BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
islam sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatifitas peserta didik,
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.,
cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur,
mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa dan Negara serta agama.
Proses itu sendiri sudah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Ilmu pendidikan
merupakan prinsip, struktur, metodologi, dan objek yang memiliki karakteristik
epistimologi ilmu islami. Oleh karena itu, pendidikan islam sangat bertolak
belakang dengan ilmu pendidikan non islam. Pengembangan pendidikan islam adalah
upaya memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternative yang lebih dan
relative dapat memenuhi kebutuhan umat islam dalam menyelesaikan semua
problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana metode Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
3.
Bagaimana upaya membangun Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam
Secara
etimologi, kata “epistemology” berasal dari bahasa Yunani; “episteme”
dan “logos”. “Episteme” berarti pengetahuan, sedangkan “logos” berarti
teori, uraian atau alasan. Jadi epistimologi berarti sebuah teori tentang
pengetahuan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Theori of
Knowledge”.
Secara
terminology, menurut Dagobert D. runes dalam bukunya “Dictionary of
Phlisophy” mengatakan bahwa “Epistimologi sebagai cabang filsafat yang
menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode, dan validitas
pengetahuan. Menurut Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat Agama” mengatakan,
bahwa yang dimaksud dengan Epistimologi adalah “Ilmu yang membahas apa
penetahuan itu dan bagaimana memperolehnya”. Menurut Fudyartanto mengatakan
bahwa epistimologi berarti filsafat tentang pengetahuan atau dengan kata lain
filsafat pengetahuan. Menurut KBBI epistimologi adalah cabang ilmu filsafat tentang
dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.[1]
Epistemologi adalah salah satu cabang pokok filsafat yang membicarakan
seluk-beluk pengetahuan.[2]
Dari definisi
di atas dapat dipahami bahwa epistimologi adalh sebuah ilmu yang mempelajari
hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara subtantif.
Oleh karena itu
epistimologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:
a)
Filsafat, yaitu sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan
kebenaran pengetahuan.
b)
Metode, memiliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai
pengetahuan.
c)
Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
ilmu pendidikan islam
adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hokum-hukum agama islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.[3]
Maka, epistemologi merupakan ilmu pendidikan islam yang menekankan
pada upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan
islam. Jelaslah bahwa aktifitas berfikir dalam epistemology adalah aktifitas
yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan disbanding ontology dan
aksiologi.
B.
Metode Epistemoogi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena
epistemologi mencakup banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan
Islam adalah sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan
mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang
dipakai dalam membangun ilmu pendidikan Islam.
Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode yang digunakan
untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara
metode epistemologi pendidikan Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam.
Metode epistemologi Islam lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan
metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional.
Metode epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas
pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha
membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam. Menurut
Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits
Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang
secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a.
Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran
yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila
bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada
orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya,
karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam,
terutama yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap
suatu masalah, sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu.
Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan
Islam mendapat pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa
bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah
dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan
dibalik bahasa harfiah. Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin
rasional dan logis sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman
terhadap kandungan Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang diformulasikan
oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas
masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang
paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah
dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori
pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga
menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya
metode rasional telah lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam
merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan
Islam yang memanfaatkan metode rasional ini.
Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru
pendidikan Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran
dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode
rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam
dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode
rasional saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah
yang amat besar.
b.
Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif
merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah Barat
sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan
ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam
mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode
ini dalam menangkap pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan
“cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.
Dalam
pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak.
Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang
objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara
spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan
wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam,
intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan
lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq
(intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut
dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia
biasa berbentuk Ilham.
Sebagai suatu
metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya ia bisa dimanfaatkan untuk
mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat intuisi menurut Al-Tahawuny,
bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita sehari-hari tampaknya
ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya
dalam waktu yang berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu
yang lama juga tidak kunjung tiba. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang kita sebut hati
atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan
intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode
interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui
pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa
didatangkan untuk memberikan pencerahan konsentrasi, kontemplasi, dan
imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan
atau menyusun konsep pendidikan Islam yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah di hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan
wahyu.
c.
Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis
yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan Islam
yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan
antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang
jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitas yang baik menurut
Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakan
dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk
memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam
tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi
tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan
yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau
informasi untuk diolah menjadi teori
yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu pengetahuan
ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat disiapkan wadahnya dengan
beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan dialog, membentuk forum
dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan mengundang pakar-pakar
pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal. wadah-wadah dialog itu
hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya relative sama. Semuanya
sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits
dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori
ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis
dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam objek:
ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang
disebut dengan konsep-konsep normatif, pendapat-pendapat para pakar
pendidikan Islam, baik pada masa lampau
maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap
pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu
maupun sekarang yang bisa disebut “konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada
dalam bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam
arti wahyu dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis
sedang Islam budaya berupa pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
d.
Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode
komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan
pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan
pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan
maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud
dari permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan
dengan pendidikan perbandingan. Metode komparatif sebagai salah satu metode
epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu
meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara
ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesama hadits pendidikan,
antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar
pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara
sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara
sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
e.
Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik
yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dgan
cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan,
kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya. Jadi maksudnya
kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya
kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan. Sebenarnya
kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulum dari ilmu kalam, fiqh,
sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan
Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan
gagasan-gagasannya. Salah satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa
kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik bangunan epistemologi keilmuan
agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna upaya membangun,
tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan. Dan
itu berakibat umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan
metode kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu
yang berkaitan dengan pendidikan Islam.[4]
C.
Upaya Membangun Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam
Pengaruh
pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di hampir semua negara
ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus pendidikan Islam, sehingga
sistem pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan. Untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar pendidikan Islam dan para pengambil
kebijakan dalam pendidikan Islam harus mengadakan pembaharuan-pembaharuan
secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencakup berbagai
dimensi. Pada dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa cita-cita
mewujudkan pendidikan Islam ideal itu baru bisa dicapai bila ada upaya
membangun epistemologinya.[5]
Epistemologi
pendidikan Islam ini, meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk
pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul
pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam,
unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam
dan sebagainya. Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih
diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai membangun ilmu
pendidikan Islam, daripada komponen-komponen lainnya, karena komponen metode
tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara
konsepteual maupun aplikatif.
Epistemologi
pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara konseptual untuk menemukan
syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
Syarat-syarat itu merupakan kunci dalam memasuki wilayah pendidikan Islam,
tanpa menemukan syarat-syarat itu kita merasa kesulitan mengungkapkan hakekat
pendidikan Islam, mengingat syarat merupakan tahapan yang harus dipenuhi
sebelum berusaha memahami dan mengetahui pendidikan Islam yang sebenarnya.
Setelah ditemukan syarat-syaratnya, langkah selanjutnya untuk dapat menangkap
”misteri pendidikan Islam” adalah dengan menyiapkan segala sarana dan potensi
yang dimiliki para ilmuan atau pemikir, dalam kapasitasnya sebagai penggali khazanah
dan temuan pendidikan Islam.[6]
Oleh karena
itu, epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi
solusi, penemu dan pengembang. Melalui epistemologi pendidikan Islam ini,
seseorang pemikir dapat melakukan : Pertama, teori-teori atau
konsep-konsep pendidikan pada umumnya maupun pendidikan yang diklaim sebagi
Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang dimilikinya. Kedua,
epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan terhadap problem-problem
pendidikan, baik secara teoritis maupun praktis, karena teori yang ditawarkan
dari epistemologi itu untuk dipraktekkan. Ketiga, dengan menggunakan
epistemologi, para pemikir dan penggali khazanah pendidikan Islam dapat
menemukan teori-teori atau konsep-konsep baru tentang pendidikan Islam.
Selanjutnya, yang keempat, dari hasil temuan-temuan baru itu kemudian
dikembangkan secara optimal.[7]
Mengingat
epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar, dan
terlebih lagi sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam
pendidikan Islam, maka ada benarnya pendapat yang mengatakan ”Problem utama
pendidikan Islam adalah problem epistemologinya.” Sekiranya terjadi kelemahan atau kemunduran pendidikan
Islam, maka epistemologi sebagai penyebab paling awal harus dibangun lebih
dulu, dan melalui epistemologi juga, jika kita berkeinginan mengembangkan
pendidikan Islam. Kekokohan bangunan epistemologi melahirkan ketahanan pendidikan
Islam menghadapi pengaruh apapun, termasuk arus budaya Barat, dan mampu memberi jaminan terhadap kemajuan pendidikan
Islam serta bersaing dengan pendidikan-pendidikan lainnya.[8]
Untuk mewujudkan ilmu islami diperlukan upaya membangun paradigm filosofis
ilmu yang islami. Bangunan paradigm keilmuan islam tersebut didasarkan pada
tiga elemen dasar, yaitu asumsi dasar, postulasi, serta tesis-tesis tentang
filsafat ilmu.
Pertama, adalah
tataran asumsi. Asumsi dasar yang dipakai adalah pandangan realisme
metaphisik yaitu filsafat yang di samping mengakui adanya realitas yang
tidak sensual empiric juga mengakui adanya keteraturan alam semesta, karena
keteraturan tersebut adalah milik Allah SWT. Kedua, adalah tataran
postulasi. Postulasi dimaksud adalah pada tataran ontologisnya, yaitu bahwa
keteraturan tersebut tampil dalam eksistensi kebenaran yang tunggal. Dalam
tataran aksiologisnya digunakan dalam kerja reorientasi ilmu menjadi islami,
berupa semua cabang ilmu yang bisa mempertebal keimanan dan menumbuhkan akhlak
karimah. Alasan dari tataran aksiologisnya adalah ilmu itu bersifat normative,
dan oleh karenanya harus diorientasikan pada nilai (value), baik nilai
insaniah (yang dapat dilihat panca indra) ataupun nilai Ilahiyah (yang
diwahyukan). Ketiga, tataran tesis. Tesis dimaksud adalah tesis
epistemologis. Ada beberapa tesis epistemologis, yaitu: 1) bahwa wahyu adalah
merupakan kebenaran mutlak. 2) akal budi manusia adalah dlaif. 3) bahwa ujud
kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logik, etik atau
transsendental.
Substansi wahyu sebagai kebenaran mutlak tidak dapat dikenal secara
keseluruhan. Kebenaran mutlak tersebut yang hanya dapat diketahui adalah
kebenaran yang diwahyukan dan yang bersifat empirik. Adapun rentang
epistemologinya adalah dari ‘aql sampai fuad, sehingga bukti
kebenaran tersebut berupa bukti empirik (factual), logis, etis, dan hikmah.
Adapun substansi ilmu dalam filsafat ilmu mengacu pada moralitas
ketauhidan dan pencarian ridha Allah. Penjabaran ridha Allah adalah pengembangan
watak dan sifat yang mengacu pada asmaul-husna. [9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Epistemologi merupakan ilmu pendidikan islam yang menekankan pada
upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan
islam. Jelaslah bahwa aktifitas berfikir dalam epistemology adalah aktifitas
yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan disbanding ontology dan
aksiologi.
2.
Metode Epistemologi Pendidikan Islam, meliputi Metode Rasional (Manhaj
Aqli), Metode Intuitif (manhaj Zawqi), Metode Ideologis (Manhaj
Jadali), Metode Komparatif (Manhaj Maqaran), Metode Kritik (Manhaj
Naqdi)
3.
Upaya mewujudkan epistemologi ilmu pendidikan islam. Pertama, adalah
tataran asumsi. Kedua, adalah tataran postulasi. Postulasi dimaksud
adalah pada tataran ontologisnya, yaitu bahwa keteraturan tersebut tampil dalam
eksistensi kebenaran yang tunggal. Ketiga, tataran tesis. Tesis dimaksud
adalah tesis epistemologis. Ada beberapa tesis epistemologis, yaitu: 1) bahwa
wahyu adalah merupakan kebenaran mutlak. 2) akal budi manusia adalah dlaif. 3)
bahwa ujud kebenaran yang dicapai dapat berupa eksistensi sensual, logik, etik
atau transsendental.
B.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat
Pers, Jakarata, 2002, hal 3
[2] Abdul Munir Mulkhan dkk, Religiusitas Iptek, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1998, hal 49
[3] Op.Cit., Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, Hal 10
[4] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta,
2008, Hal 270-350
[5] Ibid., Hal 249
[6] Ibid., Hal 229
[7] Ibid., Hal 250
[8] Ibid., Hal 521
[9] Ismail SM dkk, Paradigma Pendidikan Islam, pustaka pelajar,
Semarang, 2001, hal.100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar