Thaharah, Najis, Hadats dan Pengajarannya
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Materi dan Pembelajaran Fiqih MTs dan MA
Dosen
: Ahmad Fatah, S.Pd.I, M.S.I
Disusun
Oleh:
Kelompok
02
1.
Ahmad
Junaidi 1310110049
2.
Randi
Julianto 1310110058
3.
Iyanatul
Masbakhah 1310110077
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Idealnya, dalam pembelajaran thaharah
guru harus dapat menuntun siswa untuk dapat aktif dan kreatif. Siswa bukan
hanya dapat menguasai materi tetapi juga harus dapat mempraktekkan dan
menerapkannya pada keidupan sehari-hari. Namun realitanya, dalam pembelajaran
thaharoh, rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka
masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan
ilmu, siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan
titik dan komanya sekalipun.
Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk
memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka.
artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah,
tidak sah. Dalam adagium ushul fiqh dijelaskan bahwa:
ما لا يتم
الواجب الا به فهو واجب
“Suatu
kewajibanyang tidak dapat semurna kecuali dengan adanya sesuatu(perkara), maka
sesuatu(perkara)tersebut juga menjadi wajib.”
Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat,
maka setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti
thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga
thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.
Di sini, guru dituntut untuk selalu kreatif dan
inovatif dalam penerapan metode mengajar materi thaharah agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang materi
thaharoh, najis, hadats dan pengajarannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
thaharah dan cara pengajarannya?
2.
Bagaimana
najis dan cara pengajarannya?
3.
Bagaimana
hadats dan cara pengajarannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Thaharah (Bersuci)
Dalam hukum Islam, tentang bersuci dan segala seluk-beluknya
termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara
syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan
shalat diwajibkan suci dari hadats dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya
dari najis.[1]
Firman
Allah SWT.:
إِنَّ اللّه يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ المُتَطَهِّرِيْنَ .
( البقرة ٢٢٢ )
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS.
Al-Baqarah: 222)
Thaharah secara lughat ialah bersih. Menurut syara’ ialah suci dari
hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’ atau
menghilangkan najasah, mandi dan tayammum. Hakikat thaharah ialah memakai air
atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang disyariatkan, untuk
menghilangkan najsah dan hadats.[2]
Bersuci pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: bersuci
secara lahiriyah dan bersuci secara batiniyah. Suci secara lahir, artinya
bersih dari semua kotoran dan najis yang melekat, sedangkan suci secara batin
berati jiwanya bersih dari segala dosa dan bersih dari perbuatan maksiat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa thaharah adalah
membersihkan diri dari hadats atau najis dengan cara yang telah ditentukan oleh
syara’.
B.
Najis
Najis artinya segala sesuatu yang
menjijikkan. Menurut pandangan syara’ najis adalah segala sesuatu yang
menjijikkan, baik yang bersifat hissy (indrawi) maupun hukmi (secara
hukum).
Najis yang dapat mencegah sahnya
shalat ada kemungkinan melekat pada badan, pakaian, atau tempat yang
dipergunakan untuk shalat. Najis-najis itu terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Najis
Mukhaffafah (najis yang ringan)
Cara menyucikan najis mukhaffafah
ialah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis mukhaffafah itu.
b.
Najis
Mutawassitah (najis yang sedang)
Najis
mutawassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)
Najis
‘Ainiyah
Najis
‘Ainiyah yaitu najis mutawassitah yang masih kelihatan wujud, warna, dan
baunya. Cara mensucikan najis mutawassitah ‘ainiyah yaitu dengan menghilangkan
najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, rasa, dan
baunya.
2)
Najis
Hukmiyah
Najis
hukmiyah yaitu naijs mutawassitah yang diyakini ada, tetapi sudah tidak
kelihatan wujud, warna, dan baunya. Cara menyucikannya yaitu dengan menggenangi
air mutlak pada tempat najis hukmiyah tersebut.
c.
Najis
Mugalladzah (najis yang berat)
Cara menyucikan najis mugalladzah
yaitu dengan mencuci najis tersebur sebanyak tujuh kali dengan air dan salah
satu diantaranya dengan memakai debu yang suci.[3]
Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa najis adalah sesuatu yang dipandang syara’ menjijikkan
yang dapat mencegah sahnya shalat. Najis terbagi tiga yaitu mukhoffafah,
mutawassitah, mugalladzah.
C.
Hadats
Hadats menurut bahasa adalah sifat
yang menurut pandangan hukum seseorang tidak sah melakukan shalat. Sedangkan menurut
istilah, hadats adalah perbuatan atau kejadian yang menyebabkan seseorang
secara hukum, dia itu tidak suci. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi,
berwudhu, dan tayammum.
Hadats terbagi menjadi dua macam,
yaitu:
1.
Hadats
kecil, seperti buang air dan buang angin (kentut).
Cara menghilangkan hadats ini dengan
berwudhu atau tayammum apabila orang yang berhadats itu sakit atau tidak
mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu.
2.
Hadats
besar
Hadats besar yaitu kejadian yang
menyebabkan seseorang dilarang melakukan ibadah tertentu, seperti membaca
al-Qur’an, shalat, atau thawaf. Hadats besar yang dimaksud meliputi: haid,
nifas, dan keluarnya sperma (mani) bagi laki-laki. Cara menghilangkannya yaitu
dengan mandi besar, atau tayammum jika tidak didapatkan air atau karena sakit.
Adapun macam-macam cara bersuci dari
hadats adalah sebagai berikut:
1.
Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti baik
dan bersih. menurut istilah, wudhu adalah menggunakan air yang suci dan
mensucikan pada anggota-anggota badan tertentu dengan rukun dan syarat
tertentu.[4]
a. Syarat-syarat Wudhu:
1)
Islam
2)
Mumayiz
3)
Tidak
berhadas besar
4)
Dengan
air yang suci dan menyucikan
5)
Tidak
ada yang menghalangi sampainya air ke kulit.
b. Fardhu (rukun) wudhu:
1)
Niat
2)
Membasuh
muka
3)
Membasuh
dua tangan sampai ke siku
4)
Menyapu
sebagian kepala
5)
Membasuh
dua telapak kaki sampai kedua mata kaki
6)
Menertibkan
rukun-rukun di atas.[5]
c. Hikmah wudhu sebagai berikut:
1)
Dengan
berwudhu, maka dosa dan maksiat yang dilakukan oleh anggota wudhu dapat
terhapus.
2)
Orang
yang dalam keadaan suci dan bersih dapat melakukan banyak ibadah.
3)
Orang
yang dalam keadaan suci dan bersih dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah.
4)
Orang
yang berwudhu selalu sehat dan terhindar dari penyakit, karena anggota wudhu
yang merupakan panca indra yang sangat vital bagi manusia selalul dibersihkan
secara teratur.[6]
Dari hikmah berwudlu tersebut, dapat
disimpulkan bahwa orang yang berwudlu akan selalu terjaga dan lebih merasa
dekat kepada Allah.
2.
Mandi
Mandi adalah mengalirkan air yang
suci ke seluruh tubuh, maksudnya adalah menggunakan air yang suci dan
mensucikan pada seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan cara
tertentu. Sebagaimana Firman Allah SWT.:
“Dan apabila kamu sekalian dalam
keadaan junub, maka mandilah ...”
(QS. Al-Maidah: 6)
Hukum mandi adalah wajib bagi orang
yang berhadats besar ada enam, tiga diantaranya biasa terjadi pada laki-laki
dan perempuan, dan tiga lagi tertentu (khusus) pada perempuan saja, sebagai
berikut:
a.
Bersetubuh,
baik keluar mani ataupun tidak. Sabda Rasulullah SAW.: “Apabila dua yang di
khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun tidak keluar
mani.” (HR. Muslim)
b.
Keluar
mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau
tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan.
c.
Mati.
Orang Islam yang mati, fardhu kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya,
kecuali bagi orang yang mati syahid.
d.
Haid
(menstruasi). Apabila seorang perempuan telah berhenti dari haid, ia wajib
mandi agar ia dapat shalat dan dapat bercampur dengan suaminya. Dengan mandi
itu badannya pun menjadi segar dan sehat kembali.
e.
Nifas,
yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan anak. Darah
itu merupakan darah haid yang berkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu
mengandung.
f.
Melahirkan,
baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.
Di samping mandi wajib, ada juga
mandi sunnah, diantaranya sebagai berikut:
a.
Mandi
hari Jumat, disunnahkan bagi orang yang bermaksud akan mengerjakan shalat
Jumat, agar baunya yang busuk tidak mengganggu orang di sekitar tempat
duduknya.
b.
Mandi
hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.
c.
Mandi
orang gila apabila ia sembuh dari gilanya, karena ada sangkaana (kemungkinan)
ia keluar mani.
d.
Mandi
tatkala hendak ihram haji atau umroah.
e.
Mandi
sehabis memandikan mayat.
f.
Mandi
seorang kafir setelah memeluk agam Islam, sebab ketika beberapa orang sahabat
masuk Islam, mereka disuruh oleh Nabi mandi.
3.
Tayammum
Tayammum menurut bahasa berari
“bermaksud”, sedangkan menurut istilah ialah mengusapkan debu yang suci ke muka
dan ke tangan sampai siku dengan niat dan syarat tertentu. Tayammum merupakan
pengganti dari wudhu atau mandi manakala tidak ditemukan air atau karena alasan
dan sebab tertentu tidak diperbolehkan menggunakan air, seperti karena udzur,
sakit, atau karena dalam perjalanan.
a.
Syarat
Sah Tayamum
a)
Telah
masuk waktu solat.
b)
Sudah
berusaha mencari air tetapi tidak mendapatnya sedang waktu solat sudah masuk.
c)
Dengan
menggunakan tanah atau debu yang bersih.
d)
Akan
bertambah parah sakitnya atau lama sembuhnya bila anggota wudhunya kena air.
e)
Tidak
ada air.
b.
Rukun
Tayamum
a)
Niat.
b)
Mengusap
muka dan dua tangan dengan debu yang bersih sampe siku.
c)
Meratakan
debu yang bersih pada anggota-anggota yang harus ditanyamumkan.
d)
Terbib,
berurutan mengusapnya.[7]
Dari uraian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tayamum dilakukan ketika dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk berwudlu, dengan ketentuan syarat dan rukun yang telah dijelaskan di atas.
D.
Pengajaran Thaharah, Najis dan Hadats
Untuk mencapai tujuan dan
efektifitas pembelajaran diperlukan adanya metode yang tepat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam memilih metode pembelajaran, di antaranya; kondisi kelas, psikologis
perserta didik, materi pelajaran dan biaya.
Pengajaran thaharah cocok
menggunakan model pembelajaran demonstrasi. Langkah-langkah dalam model
pembelajaran ini antara lain:
1.
Guru
menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
2.
Guru
menyajikan gambaran sekilas thaharah (wudhu dan hadas) yang akan disampaikan
3.
Menyiapkan
bahan atau alat yang diperlukan, misalkan air.
4.
Menujukkan
salah seorang siswa untuk mendemonstrasikan sesuai skenario yang telah
disiapkan
5.
Seluruh
siswa memperhatikan demonstrasi dan menganalisnya
6.
Tiap
siswa mengemukakan hasil analisis dan mendemonstrasikan pengalaman
7.
Guru
dan siswa membuat suatu kesimpulan
8.
Penutup.
Sedangkan pengajaran najis dan
hadats cocok menggunakan model pembelajaran Jigsaw. Langkah model
pembelajaran ini sebagai berikut:
1.
Guru
merencanakan pembelajaran yang akan menghubungkan beberapa konsep dalam satu
rentang waktu secara bersamaan. Pada bab najis dan hadats. Konsep yang
akan siswa pelajari: (1) definisi najis dan hadats. (2) Macam-macam
najis dan hadats, (3) Cara menyucikan najis dan hadats. Tentu
saja perlu menyiapkan RPP dengan menerapkan model Jigsaw.
2.
Siapkan
handout materi pelajaran untuk masing-masing konsep sehingga guru
memiliki tiga jenis handout tentang (1) definisi najis dan hadats.
(2) Macam-macam najis dan hadats, (3) Cara menyucikan najis dan
hadats. Tentu saja perlu menyiapkan RPP dengan menerapkan model Jigsaw.
3.
Guru
menyiapkan kuis sebanyak tiga jenis sesuai materi (najis dan hadats) yang akan
siswa pelajari.
4.
Pada
saat diskusi setiap sub kelompok mendalami satu konsep dan masing-masing sub
kelompok bisa saling bertanya untuk memperoleh pemahaman, atau dalam bahasa
inggris kelompok seperti ini disebut dengan home groups.
5.
Setiap
sup kelompok mendalami materi (najis dan hadits) pada handout yang
menjadi pegangannya.
6.
Tiap
kelompok membahas satu handout materi (najis dan hadats) yang menjadi
bidang keahliannya. Dalam diskusi ini terdapat masa kritis yag perlu guru
pantau pada tiap kelompok, memastikan bahwa konsep yang siswa kembangkan sesuia
dengan yang seharusnya atau tidak mengandung kekeliruan.
7.
Hasil
dari diskusi pada kelompok dibahas kembali pada kelompok awal. Pada akhir
kegiatan belajar, setiap kelompok menyampaikan hasil diskusinya.
8.
Guru
mengukur hasil belajar siswa dengan tes atau kuis. Guru dapat menilai ketingkat
ketuntasan belajar dengan cara membandingkan hasil yang siswa capai dengan
target yang ditetapkan dalam RPP. [8]
Model pembelajaran yang ditawarkan,
yaitu demonstrasi dan jigsaw terdapat relevansi dengan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 dan Permenag Nomor 2 Tahun 2008
yang berisi tentang tujuan pembelajaran fikih diarahkan untuk mengantarkan peserta didik
dapat memahami pokok-pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk
diaplikasikankan dalam kehidupan sehingga
menjadi muslim yang selalu taat
menjalankan syariat Islam secara kaaffah (sempurna). Dalam
Permenag Nomor 2 Tahun 2013, kompetensi dasar yang harus dicapai adalah siswa
mampu menjelaskan materi dari thaharah serta mempraktikkannya. Dengan model
demonstrasi, siswa dapat lebih mengetahui mana praktik wudlu yang benar dan
salah. Sedangkan model jigsaw dapat memberikan pemahaman kepada siswa tentang
berbagai masalah yang ada didalam thaharah.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran demonstrasi dan jigsaw tepat digunakan dalam pengajaran thaharah
di MTs dan MA.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Thaharah
ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh
syara’ atau menghilangkan najasah, mandi dan tayammum.
2.
Najis
adalah segala sesuatu yang menjijikkan, baik yang bersifat hissy (indrawi)
maupun hukmi (secara hukum).
Macam-macam najis:
a.
Najis
Mukhaffafah (najis yang ringan)
b.
Najis
Mutawassitah (najis yang sedang)
1)
Najis
‘Ainiyah
2)
Najis
Hukmiyah
c.
Najis
Mugalladzah (najis yang berat)
3.
Hadats
adalah perbuatan atau kejadian yang menyebabkan seseorang secara hukum, dia itu
tidak suci. Macam-macam cara bersuci dari hadats:
a.
Wudhu
b.
Mandi
c.
Tayammum.
4.
Pengajaran
thaharoh dapat menggunakan cara demonstrasi sedangkan materi najis dan hadats
dengan metode diskusi agar peserta didik dapat lebih aktif
B.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami
susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca
pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kami harapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca.
Demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Abyan & Zainal Muttaqin, Pendidikan Agama Islam Fikih Madrasah Tsanawiyah
Kelas VII, Semarang, Thoha Putra, 2008
Aris
Shoimin, 68 Model Pembelajran Inovatif dalam Kurikulum 13,Yogyakarta, Ar-Ruzz
Media, 2014
Departemen
Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu
Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), Semarang, CV. Gani
& SON, 2004
Moh.
Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978
Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru, Aalgensindo, 2011
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum
dan Hikmah, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000
[1] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru, Aalgensindo, 2011, hlm. 13
[2] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum
dan Hikmah, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000, Hlm. 101
[3] Amir Abyan
& Zainal Muttaqin, Pendidikan Agama Islam Fikih Madrasah Tsanawiyah
Kelas VII, Semarang, Thoha Putra, 2008, hlm. 5-7
[4] Departemen
Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu
Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi), Semarang, CV. Gani
& SON 2004, hlm. 3
[5] Moh. Rifa’i, Ilmu
Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978, hlm. 63-64
[6] Departemen
Agama Provinsi Jawa Tengah, Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X (Mengacu
Pada Kurikulum 2004/Kurikulum Berbasis Kompetensi),hlm. 2-7
[7] Moh. Rifa’i, Ilmu
Fiqih Islam Lengkap, Semarang,Toha Putra,1978, hlm. 71-74
[8] Aris Shoimin, 68
model pembelajran inovatif dalam kurikulum 13,Yogyakarta Ar-ruzz media,
2014 hlm. 62-93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar