terhadap kepentingan atau perusahaan multinasional Barat. Kantor kedutaan atau perusahaan AS sering menjadi simbol perlawanan yang efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi ini menyebabkan permusuhan yang terus menerus antara Islam dan Barat. Bahkan, kalangan Islam radikal melihat Barat berada dalam pertanrungan abadi melawan islam. Fenomena ini terjadi di indonesia ketika melawan umat Islam bereaksi terhadap serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Di masa inilah, islam radikal menemukan momentumnya untuk menyuarakan aspirasi Islam (solidaritas islam). [4]
       Gerakan revivalisme Islam (islam radikal) merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh dunia islam. Fenomena ini adalah ekspresi keinginan umat islam untuk kembali menjadikan Islam sebagai landasan hidup (Way of Life) sebagai alternatif dari seklularisme. Islam juga ditampilkan sebagai ideologi untuk menggantikan ideologo-ideologi Barat yang dianggap tidak relevan dengan kondisi umat islam. Ideologi dan pemikiran gerakan revivalisme Islam terbentang dalam spektrum yang amat luas. Ia mencakup gerakan kebangkitan keagamaan yang moderat hingga radikal, dengan berbagai pemikiran dan metode perjuangan yang amat beragam.
       Gerakan islam ini dimotori dan didukung oleh komunitas muslim santri (taat beragama) ini juga tidak tunggal. Di dalamnya terdapat berbagai kelompok dengan pemikiran, ideologi, dan strategi gerakan yang bermacam-macam. Namun, dalam keragaman ini terdapat satu corak gerakan keagamaan mainstream yang diwakili oleh NU, Muhammadiyah, Jamiat Khair, Al-Irsyad, Al-Wasliyah dan sebagainya. Gerakan islam yang beraneka warna ini mengalami peningkatan kegairahan, pada akhir dekade 1980-an. Fenomena ini tidak lepas dari perubahan kebijakan  politik rezim Suharto terhadap gerakan islam. Pada masa sebelumnya, pemerintah Orde Baru tampak sekali mempersempit ruang gerak ormas-ormas islam. Kelompok-kelompok Islam masih kukuh dengan ideologi Islam politiknya, dipandang sebagai ancaman terhadap kemapanan kekuasaan Orde Baru yang ditopang oleh militer, birokrasi dan Golkar.
       Sejak dekade 90-an, berbagai unsur Islam memperoleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang Negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggungpolitik ini sering disebut “Politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol:
a.       Akomodasi Struktural, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan aktiis Islam untuk menduduki posisi-posisi penting dalam birokrasi negara maupun badan-badan legislatif,.
b.      Akomodasi Infrastruktur, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan umat Islam menjalankan kewajiban agama mereka, seperti pembangunan masjid-masjid yang disponsori oleh Negara.
c.       Akomodasi Kultural, yakni berupa diterimanya ekspresi Kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti, pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalaamu’alaikum.
d.      Akomodasi Legislative, yakni upaya memasukkan beberapa aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun hanya berlaku bagi umat Islam saja. [5]
Di indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keinginan mendirikan negara Islam selalu muncul ke permukaan. Wacana negara Islam di Tanah Air sebenarnya tidak pernah dilepaskan dari persoalan sejarah awal mula berdirinya bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada gagasan Islam sebagai dasar negara, yang sekaligus menjadi keinginan mendirikan negara Islam pesca kemerdekaan oleh tokoh-tokoh Islam. Karena itulah, setelah Indonesia merdekaa, perdebatan yang amat krusial di kalangan founding fathers adalah perdebatan mengenai dasar negara di dalam Sidang BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Pada perkembangan selanjutnya, gagasan negara Islam atau Islam sebagai dasar negara kembali diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam sidang konstituante. Bahkan, tarik-menarik antara negara Islam dan negara Pancasila mengakibatkan Presiden Soekarno akhirnya membubarkan Majelis Tertinggi ini lewat dekritnya yang terkenal dengan Dekrit presiden 5 Jul 1959. Kecenderungan mendirikan negara Islam di kalanga  tokoh-tokoh Islam sebenarnya tidak dapat dielakkan dari paradigma keislaman (keberagamaan) yang cenderung romantis-religius, yakni mengenang kejayaan negara Islam masa silam. Tolak ukur mereka adalah masa silam dinasti-dinasti Islam yang pernah berjaya menguasai dunia yang wilayahnya sangat luas. Paradigma ini didukung oleh landasan teologis yang kuat tentang konsep negara dalam islam.
Secara teoritik, Javid iqbal menjelaskan bahwa negara Islam adalah negara Allah, negara yang memeberlakukan syari’at islam, dan kedaulatan di tangan Tuhan (Allah Swt). Dalam pengertian ini, negara islam memiliki tiga komponen penting, yakni:
1)      Masyarakat Muslim
2)      Hukum Islam atau Syari’at Islam
3)      Khalifah.
Tiga komponen ini menjadi prasyarat berdirinya negara Islam yang sah. [6]
       Secara sederhana pengertian “kaum fundamentalis Muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelompok Islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. “Fundamentalisme Islam” bagi media massa Baraat tidak lain berarti Islam yang kejam, Islam yang terbelakang, dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, istilah Fundamentalisme islam sering pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk memojokkan gerakan-gerakan islam yang secara sadar berjuang untuk menentang dominasi politik kultural Barat di negeri mereka masing-masing. Karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagian sarjana-sarjana Muslim bersikap enggan untuk menggunakan istilah “Fundamentalisme”, karena istilah itu dinilai telah kehilangan sifat netralnya.[7]
       Media Barat seringkali memberikan kesan bahwa bentuk religiusitas yang diserati kekerasan dan pertempuran yang dikenal sebagai “fundamentalisme” adalah fenomena Islam murni. Fundamentalisme adalah fakta global dan telah muncul ke permukaan pada setiap keyakinan penting sebagai reaaksi terhadap permasalahan modernitas kita.Fundamentalisme yaitu, suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik yng bersifat agama, politik atau budaya, yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah. Dengan begitu, ia yakin bahwa ia memiliki kebenaran mutlak dan oleh karena itu kebenaran tersebut harus diberlakukan. Ada kaum fundamentalis sekular dan ada pula kaum fundamentalis teknokratis. Mereka beranggapan bahwa mereka mempunyai jawaban bagi segala problema dengan konsep naturalistik, untuk ilmu pengetahuan yang naturalistik.
       Sumber utama fundamentalisme dewasa ini adalah paduan antara penindasan, tekanan dan kesewenang-wenangan dengan kebudayaan dan agama. [8]
“ISIS” Merupakan negara Islam di Irak dan Suriah. Masuk dalam faham Terorisme dan Radikal. ISIS disebut-sebut sebagai negara minus yang berupaya mencipatakan kepemimpinan versinya sendiri, yaitu khilafah. ISIS memiliki wilayah dan rakyat (yang terjebak, serta memiliki kekuasaan militer yang cukup kuat sehingga dianggap sebagai negara riil).
Sementara itu, jaringan kelompok teroris di indonesia mempunyai visi yang sama, yakni mendirikan khilafah. Namun, jaringan kelompok teroris terus-menerus mengalami kegagalan karena sealu berhasil ditumpas oleh kepolisian indonesia. Kegagalan yang cukup sering tersebut kemudian menjai dasar bagi mereka unuk berafiliasi dengan ISIS yang dianggao sebagai bentuk negara riil. Di indonesia, radikalisme sebenarnya bukan cerita baru, dan ISIS tidak dapat dikatakan sebagai paham impor karena sebenarnya dapat ditelusuri sejarahnya di negeri ini sejak era awal kemerdekaan. Parkembangan paham radikal berawal dari Negara Islam Indonesia (NII). Mereka merasa sebagai representasi Islam yang sebenarnya, meluruskan yang lain dengan cara jihad. Namun, cara jihadnya adalah jihad menurut versi mereka sendiri yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang damai.
Berkembangnya paham-paham radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia dinilai tumbuh pesat sejak era pemerintahan Presiden Susilo bambang Yudhoyono. Sikap pemerintah yang dianggap salah dalam menyikapi kelompok yang dianggap sesat, dianggap memberikan pembenaran untuk melakukan kekerasan. “ISIS” di Tanah Air adalah akumulasi dari gerakan radikalisme sebelumnya. Kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah dianggap sebagai kelompok sesat. Pemerinyah yang terus-menerus menekan kelompok Ahmadiyah dan Syi’ah, secara tidak langsung membangkitkan semangat organisasi militan untuk membasmi kelompok minoritas terseebut. Semangat militan yang tumbuh tersebut menyebabkan munculnya kembali keinginan untuk membentuk Negara Islam di Indonesia. Dengan alasan itulah, paham ISIS untuk mendirikan negara Islam dapat diterima beberapa kelompok radikal yang sudah ada sebelum di Indonesia. Dengan begitu, ada kemungkinan anggota Hizbut Tahrir dan NII ingin cepat wujudkan negara Islam., karena mereka melihat adanya harapan untuk mendirikan negara Islam melalui ISIS.
B.       Dampak Teroris, Radikal, dan Fundalisme dalam perkembangan islam

Munculnya teroris, radikal dan fundalisme merupakan sebuah gerakan yang mengancam kemunduran islam karena banyak menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Seperti halnya salah satu ideolog fundamentalis kuno adalah Maududi, pendiri Jamaah Islamiyah di Pakistan. Ia melihat kekuasaan barat yang luar biasa besar sebagai penghimpunan kekuatan untuk mengahancurkan islam. Muslim, menuruutnya harus bersatu untuk menghadapi sekularisme yang mengacaukan ini, bila mereka ingin agama dan kebudayaan mereka bertahan lama. Muslim telah menghadapi berbagai masyarakat yang menunjukkan sikap bermusuhan sebelumnya dan mengalami bencana, tapi dimulai dengan Afghani,  sebuah catatan baru yang merembes ke wacana Islam. Ancaman Barat telah menjadikan Muslim melawan untuk pertama kalinya. Maududi menantang seluruh etos kaum sekuler; ia mengusulkan sebuah teologi pembebasab Islam. Karena Tuhan sendiri adalah Kedaulatan, tidak seorangpun diwajibkan menjalankan perintah dari manusia yang lain Revolusi terhadap kekuatan kolonial bukan sejadar sebuah hak melainkan sebuah kewajiban. Maududi menyerukan Jihad universal.[9]
Dalam pergerakan Terorisme di Indonesia sangat terpengaruh dengan adanya peristiwa 11 September 2001 yaitu pengeboman Al Qaeda terhadap World Trade Center, samgat mengejutkan dunia. Hal itu membuat Indonesia mendapat dampak dan stigma dari Indonesia bahwasannya Indonesia merupakan sarang terorisme, hal itu dikarenakan adanya kedekatan Al Qaeda dengan Jaringan Islamiyah. Dan hal itu semakin dibuktikan dan memberikan dampak yang sangat signifikan setelah peristiwa bom Bali pertama di legian kuta Bali, yang menewaskan sekitar 200 orang yang hampir seperahnyu warga negara Australia.
     Peristiwa tersebut membuat perekonomian Indonesia jatuh karena kurangnya sumber pemasukan dari sektor pariwisata, karena pelarangan yang dilakukan oleh pemerintahan negara lain yang melarang warga negaranya untuk melakukan kunjungannya ke Indonesia. Selain itu juga memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem sosial budaya Indonesia, adanya sebuah permusuhan diantara kaum beragama yang ada di Indonesia.
     Adanya tindakan teroris tersebut juga berdampak dalam sistem sosial budaya Indonesia, dampak tersebut dapat memberikan sebuah pandangan bahwasannya aksi terorisme tersebut mendapatkan pengertian kalo teror tersebut sejatinya telah menciptakan adanya disintegrasi nilai sosial terhadap nilai pancasila. Karena motif gerakan teror tersebut selain mereka anti dengan segala macam yang berasal dari “barat” mereka juga beranggapan bahwa untuk mewujudkan impiannya dalam pembentukan negara Islam Indonesia harus menggunakan jalan kekerasan.
     Jika kita melihat dari pandangan George Simmel dalam pemahamannya tentang konflik . Maka konflik dan aksi teror tersebut para pelaku berkeyakinan bahwa pertikian yang terjadi harus saling mengalahkan bahkan dalam mengalahkan harus terjadi aksi kekerasan agar kehidupan dan idenya dapat terjamin guna mencapai keberhasilan dalam mewujudkan idenya,
     Dampak lain terorisme terhadap sistem sosial budaya Indonesia, tentunya mengancam kerukunan antar umat beragama yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui aksi teror yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut diatasnamakan oleh ajaran agama. Yang hal itu tentunya dapat menimbulkan stigma negatif terhadap agama tertentu.[10]
Terorisme, radikal serta fundalisme merupakan faham yang salah mengartikan apa makna dari Islam itu sendiri. Mereka mengupayakan segala hal dengan maksud untuk memajukan Islam tetapi dengan cara yang salah.  Secara umum, yang menjadi prinsip utama organisasi-organisasi revivalis islam baru, adalah bahwa Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang kompleks dan menyeluruh. Islam meliputi seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, Islam tidak bisa dipahami secara sempit hanya sebagai seperangkat aturan ritual, Umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan islam secara Kaffah. Mereka beranggapan bahwa dengan cara apapun diperbolehkan untuk mengajak orang lain beragama Islam ataupun melaksanakan perintah Islam walaupun dengan cara yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh Islam, contohnya dengan kekerasan. Sehingga yang pada awalnya niat mereka menegakkan islam tetapi pada aktualisasinya mereka justru menyalahi aturan dalam Islam itu sendiri. Dalam hal ini, untuk menjadikan negara Islam, masyarakat yang menganut faham-faham tersebut perlu ditekankan dan ditegakkan kembali seluruh tatanan masyarakat dengan syari’at islam. Agar negara Islam terbebas dari faham-faham yang menyimpang dari Islam serta menjadi negara Islam yang benar-benar Kaffah. Pada dasarnya negara Islam yang sebenarnya adalah pemerintahan yang berjalan seiring dengan ajaran-ajaran Islam dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, serta menegakkan keadilan. Pemerintahan yang berasal dari rakyat, berbuat untuk rakyat, mempersatukan umat manusia, tidak membedakan antara golongan satu dengan lainnya meskipun berbeda-beda jenis, suku atau keyakinan. Pemerintaha seperti itu sangat memperhatikan pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sejarah dan teknologi. Pemerintahan seperti itu juga mampu memotivasi masyarakat untuk selau tolong-menolong dan saling toleransi antarsesama golongan.
Untuk membendung adanya faham ini, perlu diadakan upaya-upaya penerapan syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat serta memerlukan pilar-pilar yang ditopang oleh sinergi antara individu, masyarakat, dan negara. Ada tiga pilar penerapan syari’at yang perlu diajarkan, yaitu:
a)    Ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu. Islam telah mendorong setiap muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah prinsip dasar yang akan mampu mendorong rakyat untuk selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan prinsip ini, penerapan syari’at Islam di segala bidang bisa terwujud secara alami dan pasti.
b)   Adanya kontrol pelaksanaan hukum Islam oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui, tidak menutup kemungkinan ada seorang mukmin melanggar aturan hukum Allah. Untuk mengatasi hal ini, Islam telah mendorong masyarakat untuk melakukan koreksi, baik terhadap individu, masyarakat maupun negara, bila terjadi pelanggaran hukum Allah.
c)    Peran dan fungsi negara dalam menerapkan hukum-hukum Islam. Negara merupakan pilar yang sangat penting, bagi terlaksananya hukum-hukum Allah di tengah-tengah masyarakat.
Jika ketiga pilar tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka kemungkinan negara indonesia akan terbebas dari faham-faham yang menyimpang serta dapat menjadi negara Islam yang taat dengan perintah Islam.












BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Terorisme adalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara. Munculnya terorisme disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor ideologis, politik, ekonomi dan sosial.
Secara historis, kemunculan dan eksistensi kelompok garis keras atau radikal di kalangan umat islam indonesia bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada awal abad ke 20, dalam peningkatan semangat nasionalisme dan depripasi ekonomi yang kian parah dikalangan pribumi, radikalisme muslim diambil alih oleh kelompok-kelompok sarekat islam lokal. Munculya gerakan islam radikal di indonesia disebabkan oleh dua factor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Fundamentalisme yaitu, suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik yng bersifat agama, politik atau budaya, yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah.
Dalam pergerakan Terorisme di Indonesia sangat terpengaruh dengan adanya peristiwa 11 September 2001. Peristiwa tersebut membuat perekonomian Indonesia jatuh karena kurangnya sumber pemasukan dari sektor pariwisata. Hal ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem sosial budaya Indonesia yaitu dapat memberikan sebuah pandangan bahwasannya aksi terorisme tersebut mendapatkan pengertian kalau teror tersebut sejatinya telah menciptakan adanya disintegrasi nilai sosial terhadap nilai pancasila.





[1]Abdullah Sumrahadi, New Terorism Fanatisme & Senjata Pemusnah Massal, Juxtapose research and publication study club, Yogyakarta: 2005, Hlm. 7
[2] Kasjim Salenda, Terorisme Jihad dalam Perspektif hukum Islam, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, TK: 2009, Hlm. 92-94
[3]Ibid, Hlm. 97-111
[4] Khamami Zada, Islam Radikal Pregulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Teraju, Jakarta: 2002, Hlm.  95-97
[5]Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indinesia), Erlangga, Jakarta: TT, Hlm. 130-131
[6]Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas Islam di Indonesia, Hlm. 108-110
[7] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Paramadina, Jakarta: 1999, Hlm. 8
[8] Roger garaudy, Islam Fundamentalis, Pustaa, Bandung: 1992, Hlm. 1
[9] Karen Amstrong, Islam; Sejaah Singkat, Jendela, Yogyaarta: 2002, Hlm. 228








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sumrahadi, New Terorism Fanatisme & Senjata Pemusnah Massal, Juxtapose research and publication study club, Yogyakarta: 2005
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indinesia), Erlangga, Jakarta: TT
Karen Amstrong, Islam; Sejaah Singkat, Jendela, Yogyaarta: 2002
Kasjim Salenda, Terorisme Jihad dalam Perspektif hukum Islam, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, TK: 2009
Khamami Zada, Islam Radikal Pregulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Teraju, Jakarta: 2002
Roger garaudy, Islam Fundamentalis, Pustaa, Bandung: 1992

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Paramadina, Jakarta: 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar