Senin, 13 Oktober 2014

RESUME ASAL MULA MADZHAB-MADZHAB HUKUM MASA AWAL


ASAL MULA MADZHAB-MADZHAB HUKUM MASA AWAL
Sewaktu Rasulullah masih hidup, tidak terdapat penggolongan perintah ke dalam wajib, mandub (dianjurkan), haram, makruh, dan mubah. Penggolongan ini merupakan karya para ahli hukum sendiri yang mempelajari berbagai ayat al-Qur’an, hadits dan praktek-praktek yang dilakukan para sahabat dan kaum muslimin terdahulu. Menurut para ahli hukum, setiap tindakan harus masuk ke dalam salah satu dari lima kategori tersebut. Apabila timbul suatu kasus, maka kasus itu diajukan kepada Rasulullah untuk dimintai keputusannya. Dalam menanggapi keputusan beliau, orang-orang disekitarnya tidak bertanya lagi mengenai hal-hal khusus tentang hukum guna dan alasannya. Mereka tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat filosofis atau perincian yang rumit. Dalam memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan, Rasulullah tidak memberikan jawaban yang kaku tetapi lebih bersifat umum.
Mereka mengambil keputusan beliau sebagai model untuk mengambil keputusan serupa dalam kasus-kasus serupa. Alasan penambahan pada hukum-hukum yang diberikan Rasulullah ini dengan menggunakan penafsiran ialah bahwa beliau sendiri memberikan peluang bagi penafsiran dalam perintahnya. Beliau menyerahkan banyak hal kepada masyarakat untuk diputuskan berdasarkan situasi yang ada. Hukum pada masa-masa awal islam tidaklah kaku sebagaimana diterapkan pada masa-masa yang terkemudian. Hukum-hukum yang berbeda dan bahkan bertolak belakang mengenai banyak persoalan dapat ditolerir atas landasan argumen. Hal ini kelihatan nyata dari perbedaan pendapat para sahabat setelah Rasulullah wafat dan dari praktek para ahli hukum terdahulu. Rasulullah memberikan kesempatan bagi digunakannya nalar dan pikiran sehat dalam berbagai situasi dan kondisi.
Misalnya pada peristiwa perang Bani Qurayzah. Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke daerah musuh dan memerintahkan mereka untuk melakukan shalat Ashar apabila mereka sampai pada tempat yang dituju. Tetapi ternyata sudah masuk waktu shalat ketika mereka masih dalam perjalanan. Karena itu, sejumlah sahabat melaksanakan shalat dalam perjalanan dan berargumentasi bahwa tentu bukan maksud Rasulullah untuk menangguhkan shalat. Sedangkan yang lain melaksanakan shalat setibanya di tempat tujuan ketika hari telah menjelang malam, karena mematuhi perintah Rasulullah secara harfiah. Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau diam saja. Para sahabat menganggap hal hal ini sebagai suatu persetujuan diam-diam terhadap tindakan kedua kelompok itu.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa Rasulullah, dalam menggariskan hukum pada dasarnya mempertimbangkan nilai dan semangat tindakan dan bukan bentuk tindakan itu sendiri. Dalam kasus tersebut yang terpenting ialah kepatuhan kepada perintah Allah serta tujuan dan semangat untuk melaksanakan kesetiaan pada Allah dan Rasul-Nya. Ini juga mengandung arti bahwa orang dapat berbeda dalam menampilkan bentuk kepatuhan atas dasar penafsiran. Dari sini, timbul perbedaan-perbedaan pendapat dalam hukum diantara para ahli hukum.
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan. Mereka memberikan keputusan kadang-kadang berdasarkan apa yang pernah mereka pelajari dan ingat dari perintah-perintah Rasulullah, dan di lain waktu menurut apa yang mereka pahami dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Penafsiran Qur’an menimbulkan perbedaan pendapat diantara para sahabat. Soal-soal yang tidak disinggung oleh al-Qur’an atau disinggung dengan kata-kata bermakna ganda, memerlukan penjelasan. Al-Syafi’i menyebutkan beberapa contoh soal-soal seperti itu. Sebuah ayat al-Qur’an menyatakan: “wanita-wanita yang dicerai hendaklah menunggu tiga kali qurru’.” Dalam ayat ini kata qurru’ bermakna ganda. Kata tersebut dapat berarti menstruasi dan dapat pula untuk keadaan suci (thuhr). Maka ‘Umar Ibnu Kaththab, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari diriwayatkan berpendapat bahwa aqra’ (bentuk tunggal dari qur’) berarti menstruasi (haydh). Sebaliknya, ‘Aisyah, Zayd Ibnu Tsabit dan Ibnu Umar berpendapat bahwa aqra’ berarti masa suci diantara menstruasi (athhar). Perbedaan pendapat di antara para ahli hukum sesungguhnya disebabkan karena perbedaan pendapat diantara para sahabat dalam menafsirkan  al-Qur’an.
Hal yang sama terjadi dengan hadits. Dalam Hadits munculnya perbedaaan disebabkan beberapa faktor. Kadang-kadang terdapat dua tradisi yang bertolakbelakang yang diriwayatkan berasal dari Rasulullah. Sejumlah sahabat mengikuti tradisi yang satu, sedang kelompok lain mengikuti yang lainnya. Dalam sejumlah kasus, sebuah hadits tak diketahui oleh seorang sahabat, maka ia memutuskan persoalan atas dasar pendapatnya sendiri. Apabila hadits yang relevan kemudian diketahuinya, ia akan membatalkan pendapatnya. Pada peristiwa-peristiwa tertentu terjadi bahwa hadits yang relevan diperoleh tetapi periwayatnya sendiri tak dapat memahami arti hadits tersebut yang sebenarnya.
Para sahabat berusaha semampu mereka untuk mendasarkan keputusan mereka pada Qur’an dan Sunnah. Mereka berusaha menjaga agar keputusan-keputusan dan pertimbangan pribadi mereka selalu sedekat mungkin dengan keputusan dan pertimbangan Rasulullah. Sekalipun dengan adanya perbedaan pendapat diantara mereka, sedikitpun tidak menyimpang dari ruh Qur’an dan Sunnah.
Sewaktu masa generasi kedua, yaitu para tabi’un, terdapat tiga pembagian geografis  yang besar dalam dunia Islam, dimana kegiatan hukum yang bebas terjadi yaitu Iraq, Hijaz dan Syria. Iraq sendiri memiliki dua madzhab, yaitu madzhab Basrah dan Kufah. Begitu pula Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan hukum, yaitu Madinah dan Makkah. Madzhab yang paling besar pada waktu itu adalah Madzhab Iraq dan Madzhab Hijaz. Madzhab Syria kurang sering tercatat dalam buku-buku teks awal. Meskipun demikian, kecenderungan hukum dari madzhab ini dapat diketahui secara otoritatif melalui tulisan-tulisan Abu Yusuf. Berikut ini diantaranya nama-nama yang tercatat dari para ahli hukum di berbagai tempat:
  1. Makkah: ‘Atha bin Abi Rabah, dan ‘Amr bin Dinar.
  2. Madinah: Sa’id bin al-Musyayyib, ‘Urwah bin al-Zubayr, Abu Bakar bin ‘Abdul Rahman, ‘Ubayd illah bin ‘Abdullah, Kharijah bin Zayd, Sulayman bin Yasar, Al-Qasim bin Muhammad.
  3. Basrah: Muslim bin Yasar, Al-Hasan bin Yasar, dan Muhammad bin Sirin.
  4. Kufah: ‘Alqamah bin Qays, Masruq bin al-Ajda’, Al-Aswad bin Yazid, Syurayh bin al-Harits.
  5. Syria: Qabisah bin Dzuwayb, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Makhul, Al-Awza’i.
Unsur setempat sangat berpengaruh dalam madzhab-madzhab awal. Ahli-ahli hukum yang berasal dari berbagai daerah ini melandaskan pendapat dan keputusan-keputusan hukum mereka pada pendapat dan keputusan para sahabat yang tinggal didaerah masing-masing. Para ahli hukum di Madinah menurunkan pengetahuan hukum mereka dari laporan-laporan putusan hukum yng berasal dari ‘Umar bin Khaththab, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar. Para ahli hukum Kufah menurunkan doktrin-doktrin hukum mereka dari pendapat dan pertimbangan ‘Ali dan Ibnu Mas’ud.
Faktor penting lainnya yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ahli hukum ialah dipergunakannya pendapat pribadi. Sebagai akibat penggunaan pendapat pribadi, maka tidak dapat dielakkan timbulnya berbagai perbedaan pendapat, dan memang terjadi bahwa keputusan-keputusan hukum yang saling bertolakbelakang dalam satu kasus yang sama, diberikan pada waktu yang bersamaan di keempat penjuru sebuah kota. Untuk menghentikan situasi yang kacau ini dan melindungi umat dari perpecahan, diperkenalkanlah lembaga ijma’. Dalam menyisihkan pendapat-pendapat yang terpencil, pendapat umum yang rata-rata dari masing-masing daerah diambil sebagai ijma’ setempat.
Metode lain yang diikuti oleh para ahli hukum awal untuk menghilangkan kekacauan ini ialah dengan mengambil tradisi-tradisi yang berasal dari Rasulullah atau dari para sahabat yang diperkuat oleh praktek kaum muslimin. Inilah sebabnya mengapa kita temukan banyak penekanan pada praktek dalam madzhab-madzhab hukum yang awal ini. Di kalangan madzhab-madzhab hukum yang awal sering kita dengar nama Abu Hanifah, Abu Yusuf, al-Syaybani, Malik, dan al-Awza’i didaerah yang berbeda-beda. Umumnya orang mengira bahwa mereka memperoleh ketenaran karena ijtihad bebas mereka yang didasarkan pada penalaran murni dalam lingkup hukum islam. Tetapi sebenarnya mereka dipengaruhi baik oleh praktek maupun pemikiran daerah mereka masing-masing. Ini nyata sekali tercermin dari penalaran mereka.
Madzhab Hijaz memiliki kecenderungan pendapat kepada Malik yang melakukan ijtihad secara orisinal dalam beberapa kasus dengan memakai pendekatan aturan atau qiyas yang berdasarkan pada hadits yang sudah ada. Hal yang serupa terjadi juga di Iraq. Suatu kecenderungan pendapat di Iraq sudah terbentuk sebelum tampilnya Abu Hanifah. Ia melaksanakan ijtihad dalam garis-garis para pendahulunya tetapi tetap memelihara semangat dan praktek yang berlaku di Iraq. Penggunaan nalar lebih condong dipakai di Madzhab Iraq karena hadits yang beredar di Iraq pada waktu itu masih sangat sedikit.
Al-Syafi’i telah berusaha untuk merukunkan perbedaan pendapat di antara para ahli hukum dengan menetapkan prinsip hadits yang otentik dari Nabi, namun ia tidak dapat mengakhiri perbenturan pendapat yang ada, tapi malah merintis jalan bagi tumbuhnya satu madzhab yang baru. Disamping itu, sulit untuk mencapai kompromi antara Al-Syafi’i dan madzhab-madzhab awal, karena teori hukum dan prinsip-prinsip yang dipermaklumkan olehnya sebagian besar adalah asing bagi mereka.
Dalam dua abad pertama Hijrah, tak ada fenomena kesetiaan yang ketat terhadap seorang pemikir saja. Dalam buku-buku teks yang awal Abu Hanifah dikabarkan telah memperoleh pengetahuannya dari Ibrahim al-Nakha’i. Al-Syaibani mengacu pada Abu Hanifah dalam al-Muwaththa’. Al-Syafi’i menuturkan bahwa satu kelompok di Kufah mengikuti Abu Yusuf, sedang yang lain mengikuti Ibnu Abi Layla. Sedangkan di Madinah sekelompok orang umumnya menyandarkan diri pada Malik. Mereka mengambil pendapatnya sebagai ijma’. Al-Syafi’i sendiri menentang sikap kesetiaan pribadi pada seorang ahli hukum tertentu. Beliau memisahkan diri dari orang-orang Madinah ketika beliau mengkritik doktrin-doktrin mereka. Secara keseluruhan nampaknya Al-Syafi’i bebas dari kecenderungan madzhab.
Kecenderungan terhadap kesetiaan pribadi secara kasarnya mulai terjadi pada pertengahan abad kedua Hijrah. Madzhab-madzhab hukum masa awal ini bersumber dari proses penafsiran hukum yang panjang dan bebas, yang berlangsung di daerah-daerah yang berbeda semenjak masa yang paling awal. Terlepas dari pengelompokan di berbagai daerah ini, orang banyak umumnya melakukan pemikiran hukum secara independen. Bersamaan dengan berlakunya waktu, orang mulai menggantungkan diri terutama pada keputusan dan pendapat hukum dari sumber-sumber awal ini dan akhirnya berijtihad.








KESIMPULAN
Sewaktu Rasulullah masih hidup, tidak terdapat penggolongan perintah ke dalam wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Penggolongan ini merupakan karya para ahli hukum sendiri. Dalam memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan, Rasulullah tidak memberikan jawaban yang kaku tetapi lebih bersifat umum. Karena yang disampaikan Rasulullah masih ada yang bersifat umum dan nalar atau pengetahuan para sahabat berbeda-beda maka timbul pemahaman yang berbeda pula. Unsur setempat atau keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh dalam madzhab awal.  Madzhab yang paling besar pada waktu itu adalah Madzhab Iraq dan Madzhab Hijaz. Madzhab Hijaz memakai pendekatan aturan atau qiyas, sedangkan Madzhab Iraq memakai pendekatan nalar atau logika. Madzhab-madzhab hukum  masa awal ini bersumber dari proses penafsiran  hukum yang panjang dan  bebas. Bersamaan dengan berlakunya waktu, orang mulai menggantungkan diri terutama pada keputusan dan pendapat hukum dari sumber-sumber awal dan akhirnya berijtihad serta melakukan pemikiran hukum secara independen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar