BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Profetik merupakan suatu usaha seseorang untuk
mengajak manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan memiliki integritas
yang kuat serta memiki kekuatan dan pengetahuan spiritual agar mampu menghadapi
segala kenyataan yang terjadi dalam era globalisasi saat ini. Melihat beberapa
fenomena alam yang terjadi pada era globalisasi dunia tidak lagi menjadi
fenomena keramat, kehidupan tidak lagi merupakan misterei yang tidak dapat
diduga. Nasib manusia tidak lagi ditangan manusia super. Agama yang disuatu
waktu bersekongkol dengan kemajuan manusia tidak diperlukan lagi.
Protestantisme mempermudah perkembangan kapitalisme, tapi kini kapitalisme jaya
berdasarkan pada landasan bersifat mekanik dan tidak lagi memerlukan dukungan agama.
Peradaban,
paling tidak pada implikasinya, dapat dimaknai sebagai kemakmuran dan kesejahteraan.
Hal ini demikian, karena sebuah peradaban mengharuskan adanya aspek kemajuan
dan perbaikan taraf hidup kemanusiaan, baik segi materi maupun pengetahuan. Dakwah
menyeru umat manusia agar hidup dalam sebuah masyarakat yang berkeadaban. Dalam Surat Ali Imran ayat 164 adalah
kabar yang menegaskan, bahwa kepemimpinan profetik adalah karunia bagi
orang-orang yang beriman. Menjadi karunia disebabkan para pemimpin profetik
menjadi marga lantaran untuk mengetahui arah kehidupan, dan menjadi media
migrasi dari gelap menuju cahaya, dari keterbelakangan menuju ilmu dan hikmah. Dengan demikian, secara teoritis
kepemimpinan profetik adalah kemampuan yang mencerminkan konsistensi.
Konsistensi antara keyakinan semangat beragama yang memanusiakan manusia,
membebaskan, dan menghadirkan dimensi ilahiah yang padu. Padu antara tutur
dengan laku, sejalan antara kata-kata dengan perbuatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian profetik?
2. Bagaimana peran profetik pada masyarakat kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Profetik
Profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical
yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang Nabi
(Kuntowijoyo). Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal
secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing
masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan
penindasan. Istilah
profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian. Istilah profetik
ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dengan sangat jujur,
Kuntowijoyo menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh
Muhammad Iqbal. Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah nabi Muhammad saw. mi’raj,
beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi saw.
tidak hanya menikmati kebahagiannya berjumpa dengan Allah Swt., dan melupakan
masyarakatnya. Dengan demikian, pengertian kepemimpinan profetik di sini adalah
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan, dengan
pola yang dilaksanakan nabi (prophet). Kekuatan kepemimpinan profetik
ini menurut Sanerya Hendrawan, terletak pada
kondisi spiritualitas pemimpin. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah
seorang yang telah selesai memimpin dirinya. Sehingga, upaya mempengaruhi orang
lain, merupakan proses leading by example atau memimpin dengan keteladanan.[1]
B. Peran Profetik Pada Masyarakat Kontemporer
Hancurnya rasa
kemanusiaan dan terkikisnya semangat religious serta kaburnya nilai-nilai
kemanusiaan merupakan kekhawatiran manusia paling puncak dalam kancah
pergulatan global ini. Semua tataran kehidupan sudah mengalami perubahan yang
sangat mendasar, dalam setiap ruas kehidupan manusia sudah dihinggapi apa yang
disebut globalisasi. Dalam transformasi nilai yang sangat cepat dan pelik ini,
pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak
untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformative itu.
Pasalnya sekarang, pendidikan tidak hanya mengalami perubahan, akan tetapi
berganti wujud dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas sama sekali dari
missi profetik, yaitu memanusiakan manusia. Nilai profetik yang dapat dijadikan
tolok ukur perubahan social tercakup pada ayat 110 surat Ali-Imran yang
berbunyi:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3
öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4
ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik”.
Kuntowijoyo
menginterpretasikan bahwa ayat diatas memuat tiga nilai dasar, yaitu
humanisasi, liberasi, dan transedensi. Humanisasi sebagai deriviasi dari amar
ma’ruf mengandung pengertian kemanusiaan
manusia. Liberasi yang diambil dari nahi mungkar mengandung pengertian
pembebasan. Sedangkan transedensi merupakan dimensi keimanan manusia. Ketiga
muatan nilai itu mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka
membingkai kelangsungan hidup manusia yang lebih humanistic. Pendidikan yang
berwawasan kemanusiaan dalam hal ini menampilkan pengertian bahwa pendidikan
harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Namun demikian pendidikan
yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber
ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karean paham seperti itu
akan menjadi mala petaka di abad modern ini.[2]
Upaya untuk
mencerdaskan spiritual murid-murid tidak akan cukup hanya dengan melalui
pendekatan dan metode keteladanan tetapi bisa melalui pengalaman-pengalaman dan
aktivitas spiritualitas yang nyata dan kongkrit. Akan tetapi tetap dibutuhkan
pembimbing (guru) yang memiliki kredibilitas dan reputasi yang baik dimata
murid-murid. Paling tidak, pembimbing (guru) tersebut sanggup menjaga nama
baiknya dihadapan murid-muridnya sendiri.
Pendidikan yang
berlangsung pada masa Rasulullah yang menjadikan Rasulullah sebagai guru utama,
memang memiliki keunikan tersendiri dibanding pendidikan yang berjalan pada
masa sekarang ini. Meskipun pendidikan masa Rasulullah mempunyai keunikan
tersendiri, tetapi pada dasarnya Rasulullah memiliki visi dan misi serta target
dan tujuan yang jelas. Beliau mampu menerjemahkan pesan-pesan Al-Qur’an secara
kongkrit ke dalam perilaku dan seluruh kehidupan beliau sehingga keluhuran
akhlak, kebaikan, toleransi, rasa kemanusiaan serta sikap dan poal dasr
kehidupan lain yang mencerminkan keluhuran adalah merupakan karakteristik utama
pola hidup beliau.Pelajaran yang bisa dipetik dari kesuksesan Rasulullah dalam
mendidik para muridnya adalah:
1.
Kurikulum
pendidikan Rasulullah menyentuh dimensi-dimensi terdalam dari kemanusiaan
manusia.
2.
Dalam
proses belajar mengajar, beliau betul-betul menjadi seorang pendidik, bukan
sekedar pengajar. Penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak hanya dibutuhkan
guru yang bisa mengajar, tetapi lebih jauh adalah guru yang bisa mendidik
murid-muridnya kearah pembentukan kepribadian yang luhur, terutama dalam materi
yang terkait etika profetik.
3.
Rasulullah
melaksanakan pendidikannya dengan penuh kesabaran, kehati-hatian, keihklasan,
dedikasi dan semangat yang tinggi dengan tanpa mengharapkan keuntungan material
dari siapapun dan yang penting adalah secara pelan-pelan.
4.
Pendekatan
dan metodologi yang dipakai oleh Rasulullah dalam mendidik dan mengajar lebih
merupakan dasar-dasar metodologi pendidikan.[3]
Menurut Thomas W. Arnold agama dakwah ialah agama yang
memiliki kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan menyadarkan orang
kafir sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama itu dan diteruskan
oleh penggantinya. Agama Islam, Kristen, dan Buddha merupakan agama dakwah.
Doktrin dakwah dalam Islam diungkap Al-Qur’an sendiri dan dibuktikan melalui
jejak rekam sejarah Rasulullah Saw, sahabat, dan para Ulama. Dalam
literature-literatur dakwah, argument tekstual yang merujuk hal tersebut
biasanya dimuat dalam bahasan mengenai kewajiban dakwah. Al-qur’an misalnya menyuruh
umat Islam untuk menyiapkan komite khusus yang berprofesi sebagai dai atau
mensyaratkan dakwah sebagai jalan untuk mewujudkan sebuah masyarakat ideal.
Disisi lain, hidup Rasul sendiri secara praktis dibaktikan untuk mengajak orang
untuk masuk Islam (beriman, mengimani kenabian Muhammad), atau minimal agar
mereka bersikap Islam (ber-Islam, hidup secara damai). Seperti Nabi Muhammad,
hidup para sahabat, dan ulama sesudahnya juga dibaktikan untuk mendiseminasikan
gagasan-gagasan Islam, baik melalui kebijakan politik, budaya, maupun
intelektual.[4]
Dari segi metode dan pendekatan, dakwah dan
pengembangan masyarakat memiliki hubungan yang saling melengkapi. Membangun
masyarakat, tidak cukup hanya pada satu aspek, dengan melupakan aspek yang
lain. Lebih dari itu, membangun masyarakat harus dilakukan secara komprehensif,
baik fisik-materiil maupun moral-spiritual. Terkait dengan perspektif ini,
dakwah sebagai wahana sosialisasi islam berkepentingan untuk menjaga sisi
moralitas dan spiritualitas masyarakat, di samping ikut mendorong aksi
pembangunan masyarakat dari sisi material. Demikian itu, karena islam sebagai
tema sentral dakwah memahami manusia sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri
dari unsure materiil dan spiritual. Konsekuensi logis pendekatan ini menilai
bahwa pembangunan masyarakat dari aspek materiil saja dengan melupakan
spiritualitas masyarakat sebagai usaha yang muspra belaka.
Dakwah paradigma pengembangan masyarakat lebih
mengutamakan aksi ketimbang wacana atau retorika (tablig). Karena itu, bentuk
pemikiran dakwah ini tidak terkonsolidasi dalam sebuah mazhab formal tertentu
yang sistemik dan dapat ditelaah sebagai rujukan. Namun demikian, sebagai
bentuk gerakan dakwah, paradigma pengembangan masyarakat mengejawantah dalam
lembaga-lembaga swadaya masyarakat muslim yang independen dari gerakan politik
massif. Kegiatan dakwah paradigma pengembangan masyarakat biasanya beraksi
dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan pendidikan seperti
penyuluhan-penyuluhan, pengembangan ekonomi mikro dan menengah, pengembangan
SDM dan pendidikan madrasah atau pesantren. Gejala-gejala keagamaan yang
terdapat dalam aksi-aksi tersebut sebagai bentuk sosialisasi islam itulah yang
mungkin ditelaah lebih jauh sebagai suatu paradigma khusus dalam dakwah.
Dari segi metode dakwahnya, paradigma dakwah
pengembangan masyarakat berusaha mewujudkan islam dengan cara atau jalan
menjadikan islam sebagai pijakan pengembangan dan perubahan sosial yang
bersifat transformative-emansipatoris. Demikian itu, karena menurut cara
pandang dakwah pengembangan masyarakat, islam adalah agama kemanusiaan dan
profetik. Dikatakan demikian, karena islam dihadirkan demi kepentingan
kelangsungan hidup manusia dan untuk memberdayakan manusia dengan segenap
potensinya sebagai wakil Allah di bumi. Dalam doktrin kitab suci, artikulasi
ini dapat dipadankan dengan ayat yang menyatakan bahwa tujuan di utusnya Nabi
Muhammad tidak lain adalah sebagai rahmat bagi semesta alam, atau risalah islam
ini diwahyukan untuk mengangkat manusia dari kegelapan kepaa cahaya. Kedua
penegasan dari kitab suci itu menurut paradigm dakwah ini, harus terus menerus
menjadi basis kekuatan yang mampu memotivasi umatnya untuk melakukan
transformasi masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan konkret yang
berorientasi pada masalah-masalah sosial, dan bukannya pada masalah-masalah
teologi atau politik ansich. Melalui paradigm ini, dakwah sejatinya dimaksudnya
sebagai bentuk perjuangan untk menghahadirkan kembali semangat profetik islam
dan mewujudkan peranan para ilmuwan dalam proses perubahan masyarakat secara lebih
mendasar, dengan pendekatan historis, cultural dan structural, berorientasi
kerakyatan melalui pendekatan yang praktis.
Gerakan dakwah paradigma pengemabngan masyarakat
bekerja secara independen di luar institusi kenegaraan dan berusaha memperkuat
civil society yang menjadi motor penggerak trasformasi sosial. Dalam
terminology, ilmu dakwah, menurut Abdullah Ibn Muhsin al-Mutawwa’, misi
profetik-transformatif ini dapat disejajarkan dengan istilah islah al-Ijtima’I
(reformasi sosial). Para dai, kata al-Mutawwa’, sejatinya adalah agen-agen
reformasi sosial yang pada mereka nasib dan masa depan masyarakat
dipertaruhkan. Dakwah yang mereka perjuangkan, lanjut al-Mutawwa’ adalah
kelanjutan dari perjuangan Rasulullah untuk memberdayakan masyarakat Arab Jahiliah
agar bertransformasi menjadi masyarakat yang beradab. Selanjutnya untuk
melakukan pembedayaan itu, mesti dilakukan secara serius dengan mengutamakan
sisi praktis (‘amaliyyan) dan bukan wacana (nazariyyan).
Menurut al-Mutawwa’, seluruh Nabi-Nabi adalah dai yang
diutus dengan membawa misi profetik, yakni membangun dan mengembangkan
masyarakatnya. Dalam melakukan misi profetik itu, hal yang pertama kali
dilakukan oleh para nabi adalah membangun komunitas yang berlandaskan tauhid
dan memberantas polematisme. Dakwah untuk mengembangkan masyarakat, haruslah
dimulai dari pembangunan yang paling mendasar, yakni membangun keyakinan
tauhid, karena ia adalah pondasi pertama (lubnat al-ula) dalam upaya
membangun masyarakat mana pun sebelum pembangunan aspek material masyarakat.
Bagi al-Mutawwa’ pembangunan aspek materiil masyarakat sejatinya adalah
konsekuensi logis dari pembangunan aspek spiritual. Masyarakat yang telah
dibangun di atas akidah tauhid, kata al-Mutawwa’, memiliki komitmen yang kuat
untuk mengaplikasikan syariat agama dalam setiap tindak tanduknya. Komitmen
terhadap syariat inilah, yang kemudian menjadi roh dalam pembangunan aspek
material masyarakat, dan menjadi ketahanan masyarakat dalam menghadapi setiap
ujian dan tantangan zaman.
Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, paradigm
pengembangan masyarakat ini dapat dinisbatkan kepada sejumlah pemikir seperti
A.Mukti Ali, Dawan Raharjo, Adi Susono dan Muslim Abdurrahman. Sebagai mantan
Menteri Agama yang berbasis ilmu perbandingan agama, pemikiran Mukti Ali,
memiliki corak pengembangan masyarakat. Hal ini, dapat dilihat dari ide dan
gagasannya tentang agama sebagai landasan pembangunan dan usulannya tentang
modernisasi lembaga pendidikan pesantren, hingga gagasannya tentang badan zakat
infak sedekah yang sekarang telah banyak berkembang. Adapun Dawan Raharjo
adalah seorang penggiat LSM yang berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Pemikirannya yang bercorak pengembangan masyarakat dapat ditelaah melalui
gagasannya tentang ekonomi pancasila dan pengembangan masyarakat melalui
pesantren. Sementara itu, gagasan Islam transformatif yang terkait dengan
sejumlah isu, seperti soal hubungan agama dan pembangunan nasional,
pemberdayaan masyarakat, ekonomi kerakyatan , hingga emansipasi sosial,
dimunculkan oleh tokoh-tokoh aktivis LSM seperti Adi Sasono dan Muslim
Abdurrahman. Kedua tokoh Islam ini, berlatar belakang pendidikan masing-masing
teknoekonomi dan sosiologi. Selain itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan
Islam independen (nonpolitik), seperti Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang
diprakarsai oleh Hj.Tutty Alawiyah, atau gerakan Indonesia emas (ESQ) yang
diprakarsai oleh Ari Ginanjar dan sejumlah lembaga serupa yang memiliki
kontribusi besar dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, dapat pula disebut
sebagai representif gerakan dakwah paradigma pengembangan masyarakat ini.
Sebagai suatu pemikiran dan gerakan, mazhab dakwah
pengembangan masyarakat ini memiliki kekuatan dan keunggulan. Setidaknya,
mazhab ini telah berperan dalam memperbaiki paham masyarakat bahwa dakwah,
sejatinya, tak Cuma pidato (tablig), tetapi transformasi sosial dan cultural
menuju kualitas khaira ummah. Sasaran utama dakwah paradigma ini, seperti telah
diutarakan, adalah perbaikan kehidupan masyarakat dalam segala lini kehidupan,
dengan memanfaatkan dan pengembangan potensi-potensi yang ada pada masyarakat
itu sendiri. Sebagai gerakan sosial, gerakan dakwah paradigma ini, menjaga jarak
dan memelihara independensinya, dengan pemerintah dan semua kekuatan politik
yang ada.
Karena sifatnya yang seolah-olah menjauhi ranah
politik, sebagian kelompok yang berpaham formalistis dan legalistic, menilai
gerakan dakwah ini lamban dan kurang akseleratif, karena tidak mau memanfaatkan
kekuatan politik sebagai alat dan senjatanya. Menurut mereka, proses
pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan lebih cepat dan kuat manakala basis
gerakannya dimulai dari politik. Melalui politik, menurut mereka, pengembangan
masyarakat yang mendukung terwujudnya syariat Islam dalam ruang public dapat
dirancangkan melalui kebijakan-kebijakan kekuasaan pemerintah atau Negara,
sehingga memiliki daya dukung yang lebih kuat. Demikian ini, dinilai lebih
hemat dibandingkan seandainya dakwah itu disosialisasikan melalui proses
pembangunan yang panjang dan bertele-tele. Pemikiran yang terakhir ini,
disuarakan dan diusulkan oleh gerakan dakwah harakah yang akan segera dibahas
dibawah ini.[5]
Kompetensi yang harus dimiliki seorang da’i meliputi
kekuatan intelektual, keterampilan, sikap dan moral, dan kekuatan spiritual.
Nabi Muhammad SAW menurut Sayyid Qutub menegaskan bahwa salah satu misi utama
kerasulannya ialah membangun moralitas manusia. Akhlak da’i adalah akhlak
secara keseluruhan yang perlu diwujudkan secara sempurna dalam realitas
kehidupan. Namun, menurut Sayyid Qutub ada tiga akhlak yang sungguh penting
bagi da’I agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sebgai pembangun dan
pengembang masyarakat Islam, yaitu kasih sayang, integritas alias adanya
kesatuan antara kata dan perbuatan, dan kerjja keras. penjelasan mengenai kasih
sayang Nabi Muhammad dalam hubungannya dengan dakwah termaktub dalam surat Ali
Imran ayat 159.
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 (
öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym (
ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# (
#sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya:”
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat di atas menurut Sayyid Qutub berkaitan dengan
peristiwa perang Uhud di mana kaum Muslimin mengalami kekalahan setelah
sebelumnya memperoleh kemenangan dalam perang Badar. Kekalahan ini ada
kaitannya dengan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sahabat-sahabata Nabi
sendiri. Meskipun demikian berkat kasih sayang Allah yang ditanamkan ke dalam
jiwa Nabi, beliau tetap santun dan ramah kepada mereka. Bahkan seperti terbaca
dalam ayat di atas beliau memaafkan dan memohonkan ampun kepada mereka.
Kenyataan ini menurut Sayyid Qutub memperlihatkan dengan jelas kasih sayang
Allah dalam akhlak dan watak Nabi yang serba baik, mengasih, dan lemah lembut
yang memungkinkan banyak orang terpikat dan bersimpati kepadanya. Inilah kasih
sayang yang menyebabkan Rasul menjadi orang yang amat santun dan bersifat lemah
lembut kepada para sahabatnya. Seandainya Nabi bersikap kasar dan berkeras hati
tentu orang-orang akan lari dan menjauh dari sisi-sisi Nabi.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian.
Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Profetik
berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian
atau sifat yang ada dalam diri seorang Nabi (Kuntowijoyo). Yaitu sifat nabi
yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual,
tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan
dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet.
2. Peran profetik pada masyarakat kontemporer saat ini adalah menjadikan
manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang memiliki integritas
dan memiliki akhlak yang baik serta dapat memperbaiki hidupnya berdasarkan pada
ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Seorang da’i dalam menjalankan peran profetiknya haruslah
memiliki integritas penuh agar apa yang disampaikan sesuai dengan yang
dilakukan, serta dalam penyampaiannya itu haruslah disertai dengan penuh kasih
sayang seerti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah manakala Rasulullah
menyampaikan dakwah kepada sahabat dan umatnya. Seperti yang dilakukan
Rasulullah ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud
Rasulullah tidak memarahi para sahabtnya
walaupun kekalahan dalam perang Uhud tersebut disebabkan karena kelalaian para
sahabatnya sendiri. hal ini berarti menunjukkan bahwa dalam melakukan misi
profetik hendaklah disertai dengan rasa kasih sayang. begitu juga harus
dilakukan dengan seorang profetik pada masa sekarang ini.
B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun. kami tahu dalam penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan menambah pengetahuan bagi pembacanya. Amin.
[1] http://irhamnirofiun.blogspot.co.id/2014/04/membumikan-kepemimpinan-profetik.html, diunduh pada hari Sabtu, tgl 28 November
2015 , Pukul 12.28 WIB.
[3] Abdul Wahid
Hasan, SQ Nabi Aplikasi Strategi dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ)
Rasulullah di Masa Kini, IrciSod, Yogyakarta, 2006, hlm 218
[4] A. Ilyas
Ismail dan Prio Houtman, Filsafat
Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2011, hlm 11-13.