Sabtu, 20 Juni 2015

Islam dan KearifanLokal Di Nusantara



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pada masa kini kearifan local menjadi kecenderungan umum masyarakat Nusantara yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan local tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan local sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara mertabat.
Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan local di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan local sebagai system pengetahuan manusia itu logis atau sekedar mitos. Apakah kearifan local itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekedar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Tulisan ini mencoba menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kearifan lokal di Nusantara?
  1. Bagaimana hubungan kearifan lokal dengan agama Islam?
3.      Bagaimana urgensi kearifan lokal yang ada dalam menjaga keutuhan NKRI?
4.      Apa saja karakteristik kearifan lokal di Nusantara?
5.      Apa saja manfaat kearifan lokal di Nusantara?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Kearifan Lokal di Nusantara
Dalam pengertian kamus, kearifan local terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sacral maupun profane.
Di dalam pemukiman tradisional dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesaklarannya atau nilai-nilai adat dari satu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam pemukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta locl wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman social budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teori-teori untuk menggali kearifan local dapat mengungkapkan nilai-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian kearifan local dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijkasana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.[1]
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. S.Swarsi Geriya dalam “menggali kearifan lokal untuk Ajeg Bali” mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dengan demikian adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan dating kearifan lokal terdapat dibeberapa daerah misalnya di Papua, Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Bali. Dan di antara daerah tersebut terdapat kearifan lokal masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Selain etika moral yang bersumber pada agama, di Nusantara juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan social. Kita mengenal pepetah “Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya”. Yang mengplikasikan ajakan untuk membangun etos kerja dan semangat untuk meraih kesuksesan. Dalam hal keharmonisan social dan alam, hamper semua budaya di Nusantara mengenal gotong royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukin dipedalaman juga dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam misalnya kayu dihutan hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.[2]
1.      Kearifan Lokal Pada Masyarakat Jawa
Ziarah sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat jawa ada saat dmana manusia akan melakukan aktifitas yang berkaitan dengan ziarah ke makam. Makam dan segala aktivitasnya akan mengingatkan manusia akan sadar untuk bisa melakukan perbuatan baik sebagai bekal menghadapi alam arwah. Aktivitas ziarah oleh banyak fihak juga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan, dan sebagainya sesuai dengan kharisma dan keistimewaan tokoh yang dimakamkan.
Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap keramat sebenarnya akibat pengaruh masa Jawa-hindu. Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap titising dewa sehingga segala Sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dianggap keramat termasuk makam, petilasan, maupun benda-benda peninggalan lainnya. Misalnya Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk) diandaikan adalah titisan Hyang Giri Nata yang beristana di puncak Gunung Semeru. Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan ruwahmenjelang ramadhan.
 Pada saat itu masyarakat biasanya secara bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum disebut nyadran. Kata nyadranberarti slametran (sesaji) ing papan kang kramat selamatan (member sesaji) di tempat yang angker/keramat.Kata nyadran juga memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi ruwah nylameti para leluhur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras reresik tuwin ngirim kembang)selamatan di bulan ruwah menghormati para leluhur (biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan mengirim bunga).Selain bulan ruwahatau sadran, masyarakat Jawa juga berziarah tiap hari jum’at ke makam orang tua atau leluhur mereka. Mereka tahlilanuntuk mendoakan arwah orang tuanya. [3]
Di Jawa juga dikenal tradisi tahlilanatau kenduriselama tujuh hari setelah hari kematian orang tua atau kerabat, seratus dan seribu hari, juga tiap tahun di tanggal kematian. Jika memang jauh sekali dari makam maka tiap malam jumat akan menyempatkan diri tahlilanuntuk arwah orang tua dan kerabatnya. Di daerah-daerah yang mempunyai tempat bersejarah, agak berbau angker, pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisah tersendiri biasanya mempunyai upacara adat yang disebut nyadran. Tak ubahnya dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadranini juga mengandung makna religius. Ada yang dengan jalan memasang sesaji di tempat itu selama tiga hari berturut-turut, adayang dengan cara melabuhmakanan yang telah diramu dengan bebagai macam kembang. Ada pula yang mengadakan kenduridengan makanan-makanan enak, lalu diadakan pertunjukan besar-besaran dan sebagainya.Kebiasaan mengunjungi makam sebenarnya merupakan kebiasaan mengunjungi candi atau tempat suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang.Raja Kerta Rajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya) wafat dimakamkan di Antah Pura dalam wujud Arca Budha, serta wujud Arca Siwa di Candi Simping.
 Kebiasaan ini semakin mendalam jika yang dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan sebagainya. Secara umum ziarah yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa mempunyai maksud untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya secara bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan makam desa atau dusun dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun. Ada juga yang dilengkapi dengan mengadakan kenduribersama di makam, atau di rumah kepala dusun mereka. Pada umumnya mereka tidak lupa membuat apem. Tradisi ini biasanya disebut ruwahan. Sesuai namanya diadakan di bualan Ruwah. Apemadalah makanan khas Jawa berbentuk kue manis yang terbuat dari tepung beras. Konon apem adalah bentukan dari kata afwandari bahasa Arab yang artinya maaf. Orang Jawa berharap dosa-dosa leluhur mereka di maafkan oleh Allah. [4]
2.      Kearifan Lokal Pada Masyarakat Sumatera
Jauh sebelum Indonesia merdeka dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah ada kelompok masyarakat social di kepulauan Nias yang terorganisir dalam sebuah desa yang disebut Banua, dan Ori sebagai koalisi dari beberapa desa. Penataan kehidupan dalam Banua, baik menyangkut system pemerintahan, system religious, system kekerabatan dan kemasyarakatan. Prinsip tersebut di atas menjiwai bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalam Fondrako. Menurut S.W Mendrofa bahwa Fondrako tersebut memiliki banyak pengertian yakni lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian, lambang seni dan budaya, dan sebagainya. Menurutnya bahwa dasar Fondrako adalah Fo’adu artinya pemujaan patung, Fangaso artinya tata aturan pemilikan yang diatur dalam fondrako (pemilikan harta terbaik), Faharahao-hao artinya adat yang menyangkut pribadi dan tata, Bowo masi-masi artinya hubungan dalam pengasihan
Jadi Fondrako adalah budaya dan sekaligus agama yang terdapat disetiap banua atau ori, sehingga terdapat keragaman atau variasi Fondrako bagi orang Nias. Bertolak dari dasar Fondrako tersebut di atas, maka pokok-pokok yang dibahas, dimusyawarahkan dan di syahkan dalam Fondrako menyangkut adat-istiadat, yakni: pertama, huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia), kedua, huku si fakhai ba gokhota niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia), ketiga, huku sifakhai ba rorogofo sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia).
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara telah memiliki kearifan lokal menata kehidupan bersama dalam Banua berdasarkan pandangan hidupnya, yakni kebudayaan setempat.[5]

3.      Kearifan lokal pada masyarakat Kalimantan
Pada masyarakat Kalimantan Timur, menginang atau makan sirih biasanya ditempatkan dalam suatu tempat yang khusus. Tempat ini biasanya disebut dengan istilah penginangan. Perlengkapan menginang seperti tempat sirih, tempat tembakau, alat penumbuk kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah merah atau ludah sirih serta kinangnya ditempatkan dalam satu wadah.
Apabila orang hendak menginang biasanya disediakan kinang yang terdiri atas ramuan pokok dan ramuan pelengkap. Ramuan pokok terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, sedangkan ramuan pelengkap terdiri dari tembakau, kapulaga, cengkih, kunyit, dan daun jeruk.
Fungsi primer menginang sama halnya dengan kebiasaan minum teh, kopi, dan merokok. Pada mulanya setiap orang yang menginang tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan ini kemudian berlanjut menjadi kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan.
Kebiasaan menginang di samping untuk kenikmatan juga berfungsi sebagai obat untuk merawat gigi, terutama untuk memakan agar gigi tidak rusak atau berlubang. Fungsi menginang yang lain yaitu, menyangkut tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan. Hal ini tercermin dari kebiasaan menginang, hidangan penghormatan untuk tamu, sarana penghantar bicara, sebagai mahar perkawinan, alat pengikat dalam pertunangan sebelum nikah, untuk menguji ilmu seseorang, dan sebagai pengobatan tradisional. Bahkan menginang juga digunakan sebagai upacara dan sesaji yang menyangkut adat istiadat serta kepercayaan dan religi.[6]
4.      Kearifan lokal pada masyarakat Lombok
Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system social kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut.[7]
Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan.
Karena kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan bahkan ratusan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.[8]
5.      Kearifan lokal pada masyarakat Sulawesi


Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkonan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.
Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga.Semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itukini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya.[9]
6. Kearifan Lokal Pada Masyarakat  Bali
1. Hari Raya Galungan
Hari raya Galungan: Buda Kliwon Dungulan adalah hari memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan dharma melawan adharma Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas rahmatnya serta untuk keselamatan selanjutnya. Sedangkan penjor yang dipasang di muka tiap-tiap perumahan yaitu merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung.
2. Haru Raya Kuningan
Haru Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
3. Hari Raya Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
4. Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
6.      Hari Raya Saraswati
Merupakan hari suci untuk merayakan turunnya ilmu pengetahuan sebagai sinar suci yang memberikan penerangan kebijaksanaan hidup. Jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung.Yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan suci. Datangnya perayaan ini secara periodik setiap 210 hari sekali, dan dibulan april ini jatuh pada tanggal 23. Sebagai wujud rasa bhakti, pemujaan terhadap sumber segala ilmu pengetahuan material maupun spiritual tersebut, diwujudkan atau digambarkan dalam alam pikiran melalui personifikasi dewi saraswati.
 Banyak dirayakan di sekolah-sekolah, dan pusat-pusat pendidikan, tentu saja di tempat para pinandita.[10]
B.     Hubungan Kearifan Lokal dengan Agama Islam
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa Islam. Penjagaan atas aqidah dan tauhid yang bersih ini merupakan kewajiban yang pertama kali ditekankan dalam syariah dan bimbingan-bimbingan Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan.
Keyakinan pertama yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa para pemeluknya adalah bahwa jagad raya yang luas ini, yang manusia hidup di atasnya dan di bawah langitnya, tidak berjalan secara sporadis dan tanpa bimbingan. Ia tidak beredar dengan kendali salah seorang mahluk, karena hawa nafsu mereka bersama kesesatannya bersifat cenderung konflik.
Kaum muslimin telah belajar dari Kitab Tuhannya dan Sunah Nabinya, bagaimana harus menghormati hukum alam ini, mencari sebab akibat yang Allah ikatkan atasnya, sekaligus menolak berbagai unsur sebab akibat mistis yang diyakini, yang sering disitir oleh para juru kunci tempat-tempat keramat, para pendusta, dan para penjual agama.
Karena itu, barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara yang ghaib, niscaya ia berdusta kepada Allah, kepada realitas, dan kepada umat manusia. Beberapa orang utusan datang menemui Nabi SAW. Mereka meyakini bahwa Nabi SAW, termasuk orang-orang yang dapat mengetahui perkara ghaib. Kemudian mereka menyembunyikan sesuatu di tangan dan berkata kepada Nabi SAW, ”Tahukah tuan,apa ini?”Nabi menjawab dengan terus terang, ”Saya bukan seorang dukun, dan sesungguhnya dukun, perdukunan, dan para tukang ramal tempatnya di neraka.”[11]
Kearifan sosial tentu saja harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari tradisi lokal (local tradition) dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban. Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Bagi kita, tradisi lokal harus terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi worldview (pandangan dunia) bagi setiap Muslim.
Dalam masa ini ilmu pengetahuan cepat berkembang yang kemudian terjadi sekularisasi dalam hampir seluruh kehidupan manusia. Agama dan tradisi dipandang sebagai sesuatu yang obsolete yang menghambat kemajuan. Jika modernitas semacam itu dipandang sebagai tesis (sebelumnya berupa antitesis), maka pada masa berikutnya muncul antisesis baru yang mengkritik modernitas sebagai sumber malapetaka. Seorang intelektual Muslim, Seyyed Hosein Nasser, menulis sebuah buku berjudul The Plight of Modern Men, yang menggambarkan kehidupan manusia modern yang menderita akibat kegersangan spiritual dan kerusakan lingkungan. Antitesis itu disebut orang sebagai post-modernity atau post-traditionality, yang selain mengkritik modernitas, juga memberikan kembali apresiasi terhadap agama dan tradisi. Pada masa terakhir inilah wacana tentang pluralisme, multikultutalisme dan kearifan lokal berkembang, yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa agama dan tradisi yang pernah dipersalahkan sebagai penghambat kemajuan sekarang dipandang sebagai modal budaya yang diperlukan bagi perbaikan kehidupan manusia.
Di samping ancaman modernitas, tradisi dan nilai-nilai lokal juga mendapatkan ancaman dari puritanisme agama. Kecenderungan puritan dalam Islam, misalnya, telah menggusur tradisi-tradisi yang dipandang berbau bid’ah, takhayul, khurafat dan syirik karena merusak akidah Islam yang murni. Dalam prakteknya, gerakan puritan ini telah melancarkan serangan tanpa pandang bulu terhadap tradisi yang diyakini bertentangan dengan Islami murni, seperti ziyarah kubur, sedekah bumi, sedekah laut, tahlilan dan slametan karena semuanya itu berbau sinkretik dan tidak bersumber dari ajaran Islam yang otentik. Tradisi secama itu dipandang oleh Puritanisme sebagai bentuk sikretisme, campuran ajaran-ajaran yang berasal dari Hindu, Budha dan paganisme. Cara berfikir puritan semacam itu pada masa berikutnya dikritik karena menyebabkan kegersangan spiritual dan hilangnya kearifan lokal.
Menyadari pentingnya kearifan lokal. Maka tugas kita sekarang ialah menemukan kearifan lokal dan memfungsikannya untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat semacam itu, dalam bahasa rakyat Indonesia, adalah kehidupan yang sejahtera lahir dan batin dan berada bi bawah naungan keampunan Allah (wa rabb ghafur); juga masyarakat yang diberkahi oleh Allah (barakat min al-sama’ wa al-ardl); masyarakat yang aman damai (aminan muthma’innan). Masyarakat seperti itu tidak akan lahir secara tiba-tiba, tetapi dari proses yang melibatkan usaha manusia, yang salah satunya ialah pertimbangan terhadap pentingnya kearifan lokal.[12]
C.    Urgensi Kearifan Lokal yang Ada dalam Menjaga Keutuhan NKRI
Dalam masyarakat Indonesia yang multiculturalintegral, konsepsi aspirasinya terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan strata social tetapi tetap satu (persatuan dalam perbedaan). Maknanya adalah menghubungkan atau menyatukan daerah-daerah dan suku bangsa yang berbeda-beda dalam satu wadah atau wilayah yang disebut Nusantara. Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ikaan, diharapkan setiap warga, pemerintahan dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasionalisme demi mempertahankan NKRI.
Berdasarkan pemahaman nilai-nilai ke Bhinneka Tunggal Ikaan, perwujudan aktualisasinya tampak dalam integrasi nasional. Bila dikaitkan peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan social budaya sebagai pencintraan dari budaya bahasa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra diri berdasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekaan yang dimiliki dapat menjadi investasi yang diandalkan bahwa pada pelaksanaan pembangunan nasional. Sebagai salah satu pilar Demokrasi.[13]
D.    Karakteristik Kearifan Lokal di Nusantara
Karakteristik kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang adadalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah.jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu.kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.sebagai salah satu bentuk perilaku manusia,kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu,tergantung dari tatanan dan ikatan social budaya yang ada di masyarakat.
Karakteristik kearifan lokal adalah sebagai berikut:
1.      Mampu bertahan terhadap budaya luar
2.      Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3.      Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsure budaya luar ke dalam budaya asli
4.      Mempunyai kemampuan mengendalikan
5.      Mampu memberi arah pada perkembangan budaya[14].
E.  Manfaat Kearifan Lokal Di Nusantara
1.      Bidang Ekonomi
Dengan menggunakan kearifan lokal sebagai strategi utama dalam perbaikan ekonomi dimasa depan khususnya ekonomi berkelanjutan sangatlah tepat. Dikarenakan masyarakat dapat mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan dalam melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu daerah. Dengan demikian, kegiatan perekonomian disuatu daerah dapat berjalan dengan baik.
2.      Bidang Pendidikan
Pendidikan adalah sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu memupuk dan menumbuhkan kesadaran akan arti keberadaan manusia untuk lingkungan dan alam semesta. Dengan pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal maka kita bisa optimis akan terciptanya pendidikan yang mampu memberi makna bagi kehidupan manusia Indonesia. Artinya, pendidikan kemudian akan menjadi spirit yang bisa mewarnai dinamika manusia Indonesia kedepan. Pendidikan nasional kita harus mampu membentuk manusia yang berintegritas tinggi dan berkarakter sehingga mampu melahirkan anak-anak bangsa yang hebat dan bermartabat sesuai dengan spirit pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
3.      Bidang  Politik
Dibidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarat lain sebagai unsure pembentuk bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran system pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang pemerintahan rezim Orde Baru upaya penghancuran ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam diseluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa.
 Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan territorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan kebijakan-kebijakan ini bisa dikategorikan bahwa Negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945. [15]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sacral maupun profane. Seperti Kearifan Lokal Pada Masyarakat Jawa, Sumatera, Lombok, Sulawesi, Bali, Kalimantan.
Hubungan Kearifan Lokal dengan Agama Islam. Kearifan sosial tentu saja harus digali dalam maknanya yang paling substansial dari tradisi lokal dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban. Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dan karena itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Bagi kita, tradisi lokal harus terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi worldview (pandangan dunia) bagi setiap Muslim.
Urgensi Kearifan Lokal yang Ada dalam Menjaga Keutuhan NKRI . Dalam masyarakat Indonesia yang multiculturalintegral, konsepsi aspirasinya terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan strata social tetapi tetap satu. Maknanya adalah menghubungkan atau menyatukan daerah-daerah dan suku bangsa yang berbeda-beda dalam satu wadah atau wilayah yang disebut Nusantara. Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ikaan, diharapkan setiap warga, pemerintahan dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasionalisme demi mempertahankan NKRI.
Karakteristik Kearifan Lokal di Nusantara adalah sebagai berikut:
A. Mampu bertahan terhadap budaya luar
B. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
C. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsure budaya luar ke dalam budaya asli
D. Mempunyai kemampuan mengendalikan
E. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Manfaat Kearifan Lokal Di Nusantara
1.    Bidang Ekonomi
2.    Bidang Pendidikan
3.    Bidang  Politik

B.     Saran
Demikianlah yang kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

















Catatan Perbaikan Makalah

1.      Makalah dilengkapi dengan power point.
2.      Bagaimana menurut pemakalah urgensi kearifan lokal yang ada didalam menjaga keutuhan NKRI.
3.      Coba cari di beberapa referensi apa yang menjadi karakteristik kearifan lokal, dan dibuat menjadi satu bahasan tersendiri.
4.      Apa manfaat adanya kearifan lokal yang ada dalam bidang.
5.      Masukan dan pertanyaan dari teman-teman dijadikan acuan dalam perbaikan makalah.




[1]Ariani Christriyani, Islam dan Kearifan Budaya Lokal , Teraju, Jakarta;  2003, hlm. 40.

[2]Ibid, Ariani Christriyani, hlm. 42-43
[3]Suyanto, Pandangan Hidup Jawa, Dahana Prize, Semarang; 1990, hlm. 90
[4]Erwin Arsadani MS, Simuh  Sufisme Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta; 1996, hlm. 110

[5]Loc.Cit, Ariani Christriyani, hlm 103-107

[7]Loc.Cit, Ariani Christriyani, hlm 86-88
[8]Titi Munfangati, Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi Masyarakat Pendukungnya, Patra-Widya. Vol. 3. No. 1, Maret 2002, hlm. 220.

[9]Ibid, Titi Munfangati, hlm 231-233
[10]JWM Baker, Agama Asli Indonesia, Bentangan Budaya, Yogyakarta; tt,  hlm. 217-224

[11]Muhammad Yusuf, BahayaPendangkalan Akidah. Al Hidayah. Jakarta; 1980, hlm 156-157
[12]Ibid, Muhammad Yusuf, hlm 157-159
[13] Budiono Kusumo Hamodjo, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo, Jakarta; 2000 hlm 54-69
[14]http://ihdaihda.wordpress.com/2015/05/23
[15]http://edwinorja.wordpress.com/24/05/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar