KERJA SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN
RESUME
Disusun Guna memenuhi salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah : Fiqih Mu’ammalah
Dosen : Zakiyah Isnawati, M.Pd
Disusun
Oleh:
1. Zahotul Mustabsyiroh (1310110046)
2. Wulan Miftakhul Jannah (1310110050)
3. Tri Rahayuning Raufah (1310110061)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TARBIYAH
/ PAI
2015
KERJA
SAMA ATAS LAHAN PERTANIAN
1. Mukhabarah dan Muzara’ah
a. Pengertian
“Mukhabarah”
ialah pekerjaan orang yang mengelola (menggarap) bumi si Malik (orang yang
memiliki bumi/sawah) dengan janji upah mendapatkan sebagian barang yang keluar
dari bumi itu, sedangkan bijinya dari pihak Amil (pengelola pekerjaan).
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah
memiliki arti melemparkan tanaman yang maksudnya adalah modal. Muzara’ah adalah
kerja sama pengolahan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap
lahan. Dimana pemilik
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Muzara’ah
sering disamakan dengan mukhabarah. Padahal keduanya sedikit bebeda, muzara’ah
benihnya berasal dari pemilik lahan sedangkan mukhabarah benihnya beasal dari penggarap.
[1]
Pengertian muzara’ah menurut para ulama’ sebagai berikut:
1) Menurut Hanafiyah, Muzara’ah
adalah akad bercocok tanam dengan
sebagian yang keluar dari bumi.
2)
Menurut Hanabilah, Muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
3)
Menurut Syafi’iyah, Muzara’ah adalah seoang pekerja menyewa tanah dengan
apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.
b. Hukum Muzara’ah
Hukum
muzara’ah shahih menurut Hanafiyah,
apabila:
1)
Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan
kepada penggarap.
2)
Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan
pemilik tanah.
3)
Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan
waktu akad.
4)
Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkakan akan
dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi jika tidak ada
kesepakatan maka penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau
menjaga tanaman.
5)
Diperbolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu
yang telah ditetapkan.
6)
Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya,
penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasakan pada waktu.
c. Penghabisan Muzara’ah
Beberapa
hal yang menyebabkna Muzara’ah habis, diantaranya:
1) Habis masa Muzara’ah
2) Salah seorang akad meninggal
3) Adanya udzur. Udzur tersebut
diantaranya:
a) Tanah garapan tepaksa dijual, misalnya
untuk membayar hutang
b) Penggarap tidak dapat mengelola tanah,
seperti sakit, jihad dijalan Allah, dll[2].
d. Dasar hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Dasar yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum Mukhabaah dan muzaa’ah
adalah sebuah hadits yang diriwayatkann oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
إِنَّ النبي ص م لَمْ يُحَرِّمِ الْمُزَارَعَةُ وَلَكِنْ اَمَرَاَنْ يَرْ فُقَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضِ بِقَوْلِهِ مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ
فَلْيَزْرَعْهَا أَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَاِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ اَرْضَهُ
“Sesungguhnya Nabi SAW, menyatakan, tidak mengharamkan
bermuzara’ah, bahkan Beliau menyuruhnya supaya sebagian menyayangi sebagian
yang lainnya, dengan katanya barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mampu
maka boleh ditahan saja tanah itu”
2. Musaqah
a. Pengertian
Al-Musaqah
adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila
sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dengen jumlah tertentu.[3]
Musaqah menurut
beberapa ulama:
1) Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh
ditanah menjadi lima macam yaitu:
a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat dan berbuah.
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap,
tetapi tidak berbuah.
c. Pohon-pohon tersebut tidak beaka kuat,
tetapi berbuahnya dan dapat dipetik.
d. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada
buahnya untuk dapat dipetik.
e. Pohon-pohon yang diambil hijau dan
basahnya sebagai suatu manfaat bukan buahnya.
2) Menurut Syafi’iyah, Musaqah adalah memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon
tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram,
memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah
yang dihasilkan pohon tersebut[4].
b. Landasan Syari’ah
1) Al-hadits
Ibnu Umar
berkata bahwa Rasullah SAW. Penah memberikan tganah dan tanaman kuma di khoibar
kepada Yahudi Khoibar untuk dipelihara dengan mempegunakan pealatan dan dana
meeka. Sebagai imbalan,
mereka mempeoleh posentase tertentu dai hasil panen.
2)
Ijma’
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin
Ali bin Abu Tholib r.a. bahwa Rasullah SAW.telah menjadikan penduduk khoibar
sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan
oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini
dengan rasio 1/3 dan ¼. Semua telah dilakukan oleh Khulafaurasyidin pada zaman
pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun
yang menyanggahnya.[5]
3) Hukum Musaqah
Musaqah
shahih menurut ulama Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan malikiyah dalam membatasi
pekerjaan penggaap dean menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap
tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban
pemilik tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah,PT Raja Gravindo Persada, Bandung, 2002
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2013
Rachmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalah, Pustaka Setia Bandung, Bandung, 2001
Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Pustaka Percetakan,TK,TT
[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syari’ah : dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2013, hlm. 99
[2] Rachmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalah,
Pustaka Setia Bandung, Bandung, 2001, hlm. 210-211
[3] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Pustaka
Percetakan,TK,TT,hlm 165
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah,PT
Raja Gravindo Persada, Bandung, 2002,hlm146-147
[5] Ibid, Muhammad Syafi’I Antomio, Bank
Syari’ah : Dari Teori ke Praktik, hlm. 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar