UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas pada
Mata
Kuliah
: Profesi Keguruan
Dosen Pengampu: Annisah
Setyaningrum, M.Pd
Disusun oleh : Kelompok 8
1.
Siti Fitriana (1310110041)
2.
Norudin (1310110048)
3.
Nila Niswatul Khusna (1310110071)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Pendidikan
sangat berperan dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dewasa
ini yang sering kita sebut sebagai era globalisasi, proses peningkatan mutu
pendidikan sangat diperlukan oleh sebuah sistem, yang mana sistem tersebut
mampu menggerakkan beberapa komponen, antara lain berupa progranm kegiatan
pembelajaran, peserta didik, sarana prasarana pembelajaran, dana, lingkungan
masyarakat, kepemimpinan kepala sekolah, dan lain-lain. Namun semua itu tidak akan
efektif terhadap perubahan pengalaman peserta diaik apabila tidak didukung oleh
keberadaan guru profesional.
Guru
merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang dinamis dalam mencapai
tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa’, dan untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu. Gurulah yang menggerakkan proses pendidikan. Sehingga peran guru
semakin nyata dan strategis sebagai pembangun peradaban dan pencerdas anak
bangsa.
Sekarang
ini sebagian guru masih menggunakan paradigma hanya menyampaikan pengetahuan
kepada anak didiknya. Pemahaman yang mendalam diharapkan peserta didik dapat
merasakan kemanfaatan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
Guru harus terampil mengajar dan juga wajib memiliki pengetahuan yang luas,
memiliki sikap bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Profesionalisme
merupakan hal penting bagi guru untuk melaksanakan tugasnya secara efektif.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian profesionalisme
guru?
2. Bagaimana upaya peningkatan
profesionalisme guru?
3. Bagaimana indikator guru professional?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Profesionalisme Guru
Profesionalisme
berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau
akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu
jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan ketrampilan
khusus yang dipelajari dari pendidikan akademis yang intensif.
Secara
etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus,
yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam
sesuatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi,
profesi berarti suatu pekerjaan yang mensyaratkan pendidikan tinggi baik
pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, yaitu adanya persyaratan pengetahuan
teoretis sebagai instrument untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan
manual. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan,
keahlian, dan persiapan akademik.[1]
Menurut Kunandar
disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya
suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi
juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan
dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.
Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian
tertentu.[2]
Adapun mengenai kata Profesional ,
Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat
professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus
dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata profesional
itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata
benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim,
dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh
pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru
profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam
bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru
dengan kemampuan yang maksimal.[3]
Adapun mengenai pengertian
profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahlian
tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya
diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus. Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah,
nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan
dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata
pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki
kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional
adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan
maksimal.[4]
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan
atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme
adalah jiwa dari suatu
profesi dan profesional.
B.
Upaya Peningkatkan
Profesionalisme Guru
Guru
idaman merupakan produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek
keguruan dan disiplin ilmu. Keduanya tidak perlu dipertentangkan melainkan
bagaimana guru tertempa kepribadiannya dan terasah aspek penguasaan materi.
Kepribadian guru yang utuh dan berkualitas sangat penting karena dari sinilah
muncul tanggung jawab profesional sekaligus menjadi inti kekuataan profesional
dan kesiapan untuk selalu mengembangkan diri. Tugas guru adalah merangsang
potensi peserta didik dan pengajarnya supaya belajar. Guru
tidak membuat peserta didik menjadi pintar. Guru hanya memberikan peluang agar
potensi itu ditemukan dan dikembangkan.
Sehubungan
dengan hal di atas, maka upaya peningkatan profesi guru di Indonesia
sekurang-kurangnya mengahadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu :
1.
Ketersediaan dan Mutu Calon Guru
Secara
jujur kita akui pada masa lalu dan masa kini profesi guru kurang memberikan
rasa bangga diri. Bahkan ada guru yang malu disebut sebagai guru. Rasa inferior
terhadap potensi lain masih melekat di hati banyak guru. Masih jarang kita
mendengar dengan suara lantang guru mengatakan “inilah aku”.
Kurangnya rasa
bangga itu akan mempengaruhi motivasi kerja dan citra masyarakat terhadap
profesi guru. Banyak guru yang secara sadar atau tidak sadar mempromosikan
kekurangbanggaannya kepada masyarakat. Ungkapan “cukuplah saya sebagai guru”
sering masih terdengar dari mulut guru. Ungkapan ini lalu diterjemahkan sebagai
profesi yang kurang menjanjikan masa depan yang kurang cerah. Muramnya masa
depan itu sering didendangkan secara berlebihan seolah-olah profesi termalang
dibumi tercinta ini.
Selama ini
pilihan lulusan SMTA studi di lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(pendidikan pra-jabatan) masih belum merata mencerminkan pilihan utama yang
sadar.
Akibatnya jika mereka menjadi guru tentu tidak sepenuh hati memahami dan
menghayati makna profesi keguruan. Jabatan fungsional diharapkan menjadi daya
pikat tersendiri terhadap profesi guru. Daya pikat itu merefleksikan masyarakat
untuk memberikan makna tersendiri baik dalam upaya membangkitkan rasa bangga
diri maupun dalam usaha mencari bibit guru berkualitas.
2.
Pendidikan Pra-Jabatan
Bidang
pekerjaan guru hanya pantas memperoleh penghargaan khusus, apabila jajaran guru
memberikan layanan ahli, yang hanya bisa diberikan melalui pendidikan pra-jabatan. Sebaliknya mereka tidak pernah melalui
jenjang pendidikan pra-jabatan, tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelenggarakan layanan yang khas dimaksud. Ada dua langkah yang perlu diambil
untuk mencapai keadaan yang dikehendaki itu.
Pertama,
untuk meyakinkan pemilikan kemampuan profesional awal, saringan calon peserta
pendidikan pra-jabatan perlu dilakukan secaara efektif, baik dari segi
kemampuan potensial, aspek-aspek kepribadian yang relevan, maupun motivasi. Di
samping mempersyaratkan mekanisme saringan yang efektif, bidang pekerjaan guru
akan memperoleh calon yang bermutu jika saringan yang dilakukan terhadap calon yang relatif bermutu pula. Dengan kata lain, keadaan demikian
didukung oleh sistem imbalannya membuat putra putri terbaik kita tertarik untuk
memasuki bidang pekerjaan guru.
Kedua,
pendidikan pra-jabatan harus benar-benar secara sistematis menyiapkan calon
guru untuk menguasai kemampuan profesional. Ada yang berpendapat bahwa untuk
menjadi guru hanya diperlukan penguasaan mantap bidang ilmu sumber bahan ajaran
kemampuan keguruan untuk dapat mengolah dan menyajikan bahan itu kepada peserta
didik akan tumbuh sendiri dari pengalaman. Sedangkan pihak lain berpendapat
bahwa apabila calon guru menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran dan apabila
mereka diberkan ilmu pendidikan dan teknik mengajar maka proses sintesis ke
dalam bentk kemampuan keguruan bisa dilakukan sendiri-sendiri, cepat atau
lambat. Dengan perkataan lain, persiapan memang diperlukan, namun terbatas pada
pembekalan ilmu pendidikan dan teknologi mengajar, yang secara sendiri-sendiri
dicobaterapkan oleh masing-masing calon yang telah menguasai ilmu bahan ajaran.
Sedangkan
penganut penyelenggara pendidikan pra-jabatan yang sistematis berpendapat bahwa di
samping
mempersyaratkan penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran, pekerjaan
profesional keguruan juga memerlukan wawasan kependidikan serta pengetahuan dan
keterampilan keguruan. Selanjutnya, penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran
dan teori serta kemampuan keguruan kependidikan itu hanya mungkin terintegrasi
ke dalam kiat pembelajaran, apabila pengalaman belajar di dalam pendidika
pra-jabatan menyediakan peluang bagi pembentukan kemampuan
keguruan-kependidikan itu secara sistematis. Dengan perkataan lain, pendidikan
pra-jabatan guru harus berhasil membentuk penghayatan tentang manusia dan
masyarakat masa depan Indonesia yang dikehendaki, memahami manusia dan
masyarakat Indonesia masa kini yang menjadi subjek dan latar garapannya,
disamping menguasai bahan serta prosedur pengajaran yang mendidik yang dipandu
oleh ketanggapan yang berlandaskan kearifan, sehingga lulusannya mampu
mengelola progam belajar mengajar demi urunan nyata bagi perwujudan manusia dan masyarakat masa depan
Indonesia yang dicita-citakan.
Jelaslah
bahwa pendidikan pra-jabatan guru diselenggarakan secara benar-benar mantap, apabila kita menginginkan jajaran guru terdiri dari
tenaga-tenaga profesional.
3.
Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan
Ada
tiga upaya dalam penyelenggaraan berbagai aspek dan tahap penanganan pembinaan dalam jabatan profesionl guru. Ketiga upaya itu adalah sebagai
berikut:
Pertama,
mekanisme dan prosedur penghargaan aspek layanan ahli
keguruan perlu dikembangkan. Berlainan dengan jenjang pendidikan tinggi yang
telah memberlakukan mekanisme ini dalam waktu yang relatif lama, jenjang
pendidikan dasar dan menengah sama sekali belum berpengalaman dalam hal ini.
Bukan hanya itu, apabila jenjang pendidikan tinggi mempunyai kultur kolegial
yang telah bertradisi cukup panjang, sebaliknya dunia pendidikan dasar dan
menengah ditandai dengan struktur hierarkis yang mantap.
Kedua,
sistem penilaian di jenjang SD dan juga sistem kepengawasan di jenjang SMTA
yang berlaku sekarang jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian mendasar. Tidak
lagi dibenarkan seorang kepala satu jenis SMTA dipromosikan menjadi pengawas,
apalagi untuk jenis SMTA yang lain. Bahkan untuk jenjang SMTA mungin sudah
harus dipikirkan kebutuhan pengawas bidang studi, meskipun hubungan
hierarkisnya dengan para guru di lapangan memerlukan banyak penyesuaian.
Ketiga,
keterbukaan informasi juga mempersyaratkan keluasan kesempatan untuk meraih kualifikasi normal yang lebih tinggi, katakanlah
S1 dan bahkan S2 dan S3. Apabila 25% saja dari jajaran guru SD berkesempatan
untuk menduduki jenjang kepangkatan untuk mempersyaratkan pendidikan S2 dan 3%
berkesempatan menduduki jenjang kepangkatan yang mempersyaratkan jenjang S3,
dapat dibayangkan tambahan pekerjaan yang perlu ditangani oleh lembaga
pendidikan tenaga kependidikan, baik dari segi daya tampung maupun dari segi
pengembangan progam yang diperlukan. Sebab dengan mudah dapat dibayangkan bahwa
sekali lagi demi keandalan layanan ahli yang dibutuhkan sistem pendidikan,
progam-progam yang baru perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan
dari segi daya tampung, mekanisme pengumpulan kredit yang tidak seluruhnya
mempersyaratkan kehadiran penuh di kampuus sebagaimana tealh lumrah dinegara
maju, harus secepatnya mulai dikembangkan.[5]
Pengembangan sikap professional tidak berhenti apabila calon guru
mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam
rangka peningkatan sikap professional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai
guru. Seperti telah disebut, peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal
melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah
lainnya, ataupun secara informal melalui media massa televisi, radio, koran,
dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap
profesonal keguruan.[6]
4.
Peranan Organisasi Profesi
Di
atas telah dikemukakan bahwa pengawasn mutu layanan suatu bidang profesional
dilakukan secara kesejawatan, baik melalui perorangan maupun melalui organisasi
profesi. Pengawasan dilakukan bukan atas dasar kekuasaan seperti yang terjadi
di lingkungan serikat buruh. Sebaliknya pengawasaan dilakukan oleh kelompok
ahli yang dipandu oleh nilai-nilai profesi sejati, yaitu pengabdian keahlian
bagi kemaslahatan orang banyak.
Penanganan
yang tepat terhadap semua aspek dan tahap sistem pengadaan guru, yaitu
perekrutan, pendidikan pra-jabatan, pengangkatan-pengangkatan dan pembinaan
dalam jabatan (Inservice training) akan berdampak positif dalam
profesionalisasi jabatan guru, yang diberi peluang besar oleh keputusan
pemerintah untk memfungsionalisasikan jabatan guru.
Pemberian
imbalan yang kenyataannya tidak didasarkan kepada penghargaan terhadap layanan
ahli, akan menjadi bumerng yaitu dana imbalan yang lebih besar diberikan kepada
pihak yang tidak berhak, kepentingan masa depan bangsa terabaikan, jajaran
profesional keguruan gagaldiwujudkan dan digantikan oleh kelompok yang memperoleh
hak khusus karena kesempatan, bukan karena layanan ahlinya yang terandalkan.
Oleh karena itu, kita berharap mudah-mudahan pengambil keputusan organisasi
profesi, jajaran keguruan, dan masyarakat luas diberi kejernihan pikiran dan
keteguhan pendirian dalam mengupayakan segala yang perlu, untuk mewujudkan dan
meningkatkan upaya profesionalisasi jabatan guru melalui fungsionalisasi
jabatannya di Indonesia.[7]
C. Indikator Guru Professional
Menurut Soedijarto, guru yang
profesional itu harus memiliki enam kriteria sebagai berikut:
1. Memahami peserta didik dengan latar
belakang dan kemampuannya.
2. Menguasai disiplin ilmu sebagai sumber
bahan belajar, dan sebagai realms of meanings and ways of knowing.
3. Menguasi bahan pelajaran.
4. Memiliki wawasan kependidikan yang mendalam.
5. Menguasai rekayasa dan teknologi
pendidikan.
6. Berkepribadian dan berjiwa Pancasila.[8]
Syarat guru yang professional adalah
sebagai berikut :
1. Seorang guru hendaklah memiliki
ketaqwaan.
2. Guru harus memiliki wawasan ilmu yang
luas.
3. Guru harus memiliki kesehatan baik
secara jasmani dan rohani.
4. Guru wajib berkelakuan baik.[9]
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
1. Profesionalisme guru merupakan kondisi,
arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan
dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata
pencaharian.
2. Upaya peningkatan profesi guru
di Indonesia sekurang-kurangnya mengahadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu :
a.
Ketersediaan dan Mutu Calon Guru
b.
Pendidikan Pra-Jabatan
c.
Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan
d.
Peranan Organisasi Profesi
3.
Indikator guru
professional meliputi:
a. Memahami peserta didik dengan latar
belakang dan kemampuannya.
b. Menguasai disiplin ilmu sebagai sumber
bahan belajar, dan sebagai realms of meanings and ways of knowing.
c. Menguasi bahan pelajaran.
d. Memiliki wawasan kependidikan yang
mendalam.
e. Menguasai rekayasa dan teknologi
pendidikan.
f.
Berkepribadian
dan berjiwa Pancasila.
- Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia kami pun tak luput dari
kesalahan dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Akan tetapi semoga apa yang telah kami paparkan ini dapat
bermanfaat bagi kani maupun bagi para pembaca dengan harapan dapat memperluas
pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua.
[1] Rusman, Model-Model Pembelajaran, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013,
hlm 15-16
[2]
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm 45
[3] Uzer
Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2006, hlm
14-15
[5] Syafruddin
Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum,
Jakarta, Ciputat Pers, 2002, hlm 24-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar