BENTUK-BENTUK KERJASAMA
DALAM PERDAGANGAN
RESUME
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Fiqih II (Muamalah)
Dosen pengampu : Zakiyah Isnawati, M.Pd
Disusun Oleh :
1)
Intan Wakhidah (1310110040)
2)
M. David Noor
R. (1310110043)
3)
Zulfa Rahmawati
(1310110057)
4) Ulya Syarifa (1310110065)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH/PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
2015
1.
Syirkah/Musyarakah
1)
Pengertian
Syirkah/Musyarakah
Secara harfiah
makna “sirkah” adalah “penggabungan, percampuran, atau serikat”.[1]
Sedangkan menurut istilah perbankan disebut “partnership=persekutuan”, yaitu
kontrak antar dua orang atau lebih yang membentuk suatu gabungan usaha dan
bersepakat untuk menyatukan dana atau bakat dalam suatu bidang, serta membagi
bersama keuntungan dari usaha mereka.[2] Al
Musyarakah yang populer dikalangan pesantren disebut Asy-Syirkah,
yaitu suatu akad dalam bentuk kerjasama baik dalam bidang modal atau jasa
antara sesama pemilik modal dan jasa tersebut. Artinya dua orang atau lebih
berserikat di dalam jumlah harta yang tertentu, guna memperoleh keuntungan bagi
mereka bersama.
2)
Landasan
Dasar Syari’ah
Landasan dasar
syari’ah adanya syirkah atau pengkongsian terdapat pada Al-Qur’an surah An-Nisa
ayat 12.
ôMßgsù......
âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4
.....
“.....maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga.....” QS. An-Nisaa’:12
Sedangkan dalam hadits Nabi
disebutkan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang berbunyi:
عن أبي هريرة رفعه قال ان الله يقول انا ثا لث الشريكين ما لم يخن
أحدهما صا حبه
Artinya : Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman,Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya
tidak menghianati lainnya. ” (HR. Abu Dawud no.2936, dalam Kitab al-Buyu’, dan
Hakim).
Hadist Qudsi
tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambaNya yang melakukan
perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi
penghianatan.[3]
3)
Macam-macam
Syirkah
Menurut Said
Sabiq, syirkah itu ada empat macam :
a)
Syirkah ‘Inan
Syirkah ‘Inan
yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan
suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah
modal masing-masing.
b)
Syirkah Mufawadhoh
Syirkah
Mufawadhoh yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu
usaha dengan persyaratan sebagai berikut :
(a)
Modalnya
harus sama banyak. Bila ada diantara anggota persyarikatan modalnya lebih
besar, maka syirkah itu tidak sah.
(b)
Mempunyai
wewenang untuk bertindak, yang ada kaitannya dengan hukum. Dengan demikian,
anak-anak yang belum dewasa belum bisa menjadi anggota persyarikatan.
(c)
Satu
agama, sesama muslim. Tidak sah bersyarikat dengan non muslim.
(d)
Masing-masing
anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerjasama).
c)
Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh
yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal,
tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
d)
Syirkah Abdan
Syirkah Abdan
yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau
pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka berdasarkan perjanjian.
Menurut
Hanafiyah, menyetujui (membolehkan) keempat macam syirkah tersebut.Syafi’iyah
melarang syirkah Abdan, Mufawadhoh, Wujuh, dan membolehkan syirkah ‘Inan.
Malikiyah membolehkan syirkah Abdan, syirkah ‘Inan, dan syirkah Mufawadhoh dan
melarang syirkah Wujuh. Hanbaliyah membolehkan syirkah ‘Inan, Wujuh, Abdan, dan
melarang syirkah Mufawadhoh.[4]
4)
Rukun
dan Syarat Sahnya Syirkah
Menurut
Sulaiman Rasyid rukun syirkah adalah :
a)
Sighot
( Lafadz akad
b)
Orang
(Pihak-pihak yang mengadakan) Syirkah
c)
Pokok
pekerjaan (Bidang usaha yang dijalankan)
Bahwa dalam
perjanjian pembentukan syirkah atau perseroan ini sighot atau lafadznya, dalam
praktiknya di indonesia sering diadakan dalam bentuk tertulis, yaitu
dicantumkan dalam akte pendirian serikat itu. Pada hakikatnya sighot tersebut
berisikan perjanjian untuk mengadakan syirkah.
Adapun
syarat-syarat orang (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian serikat/kongsi itu
haruslah :
a)
Orang
yang berakal
b)
Balig,
dan
c)
Dengan
kehendaknya sendiri (tidak ada unsur paksaan).
Sedangkan
mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat, hendaklah berupa:
a)
Barang
modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam bentu uang).
b)
Modal
yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu, yaitu menjadi harta
perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi darimana asal-usul modal itu.
Di Indonesia,
perseroan atau serikat dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu :
a)
Perkumpulan
yang tidak berbadan hukum, meliputi Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan
Persekutuan Komanditer.
b)
Perkumpulan
yang berbadan hukum, meliputi perseroan terbatas (PT), Koperasi, Perkumpulan
saling menanggung.[5]
2.
Mudharabah
1)
Pengertian
Mudharabah
Secara
etimologi kata Mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa
Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya,
memukul; dharaba Ahmad al-kalb, berdetak; dharaba al-qalbu, mengalir;
dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al-ma’, bergabung; dharaba
fi al-amr, menghindar; dharama ‘an al-amr, berubah; dharaba
al-laun ila al-laun, mencampur; dharaba al-syai’ bi al-syai’, berjalan;
dharaba fi al-ardh dan lain sebagainya.
Secara
terminologi Mudharabah adalah suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan
modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah, jenis dan karakternya
(sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta (jaiz attashruf)
kepada orang lain yang aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk
berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah
pembagiannya dalam kesepakatan.[6]
2)
Landasan
Hukum
Secara umum,
landasan dasar al mudharabah mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
Hal ini tampak pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist berikut ini:
a)
Al-Qur’an
tbrãyz#uäur ....
tbqç/ÎôØt Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6t `ÏB È@ôÒsù «!$# ....
“....dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah....”.
(QS. Al-Muzammil:20)
b)
Hadits
عن صا لح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلا ث
فيهن البركة البيع إلى أجل والمقا رضة وأخلا ط البر بالشعير للبيت لا للبيع
Artinya: Dari
Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkatan : Jual beli secara tangguh, Muqaradhah
(Mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR Ibnu
Majah No.2280, kitab at-Tijarah)
3)
Rukun
Mudharabah
Rukun dalam akad Mudharabah adalah
a.
Pelaku
(pemilik modal ataupun pelaksanaan usaha)
b.
Obyek
Mudharabah (modal dan kerja)
Merupakan
konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal
menyerahkan modalnya sebagai obyek Mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan
kerjanya sebagai obyek Mudharabah.
c.
Persetujuan
Kedua Belah Pihak (ijab-qabul)
Persetujuan
kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip ‘antarodhin minkum (sama-sama
rela)
d.
Nisbah
Keuntungan
Merupakan rukun
yang khas dalam akad Mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli.
Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang
bermudharabah. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan
antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
4)
Bentuk-bentuk
Mudharabah
Bentuk-bentuk Mudharabah ada dua macam:
a.
Mudharabah Muthlaqah
Merupakan
bentuk kerjasama antara shaihibul mal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis.
b.
Mudharabah Muqoyyadah
Merupakan
kebalikan dari Mudharabah Muthlaqah, yaitu Mudharibnya dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya penbatasan ini
sering kali mencerminkan kecendungan umum si shahibul mal dalam memasuki
jenis dunia usaha.[7]
[1] Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994, hlm 74.
[2] H. Moh Rifai, Konsep
Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana, Semarang, 2002, hlm 54.
[3]Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, 2004, hlm 90-91.
[4]
M. Ali Hasan, Zakat,
Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyyah 2), PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm 110-111.
[5] H. Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, hlm
76-77.
[6] Muhammad, Konstruksi
Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm
43-47.
[7] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik, hlm. 97.
DAFTAR PUSTAKA
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
H. Moh Rifai, Konsep Perbankan Syari’ah, CV Wicaksana,
Semarang, 2002.
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah,
BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2005.
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail
Fiqhiyyah 2), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik,
Gema Insani, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar